EKSISTENSI PEMIKIRAN
RASIONALITAS FORMAL : REFLEKSI
TENTANG PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Garuda Wiko·
A. Pendahuluan
Penegakan
hukum dapat dibicarakan dalam dua kategori besar, yaitu : pertama, sebagai
kelanjutan logis atau proses logis diciptakannya peraturan hukum. Kedua,
sebagai keterlibatan manusia dalam proses bekerjanya hukum (Rahardjo,
Satjipto., 2002 : 174). Kedua kategori besar ini merupakan bagian dari usaha
untuk mewujudkan tujuan yang diidealkan yaitu : membawa keadilan bagi sebanyak
mungkin orang. Kategori mana yang akan lebih mampu menjelaskan anatomi
penegakan hukum dengan segala problemanya, akan diuraikan secara lebih
terperinci pada bagian selanjutnya dari tulisan ini.
Sebagai
kelanjutan proses logis, penegakan hukum dilakukan dengan berpegang pada
koherensi premis-premis metode deduktifnya. Semakin premis-premis itu
menunjukkan peneguhannya satu sama lain,
semakin tinggi keyakinan akan kebenaran pengolahan logika yang dilakukan.
Hukum dengan demikian dipandang sebagai suatu mesin mekanis yang deterministik,
teramalkan dan menuruti urutan-urutan kejadian secara linier.
Dari
sudut yang berbeda, penegakan hukum dapat pula dipandang dalam konteks
keterlibatan manusia yang kompleks. Dari titik pandang ini, penegakan hukum
tidak dapat lagi sekedar dilihat sebagai proses logis semata tetapi juga harus
dilihat dalam horizon yang lebih luas. Misalnya saja bagaimana kinerja aparatus
dan validitas sosial peraturan perundangan yang akan ditegakkan.
Seringkali
bahkan peraturan perundangan dihasilkan lembaga legislatif justru menimbulkan
permasalahan baru. Dengan demikian peraturan perundangan berpotensi menjadi
kriminogen (Rahardjo, Satjipto., 2002 : 128). Singkatnya legal order yang
diharapkan tercapai dengan dibuatnya sekian banyak peraturan perundangan, tidak
selalu mampu mengukuhkan tertib sosial di dalam masyarakat.
Tugas
penegakan hukum yang pada intinya adalah mewujudkan isi peraturan perundangan
dalam kenyataan, harus dilihat dalam kaitannya
dengan faktor-faktor lain di sekitar perundangan itu sendiri. Terutama
kaitannya dengan tujuan utama yang hendak direalisasikan, yaitu : keadilan yang
substansial bagi seluruh lapisan masyarakat dan bukan keadilan prosedural
semata-mata.
Oleh
karena itu perlu dipahami beberapa hal yaitu : Pertama, aspek-aspek
historis positivisasi norma hukum ke dalam bentuk perundang-undangan. Kedua, pengetahuan tentang bagaimana
tipe-tipe hukum itu bekerja untuk mencapai tujuannya. Ketiga, bagaimana pemikiran
kritis yang berkaitan dengan pemaknaan hukum itu selayaknya ditempatkan
sebagai konstruksi intelektual alternatif
penegakan hukum di masa depan. Dengan pemahaman terhadap ketiga hal ini,
diharapkan carut marut persoalan
penegakan hukum di Indonesia
mendapatkan jawaban teoritiknya secara lebih fokus.
B. Positivisasi
Perundang-Undangan Dalam Konteks Penegakan Hukum
Mengikuti
apa yang dikemukakan oleh Unger, perkembangan hukum modern tidak terlepas dari
tipe-tipe perkembangan masyarakat yang bermula dari Tribal Society, Aristocratic
Society sampai dengan Liberal Society
(Unger, Roberto Mangabeira, 1976 : 140). Dalam Tribal Society, individu secara total terserap dalam masyarakat dan
biasanya hanya ada satu nilai yang menjadi pedoman tingkah laku. Tidak ada
perbedaan di antara individu-individu di dalam masyarakat, tidak ada negara dan
legislasi. Semboyannya adalah satu untuk semua dan semua untuk satu di bawah “Primus Inter pares” sebagai pemimpin.
Tribal Society kemudian
mengalami keambrukan (breakdown)
karena tidak dapat lagi menjawab perkembangan masyarakat yang demikian cepat.
Muncul kemudian Aristocratic Society.
Hal penting yang muncul pada tahap perkembangan ini adalah eksistensi state sebagai kekuasaan yang berada di
atas masyarakat. State dan government bertugas untuk menentukan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Mulai muncul hukum positif yang bersifat
publik atau yang dikenal pula dengan
Bureucratic law.
