Kebijakan Kriminal dalam Penegakan Hukum yang
Terkait dengan Mal Public Administration
M. Sholehuddin[1]
Abstrak
Hukum administrasi publik di dalamnya
terkandung ‘public space’ dengan norma-normanya yang bersifat publik,
maka untuk menjaga norma-norma itu diperlukan ‘check & balances’
menurut prinsip-prinsip ‘clean & good governance’. Check &
balances ini merupakan salah satu bentuk pengawasan pemerintah dalam arti
luas terhadap pelaksanaan administrasi publik. Saat ini cukup banyak produk
kebijakan legislasi yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan
norma-norma yang terdapat dalam hukum administrasi. Perwujudan memfungsikan
hukum pidana ke dalam hukum administrasi apabila dihubungkan dengan kerangka
administrasi publik merupakan jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang dibuat dan dilaksanakan.
Kata Kunci: Kebijakan criminal, Penagakan
hukum , malpublik administrasi.
Abstract
The law of public administration in it
contained "public space" with its standards that are public, then
maintain the standards that need to be "checks and balances"
according to the principles of "good and clean government". system of
checks and balances is a form of supervision of the Government in the broad
sense of the public administration. We have a lot of products that use
political legislation as a means of criminal law to ensure compliance with the
standards contained in administrative law. Realization allows the criminal law
in administrative law when it connects with the framework of the public
administration is a guarantee of legal certainty and the sense of Justice
against any public policy is the adoption and implementation.
Key note: Policy of criminal, law enforcement, mall public administration
Pendahuluan
“These opportunities offered to the potential perpetrators or the
sense of power which causes them to act as they do are combined also with the
belief that they are not going ever to be discovered. Furthermore, they believe
that, even if they discovered, for a number of reasons they are not going to be
punished”.
-D. Spinellis-
Salah satu kepentingan yang sering menunggangi hukum dalam
pelaksanaannya adalah kepentingan politik. Bidang hukum pidana kini ‘paling
laku’ untuk dipakai membungkus kepentingan politik tertentu. Tegasnya, hukum
pidana sering dijadikan alat politik untuk menjerat lawan politik di antara
mereka yang berkecimpung dalam dunia politik dan pemerintahan. Fenomena aktual
ini oleh panitia disebut dengan istilah penal politization (politisasi
hukum pidana) yang kemudian dijadikan tema sentral dalam seminar nasional ini.
Dalam bentuk lain, sesungguhnya persoalan ‘politisasi hukum pidana’
pernah pula disinggung oleh Dionysios Spinellis[2]
ketika mempresentasikan tentang ‘Top hat Crimes’ dalam Laporan Umum
Kongres Internasional Hukum Pidana XV Tahun 1994. Diuraikannya bahwa
karakteristik yang paling penting dari kejahatan yang dilakukan oleh pejabat
publik atau ‘Top hat Crimes’ adalah memanfaatkan kesempatan yang
didapatkan dari kapasitas jabatannya. Selain itu, mereka sangat yakin kejahatan
yang dilakukannya tidak akan ketahuan. Andaipun ketahuan, karena sejumlah
alasan mereka yakin tidak akan dipidana. Rasa percaya diri mereka yang sangat
tinggi itu didukung oleh teknik-teknik netralisasi perbuatannya melalui apa
yang disebut Spinellis sebagai ‘politicising of the criminal proceedings’
atau politisasi proses peradilan pidana.
Dari penjelasan awal ini hendak dikemukakan bahwa penegakan hukum
terhadap pelanggaran atau bahkan kejahatan yang dilakukan oleh ‘pejabat publik’
sarat dengan berbagai persoalan yang terkait dengan tugas dan fungsi serta
wewenang yang melekat pada mereka. Karena itu, sub tema yang ditentukan panitia
kepada saya sebagaimana dalam judul makalah ini sangat relevan. Mengapa? karena
persoalan penegakan hukum merupakan salah satu aspek dari kebijakan kriminal (criminal
policy) dalam arti luas, termasuk penegakan hukum yang terkait dengan malpublic
administration.
