SISTEM SANKSI DALAM PERATURAN DAERAH
M. Sholehuddin*
Pendahuluan
Penetapan sanksi dalam suatu peraturan perundang-undangan bukanlah
sekadar masalah teknis perundang-undangan semata, melainkan ia bagian tak
terpisahkan dari substansi atau materi
perundang-undangan itu sendiri. Menurut Achmad Ali, sanksi harus dipandang
sebagai salah satu unsur yang esensial, bila kita melihat hukum sebagai kaidah.
Hampir semua juris yang berpandangan
dogmatik, memandang hukum sebagai kaidah bersanksi yang didukung oleh otoritas
tertinggi di dalam masyarakatnya.1 Sanksi merupakan ‘safetybelt’ bagi
suatu peraturan perundang-undangan.
Bila materi muatan suatu peraturan perundang-undangan terkait dengan
bidang hukum administrasi, pada umumnya sanksi yang ditetapkan adalah sanksi
administratif. Namun dalam praktek kebijakan legislasi selama ini, nyaris
setiap undang-undang, baik yang menyangkut bidang hukum administrasi maupun
bidang hukum lainnya, selalu disertai dengan muatan jenis sanksi pidana. Fenomena semacam ini—meminjam
ungkapan Barda Nawawi Arief—memberikan kesan seolah-olah dirasakan kurang
sempurna atau hambar bila suatu produk perundang-undangan tidak ada ketentuan
pidananya (sanksi).2
Dari pernyataan ini hendak dikemukakan bahwa penetapan jenis dan
bentuk sanksi tidak lepas dari materi muatan serta bidang hukum yang diatur
dalam suatu peraturan perundang-undangan. Tidak setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus diberi sanksi pidana. Karena itu, dalam pedoman
kerangka peraturan perundang-undangan sebagai lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari UU No. 10 Tahun 2004, persoalan materi muatan ketentuan
pidana diberi penegasan dengan kalimat dalam kurung ‘jika diperlukan’(garis
bawah.pen.).3
Dalam makalah singkat ini, meskipun bahasannya terfokus pada sistem
sanksi dalam ‘Peraturan Daerah’, tapi akan disinggung pula sistem sanksi dalam
‘Undang-Undang’, khususnya dalam hal penetapan jenis sanksi pidana. Hal ini
mengingat ketentuan pidana hanya boleh dicantumkan dalam ‘undang-undang’ dan
peraturan daerah’ saja. Selain itu, untuk dijadikan pembanding karena terdapat
perbedaan prinsip antara pencantuman ketentuan pidana dalam ‘undang-undang’ dan
‘peraturan daerah’.
Jenis Sanksi dan Penempatannya dalam Norma
Mengenai penempatan jenis sanksi dari masing-masing bidang hukum
tersebut dalam suatu perundang-undangan ada perbedaan. Substansi yang berupa
sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran suatu norma,
dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi
administratif atau sanksi keperdataan tersebut. Jika norma yang memberikan
sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, maka
sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir
dari bagian (pasal) tersebut. Artinya, tidak boleh ada rumusan ketentuan sanksi
yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata dan sanksi administratif
dalam satu bab.
Untuk perundang-undangan yang mengatur persoalan administrasi dan
keperdataan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana penegak hukumnya,
rumusan perbuatan atau tindak pidananya ditempatkan dalam bab tersendiri dengan
judul ‘Ketentuan Pidana’. Sedangkan jenis dan bentuk sanksi dari hukum pidana
tersebut, penempatannya sama dengan jenis sanksi administrasi atau sanksi
keperdataan. Akan tetapi tidak setiap jenis peraturan perundang-undangan dapat
mencantumkan ‘ketentuan pidana’. Hanya ‘Undang-Undang’ dan ‘Peraturan Daerah’
yang materi muatannya boleh menetapkan ‘ketentuan pidana’.
Batas Kewenangan DPRD
dalam Pembentukan Peraturan Daerah
.Meskipun DPRD diberi kewenangan untuk membuat ‘Peraturan Daerah’
bersama-sama Kepala Daerah yang materi muatannya boleh memasukkan ‘ketentuan
pidana’, tetapi kewenangannya tersebut tidak sama dengan kewenangan yang
diberikan kepada DPR sebagai pembentuk ‘Undang-Undang’ bersama-sama Presiden.
Dalam doktrin ilmu hukum
pidana, ‘Peraturan Daerah’ disebut juga sebagai undang-undang dalam arti
materiil, sedangkan ‘Undang-Undang’ disebut juga sebagai undang-undang dalam
arti formal. Untuk membentuk undang-undang dalam arti materiil, harus selalu
berdasarkan undang-undang dalam arti formal. Dengan demikian, suatu
undang-undang dalam arti materiil hanya boleh melengkapi suatu peraturan dari
undang-undang dalam arti formal, namun tidak boleh melanggarnya. Bila terjadi
pelanggaran terhadap materi muatannya, maka undang-undang dalam arti materiil
tidak boleh diterapkan oleh hakim.5
Misalnya, dalam konteks sistem sanksi pidana, ‘peraturan daerah’ tidak boleh
menyimpang dari apa yang telah ditentukan dalam Buku I KUHP, termasuk asas-asas
yang terkandung di dalamnya.
