ANALISIS KRITIS TERHADAP PARADIGMA
HUKUM POSITIF DALAM REALITAS SOSIAL
Khoirul Huda
ABSTRAK
Abad
ke sembilan belas merupakan kurun waktu yang memegang lekat individu (possessive individu) sebagai
pengaturan. Keahlian pada masa ini dihubungkan dengan ketrampilan teknis (legal craftsmanship). Berkaitan dengan
positivisme, kelsen mengemukakan
metode dasar dari ilmu hanya berurusan dengan positif atau peraturan-peraturan
(bekerja dengan sendirinya) dan dibebaskan dari ilmu-ilmu yang tidak membahas
peraturan (meta yuridis) seperti psikologi, sosiologi dan etika. Aliran positif
yang menekankan pada kodifikasi dan membebaskan diri dari anasir sosiologis,
politik ekonomi bahkan etika dan moral menjadikan sebagai bidang yang terisoler
dari interaksinya dengan masyarakat. Disinilah sebenarnya letak kelemahan analytical jurisprudence bahwa suatu sistem tidak mungkin untuk
sepenuhnya bersifat tertutup. Sistem yang tertutup sama sekali akan menyulitkan
dan menghalang-halangi penyesuaian kaidah-kaidah terhadap perubahan yang
terjadi dalam masyarakat, perubahan-perubahan itu menyebabkan timbulnya
kebutuhan-kebutuhan baru. Lagi pula suatu sistem tidak akan bertahan hidup lama
jika tidak mendapat dukungan sosial yang luas. Dengan demikian sistem haruslah
bersifat terbuka, karena sistem tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial
lainnya. Sistem sosial yang terbuka dalam masyarakat memberikan tempat bagi
tumbuh dan berkembangnya yang hidup dalam masyarakat seperti adat-istiadat
(yang bersifat fleksibel dan dinamis). Memisahkan dengan moral seperti rasa keadilan yang
dianut positivisme tidak dapat dianut lagi oleh karena rasa keadilan tersebut
merupakan cerminan jiwa kehidupan masyarakat dan aspek penegakan yang termuat
dalam kodifikasi tidak akan berarti tanpa adanya dukungan moralitas.
Kata Kunci ; Paradigma, Positivisme, Legisme, Neokantianisme.
ABTRACT
In
the nineteenth century was a period that contains glue (possessive) as a
parameter. Examination during this period due to the technical skills
(legislative skill). Associated with presented positivly disposed, Hans
Kelsen's main method of science deals only with positive or rules (work itself)
and are exempt from science that don't discuss the rules (meta-), such as psychology,
sociology and ethics. A positive thread that emphasizes codifying and break
free from elements of sociological, political, economic and even ethical and
moral terisoler make the interaction with the community. his is where the
actual finding weak analytical Jurisprudence, that the system is not designed
for completely closed. Completely closed system, which will complicate and
hinder setting rules changes that are taking place in society, changes that
have given rise to new needs. Because the system did not survive the long,
unless he has an extensive social support. Thus, the system must be open,
because the system cannot be separated from other social systems. A social
system that is open in the community of providing a place for growth and development
in society, such as Customs (which is a flexible and dynamic). Separation of
moral fairness cannot be accepted positivism embraced again because of a sense
of fairness is a reflection of the soul life of the community and of the
aspects contained in codification would be meaningless without the support of
morality.
Keyword; Paradigma, Positivisme, Legisme, Neokantianisme
Pendahuluan
Sejarah teori hokum,
hakekatnya merupakan sejarah tentang perkembangan peradapan manusia untuk
mengatur kehidupannya. Jauh sebelum kebangkitan yunani, pada 1.800 sebelum masehi, raja
babilonia Chammurabi, telah menggunakan undang-undang untuk menghapuskan
pertentangan antara ras babiloia utara dan selatan, yahg ketika zamannya
menjadi satu babilonia. “Code Chammurabi” kemudian dikenal sebagai
undang-undang tertua dalam peradaban manusia.
Sedangkan pemikiran hokum baru kemudian
mendapatkan akarnya pada zaman yunani, abad ke 5 sebelum masehi,milite suatu
bagian jajahan yunani adalah tempat lahirnya pemikiran ini. Socrates, Plato,
aristoteles dan Epirus
adalah empat nama besar pemikir hokum dan Negara yang tercatat sepanjang
sejarah itu.
Selanjutnya
pemikiran hokum berlanjut pada zaman romawi, suatu zaman yang menjadi pewaris
peradaban yunani. Zaman ini mencatat Cicero
(106-43 SM), dia menghubungkan secara langsung antara hokum alam, akal budi
manusia, Negara dan undang-undang.
Waktu terus bergerak, peradaban manusia
mencatat sejarahnya sendiri setiap abadnya. Pada abad 16 manusia
merupakan zaman revolusi pertama, dimana manusia mematahkan ikatan-ikatannya
dengan peradaban sebelumnya, zaman ini biasa disebut zaman renaisance. Selanjutnya
pada abad 17,pemikiran hukum mendapat penguatan rasio lebih tegas lagi. Kemudian
pada abad 18, pikiran manusia dipengaruhi oleh lahirnya pendekatan-pendekatan
analitik-mekanis.