Bentuk
Aristocratic Society inipun kemudian
mengalami keambrukan, dikarenakan sebab yang sama dengan keambrukan Tribal Society, yaitu perubahan paculiar form of society yang menuntut
ideal of law/ideal of order yang
baru. Perubahan dimaksud adalah munculnya kaum borjuis yang membawa sistem produksi kapitalistik. Untuk
mewadahi capitalistic mode of production
ini diperlukan hukum yang memberikan kepastian. Oleh karena itu muncul kemudian
orde rule of law di bawah payung liberalisme dengan keutamaan pada rules and logic.
Sedikit berbeda dengan apa yang dikemukakan di atas, Poggi juga membagi proses pembentukan hukum modern itu ke dalam tahap-tahap : Feodalisme, Standestaat, Absolutisme, Masyarakat Sipil (Civil Society) dan Negara Konstitusional (Poggi, Gianfranco dalam Rahardjo, Satjipto., 1991 : 215). Masyarakat Feodal adalah suatu komunitas yang bersendikan hubungan khusus antara yang dipertuan dengan abdinya. Dengan demikian tidak ada suatu sistem hukum yang berlaku luas dan meliputi seluruh negeri. Struktur kekuasaan lalu menjadi terpecah-pecah ke dalam wilayah dan kelompok kecil yang isinya terdiri dari tuan dan pengikutnya. Dengan caranya sendiri feodalisme abad XIII – XIV telah turut menyumbang ke arah konsepsi Hukum Eropa (Barat). Proses ini berlangsung di kantong-kantong feodal, baik dengan cara irasional maupun kekerasan, tetapi telah menyentuh pula persoalan hak-hak dan keadilan meskipun masih partikular.
Pada abad XV
tampillah Standestaat sebagai suatu
sistem pengorganisasian masyarakat yang baru. Standestaat lebih memiliki acuan teritorial dan merangkum golongan
bangsawan, agamawan dan penduduk biasa (stande)
dalam status yang sama berhadapan dengan penguasa. Kedua unsur inilah yang
membentuk Standestaat. Sengketa hukum
juga tidak lagi berkisar pada hubungan feodal dengan hukum tradisi, tetapi
sudah melalui peraturan baru yang dihasilkan oleh pertemuan antara stande dengan penguasa.
Kemudian
terjadi sebuah proses dimana kekuatan penguasa
menjadi lebih dominan dalam
perbandingannya dengan stande, yang
dilanjutkan dengan hubungan yang tidak lagi terjadi di dalam Standestaat tetapi telah menjadi
hubungan antar negara. Lalu muncul kesadaran untuk memperkuat negara agar dapat
bertahan dalam persaingan. Hal ini menyebabkan terjadinya penyerahan
wilayah-wilayah kecil dalam kesatuan negara. Konsekuensinya negara lalu dapat
menentukan secara sepihak apa yang dikehendakinya. Mulailah tahap Absolutisme berkembang dalam kehidupan
hukum dan kenegaraan di Eropa abad XVIII.
Di masa
berlakunya sistem peraturan yang absolut tersebut, tampil kaum borjuis di Eropa. Mereka merupakan
usahawan kapitalis yang ingin mengidentifikasi diri sebagai suatu kelas
tersendiri, dan menghendaki terjadinya kompetisi untuk mencapai keadaan
keseimbangan (ekuilibrium). Kekuasaan dianggap menyebabkan tidak adanya suasana
kompetisi yang sepadan, karena ada golongan yang memilikinya dan ada yang
tidak. Kaum borjuis menghendaki adanya peraturan yang bisa menjamin sistem
pasar (sistem produksi kapitalistik) yang otonom. Peraturan semacam ini harus
dijalankan oleh suatu badan yang secara struktural berada di atas semua kelas,
yaitu yang mempunyai sifat publik khas
dan kedudukan berdaulat. Di sinilah
makna Civil Society itu
terdefenisikan. Masyarakat hanya merupakan kumpulan individu yang berkemampuan
melakukan kegiatan dan hubungan antar sesamanya jika digerakkan oleh hukum.
Perkembangan
mutakhir berikutnya adalah kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan yang secara
sadar dan sistematik didasarkan pada hukum (Negara
Konstitusional). Ciri yang menonjol
dari kehidupan konstitusional adalah terdapatnya suatu sistem peraturan hukum
yang menjadi kerangka bagi seluruh kegiatan dalam suatu negara. Sifat hukum yang diterima adalah sangat abstrak dan formal, mengatasi hukum-hukum yang diajukan oleh masing-masing
pihak yang bersengketa dalam suatu sengketa tradisi.
