TINJAUAN BUDAYA HUKUM TINDAKAN NGLURUG MASYARAKAT KORBAN TERHADAP
PEMERINTAH DAN PT. LAPINDO BRANTAS
Abstrak
Budaya hukum akan membentuk kesadaran hukum masyarakat di sebuah negara. Negara melalui pemerintah sebagai penyelenggara
kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki peran yang sangat penting untuk
menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya. Termasuk didalamnya peran pemerintah
sebagai penanggung jawab terhadap penegakan hukum. Budaya hukum melihat, bahwa
bekerjanya hukum normatif yang dilaksanakan Negara tidak serta merta
menyelesaikan sengketa yang terjadi di masyarakat. Untuk itulah, ada alternatif
penyelesaian sengketa dengan mendayagunakan budaya yang tumbuh dan berkembang
di masyarakat, termasuk didalamnya adalah proses nglurug yang dilakukan
masyarakat korban semburan lumpur di Sidoarjo.
Kata Kunci: “nglurug”, budaya hukum, alternatif penyelesaian sengketa.
Abstract
Legal culture will form the legal consciousness of people
in a country. Countries through the government as the organizer of national and
state has a very important role to create prosperity for their people.
Including the role of government in charge of law enforcement. Legal culture
see, that the working of the law is implemented normative state does not
necessarily resolve the disputes that occur in society. For this reason, there
is an alternative dispute resolution by utilizing a culture that grew and
developed in the community, including the process undertaken community nglurug
mudflow victims in Sidoarjo.
Keyword: “nglurug”, culture law, alternative dispute resolution.
Pendahuluan
Kondisi penegakan hukum yang tidak
begitu efektif dalam penyelesaian sengketa kasus lingkungan tidak menyurutkan
masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak hukumnya.
Adanya ketimpangan dari bekerjanya
hukum, khususnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup (selanjutnya disebut UU 23/1997) mendorong masyarakat yang
menjadi korban akibat negatif dari persoalan lingkungan membawa kasus mereka ke
suatu forum di luar pengadilan. Kasus
ini sebagaimana terjadi pada korban luapan lumpur Sidoarjo.
Menurut Mac Galanther, dalam konsepnya tentang Justice in Many
Rooms merupakan kerangka teoritis fundamental yang dapat dipergunakan untuk
melihat seberapa jauh forum-forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan
relevan untuk dikaji secara komprehensif. Misalnya, nilai-nilai kebersamaan
atau gotong royong, nilai-nilai kepedulian dan solidaritas, dan empati dalam
pranata masyarakat lokal menjadi sangat penting untuk diperhatikan.[2]
Istilah ’menglurug’,[3]
merupakan konsep lokal yang dipergunakan sekelompok masyarakat yang secara
mendadak datang ke kantor Pemerintahan daerah (legislatif dan eksekutif)
sebagai instrumen untuk mengemukakan pendapat, kritik, protes atau bahkan
permohonan dengan desakan. Terminologi mengelurug dalam istilah Jawa,
sebagaimana pula istilah lain menjemur diri di depan pendopo keraton atau
’pepe’ saat ini terakomodir dalam hak-hak konstitusional negara. Khususnya, terkait dengan kebebasan mengemukakan pendapat
dan kekebasasan untuk berserikat sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28
UUD 1945.
Dalam konteks kasus luapan lumpur, masyarakat korban melakukan gerakan
unjuk rasa yang dianggap oleh media sebagai gerakan nglurug.