Peradaban melaju begitu
cepatnya, sehingga pada abad 19 dan 20 ini sebagian besar hukum didominasi
pendekatan analitis mekanis, disamping juga masih tetap menguatnya pendekatan
filosofis analitis dan akhirnya pendekatan analitis organis[1].
Bertolak dari gagasan
Kuhn tentang perkembangan sains, maka sangatlah menarik mengamati pertumbuhan
ilmu hukum. Sejumlah gagasan tentag hukum telah eksis dalam statu rangkaian
pertumbuhan sains yang menyerupai gagasan kuhn. Bermula dari gagasan hukum alam
kemudian berkembang dalam suatu bentuk revolusi sains yang khas. Salah satu
bentuk khas dari revolusi sains dalam bidang ilmu ini adalah bahwa kehadiran
suatu paradigma baru dihadapan paradigma lama tidak selalu menjadi penyebab
tergesernya paradigma itu.
Dari ulasan diatas, maka
penulis bermaksud ingin menganalisis secara kritis paradigma hukum positif
Rumusan Paradigma
Istilah
paradigma berasal dari istilah latin, yaitu paradeigma yang berarti pola. Pada
tahun 1940 istilah ini diintroduksi kembali oleh Thomas S. Kuhn dalam kontek
filsafat sains. Oleh kuhn istilah ini dipergunakan untuk menunjuk dua
pengertian utama, pertama sebagai totalitas konstelasi pemikiran, keyakinan,
nilai, teknik yang dianut oleh akademisi maupun praktisi disiplin ilmu
tertentu, kedua sebagai upaya manusia untuk memecahkan rahasia ilmu pengetahuan
yang mampu menjungkirbalikkan semua asumsi maupun aturan yang ada[2].
Istilah
paradigma yang digunakan oleh Thomas S. Kuhn
dalam introduksi gagasannya. Pertama, membahas perkembangan ilmu
pengetahuan bersifat revolusioner. Kedua, yang menjadi pusat
penyelidikan dalam usaha membuktikan perkembangan itu adalah paradigma. Ketiga,
pardigma ynag dimaksud adalah kesatuan gagasan yang diterima secara komitmen
oleh suatu kesatuan masyarakat ilmuwan dalam kurun waktu tertentu. Keempat,
oleh akibat munculnya gejala baru, akan jatuh kebeberapa tahapan proses
perkembangan dan akhirnya muncul gagasan baru[3].
Dengan
demikian paradigma dapat diartikan sebagai; kesatuan gagasan dari suatu
masyarakat sains tertentu dalam kurun waktu tertentu yang dipegang teguh secara
komitmen oleh masyarakatnya.
Sekilas tentang Positivisme
Hukum
Dua revolusi politik besar terjadi
pada akhir abad XVIII yaitu revolusi di Amerika tahun 1776 dan di Perancis
tahun 1789. Di samping revolusi politik tersebut, manusia mengalami revolusi
yang tidak kalah penting juga di awal abad XIX yaitu revolusi sosial ekonomis
terutama perkembangan industrialisasi. Aliran filsafat yang cukup kuat dalam
abad ini dianut oleh orang-orang yang berpegang teguh pada ilmu pengetahuan
yaitu positivisme. Positivisme berpangkal pada pandangan Immanuel Kant bahwa manusia tidak
mampu untuk mengetahui realitas material selain melalui ilmu pengetahuan.
Munculnya negara modern sebagai tempat penyimpanan yang kian lama kian khusus
dari kekuasaan politik dan, tidak hanya menimbulkan kelas professional, dari
pegawai-pegawai sipil, para cendekiawan dan lain-lain, yang secara bertahap
lebih menuntut pengorganisasian sistem, susunan structural kekuasasaan yang
demokratis dan disusunnya bahan secara kodifikasi dalam suatu sistem yang
teratur.
Positivisme lahir dari konflik
antara pemikir yang mengkonstruksikan dunia dari berbagai konsep dan ide a
priori dan pemikir yang menitikberatkan pada materi atas ide. Dua kelompok
pemikir itu dikenal sebagai idealis dan materialis atau metafisis versus
positivis dan ontologis versus empiris. Jika ditelusuri ke filsafat Yunani
Kuno, kaum idealis mengikuti jejak Plato
(427-347.SM.) dan kelompok
materialis melanjutkan warisan pemikiran Aristoteles (384-322.SM).