Inti
persoalan yang ingin dikemukakan dengan uraian mengenai perkembangan Hukum
Modern yang berciri positivistik ini dalam kaitannya dengan masalah penegakan
hukum adalah :
1.
Bahwa perkembangan hukum sampai dengan terbentuknya hukum modern sebagaimana yang berlaku di
Indonesia sekarang ini, melalui proses yang di bentuk oleh kekuatan dan kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
sesuai dengan perjalanan sejarahnya. Tampak jelas bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara bentuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu dengan ideal of law atau ideal of order
masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu penjelasan masalah tingkat kegagalan
atau keberhasilan penegakan hukum di Indonesia tidak dapat dipisahkan
begitu saja dari realitas sejarah ini. Kloning
hukum modern kedalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara selama ini diterima
begitu saja seperti suatu keharusan
sejarah. Padahal secara sosiologis perlu dikritisi apakah memang hukum
modern semacam ini cocok dengan kebutuhan dan tahap perkembangan masyarakat.
Misalnya saja tentu akan sulit untuk melakukan penegakan hukum yang muatannya secara substansial tidak
merepresentasikan ideal of law yang
khas dari masyarakat pra industri seperti di Indonesia , menuruti begitu saja
ketentuan hukum modern yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat
industrialis yang kapitalistik. Oleh sebab itu lalu muncul stereotif penegakan
hukum yang hanya berpihak kepada majikan pemilik modal, daripada keberpihakan
kepada pekerja. Penegakan hukum lalu hanya menjadi legitimasi perlindungan
terhadap golongan yang mampu (the
powerfull) lebih dari golongan yang tidak mampu (the powerless).
2.
Pada tataran paradigmatiknya, penegakan hukum yang
hanya dipandang sebagai penegakan hukum positif yang terjelma dalam bentuk
perundang-undangan negara juga menimbulkan persoalan tersendiri dalam proses
penegakan hukum. Tuntutan positivisasi
hukum yang akan ditegakkan itu tidak lain adalah merupakan konsekuensi
lanjutan saja dari ciri hukum modern yang dipayungi paradigma liberalisme yang
menjunjung tinggi ‘rules’ and ‘logic’ dan cenderung memberat pada
formalisme. Penegakan hukum lalu berfokus pada kebenaran formal (prosedural)
belaka dan tidak menjelajah lebih jauh pada pencarian kebenaran substansial.
Dalam proses penegakan hukum di lembaga peradilan, perundang-undangan dianggap
sebagai telah dapat mencukupi dirinya sendiri (self sufficient), tidak perlu lagi memperhatikan hal-hal di luar
hukum. Akibatnya muncul keputusan-keputusan badan peradilan yang dirasakan
sangat merendahkan rasa keadilan masyarakat.
Dalam
konteks Sistem Peradilan Pidana (SPP), dinyatakakan bahwa : tujuan utama dari
sistem Peradilan Pidana adalah untuk kesejahteraan publik, namun dalam
kenyataannya Sistem Peradilan Pidana menjadi agen-agen yang menumpulkan
kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan dan alokasi sumber-sumber yang lebih
merata dalam kehidupan. Kreditor, korporasi, orang-orang kaya, politisi, the powerfull cenderung memperoleh kemudahan dari lembaga peradilan dan
legislator, atau dapat dikatakan memperoleh keadilan substantif. Sementara
konsumen, debitor, buruh, wanita, “penjahat” dan kaum sekeng cenderung
memperoleh keadilan yang formal (Susanto, I.S., 2002 : 3).
C. Bekerjanya Tipe-Tipe Hukum
Modern : Represif, Otonom dan Responsif
Pengenalan
lebih jauh tentang hukum modern akan membawa kita pada kenyataan bahwa pada aras
penerapannya diperlukan prasyarat tertentu agar ia dapat berjalan sesuai dengan
tujuannya. Prasyarat dimaksud antara lain adalah kesiapan struktur dan
administratif. Ketidaksiapan struktur dan administratif menyebabkan hukum dapat
bersifat coersif, kendati negara
merupakan Negara Hukum. Kelangkaan tenaga yang terampil dan administrasi yang
mapan menyebabkan hukum lebih banyak harus bertumpu pada penggunaan pakasaan
(Rahardjo, Satjipto., 2002 : 44).
Menurut pendapat Nonet dan Selznick, tipe-tipe hukum
modern dibedakan atas : hukum represif,
Otonom dan responsif (Peters, A.A.G, dan Siswosubroto, Koesriani., 1990 : 158).