Gerakan-gerakan masyarakat lokal yang menyuarakan kepentingan mereka akibat
adanya ketimpangan bekerjanya peraturan hukum, dalam hal ini UU 23/1997,
tidaklah berlebihan jika pilihan untuk menyelenggarakan aksi protes atau
demonstrasi sebagai salah satu instrumen yang dapat menjadi katalisator
penyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Di satu pihak, gerakan demo lebih
dimaksudkan sebagai alat komunikasi untuk dapat terbangun musyawarah dengan
harapan agar pihak yang berwenang dapat memberikan perhatian, sehingga nantinya
dapat memfasilitasi permintaan ganti rugi. Di pihak lain, aksi demo yang
didukung oleh nilai-nilai budaya dan kearifan lokal sebagai sikap resistensi
(bertahan) dapat menjadi tekanan politis (political preasure) bagi
Pemerintah yang dalam banyak hal, kebijakan tersebut biasanya lebih memihak
korporasi, namun dalam hal ini dapat mengabulkan pihak korban.
Dari latar belakang
masalah yang telah diuraikan di atas maka dapat ditarik suatu rumusan masalah
sebagai berikut, yaitu bagaimana tinjauan budaya hukum terhadap praktik nglurug masyarakat korban terhadap
pemerintah dan PT. Lapindo Brantas.
Analisis Hukum
Konsep
Budaya Hukum
Sebagai suatu konsep, budaya hukum dipergunakan sebagai pisau analisis
dalam memahami fenomena di luar hukum dan institusi penegakannya, tetapi dapat
menjadi faktor penghubung atau faktor penghambat dari suatu proses bekerjanya
hukum.
Menurut Friedman, dalam sistem
hukum terdapat ‘budaya hukum’. Budaya hukum mengacu pada sikap, nilai, dan
opini dalam masyarakat dengan penekanan pada hukum, sistem hukum serta beberapa
bagian hukum. Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum, kebiasaan, opini,
cara bekerja dan berpikir yang mengikat masyarakat untuk mendekat atau menjauh dari
hukum dengan cara khusus. Dari ketiga komponen di atas, budaya hukum merupakan
komponen yang paling penting.[4]
Lebih lanjut, Lawrence M. Friedman[5], mengemukakan tiga komponen yang tertanam dalam sistem hukum tersebut. Ketiga komponen
tersebut adalah Pertama struktur. Struktur oleh Freidman dijelaskan
sebagai berikut:
First
many features of a working legal system can be called structural-the moving
parts, so to speak of the machine Courts are simple and obvious example; their
structures can be described; a panel of such and such a size, sitting at such
and such a time, which this or that limitation on jurisdiction. The shape size,
and powers of legislature is another element of structure. A written
constitution is still another important feature in structural land,,scape of
law. It is, or attempt to be, the expression or blueprint of basic features of
the country’s legal process, the organization and framework of government.[6]
Sederhananya
dari tulisan tersebut dapat dimaknai bahwa komponen struktur mencakup berbagai
institusi yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam
fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya system hukum. Termasuk di dalamnya
adalah lembaga-lembaga penegak hukum semisal Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan
dan sebagainya.
Komponen Kedua dari sistem hukum adalah substansi. Dalam tulisannya
Freidman memaknai substansi sebagai berikut:
These
are the actual products of the legal
system -what the judges, for example, actually say and do. Substance includes,
naturally, enough, those propositions referred to as legal rules;
realistically, it also includes rules which are not written down, i.e. those
regulaties of behavior that could be reduced to a general statement. Every
decision, too, is a substantive product of
the legal system, as is every doctrine announced in court, or enacted by
legislatures, or adopted by agency of government. [7]
Komponen
substantif adalah meliputi semua yang menjadi keluaran dari suatu sistem hukum,
termasuk didalamnya adalah norma-norma hukum baik yang berupa peraturan,
keputusan-keputusan, doktrin-doktrin yang digunakan dalam sebuah sistem hukum. Termasuk di dalamnya pula peraturan perundang-undangan,
baik tertulis maupun tidak tertulis, dan putusan pengadilan.