Positivisme dalam berbagai kajian
mempunyai banyak variasi dalam hal penempatan tokoh / pelopor suatu aliran
dalam pembabakan atau periodisasi sejarah dan hal ini tergantung sepenuhnya
pada alasan atau latar belakang penulis mencantumkannya. Menurut Theo Huijbers,
dalam positivisme terdapat tiga cabang yaitu :
a)
Positivisme sosiologis memandang sebagai gejala sosial melulu,
sehingga hanya dapat diselidiki melalui suatu ilmu pengetahuan baru yang muncul
dalam abad itu, yaitu sosiologi dengan dipelopori oleh Saint Simon (1760-1825), Auguste Comte (1798-1857), Herbert Spencer (1820-1903).
b)
Positivisme yuridis hendak mempersoalkan arti sebagai gejala
tersendiri, menurut metode ilmu positif dengan pelopornya Rudolf von Jhering(1818-1892) dan
aliran lain yang dekat dengan positivisme yuridis yaitu :
c)
ajaran umum dengan pelopornya Adolf Merkl
(1836-1896), Karl Bergbohm (1849-1927), Ernst Bierling (1841-1919), dan John
Austin (1790-1859). Sedangkan Hans Kelsen (1818-1973) digolongkan pada
penganut madzhab neokantianisme
dan H.L.A.Hart (lahir 1907) digolongkan
pada neopositivisme[4].
Dalam beberapa wacana sejarah filsafat maupun teori
secara umum, positivisme dikenal akan dua sub aliran yaitu : aliran positif
yang analitis (analytical jurisprudence), pendasarnya adalah John Austin
dan aliran positif yang murni (reine rechtslehre), dipelopori oleh Hans
Kelsen[5].
Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Mukthie
Fadjar, beliau membagi teori hokum positif menjadi tiga tradisi atau teori,
yakni 1). Positivisme hokum analitis (analytical Legal Positivism) yang
kemukakan oleh John Austin (The Province of Jurisprudence determined, 1832) dan
HLA. Hart (The Concep of Law, 1961). 2) Tradisi positif yang murni (reine
rechtslehre) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. 3) Teori Positivisme hokum
Empirik (THE) yang berpendapat bahwa ilmu hokum dalam berbagai bentuknya harus
dikaji sebagai suatu ilmu yang empiric sehingga dogmatika hokum itu bukan ilmu,
melainkan hanya seni atau keahlian hokum[6].
Aliran positif yang analitis
mengartikan itu sebagai a command of the lawgiver, suatu perintah dari
mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan.
dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat “closed logical
system”. Disebutkan pula oleh Austin,
“A law is a command which obliges a person or person….Laws and other command
are said to proceed from superiors, and to bind or oblige inferiors”[7].
Hubungan antara dengan moral secara tegas harus dipisahkan, jadi dari hal yang
berkaitan dengan keadilan dan tidak didasarkan pada pertimbangan atau penilaian
baik-buruk.
John
Austin yang terkenal dengan sebutan ajarannya The Imperative School, membagi atas : Law set by God to men atau
Law of God dan Law set by men to men atau Human Laws yang
terdiri (1) dalam arti yang sebenarnya ( positif) yang disebut pula laws
properly so called (possitive law) memiliki 4 unsur yaitu : command,
sanction, duty, sovereignty [ if a determinate human superior not in a habit of
obidience to a like superior, receive habitual obedience from the bulk of a
given society, and the society (including the superior) is a society political
and independent ]. Ketentuan yang tidak mengandung empat hal ini bukan
positif hanya moralitas positif (possitive
morality) (2) yang tidak sebenarnya disebut pula laws improperly so
called ( yang tidak memenuhi persyaratan sebagai karena tidak ditetapkan
atau dibuat oleh penguasa). didefinisikannya sebagai a rule laid down for
the guidance of intelligent being by an intelligent being having power over
him. Austin menyatakan bahwa
sumber satu-satunya adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara,
sedangkan sumber lainnya adalah rendah.
Dalam ajaran positif analitis ini
terdapat hal-hal pokok yang menjadi perhatian yaitu : ajarannya tidak berkaitan
dengan penilaian baik-buruk, sebab penilaian ini berada di luar bidang , kaidah
moral secara yuridis tidak penting bagi walau ada pengaruhnya bagi masyarakat,
pandangannya bertentangan baik dengan alam maupun madzhab historis, hakekat semata-mata
adalah perintah (semua positif merupakan perintah dari penguasa yang
berdaulat), masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan sebab berada dalam ruang
lingkup dunia politik/sosiologi (hendaknya dianggap sebagai suatu yang telah
ada dalam kenyataan), kurang atau tidak memberikan tempat bagi yang hidup dalam
masyarakat
Selanjutnya H.L.Hart menyebutkan
5 arti dari positivisme yaitu : (1) the contention that laws are commands of
human beings; (2) the contention that there is no necessary connection between
law and morals or law as it
is and ought to be: (3) the
contention that analsis (or study of meaning) of legal concepts is (a) worth
pursing and (b) to be distinguished from historical inquires in to the causes
or origins of laws, from sociological inquires in to the relation of law and
other social phenomena, and from the criticism or appraisal of law whether
in-situ terms of morals, social aims, “functions” or otherwise; (4) the contention that a legal system
is a “closed logical system” in
which correct legal decisions can be decuded by logical means from
predetermined legal rules without
reference to social aims, policies, moral standards; (5) the contention that moral judgments
cannot be established or defended, as statements of fact can, by rational
argument, evidence, or proof (“non-cognitivisme” in eticts)[8]
Menurut Hart, kaidah-kaidah dapat dibagi atas : (1) “Primary rules of
obligation” yaitu kaidah primer yang menentukan kelakuan subjek-subjek ,
dengan menyatakan apa yang harus dilakukan, apa yang dilarang. (2) “Secondary
rules of obligation” yaitu kaidah sekunder yang memastikan syarat-syarat
bagi berlakunya kaidah primer sehingga menampakkan sifat yuridis kaidah itu.
