SPIRIT
PEMBANGUNAN BUDAYA HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL
TAHUN 2005–2025[1]
Dossy Iskandar[2]
Pendahuluan
Hukum sebagai salah
satu norma dalam kehidupan sebenarnya merupakan cerminan dari berbagai
norma-norma yang ada, misalnya norma agama, kesusilaan dan kesopanan. Ketiga
norma-norma tersebut adalah nilai-nilai yang dinormatifkan ke dalam norma
hukum. Pengejawantahan norma norma diatas kedalam norma hukum pada akhirnya
membentuk hukum positif dan bernilai universal, dengan kata lain norma hukum
mempunyai daya ikat dan memaksa sebagaimana karakteristik hukum positif.
Disebabkan norma
hukum awalnya adalah nilai-nilai maka substansi dari hukum berintikan das sollen (yang seharusnya). sebuah
paham yang mengedepankan idealitas. Untuk itulah hukum selalu bericri khas ia
sebagai aturan yang normatif yaitu aturan yang seharusnya. Meskipun demikian,
hukum yang das sollen akan diuji kekuatannya dalam hukum yang das sein.[3]
Sehingga pada
studi-studi ilmu hukum pertanyaan tentang perbedaan antara das sollen dan das
sein adalah tema yang menarik untuk didiskusikan. Penstudi hukum dihadapkan
kepada proses tahapan-tahapan dari ilmu hukum. Mulai proses penemuan hukum,
pembentukan hukum, implementasi hukum hingga penegakan hukum.Pada proses
implementasi dan penegakan hukum peran aparat penegak hukum sangatlah vital.
Menurut Satjipto
Rahardjo, dalam konteks hukum Indonesia keberhasilan supremasi hukum sangat
tergantung kepada sejauh mana komitmen dan integritas dari penegak hukum.
Menurutnya hukum bukanlah benda hidup yang dapat melakukan kerja sendiri, hukum
bukanlah ”diterjen’ yang bisa mencuci sendiri. Hukum dijalankah oleh manusia,
sehingga manusialah yang menentukan apakah sebuah peraturan dapat dilaksanakan
dengan baik atau tidak.[4]
Setali dengan
Satjipto Rahrdjo, Freidmen mengkategorikan prilaku manusia dalam berhukum
kedalam budaya hukum. Pada tulisan ini, penulis akan mengulas bagaimana konsep
pembangunan budaya hukum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (selanjutnya
disebut UU 17/2007) .
Sekilas
tentang Budaya Hukum
Sebagai suatu
konsep, budaya hukum dipergunakan sebagai pisau analisis dalam memahami
fenomena di luar hukum dan institusi
penegakannya, tetapi dapat menjadi faktor penghubung atau faktor penghambat
dari suatu proses bekerjanya hukum.
Menurut Friedman,
dalam sistem hukum terdapat ‘budaya hukum’. Budaya hukum mengacu pada sikap,
nilai, dan opini dalam masyarakat dengan penekanan pada hukum, sistem hukum
serta beberapa bagian hukum. Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum,
kebiasaan, opini, cara bekerja dan berpikir yang mengikat
masyarakat untuk mendekat atau menjauh dari hukum dengan cara khusus. Dari
ketiga komponen di atas, budaya hukum merupakan komponen yang paling penting.[5]
Budaya hukum
merupakan gabungan dua kata yaitu Budaya dan hukum. Kata budaya berasal dari
bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia.[6] Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.[7] Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani.
Kata culture juga diterjemahkan sebagai ”kultur” dalam bahasa Indonesia.[8]
Berangkat
dari pengertian budaya diatas beberapa pakar seperti Soerjono Soekanto budaya
hukum didefinisikan sebagai tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu
terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan
itu meruapakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan prilaku hukum.
Sehingga budaya hukum menunjukkan pola prilaku individu sebagai anggota
masyarakat yang menggambarkan tanggapan (oreintasi) yang sama terhadap
kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan.[9]
Selain itu budaya
hukum merupakan iklim pikiran masyarakat dan kekuatan masyarakat yang
menentukan bagaimana suatu hukum itu digunakan, dihindarkan atau disalah
gunakan.[10] Budaya hukum juga
merupakan budaya non material ataupun spiritual.
Adapun inti budaya
hukum sebagai budaya non material atau spiritual adalah nilai-nilai yang
merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik (sehingga harus
dianuti) dan apa yang buruk (sehingga harus dihindari). Nilai-nilai tersebut merupakan
dasar dari etika (mengenai apa yang benar dan yang salah), norma atau kaidah
(yang berisikan suruhan, larangan atau kebolehan) dan pola prilaku manusia.