Penjelasan atas ketiga tipe hukum ini adalah sebagai berikut :
- Hukum Represif
Hukum
Represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan dan tertib sosial yang
represif. Ia kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat yang
diperintah dan bahkan cenderung untuk tidak perduli kepada
kepentingan-kepentingan tersebut. Suatu rezim represif adalah rezim yang
menempatkan semua kepentingan dalam keadaan yang tidak menentu, terutama
kepentingan yang tidak dilindungi kekuasaan.
Penegakan
hukum dengan cara represif memang sering kali dikaitkan dengan kekuasaan. Akan
tetapi ini tidak berarti bahwa cara-cara represif menunjukkan kekuasaan yang
besar. Sebaliknya represi harus dipandang sebagai tanda lemahnya kekuasaan
pemerintah. Bentuk-bentuk represi dapat muncul dengan wujud ketidakmampuan
pemerintah memenuhi tuntutan umum atau juga dalam bentuk kebijakan umum yang
terlalu berat sebelah.
Ciri-ciri yang
nampak secara umum dari hukum yang represif di antaranya adalah :
a.
Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi
kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan negara dan tunduk pada raison de’etat.
b.
Perspektif resmi mendominasi
segalanya. Dalam perspektif ini penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan
kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
c.
Kesempatan bagi masyarakat untuk mendapat keadilan
menjadi terbatas.
d.
Badan-badan pengawas khusus seperti polisi, menjadi
pusat-pusat kekuasaan yang bebas.
e.
Melembagakan keadilan
kelas dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola-pola sub-ordinasi
sosial.
- Hukum Otonom
Hukum
Otonom berbeda dengan Hukum Responsif. Hukum Represif mengabdi kepada
kekuasaan. Sedangkan Hukum Otonom berorientasi pada pengawasan atas kekuasaan
represif. Ciri-ciri terpenting Hukum Otonom antara lain adalah :
a.
Penekanan pada peraturan-peraturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi
kekuasaan resmi dan swasta.
b.
Terdapat pengadilan yang bisa didatangi secara bebas
yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi, memiliki
otoritas eksklusif untuk mengadili pelanggaran hukum baik oleh pejabat umum
maupun individu-individu swasta.
Dengan
hukum yang otonom, pengadilan berusah agar hukum ditegakkan secara adil. Hanya
saja sumbangannya baru sebatas pada perwujudan keadilan prosedural saja. Kelemahan lainnya terletak pada perhatian
yang terlalu besar pada pentaatan
peraturan secara ketat, yang pada akhirnya menjadi tujuan, lepas dari tujuan
hukum itu sendiri. Produk akhirnya adalah legisme
dan formalisme.
- Hukum Responsif
Sifat
Hukum Responsif mengandung suatu komitmen pada hukum dalam perspektif
pemakainya. Ada
keterbukaan pada tuntutan rakyat, tetapi tidak menuju pada sikap yang
oportunis. Dalam konteks ini dapat terjadi dilema pada institusi (hukum), terutama berhadapan dengan masalah integritas dan keterbukaan.
Integritas
berarti bahwa suatu institusi dalam melayani kebutuhan sosial tetap terikat
pada prosedur dan cara kerja yang membedakannya dengan institusi lain.
Sementara itu mempertahankan integritas dapat mengakibatkan terisolasinya institusi dari realitas
sosialnya. Ia lalu sulit dipahami karena akan berbicara dengan bahasanya
sendiri, konsepnya sendiri, beraksi dengan caranya sendiri an pada akhirnya
akan kehilangan relevansi sosialnya.
Di pihak
lain, keterbukaan sempurna juga akan membawa dilema. Bahasa institusi akan sama dengan bahasa yang
dipakai masyarakat pada umumnya, tidak lagi mengandung arti-arti khusus dan
aksi-aksi institusi akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di lingkungan
sosial. Akibatnya tidak ada lagi kemampuan institusi untuk menegakkan hukum.
Oleh
karena itu institusi (hukum) yang
responsif harus tetap memiliki suatu pedoman yang esensial bagi integritasnya,
tetapi juga memperhitungkan kekuatan-kekuatan baru dilingkungannya. Cita-cita
pokok Hukum Responsif sejatinya juga adalah legalitas dan kontinuitas. Tetapi
cita-cita legalitas tidak diikuti dengan pengutamaan aturan dan formalitas
prosedural. Reduksi kesewenang-wenangan melalui legalitas harus mampu melampaui
batas keteraturan formal dan keadilan prosedural, untuk mencapai keadilan yang
substantif.
Uraian
mengenai bekerjanya tipe-tipe hukum modern di atas, dari segi konseptual
mengetengahkan suatu opsi yang menarik dalam kerangka penegakan hukum di Indonesia .
