KORPORASI
SEBAGAI PELAKU CYBER CRIME
Anik Umiyati[1]
Nafi’ Mubarok[2]
ABSTRAK
Internet
membuat
kejahatan yang semula bersifat konvensional semisal
pengancaman, pencurian dan pencemaran nama baik, berubah
menjadi kejahatan yang sulit diperkirakan. Oleh
karenanya, bisa dikatakan revolusi teknologi informasi melahirkan fenomena
baru dalam bentuk kejahatan yang berbeda dengan yang sifatnya konvensional. Beberapa pelaku dari cyber crime adalah bukan orang peroarang, akan tetapi
suatu badan hukum. Atau yang lebih di kenal dengan corporate, yang lebih
dikenal dengan kejahatan korporasi. Padahal, kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang besar dan sangat berbahaya
sekaligus merugikan kehidupan masyarakat.
Kata kunci:
internet, korporasi, cybercrime
ABSTRACT
Internet makes the
original is conventional crime such threats, theft and defamation, turn into a
crime is difficult to estimate. Therefore, it can be said the information
technology revolution gave birth to a new phenomenon in the form of crime that
are different from the conventional. Some of the perpetrators of cyber crime is
not a peroarang, but a legal entity. Or better known by the corporate, better
known as corporate crime. In fact, corporate crime is major crime and extremely
dangerous and detrimental to society.
Keywords: internet,
corporate, cybercrime
Pendahuluan
Proses globalisasi melahirkan suatu
fenomena yang mengubah model komunikasi
konvensional dengan melahirkan kenyataan dalam dunia maya (virtual reality)
yang dikenal
sekarang ini dengan internet. Internet berkembang demikian pesat
sehingga menjadi kultur masyarakat
modern, karena menjadi media berbagai aktifitas masyarakat, kapanpun dan dimanapun.
Kehadirannya telah membentuk dunia tersendiri yang dikenal dengan dunia maya (cyberspace).[3]
Di samping memberikan dampak positif,
pemanfaatan teknologi internet juga dapat menimbulkan dampak negatif.
Akibatnya, internet membuat kejahatan yang semula bersifat
konvensional semisal pengancaman, pencurian dan pencemaran nama baik, berubah menjadi kejahatan
yang sulit diperkirakan. Oleh
karenanya, bisa dikatakan revolusi teknologi informasi
melahirkan fenomena baru dalam bentuk kejahatan yang berbeda dengan yang
sifatnya konvensional. Tindak pidana
teknologi informasi muncul bersamaan dengan lahirnya. Sebagaimana dikemukakan
oleh Ronni R. Nitibaskara bahwa: ”Interaksi
sosial yang meminimalisir kehadiran secara fisik, merupakan ciri lain revolusi
teknologi informasi. Dengan interaksi semacam ini,
penyimpangan hubungan sosial berupa kejahatan (crime) akan menyesuaikan bentuknya
dengan karakter tersebut”[4]
Pada dasarnya, kejahatan dunia maya atau
yang dikenal dengan cybercrime dapat
didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
internet yang berbasis pada kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi.
Ada bebera contoh dari cyber crime, antara lain:[5]
1.
Menjadikan komputer sebagai alat,
yaitu spamming dan kejahatan terhadap hak cipta dan kekayaan
intelektual.
2.
Menjadikan komputer sebagai sasaran,
yaitu akses ilegal (mengelabui kontrol akses), malware
dan serangan DoS.
3.
Menjadikan komputer sebagai tempat,
yaitu penipuan identitas.
4.
Kejahatan tradisional dengan komputer sebagai alat,
yaitu pornografi anak dan judi online.
Sedangkan dalam laporan
Konggres PBB X/2000, sebagaimana dikutip oleh barda Nawawi Arief, kejahatan
cybercrime sudah menakup semua aspek kehidupan manusia. Yaitu:
“keseluruhan bentuk-bentuk baru dari kejahatan yang
ditunjukan pada komputer, jaringan komputer dan para penggunanya, dan
bentuk-bentuk kejahatan tradisional yang sekarang dilakukan dengan menggunakan
atau dengan bantuan peralatan komputer.”[6]
Salah satu kejahatan dunia maya
yang pernah menggemparkan terjadi di Indonesia adalah apa yang pernah dilakukan
oleh Dani Hermansyah pada 17 April 2004. Dani melakukan deface (mengubah
atau mengganti tampilan suatu website) dengan mengubah nama-nama partai
yang ada dengan nama-nama buah dalam website www.kpu.go.id. Tentunya ini
mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang sedang
berlangsung pada saat itu. Karena, dikhawatirkan perubahan tidak hanya pada nama–nama
partai, namun juga bisa pada angka-angka jumlah pemilih. Padahal dana yang dikeluarkan untuk sistem teknologi
informasi yang digunakan oleh KPU sangat besar sekali.[7]
Dalam kenyataannya, beberapa
pelaku dari cyber crime adalah bukan orang peroarang, akan tetapi suatu badan
hukum. Atau yang lebih di kenal dengan corporate, yang lebih dikenal
dengan kejahatan korporasi. Padahal, kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang besar dan
sangat berbahaya sekaligus merugikan kehidupan masyarakat.