Pembahasan
Hukum Pidana Sebagai Ultimum Remedium dan Primum Remedium
Hukum pidana dikatakan sebagai hukum sanksi istimewa karena jenis
dan bentuk sanksinya yang bersifat keras dan menekan. Begitu kerasnya sanksi
yang terkandung dalam hukum pidana sehingga sering dikiaskan bahwa ‘hukum pidana mengiris dagingnya
sendiri’.[3]
Ada lagi
pendapat yang mengibaratkan, ‘hukum pidana bagaikan pedang bermata dua’.[4]
Di satu sisi, hukum pidana bertujuan hendak melindungi kepentingan hukum dan
hak asasi manusia yang dilanggar. Di sisi lain, hukum pidana justru menyerang
dan dapat merendahkan martabat kemanusiaan melalui sistem sanksinya yang sangat
keras.
Cukup banyak pakar
hukum pidana dan kriminologi yang telah memperingatkan tentang penggunaan hukum
pidana karena sifatnya yang paradoksal itu.[5]
Dalam pendapat yang tidak jauh berbeda, mereka sepakat bahwa hukum pidana
hendaknya digunakan secara hati-hati dan rasional. Dari berbagai pandangan itu
dapat ditangkap satu pengertian, seyogyanya bidang hukum (sanksi) pidana barulah dipergunakan atau diterapkan setelah
bidang hukum (sanksi) yang lain—termasuk bidang hukum administrasi publik—tidak
cukup memadai.
Van
Wijk-Konijnenbelt: P.de Haan cs menyatakan bahwa hukum administrasi merupakan
instrumen yuridis yang memungkinkan pemerintah mengendalikan kehidupan
masyarakat dan memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam pengendalian
tersebut dengan tujuan terdapatnya suatu perlindungan hukum.[6]
Definisi tersebut sejalan dengan pergeseran paradigma penyelenggaraan
pemerintahan dari paradigma ‘rule government’ menjadi ‘good
governance’ yang lebih mendorong masyarakat untuk terlibat dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Terkait dengan hukum administrasi publik yang
di dalamnya terkandung ‘public space’ dengan norma-normanya yang
bersifat publik, maka untuk menjaga norma-norma itu diperlukan ‘check &
balances’ menurut prinsip-prinsip ‘clean & good governance’. Check
& balances ini merupakan salah satu bentuk pengawasan pemerintah dalam
arti luas terhadap pelaksanaan administrasi publik. Jika pengawasan berjalan
dengan baik, maka hukum pidana hanya dapat dijadikan sebagai ‘ultimum
remedium’ atau meminjam istilah ‘Model Law’ yang dibuat oleh ‘Organization
for Economic Co-operation and Development (OECD)[7]
disebut ‘ultima ratio principle’, yakni hukum pidana disiapkan sebagai sarana terakhir dalam
kebijakan kriminal. Hal semacam ini bila dilihat dari aspek kebijakan
legislasi, bertujuan untuk menghindari terjadinya ‘overcriminalization’
dan ‘overbelasting’..
Dalam konteks ‘malpublic administration’, korupsi merupakan
jelmaan atau bentuk dari perbuatan mengabaikan hukum (disregard of the law).
Dengan demikian, kedudukan hukum pidana dalam mengantisipasi pelanggaran yang
terkait dengan hukum administrasi dapat digunakan sebagai ‘ultimum remedium’
dan dalam hal perbuatan tertentu dapat juga diterapkan sebagai ‘primum
remedium’. Hal ini mengingat pula kedudukan hukum administrasi sebagai
‘hukum antara’ di tengah-tengah hukum privat dan hukum pidana. WF. Prins pernah
pula menyatakan bahwa hampir setiap peraturan berdasarkan hukum administrasi
diakhiri dengan sejumlah ketentuan pidana (in cauda venenum).[8]
Fungsionalisasi Hukum Pidana dalam Hukum Administrasi
Kalau kita
identifikasi, cukup banyak produk kebijakan legislasi yang menggunakan hukum
pidana sebagai sarana untuk menegakkan norma-norma yang terdapat dalam hukum
administrasi. Perwujudan memfungsikan hukum pidana ke dalam hukum administrasi
itu bila dihubungkan dengan kerangka administrasi publik merupakan jaminan
kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik
yang dibuat dan dilaksanakan. Artinya, di dalam perundang-undangan
administratif yang memuat pula hukum (sanksi) pidana, bukan sekadar bersifat
pengaturan pelayanan publik, tapi lebih dari itu mengatur pula terhadap sang
penguasa. Inilah tugas yuridis hukum pidana yang sesungguhnya, seperti tersirat
dalam pernyataan Peters bahwa “The juridical task of criminal law is not
policing society but policing the police”.[9]