Opsi yang dimaksud adalah bagaimana penegakan
hukum itu harus membawa keadilan
substantif bagi masyarakat. Sampai dengan saat ini masih dirasakan ada
sesuatu yang menghambat dalam kehidupan hukum di Indonesia , khususnya yang berkaitan
dengan penegakan hukum dalam rangka perwujudan keadilan substantif dimaksud.
Bagian
penting dari hambatan yang menyebabkan hukum Indonesia tidak dapat memberikan
keadilan, terletak pada pemikiran hukum yang umumnya dianut. Pertama, kita masih berpegang pada cara
berfikir analitis positivis. Kedua, hukum yang kita pakai adalah sistem hukum
liberal yang bertolak dari paradigma nilai liberal, yaitu kemerdekaan individu.
Sistem liberal memang dirancang untuk menjaga kemerdekaan individu, tetapi
tidak dirancang untuk memikirkan keadilan terhadap rakyat yang lebih besar
(Rahardjo, Satjipto., 2000 : 24).
Konsep
keadilan di bawah paradigma liberal memberikan titik tekan sekali lagi pada
arti pentingnya individu sebagai manusia yang berdasarkan kodrat kelahirannya
merupakan makhluk yang berkebebasan. Tak pelak lagi keadilan di bawah kuasa
paradigma liberal adalah keadilan yang komutatif. Keadilan komutatif bermakna
bahwa keadilan itu merupakan suatu proses pertukaran (co + mutation) antara
individu, untuk saling memberikan konsesi atas dasar kesepakatan yang
berlangsung secara sukarela. Keadilan yang dimaksud bukanlah sekali-kali
keadilan yang distributif atau keadilan yang diberikan atas dasar pembagian
sumber daya (Wigjosoebroto, Soetandyo., 2002 : 463).
Dalam
tataran yang lebih konkrit, saat ini timbul sekian banyak keluhan mengenai
kenerja institusi-institusi hukum yang tidak mampu memenuhi harapan pencari
keadilan. Legisme dan formalisme digunakan sebagai satu-satunya optik untuk
melihat ketertiban, sehingga ikhwal keadilan sebagai dasar bekerjanya hukum
terlupakan begitu saja.
Proses
peradilan kemudian lebih mendahulukan ritual prosedural untuk sebuah kemenangan , daripada mencari hal yang
lebih hakiki yaitu memberikan keadilan substansial. Fenomena seperti ini juga
ternyata terjadi di negara yang kehidupan hukumnya dianggap lebih dewasa yaitu
Amerika Serikat.
Pizzi
dalam bukunya Trial Without Truth
menggambarkan bagaimana pengadilan Amerika Serikat telah gagal mengungkapkan
kebenaran, karena terlalu banyak memberikan perhatian kepada hal-hal prosedural
dalam perkara yang dihadapi. Kasus O.J.Simpson merupakan contoh yang tepat
untuk menggambarkan pengadilan yang heavily
proceduralized dan dimanfaatkan oleh lawyer untuk mencapai kemenangan. Apa yang diharapkan menurut
Pizzi adalah : We would be far better off
with judges who acted consistently throughout the criminal process. The
starting point has to be a trial system that puts far more emphasis on truth,
and far less on gambling and winning and losing (Pizzi, William T., 1999 :
153).
D. Redefenisi Pemikiran
dan Kajian Hukum Sebagai Landasan
Penegakan Hukum Di Masa Depan
Berangkat
dari kenyataan-kenyataan sebagaimana telah diuraikan terdahulu, dirasakan
kebutuhan akan adanya peubahan pemikiran dan kajian hukum di Indonesia. Dengan
tidak menafikan pemikiran dan kajian hukum posistivistik dengan metode normatif
dogmatis-nya guna kepentingan penerapan hukum bagi profesional di pengadilan,
perlu pula diketengahkan pemikiran hukum sosiologis dengan metode empirisnya
guna kepentingan pengungkapan kebenaran objektif sebagai landasan kerja hukum.
Metode
normatif dogmatis sangat mengandalkan cara berfikir deduktif dan meneguhkan
kebenaran dengan koherensi premis-premis yang universal, a priori dan not
testable (dikenal pula dengan metode doktrinal). Dalam menghadapi kasus-kasus
partikular, perumusan yang abstrak dikonstruksikan untuk menentukan peristiwa
hukum seperti apa yang terjadi. Baru kemudian para profesional hukum (polisi,
jaksa, hakim dan pengacara) melihat apa jenis hukuman dan seberapa berat
hukuman yang dapat dijatuhkan menurut undang-undang. Sangat formal, linier, mekanistik, praktis dan
mengabdi pada tujuan penggunaan hukum semata-mata sebagai alat bekerja para
profesional. Kompleksitas kenyaaan seringkali direduksi dalam usaha menerangkan
kehadiran hukum yang logis rasional. Mengenai hal ini Sampford menyatakan :
sesungguhnya hukum itu tidak merupakan bangunan yang penuh dengan keteraturan
logis-rasional. Yang benar adalah bahwa manusialah yang berkepentingan ingin
melihat bahwa hukum itu adalah memang seperti itu (Sampford, Charles., dalam
Rahadjo, Satjipto., 2000 : 17).