Hal ini dikarenakan, korporasi
sebagai suatu badan hukum memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan
aktivitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan
ketentuan hukum yang berlaku, bahkan selalu merugikan berbagai pihak.[8]
Ada beberapa hal yang mendasar
yang membedakan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan konvensional atau
tradisional. Umumnya
terletak pada karakteristik yang melekat pada kejahatan korporasi,
di antaranya:[9]
1.
Kejahatan bersifat
sulit terlihat.
2.
Kejahatan bersifat
sangat kompleks.
3.
Terjadinya
penyebaran tanggung jawab.
4.
Penyebaran korban
yang sangat luas.
5.
Hambatan dalam
pendeteksian dan penuntutan.
6.
Peraturan yang
tidak jelas.
7.
Sikap mendua status
pelaku tindak pidana.
Pada
awalnya korporasi atau badan hukum (rechtpersoon) adalah subjek yang
hanya dikenal di dalam hukum perdata, di samping subjek hukum yang berwujud
manusia alamiah (natuurlijk persoon). Apa yang dinamakan badan hukum pada dasarnya
merupakan ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang
diberi status sebagai subjek hukum. Dengan semakin berkembangnya zaman yang
dibarengi dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih condong ke arah globalisasi
di mana memberikan peluang yang besar akan tumbuhnya perusahaan-perusahaan
transnasional, maka peran dari korporasi semakin sering dirasakan. Bahkan,
banyak memengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia.[10]
Sayangnya,
dalam gilirannya banyak korporasi yang melakukan kejahatan, dimana selalu
memberikan dampak yang luas bagi masyarakat dan lingkungan, bahkan dapat
mengacaukan perekonomian negara. Oleh karenanya perlu
sanksi yang tegas, agar terdapat perubahan dari korporasi untuk meninggal melakukan aktivitas yang illegal. Harapannya, korporasi
tidak lagi melarikan diri dari tanggung jawab pidana dari perbuatannya. Terutama tanggung jawab moral dan sosial untuk memperhatikan
keadaan dan keamanan lingkungan kerjanya, termasuk penduduk, budaya, dan
lingkungan hidup.[11]
Dalam
tulisan ini akan dibahas tiga hal, yaitu tentang pengaturan cyber crime di
Indonesia, korporasi sebagai pelaku cyber crime, dan
pertanggung
jawaban korporasi
sebagai pelaku
cyber crime.
Kejahatan Korporasi
Batasan dan
Tipologi Kejahatan Korporasi
Menurut
Bismar Nasution, kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh
dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena
aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga,
pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.[12]
1.
Tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda
dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur
administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya
tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum
perdata dan administrasi.
2.
Baik korporasi
(sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk
sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya,
bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas
pembuktian dan penuntutan.
3.
Motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan
bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan
pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut
ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Kejahatan
korporasi kurang begitu dikenal. Di satu sisi, karena tidak terlalu sering terdapat
pemberitaan di media, juga aparat penegak hukum pada umumnya lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan
konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari
masyarakat. Hal ini dikarenakan:
1.
Kejahatan yang dilaporkan oleh masyarakat hanyalah kejahatan
konvensional, sedangkan aktivitas aparat kepolisian sebagian besar didasarkan
atas laporan masyarakat
2.
Pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi
atau kejahatan kerah putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya,dan juga
turut dipengaruhi.
3.
Pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang
diakui sebagai subjek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia.
4.
Tujuan dari
pemidanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada agar adanya perbaikan dan
ganti rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan lain yang konvensional yang
bertujuan untuk menangkap dan menghukum.
5.
Pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut kejahatan
korporasi masih sangat minim
6.
Kejahatan korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh
masyarakat dengan status sosial yang tinggi.
Pengaturan Kejahatan Korporasi
Pada
umumnya, yang diatur sebagai subyek hukum dalam hukum pidana adalah orang
persorangan (legal persoon). Namun, dalam kaitannya pengaturan korporasi
sebagai pelaku tindak pidana, maka terdapat beberapa perumusan dalam
perundang-undang Indonesia. Yaitu:[14]
1.