Artinya ada unsur spiritual yang dekat dengan keyakinan atau kepercayaan,
seperti halnya mistik yang muncul karena keyakinan seseorang.[11]
Disinilah faktor
kesadaran hukum masyarakat itu sangat memegang peranan penting dalam upaya
penegakan hukum itu sendiri, karena perspektif
inilah yang perlu ditata agar supremasi hukum di negeri ini dapat
berjalan. Relevansi penegakan hukum
dalam perspektif penegakan keadilan sebagai bagian dari kesadaran hukum
masyarakat, merupakan upaya alternatif atas ketidakpercayaan kita terhadap
hukum positif dan aparat penegak hukumnya yang merupakan mainstream dari
pandangan legalistik. Sehingga ketika kita berbicara hukum dalam
persfektif keadilan, kita berada dalam
wilayah etika atau moralitas dan tidak membahas masalah-masalah hukum dalam
arti sempit. Bagaimana hukum positif dibuat, dan apakah hukum positif yang
dibuat telah merepresentasikan dari unsur rasa keadilan masyarakat, serta
mentalitas aparatur hukum yang menegakkan hukumnya.
Upaya penegakan
hukum yang dilakukan dengan mendasarkan kepada pembentukan budaya hukum atas
dasar keadilan harus dikedepankan ditengah “carut-marut” hukum di negeri ini.
Penegakan hukum sebagai upaya menegakan keadilan dapat pula menjadi sarana
kritik atau koreksi atas hukum positif. Jika aspek keadilan merupakan landasan
utama aturan hukum positif dan ukuran kelakuan manusia, maka upaya penegakan
hukum dapat dilakukan dalam kerangka untuk mencapai keseimbangan hidup antara
manusia, sehingga tercipta keadilan, kedamaian, ketertiban, dan kebaikan umum
dalam masyarakat.
Pembangunan
Budaya Hukum dalam UU 17/2007
Pembangunan budaya hukum
dalam UU 17/2007 tercermin dalam bab II. Huruf G tentang Hukum dan aparatur
saat ini dimaktubkan sebagai berikut:
Hingga saat ini,
pelaksanaan program pembangunan aparatur Negara masih menghadapi berbagai
permasalahan dalam penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Permasalahan tersebut,
antara lain masih terjadinya praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan dalam
bentuk KKN dan belum terwujudnya harapan masyarakat atas pelayanan yang cepat, murah,
manusiawi, dan berkualitas. Upaya yang sungguh sungguh untuk memberantas KKN
dan meningkatkan kualitas pelayanan public sebenarnya telah banyak dilakukan.
Walaupun demikian, hasil yang dicapai belum cukup menggembirakan. Kelembagaan
pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, masih belum terlihat efektif dalam
membantu pelaksanaan tugas dan sistem manajemen pemerintahan juga belum efisien
dalam menghasilkan dan menggunakan sumber-sumber daya. Upaya-upaya untuk
meningkatkan profesionalisme birokrasi masih belum sepenuhnya dapat teratasi
mengingat keterbatasan dana pemerintah.
Tulisan
tersebut mencerminkan kondisi kekikinian dari aparat penegak hukum. dalam beberapa tahun pasca reformasi, Indonesia dihadapkan pada persoalan-persoalan
pelik. Penuntasan KKN yang cederung sulit dimaksimalkan, pelayanan public oleh
pada pegawai dan pejabat Negara yang tidak begitu diperhatikan dan masih banyak
persoalan-persoalan bangsa lainnya. Inilah yang memberikan inspirasi untuk
membuat sebuah perencanaan dalam waktu yang relative panjang.
Termasuk
pula dalam perencanaan itu adalah pembangunan dibidang Hukum. Pembangunan
dibidang hukum menempati posisi yang sangat strategis dalam pembangunan Bangsa
Indonesia seutuhnya. Penegakan atas supremasi hukum akan berimplikasi luas
terhadap sektor-sektor yang lain, semisal sector ekonomi. Realitasnya peningkatan
ekonomi dan pertumbuhan selalu tergantung kepada kepastian hukum. Inilah yang
kemudian memberikan sumbangsih yang sangat signifikan terhadap perkembangan dan
pertumbuhan hukum.
Penegakan
hukum menurut penulis tergantung kepada system hukum kita. Menurut Friedman
system hukum terdiri dari tiga unsur yaitu unsur subtansi hukum, struktur hukum
dan budaya hukum. Apabila kita kaji, pembangunan susbtansi hukum dan struktur
hukum tidak mengalami hambatan yang cukup berarti. Akan tetapi dari tiga unsure
tersebut budaya hukumlah yang sangat sulit kitta maksimalkan. Dengan demikian
UU 17/2007 merasa sangat berkepentingan untuk turut serta merencanakan
pembangunan budaya hukum.