Sejak
Permulaan abad ke 19 sampai dengan abad ke 20, sebenarnya telah berkembang
aliran pemikiran alternatif yang mengajukan kritik atas pandangan yang melihat
hukum bekerja secara mekanik, deterministik dan terpisah dari hal-hal diluar
hukum sebagaimana dikemukakan C.Langdell pada tahun 1870 ketika menjabat
sebagai Dekan Harvard Law School. Ia menyamakan hukum dengan ilmu eksakta
dimana para yuris bekerja di perpustakaan sebagai laboratoriumnya (Milovanovic,
Dragan., 1994 : 86).
Hal
ini sangat ditantang oleh Roscoe Pound dengan mengemukakan bahwa ada hubungan
fungsional antara hukum dan masyarakat. Ia juga lebih memberikan perhatian pada
hasil akhir penerapan dan penegakan hukum untuk mempengaruhi masyarakat. Untuk
itu perlu memperhatikan juga masalah ekonomi, sosial dan filosofi serta
membuang anggapan bahwa hukum itu mampu mencukupi dirinya sendiri. Hukum tidak
menciptakan kepuasan, tetapi hanya memberi legitimasi atas kepentingan manusia
untuk mencapai kepuasan tersebut dalam keseimbangan. Ajaran Pound yang
memasukkan dimensi sosial ini kemudian dikenal luas dengan nama Sociological
Jurisprudence.
Perkembangan
selanjutnya dari Sociological Jurisprudence adalah Realistic Jurisprudence aau
Legal Realism yang mulai muncul tahun 1920-1940 di Amerika Serikat. Tokoh-tokoh
yang dikenal antara lain Karl Llewelyn dan Jerome Frank. Pusat perhatian yang
diberikan adalah pada masalah ide pluralisme, dimana elemen formal rationality
harus disinergikan dengan substantif rationality untuk menghadapi
tantangan kompleksitas sosial
(kemajemukan masyarakat) dan intervensi negara yang semakin kentara. Kerja
hukum yang didasarkan pada rasionalitas formal yang deduktif boleh saja
dilakukan, tetapi tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan rasionalitas
substantif guna menemukan kebenaran materil.
Kepastian menurut bunyi
norma hukum yang formal tidak boleh lebih dipentingkan daripada kemaslahatan
yang didambakan secara riil oleh mereka yang hidup di dunia nyata ini. Kritik
yang diberikan atas cara kerja mekanis deduktif kaum positivis ada pada dua
tataran, yaitu rule skepticism yang
menggugat kebenaran premis mayor dan fact
skepticism yang menggugat kebenaran premis minornya (Wigjosoebroto,
Soetandyo., 2002 : 73). Frank bahkan secara radikal menambahkan bahwa pencarian
pada prediktabilitas dan kepastian dalam proses hukum adalah suatu ilusi
(Milovanovic, Dragan., 1994 : 94).
Melewati
masa tahun 1920-an, suara-suara Realistic Jurisprudence mulai aga mereda. Akan
tetapi tahun 1970 tiba-tiba saja muncul gugatan dan kritik yang sangat keras
pada ajaran formalisme yang juga ditentang oleh Sociological Jurisprudence dan
Realistic Jurisprudence. Dalam konstelasi politik hal ini antara lain didorong
oleh ekspresi perlawanan kebijakan pemerintah Amerika Serikat dalam perang Vietnam .
Perkembangan pemikiran kritis yang sejak tahun 1980 dikenal dengan The Critical
Legal Studies Movement (CLS) ini, dapat di bagi dalam tiga tahap perkembangan. Pertama, muncul pada awal tahun 1970
dengan pemikiran Kennedy yang tetap menunjukkan perlawanan pada formalisme
beserta dengan ajaran hukumnya. Kedua,
dimulai pada pertengahan tahun 1970 sampai dengan awal 1980, ditandai dengan
perluasan pada kritik internal pemikiran rasional formal. Kairys adalah
tokoh yang layak disebut dalam masa ini. Ketiga,
adalah rentang waktu pertengahan 1980 sampai dengan awal 1990. Pada masa ini
mulai dilakukan usaha untuk mengkonstruksi konsep dan teori kritis tentang
hukum.