Yang dapat
melakukan tindak pidana hanya orang perorang, sebagaimana dalam KUHP.
2.
Yang dapat melakukan
tindak pidana adalah orang perorang dan perserikatan, namun yang dapat
dipertanggungjawabkan hanya anggota pengurus. Ini terdapat dalam Ordonansi
Devisa dan Undang-undang Penyelesaian Perburuhan.
3.
Yang dapat
melakukan tindak pidana adalah orang atau perserikatan, sekaligus mereka yang
bertanggung jawab. Ini tredapat dalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi dan
Undang-undang Tindak Pidana Subversi.
Pertanggung Jawaban Kejahatan
Korporasi
Pertanggung
jawaban pidana pada hakikatnya mengandung makna pencelaan pembuat atas tindak
pidana yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana
mengandung di dalamnya pencelaan, pertanggung-jawaban objektif dan subjektif.
Artinya, secara objektif si pembuat telah melakukan tindak pidana menurut hukum
yang berlaku dan secara subjektif si pembuat patut diela atau
dpersalahkan/dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya
tersebut sehingga ia patut di pidana.[15]
Dalam
kaitannya pertanggungjawaban subjektif dimana korporasi sebagai pelaku di
antara para ahli hukum telah menimbulkan pro dan kontra. Dalam hukum pidana
terdapat doktrin 'universitas delinquere non potest (korporasi tidak
mungkin melakukan tindak pidana). Hal ini dikarenakan, korporasi hanyalah fiksi
hukum yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai
moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur
kesalahan). Padahal dalam suatu tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea)
selain adanya perbuatan (actus reus).[16]
Sedangkan
di sisi lain, menurut Mardjono Reksodiputro, ada dua hal yang harus
diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu, (1) perbuatan
pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan
korporasi dan (2) kesalahan pada korporasi. Untuk
yang pertama dapat dikonstruksikan dengan
“asas identifikasi”,
sedangkan yang kedua
dengan “pelaku fungsional” (functionele dader).[17]
Sedangkan untuk
bagaimana pertanggungjawaban kejahatan kroporasi, dalam wacana common law, ada beberapa pendekatan
yang dapat digunakan:[18]
1.
Identification
Test
Menurut teori ini, kesalahan dari anggota direksi atau
organ perusahaan/korporasi yang tidak menerima perintah dari tingkatan yang
lebih tinggi dalam perusahaan, dapat
dibebankan kepada perusahaan/ korporasi.
2.
Doktrin Vicarious
Liablility
Menurut doktrin ini korporasi bertanggungjawab atas
perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, agen/perantara atau
pihak-pihak lain yang menjadi tanggung jawab korporasi. Dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah
satu individu tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada
korporasi. Dalam hal ini korporasi bisa
dipersalahkan meskipun tindakan yang dilakukan tersebut tidak disadari atau
tidak dapat dikontrol.
3.
The Corporate
Culture Model
Menurut teori ini, tanggung jawab pidana bisa dijatuhkan
apabila terbukti bahwa:
a. Dewan direksi korporasi dengan sengaja atau dengan tidak
hati-hati melakukan tindakan-tindakan yang relevan, atau secara terbuka, secara
diam-diam atau secara tidak langsung mengesahkan atau mengizinkan perwujudan
perbuatan pelanggaran atau kejahatan.
b. Agen manajerial korporasi tingkat tinggi secara sengaja,
mengetahui benar atau tidak hati-hati terlibat dalam tindakan-tindakan yang
relevan, atau secara terbuka, secara diam-diam atau secara tidak langsung
mengesahkan atau mengizinkan perwujudan perbuatan pelanggaran atau kejahatan.
c. Terdapat
budaya atau kebiasaan dalam tubuh korporasi yang
menginstruksikan, mendorong, atau mengarahkan dilakukannya tindakan-tindakan
pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tertentu.
d. Korporasi gagal membentuk dan mempertahankan budaya yang
menuntut kepatuhan terhadap peraturan-peraturan tertentu.
4.
Aggregation Test
Menurut teori ini, dengan cara menjumlahkan tindakan
dan kelalaian dari dua atau lebih orang
perorangan yang bertindak sebagai perusahaan, unsur actus reus dan mens
rea dapat dikonstruksikan dari tingkah laku dan pengetahuan dari beberapa
individu.
5.
Blameworthiness
Test
Teori ini menolak pemikiran bahwa korporasi harus
diperlakukan sama seperti halnya orang perorangan dan mendukung bahwa harus ada
konsep hukum lain untuk menyokong pertanggungjawaban subyek-subyek hukum
fictitious (korporasi). Hal ini merefleksikan struktur korporasi-korporasi
modern yang umumnya terdesentralisasi dan dimana kejahatan tidak terlalu
dikaitkan dengan perbuatan jahat atau kelalaian individual, tetapi lebih kepada
sistem yang gagal untuk mengatasi permasalahan pengawasan dan pengaturan
resiko.