Komponen Ketiga adalah komponen budaya hukum. Friedman
menyebutnya sebagai legal culture:
Legal
culture can be defined as those attitudes and values that related to law and
the legal system, together with those attitude and values affecting behavior
related to law and its institution, either positevely or negatively. Love of
litigation, or a hated of it, is part of legal culture, as would be attitudes
toward child rearing in so far as these attitudes affect behavior which is at
least nominally governed by law The legal culture, then, is a general
expression for the way the legal system fits into the culture of the general
society.[8]
Adapun inti budaya hukum sebagai budaya non material atau spiritual adalah
nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik
(sehingga harus dianuti) dan apa yang buruk (sehingga harus dihindari). Artinya
ada unsur spiritual yang dekat dengan keyakinan atau kepercayaan,
seperti halnya mistik yang muncul karena keyakinan seseorang.[9]
Upaya penegakan hukum yang dilakukan dengan mendasarkan kepada pembentukan
budaya hukum atas dasar keadilan harus dikedepankan ditengah “carut-marut”
hukum di negeri ini. Penegakan hukum sebagai upaya menegakkan keadilan dapat
pula menjadi sarana kritik atau koreksi atas hukum positif.
Menurut Sarjipto Rahardjo,
budaya hukum suatu bangsa ditentukan oleh nilai-nilai tertentu yang menjadi
acuan dalam mempraktikkan hukumnya. Perilaku substantif mereka diresapi dan
dituntun oleh sistem nilai yang berbeda.[10]
Sebab pada dasarnya budaya hukum merupakan sikap masyarakat di sebuah
Negara terhadap hukum dan sistem hukum seperti kepercayaan, nilai, ide dan
harapan-harapan, ia juga sering diartikan sebagai situasi pemikiran sosial dan
kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu dituruti, dilanggar, dan
disampingi. Sehingga menurut Mahfud MD,
tanpa budaya hukum suatu sistem hukum, tidak akan berdaya.[11]
Pengertian, Karakteristik dan Bentuk-bentuk Nglurug Masyarakat
Korban Lumpur
Istilah nglurug merupakan bahasa Jawa untuk menggambarkan sebuah
tindakan yang dilakukan secara berkelompok. Secara bahasa nglurug
diartikan sebagai datang ke tempat musuh.[12]
Masyarakat Sidoarjo
seperti lazimnya masyarakat Jawa menerjemahkan istilah nglurug sebagai
sikap dan tindakan protes terhadap kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan
oleh sebuah institusi. Lebih lanjut, nglurug
memiliki karakteristik tersendiri dari nglurug masyarakat korban lumpur
lapindo antara lain sebagai berikut;
Pertama, nglurug
dilakukan secara bersama-sama atau bergerombol. Praktik ini lazim terjadi di
masyarakat Sidoarjo.
Kedua, nglurug
masyarakat Sidoarjo pada
umumnya dilakukan dengan menutup jalan-jalan utama sehingga membuat arus lalu
lintas lumpuh.
Ketiga, praktik
nglurug sebagaimana sering terjadi dalam masyarakat Sidoarjo, sering
melibatkan keseluruhan dari elemen-elemen masyarakat.
Keempat,
yang membedakan praktik nglurug masyarakat Sidoarjo dengan unjuk rasa
pada umumnya adalah terletak pada kerasnya komitmen dan keteguhan hati masyarakat. Menurut Imam, para korban lumpur akan terus bertahan hingga pihak Bakrie
menunaikan janji pembayarannya.[13]
Sedangkan bentuk-bentuk ngluruk masyarakat korban luapan lumpur lapindo dilakukan secara
periodik, meliputi: ngluruk terhadap
PT. Lapindo Brantas, pemerintah di sekitar Pemerintah Daerah Sidoarjo dan DPRD
Sidoarjo serta DPRD Propinsi Jawa Timur, serta di Istana Negara.
Melihat
dikripsi diatas, bagaimana tinjauan budaya hukum terhadap praktik
glurug tersebut?
