HAK WARIS ANAK HASIL INSEMINASI
BUATAN MENURUT KUH PERDATA
Hermin Indrarini
ABSTRAK
Bayi tabung (inseminasi buatan) pada satu pihak merupakan hikmah, proses
tersebut dapat membantu pasangan suami istri yang subur tetapi karena suatu
gangguan pada organ reproduksi, mereka tidak dapat mempunyai anak. Dalam kasus
ini, sel telur istri dan sperma suami dipertemukan di luar tubuh dan zigot yang
terjadi ditanam dalam kandungan istri. Dalam hal ini kiranya tidak ada pendapat
pro dan kontra terhadap bayi yang lahir karena merupakan keturunan genetik
suami dan istri. Akan tetapi seiring perkembangannya, mulai timbul persoalan
dimana semula program ini dapat diterima oleh semua pihak karena tujuannya yang
“mulia” menjadi pertentangan. Banyak pihak yang kontra dan pihak yang pro.
Pihak yang pro dengan program ini sebagian besar berasal dari dunia kedokteran
dan mereka yang kontra berasal dari kalangan alim ulama. Artikel ini tidak akan membahas mengenai pro kontra yang ada tetapi akan membahas
mengenai aspek hukum perdata yang menekankan pada kedudukan dari si anak dan
segala akibat yang mengikutinya.
Kata kunci: bayi tabung, inseminasi buatan, kedudukan, hak mewaris
ABSTRACT
In vitro fertilization (artificial insemination) on the one hand is the
wisdom, the process can help infertile couples but as a disorder of the
reproductive organs, they can not have children. In this case, the egg and the
wife met the husband's sperm outside the body and the zygote is implanted in
the womb occurs wife. In this case there is presumably no opinion on the pros
and cons of babies born as a genetic ancestry husband and wife. However, as its
development, problems began to arise where the original program can be accepted
by all parties for the purpose of "noble" to the conflict. Many of
the cons and pros parties. Parties pro with this program comes largely from the
world of medicine and those who come from the counter of the scholars. Skipsi
will not discuss the pros and cons are there but will discuss the aspects of
civil law that emphasizes the position of the child and all the consequences
that follow.
Key words: in vitro fertilization, artificial insemination, the position,
inherited rights
Pendahuluan
Perkembangan segala sesuatunya dimuka bumi ini akan selalu membawa dua sisi yaitu positif dan negatif. Begitu pula halnya
dengan perkembangan bioteknologi yang walaupun membawa pengaruh sangat besar
bagi kehidupan manusia, tak dapat dihindarkan memiliki potensi untuk
mendatangkan kerugian.
Bioteknologi adalah merupakan
teknologi mutakhir yang dewasa ini berkembang pesat yang diharapkan akan
menyebabkan revolusi teknologi generasi baru. Sebenarnya bioteknologi bukan
merupakan hal baru bagi peradaban manusia karena pembuatan tempe, tape, kecap,
dan tuak telah menunjukkan adanya pemanfaatan mikroba untuk mengubah bahan
dasar menjadi bahan yang bernilai ekonomis dalam taraf sederhana atau
tradisional. Bioteknologi tradisional bersifat sederhana dengan menggunakan
jasad renik (mikroba) alami yang pada mulanya penggunaannya bersifat untung-untungan
belum berdasarkan ilmiah. Sedangkan bioteknologi modern saat ini menggunakan
organisme hasil rekayasa genetik melalui perlakuan yang mengubah landasan
penentu kemampuan hidup, yaitu mengubah tatanan gen yang menentukan sifat
spesifik suatu organisme, sehingga proses pengubahan dapat berlangsung secara
lebih efisien dan efektif. Selain itu dituntut pula untuk hasil yang lebih
komersial.
Bidang-bidang tersebut diatas
yang tercakup dalam ruang lingkup bioteknologi menurut ukuran orang awam, bila
diperhatikan sebagian besar berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari. Salah
satunya adalah inseminasi buatan (bayi tabung) dimana bidang ini mau tidak mau
menyentuh sisi personal/pribadi dari kehidupan manusia. Telah diketahui bersama
bahwa segala sesuatu yang bersinggungan dengan sisi personal/pribadi dari
kehidupan manusia selalu menimbulkan pro dan kontra apapun itu masalahnya.