Terkait dengan Pasal 103 KUHP yang terkandung asas ‘lex spesialis derogat lex generali’,
pembentuk perundang-undangan yang lebih rendah seperti DPRD, tidak boleh memasuki
wilayah ini. Pasal tersebut hanya diperuntukkan kepada pembentuk undang-undang
dalam arti formal (DPR). Jadi DPR boleh menyimpangi aturan-aturan umum yang
terdapat dalam undang-undang tertentu dengan cara membuat undang-undang yang
tersendiri. Contoh, UU No. 7 Tahun 1955 di dalamnya memuat ketentuan jenis
sanksi pidana dan tindakan yang khusus ditujukan terhadap perusahaan
(korporasi). Padahal jenis dan bentuk sanksi tersebut tidak dikenal dalam
aturan umum dalam Buku I KUHP.
Jenis dan Bentuk Sanksi
dalam Peraturan Daerah
Jenis dan bentuk sanksi yang dapat ditetapkan dalam ‘Peraturan
Daerah’ adalah sanksi administratif, sanksi keperdataan dan/atau sanksi pidana.
Khusus untuk jenis sanksi pidana, tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 10 KUHP, dengan catatan tambahan, hanya terbatas pada
bentuk sanksi ‘pidana kurungan’ dan ‘denda’. Bentuk sanksi yang lain, tidak
diperbolehkan karena sifat ‘Peraturan Daerah’ dari sisi hukum pidana, termasuk
pelanggaran. Tentang ‘denda’ dan ‘kurungan’, harus tunduk pada prinsip-prinsip
atau asas-asas hukum yang terkandung dalam Buku I juncto Buku III KUHP sejauh menyangkut sanksi pidana ‘denda’ dan
‘kurungan’.
Pola perumusan bentuk sanksinya harus ditetapkan secara tunggal atau
secara alternatif, seperti yang terdapat dalam Buku III KUHP. Dengan demikian,
sistem perumusan sanksi dalam ‘Peraturan Daerah’ tidak boleh menggunakan pola
perumusan kumulatif atau alternatif- kumulatif. Tegasnya, pola perumusan bentuk
sanksi pidana dalam ‘Peraturan Daerah’ selalu bersifat ‘imperatif’ atau
‘alternatif’.
Bentuk-bentuk sanksi
administratif yang dapat dijadikan materi muatan dalam ‘peraturan daerah’ bisa
berupa: ‘pencabutan izin’, ‘pembubaran’, ‘pengawasan’, ‘pemberhentian
sementara’, ‘denda administratif’ atau ‘daya paksa polisional’. Sedangkan
bentuk sanksi keperdataan bisa berupa ‘ganti kerugian’.
Pola perumusan ketentuan
pidana dalam ‘peraturan daerah’ ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu ‘Bab
Ketentuan Pidana’ yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum
‘Bab Ketentuan Peralihan’. Jika bab ketentuan peralihan tidak dibuat dalam
peraturan daerah tersebut, maka ‘bab ketentuan pidana’ harus diletakkan sebelum
‘Bab Ketentuan Penutup’.
Penutup
Peraturan Daerah mempunyai sistem sanksi sendiri yang berbeda dengan
jenis peraturan perundang-undangan lainnya, khususnya bila dibandingkan dengan
‘undang-undang’. Perbedaan yang paling penting untuk dicermati adalah pada
penetapan jenis dan bentuk sanksi pidananya. Pencantuman sanksi pidana dalam
‘peraturan daerah’ tidak boleh melanggar asas-asas dalam hukum pidana dan
menyimpang dari ketentuan serta prinsip-prinsip yang terkandung dalam Buku I
KUHP.
Kiranya jelas, bahwa sistem
sanksi dalam ‘peraturan daerah’, sangat penting dan strategis karena hanya
dengan sistem yang tepat, maka suatu peraturan perundang-undangan dapat efektif
dan fungsional. Hal yang sangat krusial dalam hal ini, adalah kesadaran tentang
keseimbangan antara kepentingan hukum yang hendak dilindungi dengan
ketersediaan jenis dan bentuk sanksi yang equivalent,
baik sanksi yang bersifat adminsitratif, keperdataan, maupun sanksi pidana.
1 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta ,
1996, h. 62.
2 Barda Nawawi Arief, Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Makalah Seminar Nasional Pendekatan Non-penal
dalam Penanggulangan Kejahatan, Semarang, 1996, Lihat juga buku beliau, Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1998, h. 40.
3 Lihat UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
dalam Lampiran Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
4 Mengenai perkembangan teoretis dan praktis jenis serta bentuk
sanksi dalam hukum pidana dapat dibaca dalam M. Sholehuddin, Sistem Sanksi
Dalam Hukum Pidana; Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, PT.
RajaGrafindo, Jakarta, Cet. ke-2, 2004.
5 D. Schaffmeister, et.al., Hukum
Pidana; Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana Dalam Rangka Kerjasama Hukum
Indonesia-Belanda, Liberty ,
Jogyakarta, 1995, h. 2-3.
PokerOfAsian.com | Situs Poker Online Resmi | Bandar Ceme | BandarQ | DominoQQ
BalasHapusBandar Poker
Bandar Poker Online
Bandar Poker Online Terpercaya
Bandar Poker Online Paling Terpercaya Dan Resmi
Situs Poker Online Resmi Dan Terpercaya
Situs Poker Online Resmi
Situs Poker Online
Situs Poker
Poker Online
Bandar Ceme
Bandar Ceme Online
Bandar DominoQQ
Bandar DominoQQ Online
Bandar Capsa Susun
Bandar Capsa Susun Online
RAJAPOKER88 SITUS AGEN JUDI POKER BANDAR DOMINO QQ ONLINE TERPERCAYA
Turnamen Poker Online 2017
Agen BandarQ
BalasHapusDaftar Poker Online
Daftar BandarQ
artikel poker
Bandar66 Online
Situs Judi Online