Fokus-fokus
amatan yang dikemukakan gerakan hukum kritis ini antara lain adalah hal-hal
yang berkenaan dengan :
- Penyangkalan pada anggapan bahwa hukum itu
bersifat netral dan bekerja dengan silogisme yang linear. Kepercayaan
bahwa hukum itu bebas nilai, objektif, prediktif dan berkepastian dianggap
sebagai kebohongan (big-lie).
Tidak ada batas antara hukum dan politik.
- Penolakan yang kritis terhadap legitimasi.
Menurut mereka salah satu fungsi hukum adalah memberikan legitimasi atas
dominasi oleh elit kekuasaan. Masyarakat diarahkan untuk percaya bahwa
mereka diperintah dengan rule of law
not of men. Padahal melalui fungsi-fungsi legitimasi
--melalui formalisasi hukum-- yang berupa reifikasi dan hegemony,
masyarakat secara sadar maupun tidak diajak membentuk struktur dan
institusi yang mendominasi mereka. Demikian pula masyarakat akan
diperintah oleh elit pemegang kekuasaan yang dominan tanpa mereka
menyadari telah ditindas.
- Kritik juga diajukan pada pendidikan hukum yang
menghasilkan robot-robot yang bekerja berdasarkan sistem normatif yang
mekanis.
- Dalam pencarian teori gerakan pemikiran ini
cenderung pada penerapan weberian, marxis, chaos dan teori pluralistik.
- Hukum lebih dipandang sebagai suatu yang
otonominya relatif.
- Terminologi dekonstruksi --yang berbasis pada
pemikiran Derrida-- digunakan untuk menelusuri kepentingan-kepentingan
yang berada dibalik norma hukum.
- Menawarkan visi tentang tatanan masyarakat dan
tatanan hukum yang lebih dikehendaki. Unger adalah nama yang pantas
disebut dalam hal ini (Milovanovic, Dragan., 1994 : 95).
Dengan
mencermati pemikiran-pemikiran dari eksponen-eksponen Critical Legal Studies
ini, terlihat bahwa terdapat usaha untuk melakukan perubahan yang mendasar pada
aras paradigmatik hukum. Kegagalan-kegagalan penegakan hukum untuk mencapai
tujuan dasarnya, ternyata juga bersumber dari ketidaktepatan “payung” paradigma yang digunakan.
Secara selintas pergeseran paradigma
dalam penegakan hukum ini ditawarkan oleh Satjipto Rahardo dengan mengintrodusir
istilah Penegakan Hukum Progressif (Kompas, 12 Oktober 2002).
Hukum
memang mempunyai perspektif dasar atau paradigma. Adanya paradigma tersebut
membawa kita kepada kebutuhan untuk melihat hukum sebagai institusi yang
mengekspresikan paradigma tersebut (Rahardjo, Satjipto., 2000 : 59). Istilah
paradigma pertama kali digunakan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya The Structur of
Scientific Revolution pada tahun 1970. Kuhn menempatkan paradigma dalam inti
pemikirannya sebagai usaha untuk membantah asumsi bahwa ilmu itu berkembang
secara komulatif. Menurut kuhn ilmu berkembang melalui revolusi, yang
disebutnya dengan lompatan paradigma.
Konsep-konsepnya adalah tentang : pra paradigmatik – paradigma – ilmu normal –
anomali – revolusi ilmu. Paradigma berarti asumsi-asumsi dasar yang diyakini
ilmuwan dan menentukan cara
dia memandang gejala yang ditelaahnya (Wilardjo, L., 1990 : 134).
Dengan peregeseran paradigma, diharapkan penegakan hukum akan lebih memberikan tempat pada kemerdekaan manusia dari dominasi dan hegemoni kekuasaan yang mekanistik dan memberat pada formalisme. Lebih jauh lagi penegakan hukum juga dapat menghindarkan diri dari demoralisasi yang semata-mata didasarkan pada formal rationality.
E. Penutup
Pada
bagian akhir dari tulisan ini ingin dikemukakan dan ditegaskan kembali bahwa
penilaian atas kegagalan penegakan hukum di Indonesia dewasa ini tidak terlepas
dari masalah yang berkaitan dengan : Pertama,
dari segi substansi perundang-undangannya, kloning
hukum modern yang tumbuh dan berkembang bersama sejarah masyarakat industrialis
di Eropa Barat, tidak selalu mendapatkan kesesuaian dengan social value
masyarakat di Indonesia .