Sedangkan dalam ketentuan hokum
pidana di Indoensia, korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
melalui pengurusnya. Sebagai contoh antara lain: [19]
a.
Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 (Lingkungan Hidup);
b.
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 (Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat);
c.
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 (Perlindungan Konsumen);
d.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 (Tindak Pidana Korupsi);
e.
Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 (Tindak Pidana Pencucian Uang).
Sedangkan bagaimana cara pertanggung
jawabannya, disebutkan dalam Pasal 46 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992:
“Dalam
hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka
penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap
mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak
sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.”
Dari rumusan pasal tersebut, jelas bahwa
para pengurus yang berwenang untuk memberikan perintah kepada bawahannya
dalam korporasi perbankan tersebut, yang nantinya dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana.[20]
Pengaturan Cyber Crime di
Indonesia
Batasan dan
Jenis-jenis Ciber Crime
Perkembangan
teknologi yang sangat pesat tentunya membutuhkan pengaturan hukum yang
berkaitan dengan pemanfaatan teknologi tersebut. Anehnya,
sampai saat ini banyak negara yang
belum memiliki perundang-undangan khusus di bidang
teknologi informasi, baik dalam aspek hokum pidana, aspek hokum perdata
maupun aspek hokum administrasi.[21]
Permasalahan yang sering muncul adalah bagaimana
menjaring berbagai kejahatan komputer dikaitkan dengan ketentuan pidana yang
berlaku,
karena ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer yang berlaku
saat ini masih dianggap belum lengkap dan belum
sempurna.
Banyak
kasus yang membuktikan bahwa perangkat hukum di bidang TI masih lemah. Seperti
contoh, masih belum dilakuinya dokumen elektronik secara tegas sebagai alat
bukti oleh KUHP. Hal tersebut dapat dilihat pada UU No8/1981 Pasal 184 ayat 1
bahwa undang-undang ini secara definitif membatasi alat-alat bukti hanya
sebagai keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa saja. Demikian juga dengan kejahatan pornografi dalam internet,
misalnya KUH Pidana pasal 282 mensyaratkan bahwa unsur pornografi dianggap
kejahatan jika dilakukan di tempat umum.[22]
Kejahatan
teknologi informasi atau kejahatan komputer memang identik dengan cybercrime. Terdapat
banyak definisi berkaitan dengan istilah cyber crime. Salah satunya
adalah yang dikemukakan Abdul Wahib dan
Mohammad Labib, bahwa cyber crime (kejahatan dunia maya) adalah kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan
sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat
dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan pada tingkat keamanan yang
tinggi dan kredebilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan diakses oleh
pengguna internet.[23]
Cybercrime
pada dasarnya merupakan tindak pidana
yang berkenaan dengan informasi, sistem informasi (information
system) itu sendiri, serta sistem komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian/pertukaran
informasi kepada pihak lainnya (transmitter/orginator to recipient). Menurut Sutanto, secara garis besar cybercrime
terdiri dari dua jenis, yaitu:[24]
1.
Kejahatan yang
menggunakan teknologi informasi sebagai fasilitas. Contoh-contoh dari aktivitas
cybercrime jenis ini adalah pembajakan (copyright atau
hak cipta intelektual, dan lain-lain); pornografi; pemalsuan dan pencurian kartu kredit
(carding); penipuan lewat e-mail; penipuan dan pembobolan rekening bank;
perjudian on line; terorisme; situs sesat; materi-materi internet yang berkaitan dengan SARA
(seperti penyebaran kebencian etnik dan ras atau agama); transaksi dan
penyebaran obat terlarang; transaksi seks; dan lain-lain.
2.
Kejahatan yang
menjadikan sistem dan fasilitas teknologi informasi sebagai sasaran. Cybercrime jenis
ini bukan memanfaatkan komputer dan internet sebagai media atau sarana tindak pidana,
melainkan menjadikannya sebagai sasaran. Contoh dari jenisjenis tindak kejahatannya
antara lain pengaksesan ke suatau sistem secara illegal (hacking),
perusakan situs internet dan server data (cracking), serta
defacting.
Menurut Barda Nawawi Arif, terdapat
beberapa kualifikasi dari cyber crime, yaitu:[25]
1.
Illegal access:
yaitu sengaja memasuki atau mengakses sistem komputer tanpa hak.
2.