Pada mulanya program pelayanan
bayi tabung bertujuan untuk menolong pasangan suami istri yang
tidak mungkin memiliki keturunan secara alamiah disebabkan tuba falopii
istrinya mengalami kerusakan yang permanen. Namun kemudian mulai ada
perkembangan dimana kemudian program ini diterapkan pula pada pasutri yang
memiliki penyakit atau kelainan lainnya yang menyebabkan tidak dimungkinkan
untuk memperoleh keturunan.
Bayi tabung (inseminasi
buatan) pada satu pihak merupakan hikmah, proses tersebut dapat membantu
pasangan suami istri yang subur tetapi karena suatu gangguan pada organ
reproduksi, mereka tidak dapat mempunyai anak. Dalam kasus ini, sel telur istri
dan sperma suami dipertemukan di luar tubuh dan zigot yang terjadi ditanam
dalam kandungan istri. Dalam hal ini kiranya tidak ada pendapat pro dan kontra
terhadap bayi yang lahir karena merupakan keturunan genetik suami dan istri. Akan
tetapi seiring perkembangannya, mulai timbul persoalan dimana semula program
ini dapat diterima oleh semua pihak karena tujuannya yang “mulia” menjadi
pertentangan. Banyak pihak yang kontra dan pihak yang pro. Pihak yang pro
dengan program ini sebagian besar berasal dari dunia kedokteran dan mereka yang
kontra berasal dari kalangan alim ulama. Artikel ini tidak akan
membahas mengenai pro kontra yang ada tetapi akan membahas mengenai aspek hukum
perdata yang menekankan pada kedudukan dari si anak dan segala akibat yang
mengikutinya.
Inseminasi buatan menjadi
permasalahan hukum dan etis moral bila sperma/sel telur datang dari pasangan
keluarga yang sah dalam hubungan pernikahan. Hal ini pun dapat menjadi masalah
bila yang menjadi bahan pembuahan tersebut diambil dari orang yang telah
meninggal dunia. Jika benihnya berasal
dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro
transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut
baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah
(keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris
dan hubungan keperdataan lainnya. Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam
rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu
lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari
pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu
bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun
dengan bekas suami ibunya.
Jika Suami mandul dan Istrinya
subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro
transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan
dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi
pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki
status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya
sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau
tes DNA.
Jika semua benihnya dari
donor, jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak
terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang
wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak
sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan
yang terikat dalam perkawinan yang sah. Jika diimplantasikan ke dalam rahim
seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena
gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak
tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya.
Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan
biologis sebagai anaknya.
Negara yang memberlakukan hukum Islam sebagai hukum
negaranya, tidak diperbolehkan dilakukannya inseminasi buatan dengan donor dan
sewa rahim. Negara Swiss melarang pula dilakukannya inseminasi buatan dengan
donor. Sedangkan Lybia dalam perubahan hukum pidananya tanggal 7 Desember 1972
melarang semua bentuk inseminasi buatan.
Larangan terhadap inseminasi buatan dengan sperma suami
didasarkan pada premis bahwa hal itu sama dengan usaha untuk mengubah rancangan
ciptaan Tuhan.
Dari segi hukum, di Indonesia telah terdapat peraturan
perundang-undangan tentang kehamilan di luar cara alami itu, yaitu bahwa cara
tersebut hanya dapat dilakukan pada pasangan suami istri yang sah, dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan
pada sarana kesehatan yang memenuhi syarat. Dengan demikian, masalah
donasi oosit, sperma dan embrio, masalah ibu pengganti adalah bertentangan
dengan hukum yang berlaku dan juga etik kedokteran.
Permasalahan
1. Bagaimanakah kedudukan hak waris dari anak
yang dilahirkan melalui proses inseminasi buatan?
2. Bagaimanakah hubungan perdata bayi
tersebut dengan orang tua biologisnya? Dan bagaimana status hak waris yang
dimilikinya?
Pembahasan
Pelayanan terhadap bayi tabung
dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah fertilisasi-in-vitro yang
memiliki pengertian sebagai berikut: Fertilisasi-in-vitro adalah pembuahan sel
telur oleh sel sperma di dalam tabung petri yang dilakukan oleh petugas medis.