Oleh sebab itu dikenal : rules of recognition, rules of change dan rules
of adjudication Rudolf von Jhering (1818-1892) merupakan tokoh pelanjut
Austin yang menitikberatkan pada segi rasional utilitaristis .
dimaksudkannya sebagai alat untuk mencapai tujuan sehingga keberadaan
tergantung dari paksaan, dan hak memaksa adalah monopoli mutlak negara.
Teorinya menggabungkan teori Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill
(1806-1903) dan John Austin (1790-1861). Karya von Jhering berkisar pada
pengolahan yang disebutnya tehnik yaitu metode yang digunakan oleh
ahli-ahli untuk menguasai positif secara rasional, dengan tujuan
supaya itu dapat diterapkan secara tepat pada perkara-perkara yang
konkret. Rasionalisasi berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama disebut
niedere jurisprudence yaitu tehnik dengan penyederhanaan dari
kuantitas yang berarti pengurangan jumlah kaidah dengan analisis yuridis,
konsentrasi logis, sistematik yuridis, penentuan terminologi dan ekonomi
yuridis. Tahap kedua : begriffsjurisprudence yaitu teknik penyederhanaan
bahan dari segi kualitas yang berarti peningkatan menjadi ide-ide
dan institusi-institusi. Kedua tahap ini menurut von Jhering tidak
mencukupi dan sampailah pada kesimpulan bukan ide rasional yang menentukan
dalam hal melainkan kepentingan masyarakat (interessen-jurisprudence).
Dalam mendefinisikan “kepentingan” ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya
sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan, tetapi kepentingan
individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan
pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain. Pengaruh von
Jhering ini tampak pada Gerog Jellinek, Zom, Paul Laband dan lain-lain. Gerog
Jellinek memberi tiga esensi dari rule of law : (1) they are norms for the
external conduct of men towards one another (2) they are norms which
proceed from a known external authority (3) they are norms whose binding force
is guaranteed by external power. Konsepsi imperatif yang murni ini oleh Jellinek secara falsafah dengan
menambahkan pada tiga syarat ini yaitu ketepatgunaan peraturan untuk berbuat.
Aliran positif yang murni Hans Kelsen tersebut sesungguhnya
merupakan suatu pemberontakan terhadap ilmu yang ideologis, yaitu yang hanya
mengembangkan sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter. Asal
usul pemikiran filosofis Hans Kelsen
didasari pemikiran Neokantianisme, sedangkan Austin merujuk pada Utilitarianisme[9]. Aliran ini mendapat pengaruh
kuat dari aliran pemikiran pendahulunya, yaitu Legisme. Aliran ini berkembang sejak abad pertengahan, yaitu
penyamaan dengan undang-undang sebagai pokok pikirannya. Di luar itu dianggap
tidak ada .
Prinsip dasar pada aliran ini
adalah harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, yaitu anasir
etis, sosiologis, politis dan sejarah. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh
Hans Kalsen bahwa “The pure theory exclude not only moral, political and
sociological values but also ideas of the purpose”[10].
Reine
Rechtslehre berusaha mencari
pengetahuan tentang secara ilmiah yang tidak dicampuri oleh instink, kemauan,
keinginan dan sebagainya. harus dibebaskan dari unsur moral sebagaimana
diajarkan oleh aliran alam (unsur etika), juga dari persepsi kebiasaan
(sosiologis), dan konsepsi keadilan (unsur politis). adalah sebagaimana adanya
yaitu dalam berbagai peraturan yang ada. Tidak mempersoalkan “bagaimana itu
seharusnya” (what the law ought to
be) tetapi “apa nya” (what
the law is). Dikatakan pula ilmu itu
normatif, berada di dunia das sollen dan bukan das sein. Dengan kata lain
adalah suatu sollenkategorie bukan seinkategorie, yang dipakai
adalah ius constitutum, bukan ius constituendum. Sifatnya
hipotesis, lahir karena kemauan dan akal manusia. Kelsen menyatakan bahwa berurusan dengan forma bukan materia.
Keadilan sebagai isi berada di luar . dapat saja tidak adil tetapi ia tetaplah
karena dikeluarkan oleh penguasa. itu tidak pernah berupa pelanggaran , tetapi
hanyalah ilmu pengetahuan. Reine
Rechtslehre dari Kelsen berusaha
untuk mencari ketentuan-ketentuan yang secara teoritis (sebagai objek
tunggalnya) dapat diketahui tentang , dari macam apa saja, dari waktu apa saja,
dan keadaan apa saja.
Di sisi lain, Kelsen pun mengakui
bahwa positif itu pada kenyataannya dapat saja menjadi tidak efektif
lagi. Ini terjadi karena kepentingan masyarakat yang diatur sudah tidak ada,
dan biasanya dalam keadaan yang demikian, penguasa pun tidak akan memaksakan
penerapannya.