Illegal interception:
yaitu sengaja dan tanpa hak mendengar atau menangkap secara diam-diam pengiriman
dan pemancaran data komputer yang tidak bersifat publik ke, dari atau di dalam
sistem komputer dengan menggunakan alat bantu teknis.
3.
Data interference:
yaitu sengaja dan tanpa hak melakukan perusakan, penghapusan, perubahan atau
penghapusan data komputer.
4.
System interference:
yaitu sengaja melakukan gangguan atau rintangan serius tanpa hak terhadap
berfungsinya sistem komputer.
5.
Misuse of Devices:
penyalahgunaan perlengkapan komputer, termasuk program komputer, password
komputer, kode masuk (access code)
6.
Computer related
Forgery: Pemalsuan (dengan sengaja dan tanpa
hak memasukkan mengubah,
menghapus data autentik menjadi tidak autentik dengan maksud digunakan sebagai data
autentik)
7.
Computer related Fraud:
Penipuan (dengan sengaja dan tanpa hak menyebabkan hilangnya
barang/kekayaan orang lain dengan cara memasukkan, mengubah, menghapus data komputer
atau dengan mengganggu berfungsinya komputer/system komputer, dengan tujuan
untuk memperoleh keuntungan ekonomi bagi dirinya sendiri atau orang lain).
8.
Content-Related
Offences, Delik-delik
yang berhubungan dengan pornografi anak (child pornography)
9.
Offences related to
infringements of copyright and related rights. Delik-delik yang
terkait dengan pelanggaran hak cipta
Tindak pidana teknologi informasi di
Indonesia telah diatur dalam Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksaksi Elektronik (UU ITE).
Oleh karena itu, tindak pidana tersebut bersifat khusus (lex specialist).
Kebijakan hukum terkait dengan masalah kriminalisasi dalam UU ITE tertuang dalam
Bab XI tentang Ketentuan Pidana (Pasal 45 sampai dengan Pasal 52) juncto Pasal 27 sampai
dengan Pasal 36. Sedangkan isi dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 adalah sebagai berikut:
Pasal
27:
(1) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan perjudian.
(3)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Pasal
28:
(1)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal
29:
Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara
pribadi.
Pasal
30
(1) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau
Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
(2)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau
Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
(3)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau
Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui,
atau menjebol sistem pengamanan.
Pasal
31:
(1) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau
penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer
dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atau transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer
dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak
menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan,
penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang
ditetapkan berdasarkan undang_undang.
(4)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(5)
diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
32:
(1) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah,
mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan,
menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
(2)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau
mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada
Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
(3)
Terhadap perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat
diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Pasal
33
Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang
berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem
Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Pasal
34
(1) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan
untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:
a.
perangkat keras atau
perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan
untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
dengan Pasal 33;
b. sandi
lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem
Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak
pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem
Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan
tidak melawan hukum.
Pasal 35:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah_olah data yang
otentik.
Pasal
36:
Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian
bagi Orang lain.
Dengan melihat pasal-pasal tersebut di
atas dapat disimpulkan, bahwa kualifikasi cyber crime yang ada dalam UU ITE
adalah tisangat berhubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi dan yang berkenaan
dengan informasi dan sistem informasi (information system) itu sendiri, di samping sistem
komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian/pertukaran informasi itu kepada pihak lainnya (transmitter/orginator
to recipient).
Juridiksi
Cyber Crime
Jurisdiksi merupakan hal yang sangat
penting dan kompleks,
khususnya berkenaan dengan
pengungkapan cyber crime. Menurut
Barbara Etter, sebagaimana dikutip Barda nawawi Arief, masalah yuridiksi dalam
cyber crime adalah masalah yang serius, karena:[26]
1.
Tidak adanya
konsensus global mengenai jenis Computer-Related Crime dan tindak pidana
pada umumnya.
2.
Kurangnya keahlian
para aparat penegak hukum dan ketidakcukupan hukum untuk melakukan investigasi
dan mengakses sistem komputer.
3.
Adanya sifat
trans-nasional dari cybercrime.
4.
Ketidak harmonisan
hukum acara/prosedural di berbagai negara.
5.
Kurangnya
singkronisasai mekanisme penegakan hukum, bantuan hukum, ekstradisi, dan
kerjasama internasional dalam melakukan investigasi cybercrime.
Harus diakui bahwa menerapkan
jurisdiksi yang tepat dalam cybercrime
bukan merupkan hal yang mudah, karena jenis kejahatannya bersifat
internasional sehingga banyak bersinggungan dengan kedaulatan banyak negara. Berkenaan dengan
jurisdiksi tersebut maka pertanyaan penting yang harus dikemukakan adalah
sampai sejauh mana suatu negara memberikan kewenangannya kepada pengadilan
untuk mengadili dan menghukum pelaku tindak pidana.