Inseminasi buatan pada manusia sebagai suatu teknologi reproduksi berupa teknik
menempatkan sperma di dalam vagina wanita, pertama kali berhasil dipraktekkan
pada tahun 1970. Awal berkembangnya inseminasi buatan bermula dari ditemukannya
teknik pengawetan sperma. Sperma bisa bertahan hidup lama bila dibungkus dalam
gliserol yang dibenamkan dalam cairan nitrogen pada temperatur -321 derajat
Fahrenheit.
Pada mulanya program pelayanan
ini bertujuan untuk menolong pasangan suami istri yang tidak mungkin memiliki
keturunan secara alamiah disebabkan tuba falopii istrinya mengalami kerusakan
yang permanen. Namun kemudian mulai ada perkembangan dimana kemudian program
ini diterapkan pula pada pasutri yang memiliki penyakit atau kelainan lainnya
yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk memperoleh keturunan.
Pasangan suami-isteri yang
dapat mengikuti program bayi tabung haruslah memenuhi beberapa persyaratan
tertentu, baik dari segi kesiapan mental/spiritual, medis maupun dari segi
finansial. Walaupun program bayi tabung merupakan hak bagi pasangan
suami-isteri yang mandul (infertil), namun tidak semuanya dapat mengikuti
program tersebut.
Kedudukan Anak Yang Dilahirkan Melalui Proses Bayi Tabung Dalam Hukum Waris
Di dalam hukum waris BW tidak
ada suatu ketentuan yang mengatur secara khusus tentang warisan anak yang
dilahirkan melalui proses bayi yang menggunakan sperma suami, tetapi yang ada
hanya mengatur tentang warisan yang dilahirkan secara alamiah, seperti warisan
anak sah, dan anak luar kawin yang diakui. Namun tidak berarti bahwa ketentuan
tersebut tidak dapat diterapkan terhadap anak yang dilahirkan melalui proses
bayi tabung yang menggunakan sperma suami. Caranya yaitu dengan mengkaitkan
dengan kedudukan yuridis anak tersebut. Karena kedudukan yurisdis mempunyai
pengaruh dalam menentukan berhak atau tidaknya seorang anak terhadap warisan
yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
Di atas telah ditentukan bahwa kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung yang menggunakan sperma suami, adalah
sebagai anak sah. Oleh karena anak itu dilahirkan dalam atau sebagai akibat
dari perkawinan yang sah. Walaupun proses pembuahannya tidak dilakukan secara
alami, dan anak jenis ini dapat disamakan dengan anak kandung.. Anak kandung
berhak untuk mendapatkan warisan dari orang tua kandungnya, apabila orang tuanya (pewaris) telah
meninggal dunia (Pasal 830 BW). Sedangkan bagian yang harus diterimanya adalah
sama besarnya di antara para ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan dan
tidak dibedakan antara yang lahir terdahulu maupun kemudian (Pasal 852 BW).
Pasal 830 KUHPerdata berbunyi :
”Perwarisan hanya berlangsung karena kematian”
Pasal 852 KUHPerdata berbunyi :
”Anak-anak
atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan
sekalipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga
sedarah mereka selanjutnya dalam garis
lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada
perbedaan berdasarkan kelahiran terlebih dahulu.
Di dalam kesimpulan hasil Seminar Hukum Nasional ke-IV
yang diadakan di Jakarta dari tanggal 26 sampai 30 Maret 1979 telah dirumuskan
fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan[1],
adalah seperti berikut:
1.
Pengatur, penertib dan pengaman
kehidupan masyarakat.
2.
Penegak keadilan dan pengayom
warga masyarakat terutama yang mempunyai kedudukan sosial ekonomi lemah
3.
Penggerak dan pendorong
pembangunan dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan
4.
Pengaruh masyarakat pada
nilai-nilai yang mendukung usaha pembangunan
5.
Faktor penjamin keseimbangan
dan keserasian yang dinamis dalam masyarakat yang mengalami perubahan yang
cepat
6.
Faktor integrasi antara
berbagai sub sistem budaya
Dari keenam fungsi tersebut, maka dapat diringkas
menjadi tiga fungsi hukum, antara lain:
1.
Hukum sebagai alat penyeimbang
dalam kehidupan masyarakat.
2.
Hukum sebagai alat social
engineering
3.