Sebagaimana telah dijelaskan diawal bahwa gerakan glurug
masyarakat disebabkan hukum melalui intrumen pengadilan tidak bisa serta merta
menyelesaikan sengketa. Justru cara-cara luar pengadilanlah yang efektif dalam
proses penyelesaian sengketa. Cara di luar pengadilan tersebut adalah bagian
dari budaya hukum yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat.
Melihat hal tersebut, Satjipto Rahardjo berpendapat, untuk menyebarkan pendistribusi
keadilan tidak semestinya terkonsentrasi hanya pada satu lembaga yang bernama
pengadilan. Marc Galanter memberikan
tamsil yang sangat bagus, yaitu hendaknya ada justice in many rooms.
Gagasan Alternative Dispute Resolution (ADR) sudah tersimpan lama sejak
gelombang gerakan Access to Justice Movement (AJM), terutama gelombang
ketiga yang menghendaki adanya jalur alternatif di luar pengadilan negara.[14]
Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai
suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari
luar.[15] Hal itu disebabkan para pencari keadilan masih sangat
merasakan, betapa pun tidak sekuat seperti pada abad ke-sembilanbelas, filsafat
liberal dalam hukum dewasa ini masih sangat besar memberi saham terhadap
kesulitan menegakkan keadilan substansial (substantial justice).
Konsekuensi tersebut berupa keniscayaan untuk membangun
dan mengembangkan perilaku hukum (legal behavior) baru dan budaya hukum
untuk mendukung perubahan status dari jajahan ke kemerdekaan.[16] Dalam kaitan itu, Satjipto
Rahardjo menyatakan, tidak mudah untuk mengubah perilaku hukum bangsa
Indonesia yang pernah dijajah menjadi bangsa yang merdeka, karena waktu lima
puluh tahun belum cukup untuk melakukan perubahan secara sempurna.[17]
Berdasarkan hal tersebut, masyarakat korban melakukan
cara-cara di luar pengadilan untuk mendapatkan keadilan, termasuk dengan cara nglurug.
Nglurug inilah menurut penulis merupakan bagian dari kearifan lokal di
dalam men-counter keputusan-keputusan hukum. Selain itu, nglurug
menjadi media dalam menyampaikan pendapat atas keputusan-keputusan hukum yang
dirasa melukai rasa keadilan masyarakat. Tetapi bukan berarti hukum tunduk
kepada kekuatan social,[18] melainkan hukum harus memperhatikan fenomena-fenomena
sosial di luar hukum. Praktik-praktik itulah yang penulis identifikasi sebagai
budaya hukum.
Anggapan masyarakat korban bahwa pengadilan tidak dapat
memberikan keadilan bersesuaian dengan pendapat-pendapat di atas. Untuk melihat
lebih utuh relasi antara nglurug dengan budaya hukum berikut penulis
analisis dengan model sistem hukum Friedman. Sistem hukum menurut Friedman[19] dimodifikasi dengan memasukkan elemen-elemen kebiasaan
hukum dan kesadaran hukum.
Menurut Benny S.
Tabalujan, hal ini akan menciptakan sebuah model yang sederhana menyangkut
budaya hukum kaitannya dengan masyarakat. Sehingga ia membuat empat tesis
implikasi sebagai berikut:
Implikasi pertama adalah bahwa budaya hukum
merupakan elemen sentral dari suatu reformasi hukum yang berhasil. Usaha-usaha
untuk mengubah tingkah laku dengan mengubah lembaga hukum atau hukum itu
sendiri, jika tidak didukung perubahan dalam budaya hukum hanya akan bertahan
sebentar dan tentu saja sia-sia.
Implikasi kedua adalah bahwa budaya hukum dapat
berubah setiap saat sebagai akibat dari semakin berkembangnya kesadaran hukum.
Implikasi ketiga adalah perubahan-perubahan dalam
kesadaran hukum yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti
peristiwa-peristiwa ekonomi, politik dan sosial. Pandangan ini sesuai dengan
pendekatan Weberian terhadap hukum
dan masyarakat yang mencermati keterkaitan berbagai hubungan sosial.