Ajaran Hans Kelsen tentang Teori
Jenjang atau Stufenbau des
Recht (yang semula dikemukakan oleh Adolf Merkl) menyebutkan bahwa sistem merupakan suatu hirarki secara
vertikal. Sebagaimana yang telah kelsen nyatakan; “The legal order is not a
system of coordinated norm of equel level, but a hierarchy of different levels
of legal norm. Its unity is brought about by ... the fact that validity norm,
created according to another norm, rest on that other norm, whose creation in
turn, is determined by a third one”[11].
Didalam stufenbautheory terdapat grundnorm
yang menjadi sumber keharusan. Sedangkan pengertian grundnorm sendiri
sebagaimana yang dinyatakan oleh Hans Kelsen, adalah “the basic norm... must
be formulated as follows: Coersive acts sought to be performed under the
conditions and in the manner which the historically first constitutions, and
the norm created according to it, prescribe”[12].
This theory of the “concretisation” of law
(Stufentheorie) sees the legal
system as a pyramidal structure. The law unfolds in a gradual process from the
highest norm, which is also the abstract, general and purely norm-giving, to
the lowest, which is completely individualised, concrete and executive. Terdapat
grundnorm atau ursprungnorm yang berfungsi sebagai sumber
keharusan dalam bidang . Norma dasar itu dapat dirumuskan dalam bentuk suatu
kaidah yang dianggap sebagai yang tertinggi dalam bidang. Kaidah itu berbunyi: “orang harus menyesuaikan diri dengan apa
yang ditentukan”. Tugas teori adalah untuk menjelaskan hubungan-hubungan
antara norma-norma dasar dan semua norma di bawahnya, tetapi tidak untuk
mengatakan apakah norma dasar sendiri baik atau buruk. Hal tersebut merupakan
tugas ilmu politik, atau etika, atau agama. Teori Jenjang atau teori tentang “konkretisasi” Kelsen ini dikembangkan Hans
Nawiasky yang mengkhususkan
pembahasannya pada norma saja. diidentikkannya dengan perundang-undangan
(peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa)[13].
Menurut Kelsen tidak ada suatu grundorm
dapat diakui yang tidak memiliki “minimum of effectiveness”, yaitu yang
tidak mempunyai kekuasaan terhadap jumlah penduduk tertentu yang taat
kepadanya. (“No fundamental norm can be recognized which has not a minimum
of effectiveness, that is which not command a certain amount of obedience. The
efficacy or the total legal order is a necessary condition for the validity of
every single norm of the order” How this minimum of effectiveness is to be
measured Kelsen does not say, nor could
he do so without going deep into questions of political and sociological
reality).
Analisis
Kritis terhadap Paradigma Hukum Positif dalam Realitas Sosial.
Abad ke sembilan belas merupakan
kurun waktu yang memegang lekat individu (possessive individu) sebagai pengaturan. Keahlian pada masa
ini dihubungkan dengan ketrampilan teknis (legal craftsmanship). Pengkajian tidak memerlukan ancangan
atau pendekatan lain kecuali pendekatan
normatif atau dogmatis sebagai metode yang paling memadai. Pendekatan
ini mengakibatkan telah tercukupi dengan kebutuhannya sendiri (self-sufficent) dengan terkodifikasi sehingga menjadi bidang
yang esoterik artinya
yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang dipersiapkan untuk itu. Kondisi
semacam ini menuntut bidang penuh akan hal-hal yang berbau teknis, penggunaan
istilah-istilah yang khas, bersifat prosedural, pengambilan keputusan dan
sebagainya. Positivisme telah membawa dunia untuk diperlakukan secara otonom
dan terlepas kaitannya dengan bidang-bidang lain dalam masyarakat sehingga
resiko yang timbul adalah terjadinya “pengucilan” terhadap proses kemasyarakatan.
Aliran positivisme atau formalisme ini juga dinamakan
ilmu analitis, dilihat dari cara bekerjanya. Sesudah orang berhasil untuk
melokalisasi objeknya, maka perhatiannya sekarang dipusatkan kepada
peraturan-peraturan yang merupakan unsur pokok dari positif tersebut. Ilmu
analitis mengkaji pertautan logis, baik antara peraturan-peraturan yang satu dengan yang lain, maupun antara bagian-bagian
dari sistem serta mengusahakan terciptanya pemakaian definisi-definisi dan
pengertian-pengertian secara pasti dan meningkatkan pertautan seperti tersebut
di atas. Berkaitan dengan
positivisme ini maka Kelsen
mengemukakan metode dasar dari ilmu hanya berurusan dengan positif atau
peraturan-peraturan ( bekerja dengan sendirinya) dan dibebaskan dari ilmu-ilmu
yang tidak membahas peraturan (meta yuridis) seperti psikologi, sosiologi dan
etika.