Namun demikian, ada pula perundang-undangan administratif yang tidak
mengatur secara tegas ketentuan hukum (sanksi) pidana terhadap ‘pejabat publik’
yang melakukan pelanggaran dalam hal tugas, fungsi dan wewenangnya seperti yang
diatur perundang-undangan tersebut. Dengan kata lain, hukum pidana tidak
difungsikan karena legislator berkehendak mengatur sarana penegakan hukumnya
hanya melalui sistem sanksi administratif. Pertanyaannya, dapatkah hukum pidana
diterapkan terhadap pelanggaran perundang-undangan administratif yang hanya
memuat sanksi administrasi? Jawabannya tentu saja, ‘Tidak!’. Ada dua argumen mendasar di bawah ini:
Pertama, Asas legalitas formal yang menegaskan bahwa syarat
pertama untuk menindak suatu perbuatan yang tercela adalah adanya ketentuan
dalam perundang-undangan pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan
memberikan suatu sanksi terhadapnya. Asas ini mengharuskan hakim terikat pada
undang-undang dan acara pidana harus dijalankan menurut cara yang telah diatur
dalam undang-undang. Makna terdalam dari asas legalitas ini adalah terjaminnya
kepastian hukum. Karenanya, asas tersebut menjadi tumpuan dari hukum pidana dan
hukum acara pidana.
Kedua, Asas Lex certa yang mengharuskan perumusan
ketentuan perundang-undangan dilakukan secermat mungkin. Suatu
perundang-undangan harus membatasi secara tajam dan jelas wewenang pemerintah
terhadap rakyatnya karena sesungguhnya “tugas yuridis dari hukum pidana
bukanlah mengatur masyarakat, melainkan juga mengatur penguasa”, seperti yang
telah diungkapkan Peters di atas. Dua asas fundamental dalam hukum pidana ini
terkandung dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, selain dua asas berikutnya, yakni: Asas
Lex temporis delicti dan Asas Non-retroaktif.
Berdasar pada dua argumentasi di atas, secara teoretis dapat
ditegaskan bahwa suatu peraturan perundang-undangan dalam bidang hukum
administrasi yang tidak secara tegas memuat jenis sanksi hukum pidana, bila terjadi
pelanggaran terhadap perundang-undangan administrasi tersebut, maka penerapan
sanksinya hanyalah bersifat administratif. Dengan demikian, tidak boleh terjadi
‘lompatan hukum’ dari bidang hukum administrasi ke bidang hukum pidana, demi
melindungi atau terjaminnya kepastian hukum.
Penggunaan atau penerapan hukum pidana dalam masalah yang terkait
dengan.’malpublic administration’, tetap mengacu pada tiga persoalan
pokok dalam hukum pidana. Pertama, apakah bentuk-bentuk dari perbuatan ‘malpublic
administration’ itu sudah dirumuskan menjadi tindak pidana (proses
kriminalisasi). Kedua, siapakah subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan
terhadap ‘malpublic administration’. Ketiga, jenis dan bentuk sanksi apa
yang dapat diterapkan terhadap pelaku ‘malpublic administration’ itu
(proses penalisasi).
Tiga hal yang menjadi acuan di atas menjadi penting ketika
mempertanyakan fungsionalisasi hukum pidana dalam hukum administrasi karena
pengertian ‘malpublic administration’ lebih dekat pada masalah etika.
Yakni perilaku menyimpang dari etika administrasi atau suatu praktek
administrasi yang menjauhkan dari pencapaian tujuan administrasi.[10]
Menurut Nigro & Nigro dalam Muhadjir Darwin ada 8 bentuk ‘malpublic
administration’, yaitu: ketidakjujuran (dishonesty), perilaku yang
buruk (unethical behaviour), mengabaikan hukum (disregard of the law),
favoritisme dalam menafsirkan hukum, perilaku yang tidak adil terhadap pegawai,
inefisiensi bruto, menutup-nutupi kesalahan dan gagal menunjukkan inisiatif.[11]
Kedelapan nilai-nilai etik itu lebih bersifat abstrak yang
mempersoalkan ‘baik’ dan ‘buruk’ tentang sikap, tindakan dan perilaku manusia
dalam berhubungan dengan sesamanya.[12]
Sedangkan hukum pidana harus dirumuskan pada hal-hal yang bersifat kongkrit
yang mempersoalkan ‘benar’ dan ‘salah’ tentang sikap, tindakan dan perilaku
seseorang. Maksudnya, untuk menerapkan hukum pidana dalam kasus ‘malpublic
administration’, bentuk dari nilai-nilai etik itu harus dirumuskan dalam
wujud perbuatan yang kongkrit, seperti ‘korupsi’ adalah wujud perbuatan
kongkrit dari nilai-nilai ‘ketidakjujuran’ dan ‘mengabaikan hukum’.