Sedangkan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai dalam rencana pembangunan
jangka panjang di bidang hukum dapat ditemukan dalam hal sebagai berikut:
1. Tantangan
ke depan di dalam mewujudkan sistem hukum nasional yang mantap adalah
mewujudkan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM
berdasarkan keadilan dan kebenaran.
2. Saat
ini birokrasi belum mengalami perubahan mendasar. Banyak permasalahan belum
terselesaikan. Permasalahan itu makin meningkat kompleksitasnya dengan
desentralisasi, demokratisasi, globalisasi, dan revolusi teknologi informasi.
Proses demokratisasi yang dijalankan telah membuat rakyat makin sadar akan hak
dan tanggung jawabnya. Untuk itu, partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
negara termasuk dalam pengawasan terhadap birokrasi perlu terus dibangun dalam rangka
mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Tingkat partisipasi masyarakat yang
rendah akan membuat aparatur negara tidak dapat menghasilkan kebijakan
pembangunan yang tepat. Kesiapan aparatur negara dalam mengantisipasi proses
demokratisasi perlu dicermati agar mampu memberikan pelayanan yang dapat
memenuhi aspek transparansi, akuntabilitas, dan kualitas yang prima dari
kinerja organisasi publik.
3. Globalisasi
juga membawa perubahan yang mendasar pada sistem dan mekanisme pemerintahan.
Revolusi teknologi dan informasi (TI) akan mempengaruhi terjadinya perubahan
manajemen penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Pemanfaatan TI dalam bentuk e-government,
e-procurement, e-business dan cyber law selain akan menghasilkan pelayanan
publik yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah, juga akan meningkatkan
diterapkannya prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik.
Dari aspek
tersebut, menjadi sangat jelas bahwa prilaku manusia dalam berhukum sangatlah
bertalian erat dengan penegakan hukum. Sedangkan dalam doktrin hukum progresif,
aparat penegak hukum menjadi tonggak utama dalam penegakan hukum. sehingga
ditangan aparatlah bisa tidaknya hukum
ditegakkan.
Dalam tipe
penegakan hukum progresif, justru komponen psikologis mendapat tempat yang
penting. Di sini penegakan hukum tidak dikonsepkan sebagai menjalankan
peraturan begitu saja, tetapi menjalankannya dengan semangat tinggi, seperti
dengan empati, dedikasi dan determinasi. Itulah sebabnya keberanian menjadi
salah satu faktor. Kita pemah mempunyai contoh seorang Jaksa Agung progresif
dalam pribadi almarhum Baharudin Lopa. Jaksa Agung ini memiliki sekalian watak
psikologis seperti dikemukakan di atas, terutama keberanian. Demikian pula
dengan Jaksa Agung Suprapto. Jadi, Indonesia tidak kekurangan tokoh untuk
dijadikan teladan. Tidak hanya jaksa, hakim pun memerlukan bekal psikologis
tersebut.
Cara luar biasa
lain yang tidak mudah untuk dilakukan, adalah keberanian untuk melakukan
pembebasan terhadap praktik konvensional yang selama ini dijalankan, termasuk
memberi makna kepada undang-undang, asas, prosedur dan sebagainya. Hakim dan
jaksa membutuhkan pencerahan, sehingga berani mengatakan, bahwa "hukum
adalah untuk manusia", bukan sebaliknya. Sikap ini akan membawa
konsekuensi besar dalam memberi makna kepada hukum, dan itulah sikap dasar yang
diinginkan oleh hukum progresif. Di sini tidak dianjurkan untuk sama sekali
menyampingkan hukum, tetapi masih banyak yang bisa dilakukan untuk memberi
penafsiran dan membaca hukum secara progresif.
Pembagunan
budaya hukum secara progresif tidak dapat hanya diserahkan
kepada para jaksa, hakim, advokat dan polisi. Seluruh bagian masyarakat perlu
dilibatkan dan terlibat. Adalah tidak adil untuk hanya "menghakimi"
jaksa dan hakim karena tidak menunjukkan prestasi yang memuaskan masyarakat.
Advokat pun diminta untuk berpikir dan bertindak progresif. Dunia pendidikan
hukum juga perlu diminta pertanggungjawaban.
Para akademisi,
ilmuwan, teoritisi juga tidak bisa mengelak dari tanggung jawab membantu dan
mendorong pembangunan budaya hukum yang progresif. Peran mereka adalah
memberikan pencerahan kepada para penegak hukum agar berani melakukan
pembebasan dari praktik dan konvensi yang lebih banyak membelenggu dan
menghambat pembagunan budaya hukum. Untuk itu maka para akademisi perlu
mengajukan konsep-konsep altematif yang progresif, agar dengan demikian
langkah-langkah progresif para penegak hukum bisa memperoleh dukungan
legitimasi ilmiah.