Hukum berfungsi sebagai
pengintegrasi system budaya, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan tujuan dan fungsi
hukum, adalah:
“Disamping ketertiban, tujuan lain daripada hukum adalah tercapainya
keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya.
Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diusahakan adanya kepastian
dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Yang penting sekali bukan saja
bagi suatu kehidupan masyarakat teratur, tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu
organisasi hidup yang melampaui batas-batas sekarang. Karena itulah terdapat
lembaga-lembaga hukum seperti misalnya:
1.
Perkawinan, yang memungkinkan
kehidupan tak dikacaukan oleh hubungan antara laki-laki dan perempuan
2.
Hak Milik.
3.
Kontrak yang harus ditepati
oleh pihak yang mengadakannya.
Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang
dijelmakan olehnya, manusia tak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan
yang diberikan oleh Tuhan kepadanya secara optimal dalam masyarakat tempat ia
hidup.”[2]
Selain pendapat di atas, maka Sudikno Mertokusumo juga
mengemukakan pendapat dan pandangannya tentang hakikat atau esensi hukum. Ia
mengatakan bahwa:
“Hukum sebagai salah satu perlindungan kepentingan
manusia berujud himpunan peraturan tentang bagaimana seyogianya manusia
berperilaku agar kepentingannya terlindungi, yang disertai ancaman bagi yang
melanggarnya. Hukum melindungi kepentingan manusia dengan mengatur tatanan
kehidupan manusia dalam kehidupan bersama dan membagi hak dan kewajiban serta
mengusahakan kepastian hukum. Jadi manusia berkepentingan bahwa ada kepastian
akan kedudukan hukum serta hak dan kewajibannya.[3]
Pandangan di atas, melihat hukum sebagai suatu kaidah untuk
melindungi kepentingan manusia yang mengatur:
1.
Tatanan manusia dalam kehidupan
bersama
2.
Membagi hak dan kewajiban
3.
Mengusahakan terciptanya
kepastian hukum
Kaidah hukum itu muncul disebabkan karena ada dua
manusia yang Saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Disamping itu
kaidah hukum juga muncul disebabkan oleh adanya penemuan baru, baik dibidang
ekonomi maupun dibidang kedokteran.
Salah satu hasil penemuan di bidang kedokteran adalah
dengan telah ditemukannya cara-cara baru dalam mereproduksi manusia, yang dalam
istilah kedokteran disebut dengan fertilisasi in vitro atau lebih popular
dengan istilah bayi tabung. Hal ini belum diatur dalam hukum positif Indonesia , yang
ada hanya mengatur tentang kedudukan yuridis anak yang dilahirkan secara
alamiah, dan hal ini diatur didalam KUH Perdata dan UU Nomor 1 Tahun 1974.
Sedangkan masalah bayi tabung sendiri merupakan kepentingan manusia yang perlu
mendapat perlindungan hukum.
Kedudukan Hukum Anak yang
dilahirkan Melalui Proses Bayi Tabung
Hukum yang mengatur tentang bayi tabung di Indonesia
belum ada, sedangkan hukum positif yang mengatur tentang status hukum anak,
apakah itu anak sah maupun anak luar kawin diatur di dalam KUH Perdata dan Undang-undang
No. 1 Tahun 1979.
Di dalam pasal 250 KUHPerdata diatur tentang pengertian
anak sah. Anak sah adalah tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan
sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Selanjutnya dalam
pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa “Anak sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah”.
Pengertian anak sah yang disebutkan dalam kedua
Undang-undang tersebut bertitik tolak dari hasil hubungan seksual yang
dilkakukan secara alami antara pasangan suami-isteri dan pasangan suami-isteri
tersebut terikat dalam perkawinan yang sah. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan
intervensi manusia (dokter), misalnya dalam membantu pasangan suami-isteri yang
mandul belum pernah terpikirkan oleh pembentuk Undang-undang pada saat itu.