Criminal Policy dalam ‘Malpublic
Administration’
Pada tahun 1965
Marc Ancel pernah merumuskan definisi singkat ‘Criminal policy’ sebagai
“the rational organization of the control of crime by society”. Dari
definisi ini, pada tahun 1969 G.P. Hoefnagels menambahkan bahwa “Criminal
policy is a rational total of the responses to crime”. Sekitar akhir tahun
1980 Sudarto menegaskan dari definisi itu bahwa kebijakan kriminal merupakan
suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.[13]
Usaha rasional di sini, bermakna melakukan
pilihan tentang cara yang dianggap paling tepat untuk menanggulangi kejahatan.
Itu berarti, cara/sarana yang dapat dipakai tidak hanya dengan penggunaan hukum
pidana, tetapi juga sarana lain non-hukum pidana yang dianggap terbaik dan yang
paling fungsional menanggulangi kejahatan.
Seperti telah dikatakan
sebelumnya, bahwa malpublic administration berkaitan dengan persoalan
etika. Oleh karena itu, pendayagunaan treatment etika mungkin saja lebih
fungsional menanggulangi malpublic administration itu. Dalam kaitan
penggunaan sarana etika, maka ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan.
Pertama, suatu treatment
etik harus berangkat dari pengenalan dan penghayatan mengenai keutamaan nilai
dari tugas yang diemban seseorang. Artinya, seseorang harus diarahkan kepada
pengenalan sekaligus penghayatan “kemuliaan” tugas yang diembankan pada
dirinya.
Kedua, treatment
etik juga harus diarahkan pada penyadaran tentang pentingnya tujuan, motif, dan
akibat dari tiap tindakan dalam melaksanakan tugas. Di sini berlaku prinsip:
setiap pelaksanaan tugas harus berangkat dari tujuan/motif yang luhur, dan
sekaligus harus menghasilkan akibat yang baik. Meminjam ungkapan Stuart Mills,
the greatest one for the greatest number. Suatu tundakan dapat dikatakan
baik, apabila ia bertujuan dan berakibat membawa kebaikan yang paling banyak
bagi sebanyak mungkin orang.
Ketiga, treatment
etik harus ditujukan pada upaya menumbuhkan tanggung jawab pada diri seseorang.
Tanggung jawab di sini artinya, harus siap menerima semua resiko atas
pelaksanaan tugas yang telah dilakukannya. Orang tidak boleh lari dari tanggung
jawab, atau tidak boleh mencari kambing hitam. Berani menerima tugas, harus
pula diiringi kesiapan menerima resiko dari tugas itu.
Pada hemat saya, banyak
kejahatan dalam lingkup jabatan justru berakar dari minimnya pengenalan dan
penghayatan etika tugas. Bahkan tidak jarang, derajat moralitas/etik pemangku
jabatan publik di negeri ini, masih pada taraf, meminjam Kholberg-Gilligan,
moralitas pre-konvensional. Moralitas kekanak-kanakan. Ia taat hukum,
bukan dilihat sebagai kewajiban, tetapi karena takut dihukum. Ketika tidak ada
hukuman, iapun melakukan kejahatan. Ia menjalan tugas, bukan karena sadar bahwa
itulah kewajiban, tetapi didorong oleh motif imbalan. Ia rajin kalau imbalan
besar. Ugal-ugalan kalau imbalan kecil.
Pendek kata, pemangku
jabatan publik, idealnya harus sudah berada pada aras moralitas konvensional.
Suatu moralitas yang berbasis kesadaran akan kewajiban dan kemuliaan tugasnya.
Bagi mereka yang berada pada moralitas ini, pantang untuk melakukan perbuatan
tercela yang dapat menciderai tugas luhurnya. Bahkan ia siap menerima resiko
akibat kesetiaan pada tugas yang diembannya.
Andai saja ini yang terjadi, maka hukum pidana dalam persoalan ‘malpublic
administration’ hanya berstatus ultimum remedium, bukan sebagai ‘primum
remedium’.