Aliran positif yang menekankan pada
kodifikasi dan membebaskan diri dari anasir sosiologis, politik ekonomi bahkan
etika dan moral menjadikan sebagai bidang yang terisoler dari interaksinya
dengan masyarakat. Jika sudah melahirkan undang-undang yang telah ditentukan
maka sudah bekerja dengan baik. Akan tetapi manakala persoalan-persoalan yang
berada di luar mempengaruhi proses bekerjanya, positivisme menganggap hal itu
bukan garapan lagi.
Disinilah sebenarnya letak
kelemahan analytical jurisprudence bahwa suatu sistem tidak mungkin
untuk sepenuhnya bersifat tertutup. Sistem yang tertutup sama sekali akan
menyulitkan dan menghalang-halangi penyesuaian kaidah-kaidah terhadap perubahan
yang terjadi dalam masyarakat, perubahan-perubahan itu menyebabkan timbulnya
kebutuhan-kebutuhan baru. Lagi pula suatu sistem tidak akan bertahan hidup lama
jika tidak mendapat dukungan sosial yang luas. Dengan demikian sistem haruslah
bersifat terbuka, karena sistem tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial
lainnya. Sistem sosial yang terbuka dalam masyarakat memberikan tempat bagi
tumbuh dan berkembangnya yang hidup dalam masyarakat seperti adat-istiadat
(yang bersifat fleksibel dan dinamis). Memisahkan dengan moral seperti rasa keadilan yang
dianut positivisme tidak dapat dianut lagi oleh karena rasa keadilan tersebut
merupakan cerminan jiwa kehidupan masyarakat dan aspek penegakan yang termuat
dalam kodifikasi tidak akan berarti tanpa adanya dukungan moralitas.
Menyadari positif hidup dalam masyarakat maka secara
langsung atau tidak langsung kehidupan positif yang otonom tersebut mengalami
“kontaminasi” dengan bidang-bidang lain di luar . Suasana akan menjadi lain
manakala cara-cara mengkaji dan menerapkan dihadapkan pada suatu kondisi
perubahan dan perkembangan masyarakat, misalnya terjadi penyimpangan-penyimpangan
positif dalam masyarakat seperti dikenal dengan istilah patologi . Disinilah
positif tidak mampu menjawabnya. Is law dead?
Situasi krisis semacam ini mengakibatkan timbulnya
beragam pertanyaan tentang interaksi positif dengan masyarakat. Posisi dalam
kondisi ini dapat kita analogikan dengan Lonjakan Paradigmatik a la Khun
(Paradigm1 - Normal Science – Anomalies - Crisis - Revolution - Paradigm 2)[14].
Revolusi yang diperlukan adalah kebutuhan akan paradigma baru dalam mengkaji
interaksi dalam masyarakat yang pada akhirnya bermuara pada dilakukannya
kontemplasi berteorisasi yang baru. Teorisasi yang baru berupaya untuk memenuhi
persyaratan ilmu pengetahuan modern: description, explanation, revealing and
prediction. Maka timbul pertanyaan sederhana : Apakah positivisme telah
memenuhi syarat ini?
Dengan demikian perkembangan
pemikiran paradigma baru untuk melakukan kontemplasi atas interaksi dalam
masyarakat diawali manakala hal-hal yang selama ini dianggap sebagai hal-hal
yang memang sudah seharusnya demikian, benar dan nyata (menghadapi threats to the taken for granted world)
yang menjadi pegangan mengalami krisis maka mulailah orang melakukan renungan sosiologis. Renungan
sosiologis inilah sebagai titik tolak “lonjakan paradigmatik” untuk membuat social theory of law. Renungan
sosiologis tersebut berupaya untuk melihat segala permasalahan yang begitu
kompleks manakala melihat jaringan-jaringan yang mempengaruhi bekerjanya
seperti yang disebut oleh Robert
B.Seidmann sebagai “Field” of social forces. Jika kita
memonitor dengan menggunakan “mikroskop” maka akan terhenti pada saat peraturan
selesai dibuat. Tetapi apabila permasalahan efektifitas pengaturan dan
peraturan dipertanyakan maka banyak aspek yang perlu dijelaskan dalam hal
ini(hal-hal yang berada di luar “mikroskop”). Memotret realitas sosial di mana
bekerja di luar “mikroskop” adalah dipahami secara fungsional dan dilihat
senantiasa berada dalam kaitan interdependen dengan bidang-bidang lain dalam
masyarakat seperti : bidang sosial,
politik ekonomi, antropologi, psikologi, etika, moral dan sebagainya.
Suasana perubahan dalam masyarakat
dengan sekalian problemanya tersebut membutuhkan suatu disiplin ilmu yang
berangkat dari metode observasi terhadap kenyataan. Dengan observasi yang jujur
kita akan mampu mencatat sekalian hal yang terjadi, termasuk observasi kita
mengenai bagaimana bekerja menghadapi perubahan-perubahan tersebut : bagaimana
ia “dijalankan”, “dibelokkan”, “didiamkan”, “dirubah diam-diam” dan sebagainya.
Hanya observasi yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa mampu membuat deskripsi
yang jujur.