Sehingga dalam pasal 4 ayat (2 c) UU Nomor 1 Tahun 1974 diatur tentang
kewenangan Pengadilan untuk memberikan izin kepada suami untuk kawin lebih dari
satu apabila isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Tetapi dengan adanya teknologi bayi tabung, maka syarat
yang tercantum dalam pasal 4 ayat (2 c) UU Nomor 1974 perlu diadakan
penyempurnaan. Oleh karena itu setiap suami yang ingin mengadakan perceraian
dengan alasan isterinya tidak dapat melahirkan keturunan secara alami karena
adanya kelainan fisik, sepeti tubanya tersumbat atau endometriosis, maka
pasangan suami-isteri dapat disarankan oleh hakim,alim ulama, BP4 maupun orang
tuanya untuk mengikuti program bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum
dari pasangan suami-isteri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam
rahim isteri. Karena dengan cara ini pasangan suami-isteri yang mandul dapat memperoleh
anak. Di samping cara itu, maka kemungkinan lain untuk memperoleh anak adalah
dengan cara pengangkatan anak, anak piara, anak pungut, anak asuh dan lain
sebagainya.
Apabila cara bayi tabung yang menggunakan sperma dan
ovum dari pasangan suami-isteri lalu embrionya ditransplantasikan ke dalam
rahim isteri ternyata juga tidak berhasil untuk memperoleh anak, maka pasangan
itu baru diperkenankan untuk mengadakan perceraian. Sehingga Pasal 4 ayat (2 c)
UU Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Isteri tidak dapat melahirkan keturunan”,
dapat disempurnakan menjadi Isteri tidak
dapat melahirkan keturunan secarah alamiah atau melalui proses bayi tabung
(fertilisasi in vitro).
Apabila upaya yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri
yang mengikuti program bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari
pasangan suami-isteri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim
isteri berhasil memperoleh anak, apakah anak tersebut dapat dikualifikasikan
sebagai anak sah atau tidak? Apabila ditinjau dari sperma dan ovum yang
digunakan serta tempat embrio yang ditransplantasikan ke dalam rahim isteri,
maka nampaklah bahwa:
a.
Anak itu secara biologis anak
dari pasangan suami-isteri
b.
Yang melahirkan anak itu adalah
isteri dari suami
c.
Orang tua anak itu terikat
dalam perkawinan yang sah
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anak yang
dilahirkan melalui teknik bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari
pasangan suami-isteri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim
isteri secara huku dapat dikatakan sebagai anak sah. Oleh karena anak itu
dilahirkan dalam perkawinan yang sah, sperma dan ovum dari pasangan
suami-isteri, serta yang mengandung dan melahirkan adalah isteri dari suami.
Sedangkan intervensi teknologi adalah semata-mata untuk membantu proses pembuahannya
saja. Dan pembuahannya terjadi dalam tabung gelas, proses selanjutnya tetap
berada dalam rahim isteri.
Hubungan Perdata Anak Yang
Dilahirkan Melalui Proses Bayi Tabung Dengan Orang Tua Biologisnya
Berikut ini dikemukakan pendapat dan pandangan teoretisi
dan praktisi di bidang hukum mengenai status hukum anak yang dilahirkan melalui
proses bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri
kemudian embrionya di transplantasikan ke dalam rahim isteri.
Bismar Siregar, mengemukakan bahwa: “lahirnya keturunan
melalui bayi tabung,bukan sesuatu yang haram, tetapi kebolehan, dengan syarat
dan ketentuan benih dari suami, lahannya rahim isteri. Kedudukan anaknya sah.
Sedangkan di laur itu haram tergolong perzinahan,jangan memasyarakatkan”.[4]
Pandangan di atas, senada dengan apa yang dikemukakan
oleh Sudikno Mertokusumo dan Purwoto S. Gandasubrata.
Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa:
“Dengan lahirnya teknologi canggih yang menghasilkan
bayi tabung, sepasang suami-isteri yang tidak mempunyai anak dan
menginginkannya makin lama akan makin lebih suka memperoleh bayi tabung
daripada mengangkat orang lain (hal ini tergantung pada pendidikan dan
kesadaran). Kedudukan yuridis bayi tabung pun seperti halnya angkat angkat,
yaitu “menggantikan” atau sama dengan anak kandung. Jadi anak yang dilahirkan
melalui bayi tabung hak dan kewajibannya sama dengan anak kandung. Ia berhak
atas pemeliharaan, pendidikan dan warisan dari orang tuanya.”.[5]
Sedangkan menurut Purwoto S. Gandasubrata, bahwa:
“Hukum di Indonesia sebenarnya telah memberikan jalan
kepada sepasang suami-isteri yang tidak dikaruniai anak-keturunan untuk
menggunakan lembaga hukum: mengangkat anak/ adopsi, anak piara, anak pungut,
anak asuh, dan sebagainya untuk mengisi kekosongan dalam hidup kekeluargaan/
rumah tangganya. Selain itu dapat pula ditempuh cara lain yang mungkin
dirasakan kurang terpuji, yakni: , yakni: poligami secara baik dengan
persetujuan isteri yang mandul, apabila hukumnya membenarkan hal itu ataupun
dengan melakukan “kawin kontrak” khusus untuk memperoleh anak yang kurang
manusiawi. Namun apabila jalan hukum itu tidak ingin ditempuhnya, maka proses
“bayi tabung” yang menggunakan ovum berasal dari pasangan suami-isteri dan
embrionya dipindahkan ke rahim isteri itulah yang masih dapat diterima/dipertanggung-jawabkan
sebagai “pintu darurat” yang menurut hukum dan mungkin menurut agama masih
dapat dibenarkan.[6]
Pada prinsipnya ketiga pendapat dan pandangan di atas
menyetujui penggunaan teknik bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari
pasangan suami-isteri kemudian embrionya ditransplatasikan ke dalam rahim
isteri dan kedudukan yuridis anak tersebut adalah anak sah. Anak sah mempunyai
hak dan kewajiban yang sama dengan anak yang dilahirkan secara alami.
Masalah hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 49 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Undang-undang Pokok Perkawinan.
Pasal 45 UU Nomor 1 Tahun 1974 :
1.
Kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
|
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1
pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban
mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46 UU Nomor 1 Tahun 1974 :
1.
Anak wajib menghormati orang tua
dan mentaati kehendak mereka yang baik.
2.
Jika anak telah dewasa, ia
wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus
ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47 UU Nomor 1 Tahun 1974 :
1. Anak yang belum mencapai umur
18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
2. Orang tua mewakili anak
tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Pasal 48 UU Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi:
“ Orang tua tidak
diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya.”
Pasal 49 UU Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi :
“ Salah seorang
atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau
lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga
anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau
pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan
kewajibannya terhadap anaknya.
b. Ia berkelakuan buruk
sekali.
c. Meskipun orang tua dicabut
kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan
kepada anak tersebut.”
Status Hak Waris Anak Yang
Dilahirkan Melalui Proses Bayi Tabung
Program bayi tabung merupakan salah satu cara untuk
memiliki anak bagi pasangan suami isteri yang mengalami infertilitas.
Pelaksanaan bayi tabung tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang kesehatan dan dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan.
Dalam kedua peraturan tersebut pelaksanaan bayi tabung
yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu
menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian
embrionya ditanam dalam rahim isteri. Hal ini dilakukan untuk menjamin status
anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami isteri tersebut. Penetapan
seorang anak sebagai anak sah adalah berdasar pada pasal 42 Undang-Undang nomor
1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi :
“Anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
Inseminasi buatan menjadi permasalahan hukum dan etis
moral bila sperma/sel telur datang dari pasangan keluarga yang sah dalam
hubungan pernikahan. Hal ini pun dapat menjadi masalah bila yang menjadi bahan
pembuahan tersebut diambil dari orang yang telah meninggal dunia. Jika benihnya berasal dari Suami Istri,
dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke
dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis
mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut.
Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya. Jika
ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai
dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai
status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah
masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak
memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum ps.
255 KUHPerdata.
Pasal 255 KUHPerdata yang berbunyi :
“Anak yang
dilahirkan tiga ratus hari setelah perkawinan dibubarkan, adalah tak sah”
Untuk membuktikan secara hukum bahwa seorang anak adalah
anak sah dari pasangan suami isteri, yang dibutuhkan adalah sebuah akta
kelahiran dari anak tersebut. Akta tersebut berisi nama, hari, tanggal, kota anak tersebut lahir
dan nama kedua orang tua dari anak tersebut. Karena anak hasil bayi tabung
merupakan anak sah, maka hak dan kewajiban dari anak yang dilahirkan dengan
menggunakan program bayi tabung sama dengan anak yang tidak menggunakan program
bayi tabung. Sehingga anak hasil bayi tabung dalam hukum waris termasuk kedalam
ahli waris golongan I yang diatur dalam pasal 852 KUH Perdata.