Menurut Masaki Hamano, terdapat
tiga macam jurisdiksi di ruang maya (cyberspace)
yang dimiliki suatu negara,
yaitu:[27]
1.
Jurisdiksi Legislatif.
Yaitu kewenangan pembutan hukum substantif.
2.
Jurisdiksi Yudisial.
Yaitu kewenangan mengadili
atau menerapkan hokum.
3.
Jurisdiksi Eksekutif.
Yaitu kewenangan melaksanakan/memaksakan kepatuhan hukum yang dibuatnya.
Di Indonesia, masalah jurisdiksi telah
diatur oleh UU ITE
dengan merujuk pada penerapan secara universal (asas universal). Hal ini dapat dilihat dari
Pasal 2 dan penjelasannya:
Ø Pasal
2 UU ITE
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap
Orang yang melakukan perbuatan hokum sebagaimana diatur dalam undang-undang
ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah
hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hokum Indonesia dan/atau di
luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Ø Penjelasan
Pasal 2 UU ITE
Undang-Undang
ini memiliki jangkauan jurisdiksi tidak semata-mata untuk perbutan hukum yang berlaku di
Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbutan
hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (jurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara
Indonesia maupun warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia
maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan
Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat
bersifat lintas teritorial atau universal. Yang dimaksud dengan ”merugikan kepentingan Indonesia”
adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional,
perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan
negara,kedaulatan negara, warga negara, serta badan hukum Indonesia.
Pertanggungjawaban Korporasi
sebagai Pelaku Cyber Crime
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada awalnya hanya dikenal subyek tindak pidana beruma
manusia saja (natuurlijke-persoonen), namun selanjutnya badan hukum (rechtspersoonen).[28] Dasar pemikirannya, korporasi (badan hukum) merupakan
suatu ciptaan hokum, yakni pemberian status subjek hukum kepada suatu badan,
sehingga dianggap dapat menjalankan atau melakukan suatu tindakan hukum.
Tentunya, korporasi juga bisa dibebani pertanggungjawaban pidana[29]
Dalam
perkembangan hukum pidana di Indonesia terdapat tiga bentuk pertanggungjawaban
pidana korporasi sebagai subjek tindak pidana yakni:[30]
1.
Pengurus korporasi
yang berbuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab.
2.
Korporasi sebagai
pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab.
3.
Korporasi sebagai
pembuat dan yang bertanggung jawab.
1.
Hukum pidana mampu
melaksanakan peranan edukatif dalam mendefenisikan/menetapkan dan memperkuat
batas-batas perbutan yang dapat diterima.
2.
Hukum pidana
bergerak dengan langkah lebih cepat daripada perdata. Dengan pidana restitusi,
lebih cepat memperoleh kompensasi bagi korban.
3.
Peradilan perdata
terhalang untuk mengenakan sanksi pidana.
4.
Penuntutan bersama
(korporasi dan agennya) memerlukan suatu forum pidana apabila ancaman
pengurungan digunakan untuk mencegah individu. Dari sudut penegakan hukum,
peradilan bersama itu cukup beralasan karena lebih murah dibandingkan dengan
penuntutan terpisah, dan karena mereka mengizinkan penuntut umum mengikuti
kasus itu dalam cara yang terpadu.
Dalam UU ITE perumusan tindak pidana
selalu diawali dengan “setiap orang”, yang menunjukkan kepada pengertian
“orang” atau “manusia”. Namun dalam Pasal 1 sub 21 UU ITE ditegaskan, bahwa:
“Yang
dimaksud dengan ”orang” adalah orang, perseorangan, baik warga negara
Indonesia, warga
negara asing, maupun badan hukum.”
Di samping itu, penegasan dalam
pertanggungjawaban pidana terhadap
badan hukum juga terdapat dalam penjelasan Pasal 2 UU ITE yang menyatakan:
“Badan hukum Indonesia maupun
badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia merupakan subjek tindak
pidana U ITE”.
Demikian pula dalam Bab XI tentang
ketentuan pidana, dalam
Pasal 52 ayat (4) yang mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi. Dengan
demikian subjek
tindak pidana (yang dapat dipidana) menurut UU ITE dapat berupa orang
perorangan maupun
korporasi.
Dijadikannya korporasi sebagai
subjek tindak pidana UU ITE, maka sistem pidana dan pemidanaannya juga
seharusnya berorientasi pada korporasi. Menurut
Barda Nawai Arief apabila
korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam suatu undang-undang ini berarti,
harus ada ketentuan
khusus mengenai:[32]
a.