Penutup
Sebagai akhir dari tulisan ini, saya
hendak mendiseminasikan kembali filsafat eksistensialisme Albert Camus dalam
konteks kebijakan kriminal. Camus mengakui justifikasi pemidanaan bagi seorang
pelanggar, tapi tetap tidak boleh menghilangkan human power-nya dalam
menggapai nilai-nilai baru dan adaptasi
baru. Karena itu pada saat yang bersamaan, si pelanggar harus diarahkan lewat
berbagai ‘upaya perbaikan’ untuk mencapai bentuknya yang lebih penuh sebagai
manusia.[14]
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief , Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
_________________, Beberapa Aspek
Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1998,
_________________, makalah Seminar Nasional
Kewenangan Penyidikan dalam Sistem Peradilan Pidana, FH-Undip, Semarang,
20 Desember 1997.
Dionysios D. Spinellis adalah seorang Guru
Besar Hukum Pidana dan Kriminologi di ‘Pantenion’ University, Athena,
Yunani.
G.P. Hoefnagels, The Other Side of
Criminology, Kluwer-Deventer, Holland, 1973
J.M. Van Bemmelen, Ons Strafrecht 1: Het
Materiele Strafrecht Algemeen deel, H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den
Rijn, Holland, 1979, h. 16. Lihat juga Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat,
Alumni, Bandung, 1985.
Joko Widodo, Good Governance;
Akuntabilitas dan Kontrol Administrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi
Daerah, Insan Cendekia, Surabaya, tt,
Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum
Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2003.
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam
Hukum Pidana; Ide Dasar Doble Track System dan Implementasinya, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, cetakan kedua, 2004.
Rudolph J. Gerber and Patrick D. McAnany, Philosophy
of Punishment, dalam: The Sosiology of Punishment, John Wiley and
Sons, Inc., New York, 1970.
[1] Dosen tetap Universitas Bhayangkara Surabaya, Pakar Hukum Pidana
dan saksi ahli dalam berbagai kasus pidana.
[2] Dionysios D. Spinellis adalah seorang Guru Besar Hukum Pidana dan
Kriminologi di ‘Pantenion’ University, Athena, Yunani.
[3] J.M. Van Bemmelen, Ons Strafrecht 1: Het Materiele Strafrecht
Algemeen deel, H.D. Tjeenk Willink, Alphen
aan den Rijn , Holland ,
1979, h. 16. Lihat juga Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung , 1985, h. 15.
[4] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung , 1998, h. 17-18. Beliau menjelaskan
bahwa sifat paradoksal dari hukum pidana itu tersirat dalam suatu ungkapan yang
sangat terkenal “Rechts guterschutz durch Rechtsguterverietzung”
(“perlindungan benda hukum melalui penyerangan benda hukum”).
[5] Mengenai pendapat pakar tentang hal tsb. telah diungkap dengan
gamblang oleh Barda Nawawi Arief ketika menulis “Penal Policy” mulai
dari Jeremy Bentham, J. Andenaes, Ted
Honderich, Nigel Walker, G.P. Hoefnagels, Karl O. Christiansen, M. Cherif
Bassiouni, Sudarto sampai Roeslan Saleh (Lihat dalam: Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 23-44).
[6] Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia
Publishing, Malang ,
2003, h. 5-6.
[7] Lihat dalam M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana;
Ide Dasar Doble Track System dan Implementasinya, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, cetakan kedua, 2004, h. 136.
[8] Lutfi Effendi, op. cit.,
h. 8.
[9] G.P. Hoefnagels, The Other Side of Criminology,
Kluwer-Deventer, Holland ,
1973, h. 130. Lihat pula dalam: Barda Nawawi Arief, makalah Seminar Nasional Kewenangan
Penyidikan dalam Sistem Peradilan Pidana, FH-Undip, Semarang , 20 Desember 1997.
[10] Joko Widodo, Good Governance; Akuntabilitas dan Kontrol
Administrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya , tt, h. 259.
[11] Ibid.
[12] Ibid, h. 245.
[13] Barda Nawawi Arief, Bunga
Rampai Kebijakan….., h. 2.
[14] Rudolph J. Gerber and Patrick D. McAnany, Philosophy of
Punishment, dalam: The Sosiology of Punishment, John Wiley and Sons,
Inc., New York ,
1970, p. 341.
Tidak ada komentar
Posting Komentar