Bekerjanya dalam masyarakat
merupakan bentuk realitas sosial yang menjelaskan bagaimana sebenarnya
diperlakukan oleh manusia dalam masyarakat, dan potret ini secara the full social reality of law,
akan dapat ditangkap secara utuh dengan “optik sosiologis”. Potret sosial
tersebut dicoba untuk dijelaskan bukan untuk menyetujuinya atau memihaknya.
Dengan demikian orang melihat hukum tergantung di posisi mana orang tersebut
berada. Contoh untuk hal ini adalah turunnya Pak Harto secara konstitusional
dengan dua sudut pandang : positivistis dan sosiologis (analisis pula dari normative Kraft des Faktischen
dari Jellinek).
Kebenaran akan fakta yang kita dapatkan dalam realitas
sosial pada akhirnya akan mampu mengahantarkan pola pikiran kita memahami
segala permasalahan yang dihadapi oleh hokum dalam masyarakat, sehingga
dilakukanlah pendekatan yang komprehensif dalam mengakaji hokum seperti
dikatakan oleh Arthur T.Vanderbilt :……”vast and complex” as modern law has
become, it can only stay “vital in content, efficient in opration and accurate
in aim” by borrowing truths from the political, social and economic sciences,”
and “from philosophy”.
Kaum sosiolog selama ini lazim
mengemukakan pendapatnya bahwa “ itu sudah cacat sejak dilahirkan”. Dengan ucapan
tersebut yang dimaksud adalah undang-undang merupakan endapan dari perjuangan
sosial, politik dan ekonomi, sehingga besar kemungkinannya untuk bersifat berat
sebelah (bias). Pendapat ini dapat
diterima sebagai kritik terhadap positivisme . itu sudah cacat sejak dilahirkan
menunjuk pada positif (kodifikasi). Kritik terhadap kodifikasi ini telah
banyak dilakukan seperti F.Von Savigny
(1778-1861) dari madzhab historis bahwa kodifikasi selalu membawa serta
efek yang negatif, yakni perkembangan . Sejarah berjalan terus, tetapi telah
ditetapkan, maka kodifikasi adalah menghentikan sejarah pada suatu saat
tertentu. Von Savigny
mengharapkan terlebih dahulu perkembangan perlu dipelajari secara ilmiah dan
historis, sebelum dikodifikasikan.
Belajar dari hal ini maka kita
menyadari sepenuhnya “betapa tidak sempurnanya buatan manusia”. Sejak orang
membuat bukan berarti sejak saat itu dengan mudah merubah masyarakat atau
selesailah pengaturan persoalan selesai dengan yang dibuat akan tetapi sejak
saat itu pula persoalan baru timbul. Hal ini berarti disatu sisi manusia
membuat peraturan tetapi disisi lain ia tidak mampu untuk menguasai segala hal
yang diaturnya. Timbullah kesenjangan dari apa-apa yang tertulis dalam
peraturan dengan apa-apa yang terjadi dalam masyarakat sebagai penerapan
peraturan, seperti yang dikenal dengan penyakit (patologi ) seperti : “mafia
peradilan”, pungli, komersialisasi , persekongkolan dan sebagainya. Penyakit
ini terkadang lebih diperparah lagi oleh mereka yang mengetahui (seperti aparat
penegak ) yaitu kemampuan membaca kelemahan dengan mencari celah-celah agar
terbebas dari jeratan . Hal ini menunjukkan bahwa penegakan bukanlah sesuatu
yang mudah dan jelas seperti keinginan bunyi pasal dalam peraturan tetapi sarat
dengan intervensi metayuridis. Patologi inilah yang tidak diperhatikan secara
mendalam oleh Positivisme , padahal tidak dapat dipungkiri bahwa sangat terkait
dengan proses-proses kemasyarakatan (kebutuhan untuk membicarakan dalam konteks
yang luas). Dengan tidak mampunya positivisme menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang kehidupan dalam masyarakat maka timbullah aliran-aliran yang mengadakan
pemberontakan terhadap formalisme atau revolusi menentang formalisme seperti :
madzhab historis, sosiologi, neokantianisme, neohegelianisme, neomarxisme,
neopositivisme, realisme Amerika dan Skandinavia.
Telaah tentang Sistem Peradilan
Pidana (Criminal Justice System) jika dikaji dengan kaca mata
positivis-analitis adalah sebuah system yang konsisten, dan sangat logis
peraturannya. Secara formal prosedural setiap proses interaksi manusia dan atau
birokrasinya terpaku pada peraturan yang berlaku. Sebagai sebuah bangunan yang
otonom, SPP kita terima dan patuhi sebagai sebuah pranata yang syah secara
hukum. Tujuan SPP yang dirumuskan dalam ketentuan abstrak dan bersifat umum
seperti menemukan kebenaran material atau menegakkan keadilan, sedangkan
prosedur untuk mencapai tujuan tersebut diikat oleh ketentuan yang normatif.
Otonomi yang dimiliki SPP telah menjadikan hukum terkotak-kotak dan terpisah
dari segala hal yang berbau nonyuridis.