Kedua, konsentrasi pada usaha
menempatkan hukum yang otonom, telah menyebabkan proses penegakan hukum
terjebak pada rationalitas formal (formalisme) semata dan melupakan tujuan
mencapai keadilan yang substansial. Ketiga,
belum terjadi pergeseran paradigma yang signifikan dalam pemikiran hukum.
Tawaran pergeseran paradigma yang disodorkan baru sampai pada tahap wacana
akademis dan belum diterima secara luas baik oleh teoritisi maupun praktisi
hukum di Indonesia . Partisipasi publik dalam penegakan hukum juga
masih merupakan tanda tanya besar, karena selama ini terjadi dominasi dan
hegemoni pemaknaan hukum oleh elit kekuasaan saja. Padahal pada masa yang akan
datang hukum sangat diharapkan dapat lebih responsif terhadap kebutuhan
masyarakat sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Oleh sebab itu institusi
penegak hukum juga dituntut untuk lebih terbuka dan menggunakan bahasa yang mampu diterjemahkan oleh
masyarakat dengan nurani keadilannya, bukan sekedar keadilan dalam bahasa institusi penegak hukum itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Friedmann,
W, Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum,
PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta ,
1993.
Hart,
H.L.A., The Concept Of Law, Oxford
University Press, London , 1972.
Kelsen,
Hans, Teori Hukum Murni, Rimdi Press, Jakarta , 1995.
Keraf,
A.Sony & Dua, Mikhael, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis,
Kanisius, Yogyakarta , 2001.
Milovanovic,
Dragan, A Premiere in the Sociologi of Law, Harrow
and Heston Publisher , New York , 1994.
Patria,
Nezar dan Arief, Andi, Antonio Gramsci Negara & Hegemoni, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta , 2003.
Peter,
A.A.G. & Siswosoebroto, Koesriani, Hukum dan Perkembangan Sosial : Buku
Teks Sosiologi Hukum Buku III, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta , 1990.
Pizzi,
William T, Trial Without Truth : Why Our System of Criminal
Trials Has Become An Expensive Failure And What We Need To Do To
Rebuild It, New York
University Press, 1999.
Posner,
Richard A., Frontiers Of Legal Theory,
Harvard University, Cambridge, Massasuchetts, London, England, 2001.
Rawls,
John, Justice As Fairness, A Restatement, The Belknap Press Of Harvard
University Press, Cambridge,Massachusetts, London England, 2001.
Rahardjo,
Satjipto, Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung , 1991.
-------,
Rekonstruksi Pemikiran Hukum Di Era Reformasi : Menggugat Pemikiran Hukum
Positivistik Di Era Reformasi (Makalah), Program Doktor Ilmu Hukum
Undip, Semarang ,
2000.
-------,
Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidak-Teraturan (Teaching Order Findings
Disorder) : Tiga Puluh Tahun Perjalanan Intelektual Dari Bojong ke Pleburan
(Pidato Akhir Masa Jabatan Guru Besar), Fak.Hukum Undip, Semarang , 2000.
-------,
Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalahnya,
Universitas Muhamadiyah Surakarta, 2002.
Ritzer,
George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, PT.Rajawali
Grafindo Persada, Jakarta ,
2002.
Samekto,
FX.Adji, Studi Hukum Kritis : Kritik Terhadap Hukum Modern, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang ,
2003.
Susanto,
I.S., dan Tanya, Bernard L, (ed), Wajah Hukum Di Era Raformasi, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Sampford,
Charles, The Disorder Of Law, A Critique Of
Legal Theory, Basil Blackwill Ltd, New York , 1989.
Sidharta,
Bernard Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, CV.Mandar Maju, Bandung , 1999.
Tanya,
Bernard L, Beban Budaya lokal Menghadapi hukum Negara ; Analisis Budaya Atas
Kesulitan Sosio-Kultural Orang Sabu Menghadapi Regulasi Negara (Disertasi),
Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2000.
Unger,
roberto Mangabeira, Law In Modern Society : Toward Cristism of Social Theory,
The Free Press, A Division of Macmillan Publising Co., Inc, New York, Collier
Macmillan Publisers, London, 1976.
-------,
Gerakan Studi Hukum Kritis, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat, Jakarta , 1999.
Wignyosoebroto,
Soetandyo, Hukum : Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam, Jakarta , 2002.
Wilardjo, Liek, Realita
dan Desiderata, Duta Wacana University Press, 1990.
Waters,
Malcom, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London.Thousand
Oak.New Delhi ,
1994.
Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, Masalah-Masalah Hukum, Vol.XXXI No.3
Juli-September 2002.
Tidak ada komentar
Posting Komentar