Implikasi keempat adalah bahwa pendekatan Weberian
menyatakan, selama ini pembangunan eksternal dalam bidang ekonomi, politik dan
sosial dapat mempengaruhi kesadaran hukum suatu masyarakat terhadap
penerimaan yang lebih besar akan sistem hukum yang lebih rasional. Hal ini
memberi jalan bagi pandangan Weber atas masyarakat yang berpandangan rasional
terhadap hukum yang selama ini didominasi oleh birokrasi yang kuat.
Bagaimana dengan budaya Pancasila dalam melihat praktik Nglurug
masyarakat korban? Sebagai sumber dari segala sumber hukum Pancasila memiliki
segala bentuk hukum di Indonesia harus diukur menurut nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, dan didalam aturan hukum itu harus tercermin
kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup
bangsa. Hukum di Indonesia harus menjamin dan menegakkan nilai-nilai yang
terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan pencerminan Pancasila dan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945 serta
penjelasannya. Dengan demikian ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dari UUD 1945.[20]
Dalam praktik kehidupan bernegara, berbangsa dan
bermasyarakat, secara mendasar (grounded dogmatic) dimensi kultur
seyogianya mendahului dimensi lainnya, karena di dalam dimensi budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system).
Selanjutnya sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy)
dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai
rambu-rambu yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari, yang diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki
oleh bangsa yang bersangkutan.
Hal inilah yang kemudian mendasari dari praktik Nglurug
masyarakat korban semburan lumpur dalam mencari keadilan. Pancasila sangat
memberikan ruang gerak yang sangat luas bagi kebebasan hak dalam menuntuk
keadilan. Hukum apabila dipandang telah mencederai keadilan masyarakat, maka
hukum harus melihat kepada asas-asas pokok yang tertuang dalam Pancasila. Nglurug
masyarakat korban sebagai ekspresi yang tercermin dalam budaya Pancasila.
Kesimpulan
Budaya hukum
akan membentuk kesadaran hukum masyarakat di sebuah negara. Negara melalui pemerintah sebagai penyelenggara
kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki peran yang sangat penting untuk
menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya. Termasuk didalamnya peran pemerintah
sebagai penanggung jawab terhadap penegakan hukum. Budaya hukum melihat, bahwa
bekerjanya hukum normatif yang dilaksanakan Negara tidak serta merta
menyelesaikan sengketa yang terjadi di masyarakat. Untuk itulah, ada alternatif
penyelesaian sengketa dengan mendayagunakan budaya yang tumbuh dan berkembang
di masyarakat, termasuk didalamnya adalah proses nglurug yang dilakukan
masyarakat korban semburan lumpur di Sidoarjo. Melalui proses nglurug
tersebut masyarakat meminta tanggung jawab pemerintah dan PT. LBI untuk
memberikan keadilan bagi para korban.
-----
ooo O ooo -----
Daftar Bacaan
Buku
Arinanto, Satya, 2003, Hak Asasi
Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, 1995,
Pokok-pokok Filsafat Hukum,
Gramedia, Jakarta.
Echols, John
M., Hasan Shadily, 1996, Kamus Inggris
Indonesia, Gramedia, Jakarta.
El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia
dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta.
Friedman,
Lawrence, 1975, The Legal System: A Sosial Science Perspektive, Russel Soge
Foundation, New York.
Galanter,
Marc, 1981, Keadilan di Berbagai Ruangan:
Lembaga Peradilan , Penataan Masyarakat serta Hukum Rakyat, Dalam
T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum; Sebuah
Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Huda,
Ni’matul, 2001, Politik Ketatanegaraan
Indonesia; Kajian terhadap Dinamika
Perubahan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1965, Pengantar
Antropologi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Lumbun, T. Gayus, 2002, Confusianisme dan Lingkungan Hidup; Budaya Hukum Masyarakat Pasiran,
Universitas Indonesia, Jakarta.