Oleh karena proses bekerjanya hokum dalam SPP pada
kenyataannya sangat terkait dengan kekuatan-kekuatan, proses-proses serta
faktor-faktor yang berada di luarnya, sehingga pada akhirnya disadari bahwa
otonomi hukum yang dimiliki SPP telah dirangkul oleh kekuatan yang lebih besar
yaitu proses sosial. Dengan demikian SPP bukanlah lembaga yang tertutup dan
hanya dimiliki dan dipahami oleh kaum yuris semata, tetapi juga milik semua
orang yang berinteraksi dengannya. Sehingga dapatlah dipahami bahwa
lembaga-lembaga yang bernaung dibawah SPP tidak banyak berbeda dengan lembaga
sosial lainnya. Hal ini terbukti dengan pengujian akan efektivitas SPP bukan
sebagai satu-satunya instrument kontrol sosial yang digunakan oleh masyarakat
seperti contoh kasus perbandingan antara Sindrom Kitty Genovese dengan Sindrom
Arakan Bugil dengan pendekatan sosiologis yang dideskripsikan oleh Satjipto
Rahardjo.
Dalam kajian politik kriminal
dikenal akan adanya upaya penanggulangan terhadap beberapa masalah dan kondisi
sosial yang merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan dengan
pendekatan secara komprehensif integral. Pendekatan ini merupakan hasil dari
ancangan antardisiplin dengan analsis dari “optic sosiologis”, sehingga politik
kriminal penanggulangan kejahatan tidak saja dengan jalur “penal” (SPP) tetapi
juga jalur “nonpenal” dengan kajian kritis bidang-bidang yang berkaitan
seperti: religius, antropologi, sosiologi, psikologi, nilai-nilai pandangan
hidup masyarakat, politik (kebijakan publik), ekonomi, biologi (pertanian) dan
sebagainya. Pemanfaatan pengetahuan “ekstra yuridis” tersebut mengakibatkan
terjadinya pergeseran paradigma fungsi hukum pidana dari penekanan pada “subjective
guilt” ke arah “social utility”.
Penutup
Kajian dengan “optik sosiologis”
ini pada akhirnya mampu memberikan penjelasan secara utuh terhadap permasalahan
yang terjadi dan sangat berguna bagi penyempurnaan dikemudian hari. Selain hal
tersebut “optik sosiologis” berupaya untuk membuka pola penglihatan dan
pemahaman ke arah ancangan dan analisis lebih beragam terhadap serta berusaha
untuk mendekati kebenaran sehingga mendorong orang untuk mencari cara-cara baru
dalam pemahaman hukum.
Merenungi segala pengalaman, pengamatan dan analisis
kritis terhadap fakta empirik tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat
sehari-hari merupakan pengkajian secara mendalam dan menumbuhkembangkan
intensitas kesadaran yang semakin meninggi dengan upaya yang terproses secara
evolusi maupun revolusi untuk memperluas wawasan pada perspektif baru sehingga
menghasilkan the full social reality of law. Munculnya perspektif ini
setidak-tidaknya akan mengguncang pemikiran kita yang selama ini terpaku pada
pendekatan positivis analitis untuk memahami makna dan kenyataan bahwa hukum
adalah manusia sendiri yang membuat dan memperilakukannya. Maka dapatlah
dipahami secara bijaksana bahwa terdapat kelemahan-kelemahan yang secara inherent
pada buatan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
A.Mukthie
Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer, In-Trans Publising, Malang, 2008
Darji
Darmodiharjo, Shidarta, Pokok-pokok filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2008
Hilaire McCoubrey, Nigel D. White,
1993, Jurisprudence, Blackstone Press Limited
Lili
rasjidi dan I wyasa P, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003
Lili
Rasjidi , Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2004
Hedar
Laudjeng, Rikardo Simarmata, 2000, Wacana Jurnal ilmu social dan Transformatif
Saifulloh,
Menggugat paradigma Positivisme, makalah, tanpa tahun
[1] Lili rasjidi dan I wyasa P, hokum sebagai
suatu system, mandar maju, bandung 2003, hal 96
[2] Ibid, hal 103
[3] ibid
[4] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, Penerbit
kanisius, Yogyakarta ,
1982,Hal 122
[5] Darji Darmodiharjo, Shidarta, 2008, Pokok-pokok filsafat Hukum,
Gramedia Pustaka Utama, Hal 114. Lili Rasjidi , Ira Thania rasjidi, 2004,
dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT.Citra aditya Bakti Bandung, Hal 56.
Hedar Laudjeng, Rikardo Simarmata, 2000, Wacana Jurnal ilmu social dan
Transformatif Hal 122
[6] A. Mukthie Fadjar, 2008, teori-teori
Hukum Kontemporer, In Trans Publising, Malang, Hal 10.
[7] Darji Darmodiharjo, Shidarta, Op.cit, Hal
114
[10] Hilaire McCoubrey, Nigel D. White, 1993, Jurisprudence, Blackstone
Press Limited, Hal.147
[11] Ibid, Hal 148
[12] Ibid, Hal 149
[13] Saifulloh, Op.cid.
Tidak ada komentar
Posting Komentar