Kapan dikatakan
korporasi melakukan tindak pidana;
b.
Siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan;
c.
Dalam hal bagaimana
korporasi dapat dipertanggungjawabkan;
d.
Jenis-jenis sanksi apa
yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.
Redaksi pasal-pasal dalam UU ITE ( Pasal
1 sampai dengan Pasal 54) tidak mengatur kapan, siapa dan
bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan melakukan tindak pidana, tetapi dalam penjelasan
Pasal 52 (4) memberikan persyaratan/ kapasitas terhadap korporasi dan/atau oleh pengurus
dan/atau staf melakukan tindak pidana, yaitu:[33]
a.
mewakili korporasi;
b.
mengambil keputusan
dalam korporasi;
c.
melakukan pengawasan
dan pengendalian dalam korporasi;
d.
melakukan kegiatan demi
keuntungan korporasi.
Penjelasan Pasal 52 ayat (4) di atas
merupakan norma kapan, siapa dan bagaimana korporasi dapat
dipertanggungjawabkan melakukan tindak pidana. Idealnya norma-norma tersebut tidak
dicantumkan dalam ”penjelasan”, namun dirumuskan secara eksplisit dalam
perumusan pasal
tersendiri, semisal dalam aturan umum mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi.
Sedangkan jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan untuk korporasi
menurut UU ITE adalah pidana pokok berupa penjara dan denda yang dirumuskan
secara komulatif serta ada pemberatan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 52 ayat (4) yang isinya “dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan
Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah
dua pertiga”.
Pemberatan pidana terhadap
korporasi dalam UU ITE yakni penjatuhan denda ditambah dua pertiga tidak
memiliki aturan yang khusus, terutama mengenai pidana pengganti untuk denda
yang tidak dibayar. Ini berarti dikenakan ketentuan
umum KUHP (Pasal 30), yaitu denda kurungan
pengganti denda (maksimal 6 bulan, yang dapat menjadi 8 bulan apabila ada pemberatan pidana). Hal
ini menjadi masalah, apabila diterapkan terhadap korporasi, karena tidak mungkin korporasi
menjalani pidana penjara/kurungan pengganti. Hal yang lebih pokok dalam KUHP kita
sekarang belum mengatur pertanggungjawaban korporasi, hendaknya dibuat suatu aturan khusus
dalam UU ITE yang mengatur pertanggungjawaban korporasi terutama mengenai aturan
terhadap korporasi yang tidak dapat membayar denda.
Penerapan sanksi pidana pokok
berupa penjara dan denda terhadap korporasi dalam UU ITE hendaknya ditambahkan
jenis pidana tambahan atau tindakan yang ”khas” untuk korporasi, seyogianya
terhadap korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan misalnya pencabutan izin
usaha, penutupan/pembubaran korporasi dan sebagainya.
Kesimpulan
1.
Tindak pidana teknologi
informasi di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang No. 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksaksi Elektronik (UU ITE). Oleh karena itu,
tindak pidana tersebut bersifat khusus (lex specialist). Kebijakan hukum
terkait dengan masalah kriminalisasi dalam UU ITE tertuang dalam
Bab XI tentang Ketentuan Pidana (Pasal 45 sampai dengan Pasal 52) juncto Pasal 27 sampai
dengan Pasal 36. Dengan melihat pasal-pasal tersebut di atas dapat disimpulkan,
bahwa kualifikasi cyber crime yang ada dalam UU ITE adalah sangat berhubungan
dengan pemanfaatan teknologi informasi dan yang berkenaan dengan informasi dan
sistem informasi (information system) itu sendiri, di samping sistem
komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian/pertukaran informasi itu kepada pihak lainnya (transmitter/orginator
to recipient).
2.
Dalam UU ITE, korporasi
bisa menjadi subyek tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 1 sub 21 dan
penjelasan Pasal 2. Sedangkan siapa yang bertanggung jawab, sebagaimana dalam
penjelasan Pasal 52 (4), adalah orang yang: (1) mewakili korporasi, (2)
mengambil keputusan dalam korporasi, (3) melakukan pengawasan dan pengendalian
dalam korporasi, dan (4) melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi.
Sedangkan jenis
sanksinya berupa pidana pokok (penjara dan denda),
sebagaimana dalam Pasal 52 ayat (4).
Daftar
Pustaka
Abdul Wahib dan Mohammad Labib, Kejahatan
Mayantara (Cybercrime). Bandung:
Refika Aditama, 2005.
Agus Rahardjo, Cybercrime
Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Barda Nawawi Arief, Masalah
Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007.