Mahfud MD.,
Moh., 2007, Perdebatan Ketatanegaraan Pasca Amandemen, LP3ES,
Jakarta.
Priapantja,
Cita Citrawanda, 1999, Budaya Hukum
Indonesia Menghadapi Globalisasi: Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang
Farmasim, Chandra Pratama, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto,
2009, Biarkan Hukum mengalir;
Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Kompas,
Gramedia.
Siahan, N.H.T., 2006, Hukum Lingkungan,
Pancaran Alam, Jakarta.
Soekanto, Soerjono et al., 1994, Antropologi Hukum: Proses Pengembangan Ilmu
Hukum Adat, Rajawali, Jakarta.
Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Wardoyo, 2010, Kamus Lengkap
Jawa-Indonesia, Indonesia-Jawa, Absolut, Yogyakarta.
Wijoyo,
Suparto, 2003, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Disputes Resolution),
Airlangga University Press, Surabaya.
Artikel
Warsasih,
Esmi, 2001, Pemberdayaan Masyarakat
dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Personal Keadilan); Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum UNDIP-Semarang, 14 April.
[1]
Rektor Universitas Bhayangkara Surabaya (2006-sekarang), Alumni Program Doktor
Universitas Islam Indonesia Yogjakarta.
[2] Marc Galanter, 1981, Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan ,
Penataan Masyarakat serta Hukum Rakyat, Dalam T.O. Ihromi, Antropologi Hukum; Sebuah Bunga Rampai,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, h. 96.
[3] Dalam tradisi Jawa, khususnya di Sidoarjo dan di
Jawa Timur istilah mengelurug ini biasa dipergunakan ketika masyarakat
tidak puas atas kebijakan pemerintah,
baik badan eksekutif ataupun legislatif. Sikap mengelurug ini juga merupakan wujud penolakan atau bertahan (resistence) atas
pandangan masyarakat yang bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah.
[4]
Lawrence M Friedman, The Legal System: A Sosial Science
Perspektive, Russel Soge Foundation, New York, 1975, h. 11.
[5] Ibid , h. 11-16.
[6]
Ibid.
[7]
Ibid
[8] Ibid.
[9] Soerjono Soekanto et al., Antropologi
Hukum : Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat, Rajawali,
Jakarta, 1994, h. 202-203. dikutip dari
Dian Istiaty, Tinjauan Filsafat Ilmu Terhadap Mistik
Dalam Hubungannya Dengan Budaya
Hukum Indonesia, Simbur
Cahaya No. 27 tahun X Januari 2005 ISSN
No. 14110-0614.
[10]
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum mengalir; Catatan Kritis tentang
Pergulatan Manusia dan Hukum, Gramedia, Kompas, 2009, h. 14
[11]
Moh. Mahfud MD., Perdebatan Ketatanegaraan Pasca Amandemen, LP3ES,
Jakarta, 2007, h. 2004.
[12] Wardoyo, Kamus Lengkap Jawa-Indonesia, Indonesia-Jawa, Absolut,
Yogyakarta, 2010, h. 181.
[13] Imam, Wawancara, 12
Juli 2009.
[14]
Marc Galanter, Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan, Penataan Masyarakat
serta Hukum Rakyat: dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi
Hukum Sebuah...op.cit., h. 94-138.
[15] Ibid.
[16]
Perilaku hukum (legal behavior) adalah perilaku yang dipengaruhi oleh
aturan, keputusan, perintah, atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat
dengan wewenang hukum. Lihat, Lawrence M. Friedman, American Law... op. cit., h.
280.
[17]Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan
Sosiologi Hukum...op. cit., h. 7.
[18]
Menurut penulis, praktik Nglurug dalam terminologi paradigma sosial
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kekuatan sosial (capital social).
[19]
Friedman, Ibid.
[20]
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum,
Gramedia, Jakarta, 1995, h. 206.
Tidak ada komentar
Posting Komentar