Pasal 852 KUHPerdata yang berbunyi :
“Anak-anak atau
sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekalipun,
mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek atau
semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas,
dengan tiada perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada perbedaan
berdasarkan kelahiran lebih dahulu.”
Kesimpulan
1.
Jika benihnya berasal dari
Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro
transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut
baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai status sebagai anak sah
(keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Walaupun proses pembuahannya tidak dilakukan
secara alami, dan anak jenis ini dapat disamakan dengan anak kandung. Anak
kandung berhak untuk mendapatkan warisan dari orang tua kandungnya Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan
hubungan keperdataan lainnya.
2.
Anak kandung berhak untuk mendapatkan
warisan dari orang tua kandungnya,
apabila orang tuanya (pewaris) telah meninggal dunia. Sedangkan bagian
yang harus diterimanya adalah sama besarnya di antara para ahli waris, baik
laki-laki maupun perempuan dan tidak dibedakan antara yang lahir terdahulu
maupun kemudian.
|
Bismar Siregar, H., Bayi
Tabung Ditinjau Dari Aspek Hukum Pancasila, Makalah pada Simposium tentang:
“Eksistensi Bayi Tabung Ditinjau dari Aspek Medis, Hukum, Agama, Sosiologi, dan
Budaya, F. H. UNISRI, Surakarta, 1989.
Fletcher, John C., Reproductive Technologies, Edited by James F. Childress and John
Macquarrie, S.C.S.M., A New Dictionary of Christian Ethics, Fress Ltd, 1986.
Fred Ameln, Aspek Etis-Yuridis Bayi Tabung dan Bentuk-bentuk Lain dari Prokreasi,, Makalah pada Pertemuan Ilmiah PERHUKI,
Jakarta, 1988.
Hukum dan Keadilan, Kesimpulan-kesimpulan Seminar Hukum Nasional,
ke-IV, Edisi 18, Tahun IX , Maret-April, 1981, hal 45.
Jones, Jr., MD., Howard, W., Ethical Issues in Vitro Fertilization, Edited Charlotte Schrader,
Ph. D., In Vitro Fertilization Norfolk, Waferly Press Inc. USA, 1986.
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi
dan perkembangan hukum Dalam Pembangunan, Bina Cipta, Bandung, Tanpa tahun.
Purwoto S. Gandasubrata, Pekembangan
Teknologi Reproduksi Baru dan Implikasi Hukumnya, Makalah disampaikan pada
Seminar Sehari “Perkembangan Reproduksi Baru dan Implikasi Hukumnya”, ISWI, Jakarta , 1989.
Salim, HS., Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta , 1993.
|
Sudikno Mertokusumo, Bayi
Tabung Ditinjau Dari Hukum, Makalah pada Seminar Bayi Tabung, FK-UGM,
Yogyakarta,1990.
Sudraji Sumapraja et.al.,
(Eds.), Penuntun Pasutri Program Melati, Program Melati RSAB “Harapan Kita”
Jakarta, Jakarta, 1990.
Peraturan
Hukum
KUH Perdata
Undang-undang No.1 Tahun 1974
Perkawinan
UU Kesehatan R.I No. 23 Thn. 1992
Peraturan Menteri Kesehatan No. 73
Tahun 1972
[1] Hukum dan Keadilan, Kesimpulan-kesimpulan
Seminar Hukum Nasional, ke-IV, Edisi 18, Tahun IX , Maret-April, 1981, hal
45
[2] Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi
dan perkembangan hukum Dalam Pembangunan, Bina Cipta, Bandung ,
Tanpa tahun, hal. 2-3
[3] Sudikno Mertokusumo, Op.Cit.,
Hal 1-2
[4] Bismar Siregar, H., Bayi
Tabung Ditinjau Dari Aspek Hukum Pancasila, Makalah pada Simposium tentang:
“Eksistensi Bayi Tabung Ditinjau dari Aspek Medis, Hukum, Agama, Sosiologi, dan
Budaya, F. H. UNISRI, Surakarta, 1989, hal. 5
[5] Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 5
[6] Purwoto S. Gandasubrata, Pekembangan
Teknologi Reproduksi Baru dan Implikasi Hukumnya, Makalah disampaikan pada
Seminar Sehari “Perkembangan Reproduksi Baru dan Implikasi Hukumnya”, ISWI, Jakarta , 1989, hal. 7
Tidak ada komentar
Posting Komentar