Barda nawawi Arief, Pembaharuan
Hukum Pidana dalam Perspektif kajian Perbandingan. Bandung, Citra Adtya
bakti, 2011.
Barda Nawawi Arief, Tindak
Pidana Mayantara, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006.
Barda Nawawi Arif,
Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
M. Yusfidli Adhyaksana, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi dalam
Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI), Semarang:
Tesis- Universitas Diponegoro, 2008
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-teori
dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 2010.
Philemon Ginting, Kebijakan
Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi Informasi Melalui Hukum Pidana, Semarang:
Tesis-Universitas Diponegoro, 2008.
S. R Sianturi, Asas-asas Hukum
Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni,1989.
Teguh Prasetya dan Abdul Hakim
Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kriminalisasi dan Dekriminalisasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Admin, “Kejahatan Dunia Maya”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_dunia_maya, diakses 11-07-2012.
Admin, “Pertanggungjawaban Korporasi”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pertanggungjawaban_korporasi, diakses 11-07-2012.
Admin,
“Cyber Crime: Definisi, Jenis-jenis, dan Cara Penanggulangannya”,
dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/04/cyber-crime-definisi-jenis-jenis-dan-cara-penanggulangannya/, diakses 11-07-2012.
Andyaksa,
“Kejahatan Korporasi”, dalam http://andyaksalawclinic.blogspot.com/2011/05/kejahatan-korporasi.html, diakses 11-07-2012.
Bismar Nasution,
“Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya”,
dalam http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/, diakses 11-07-2012.
Putri Khairani, “Pertanggungjawaban Pidana Teknologi Informasi”,
dalam http://putrikhairanikoto.blogspot.com/2011/05/pertanggungjawaban-pidana-teknologi.html, diakses 11-07-2012.
[1]Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya.
[2]Dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
[3]Agus Rahardjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan
Kejahatan Berteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2002), hal. 20.
[4]Philemon Ginting, Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi
Informasi Melalui Hukum Pidana, (Semarang: Tesis-Universitas Diponegoro, 2008), hal. 3.
[5]Admin, “Kejahatan Dunia Maya”,
dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_dunia_maya, diakses 11-07-2012.
[6]Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan (Bandung, Citra Adtya bakti, 2011), hal. 136.
[7]Philemon Ginting, Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi
Informasi Melalui Hukum Pidana, (Semarang: Tesis-Universitas Diponegoro, 2008), hal. 3.
[8]Andyaksa, “Kejahatan Korporasi”, dalam http://andyaksalawclinic.blogspot.com/2011/05/kejahatan-korporasi.html, diakses 11-07-2012.
[10]Admin,
“Pertanggungjawaban Korporasi”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pertanggungjawaban_korporasi, diakses 11-07-2012.
[11]Andyaksa, “Kejahatan Korporasi”, dalam http://andyaksalawclinic.blogspot.com/2011/05/kejahatan-korporasi.html, diakses 11-07-2012.
[12]Bismar Nasution, “Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya”,
dalam http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/, diakses 11-07-2012.
[14]Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-teori dan Kebijakan Pidana (Bandung:
Alumni, 2010), hlm. 136.
[15]Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan (Bandung, Citra Adtya bakti, 2011), hal. 137.
[16]Admin,
“Pertanggungjawaban Korporasi”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pertanggungjawaban_korporasi, diakses 11-07-2012.
[18]Bismar Nasution, “Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya”,
dalam http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/, diakses 11-07-2012.
[19]Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003), hal. 224 – 225.
[20]M. Yusfidli Adhyaksana, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam
Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), (Semarang: Tesis- Universitas Diponegoro, 2008), hal. 14.
[21]Admin, “Cyber Crime: Definisi, Jenis-jenis, dan Cara Penanggulangannya”,
dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/04/cyber-crime-definisi-jenis-jenis-dan-cara-penanggulangannya/, diakses 11-07-2012.
[23]Abdul
Wahib dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cybercrime),
(Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 40.
[24]Philemon Ginting, Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi
Informasi Melalui Hukum Pidana, (Semarang: Tesis-Universitas Diponegoro, 2008), hal. 52.
[25]Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2007), hal. 24.
[26]Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan (Bandung, Citra Adtya bakti, 2011), hal. 144.
[28]S. R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, (Jakarta: Alumni,1989), hal. 219.
[29]Teguh Prasetya dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana
Kajian Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hal. 46.
[30]Putri Khairani, “Pertanggungjawaban Pidana Teknologi Informasi”, dalam http://putrikhairanikoto.blogspot.com/2011/05/pertanggungjawaban-pidana-teknologi.html, diakses 11-07-2012.
[32]Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2007), hal. 151.
[33]Penjelasan Pasal 52 (4) Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Tidak ada komentar
Posting Komentar