Selanjutnya adalah
jelas sekali peran positif dan progresif yang dapat dimainkan oleh
organisasi-organisasi masyarakat, termasuk para rohaniwan dan ulama. Selama ini
mafia hukum masih lebih banyak dipersepsikan sebagai "kejahatan
hukum" dan belum menjadi "kejahatan sosial". Perbuatan korupsi
masih lebih difahami sebagai "perbuatan hukum", belum "perbuatan
sosial". Di sini para rohaniwan, kiai dan ulama dapat turut berperan besar
dalam menjadikan korupsi sebagai "kaidah sosial" dan bukan hanya
"kaidah hukum".
Dalam pembangunan
budaya hukum yang progresif diperlukan pula rakyat yang progresif. Ini menarik,
karena biasanya rakyat ditempatkan pada posisi yang pasif. Mereka hanya menjadi
penonton yang "terkena getahnya" saja.
Kesimpulan
Beberapa uraian
diatas dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
Pertama,
bahwa penegakan hukum bertalian erat denga budaya hukum yang hidup dan tumbuh di masyarakat. Budaya hukum adalah
cerminan bagaimana masyarakat merespon hukum. Kedua, UU No.17/2007 dalam
klausul pembagunan dibidang hukum juga menyiratkan bagaimana pentingnya prilaku
aparat penegak hukum dan prilaku
masyarakat hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Moh.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,
Jakarta, Rajawali Press, cetakan ke-3, 2010.
Jonaedi
Efendi, Mafia Hukum; Mengungkap Praktik
Tersembunyi Jual Beli Hukum dan Alternatif Pemberantasannya dalam Perspektif
Hukum Progresif, Jakarta: Prestasi Pustaka,2010.
Friedman
,Lawrence M. 1969. The Legal System: A Sosial Science Perspektive.
Russel Soge Foundation. New York.
Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. hlm. 130
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Penerbit
Universitas, Jakarta, 1965.
John
M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia; An English-Indonesian
Dictionary, Gramedia, Jakarta,1996.
Cita Citrawinda Priapantja. Budaya Hukum Indonesia
Menghadapi globalisasi : Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi.
Chandra Pratama. Jakarta. 1999
Satjipto Rahardjo. “Bekerjanya Hukum” dalam Hukum dan Masyarakat. Bandung.
Angkasa. 1980.,
Soerjono Soekanto et al. Antropologi Hukum : Proses
Pengembangan Ilmu Hukum Adat. Jakarta. CV. Rajawali. 1994.
Dian Istiaty, Tinjauan Filsafat Ilmu Terhadap
Mistik Dalam Hubungannya Dengan Budaya Hukum Indonesia, Simbur Cahaya No.
27 tahun X Januari 2005 ISSN No.
14110-0614
[1] Makalah diajukan
sebagai salah satu tugas mata kuliah Politik Hukum pada program pengayaan
materi Program Doktor Universitas Brawijaya Malang.
[2] Mahasiswa Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang Angkatan 2010
[3] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta,
Rajawali Press, cetakan ke-3, 2010.
[4] Satjipto Raharjo
dikutip dari Jonaedi Efendi, Mafia Hukum;
Mengungkap Praktik Tersembunyi Jual Beli Hukum dan Alternatif Pemberantasannya
dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Prestasi Pustaka,2010.
[5]
Periksa: Friedman ,Lawrence M. 1969. The Legal System: A Sosial Science
Perspektive. Russel Soge Foundation. New York.
[6] Tim Penyusun Kamus
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1989. hlm. 130
[7]
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Penerbit Universitas, Jakarta,
1965. hlm. 77-78
[8]
Dalam kamus culture juga diartikan dengan kesopanan. John M. Echols dan
Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia; An English-Indonesian Dictionary, Gramedia,
Jakarta,1996. hlm. 159
[10]
Cita Citrawinda Priapantja. Budaya Hukum Indonesia Menghadapi globalisasi :
Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi. Chandra Pratama. Jakarta.
1999., hlm.195. mengutip dari Satjipto
Rahardjo. “Bekerjanya Hukum”
dalam Hukum dan Masyarakat. Bandung. Angkasa. 1980., hlm. 85.
[11] Soerjono Soekanto et al. Antropologi
Hukum : Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat. Jakarta. CV. Rajawali. 1994.,
hlm. 202 – 203. dikutip dari Dian Istiaty, Tinjauan Filsafat Ilmu Terhadap
Mistik Dalam Hubungannya Dengan Budaya Hukum Indonesia, Simbur Cahaya No.
27 tahun X Januari 2005 ISSN No.
14110-0614
Tidak ada komentar
Posting Komentar