KEKUATAN HUKUM SURAT ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES
PERSIDANGAN PERDATA
Herma Setiasih
ABSTRAK
Kekuatan e-mail sebagai proses pembuktian
dalam persidangan bila dikaitkan dengan pasal 164 HIR mengenai alat bukti yang
sah maka kekuatan e-mail bila dicetak dianggap sama dengan surat asli dan
mempunyai kekuatan yang sama pula dengan akta otentik. Persyaratan utama agar
dokumen elektronik itu dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang sah adalah
penggunaan sistem elektronik yang telah mendapatkan sertifikasi elektornik dari
pemerintah (pasal 13-16 UU ITE). Persyaratan yang lain, harus membubuhkan tanda tangan elektronik,
menuangkannya dalam kontrak elektronik yang baku, dll. Dengan demikian
kedudukan dokumen elektonik sesungguhnya merupakan perluasan dari alat bukti
tertulis sebagaimana di kemukakan dalam
pasal 1866 BW. Terhadap kekuatan pembuktian dokumen tertulis dalam hukum
pembuktian perkara perdata sangatlah bergantung pada bentuk dan maksud dari
dokumen itu di buat, dokumen elektronik dapat di sebut sebagai akta otentik
apabila sudah mendapatkan sertifikasi dari pemerintah dan memenuhi persyaratan
sebagai sebuah kontrak elektronik yang sah.
Kata kunci: email, alat bukti, perdata, UU ITE
ABSTRACT
Power of
e-mail as evidence in the trial process when associated with Article 164 HIR
valid evidence about the power of e-mail when printed treated the same as the
original letter and have the same strength as well with an authentic deed. The
main requirements for electronic documents that can be expressed as valid
evidence is the use of an electronic system which has been certified general
public from the government (UU ITE chapters 13-16). Other requirements, shall
affix an electronic signature, put it in a standardized electronic contracts,
etc.. Thus the actual position of electronic documents is an extension of the
written evidence as pointed out in article 1866 BW. To the power of the written
documents of proof in civil cases the law of evidence is dependent on the
nature and purpose of the document be made, electronic documents can be
described as an authentic act is certified by the government and met the
requirements for a valid electronic contract.
Keywords:
email, evidence, civil, UU ITE
Pendahuluan
Dewasa ini kemajuan di bidang teknologi
informasi semakin pesat, seiring dengan perkembangan masyarakat. Salah satu
bukti dari kemajuan di bidang teknologi tersebut dengan ditemukannya teknologi
komputer, sebagai akibatnya timbul praktek Computerized
Record Keeping yang secara cepat
menjadi prosedur yang normal dalam kegiatan bisnis sehari-hari. Gejala ini
membawa permasalahan di bidang hukum, terutama mengenai alat bukti data
elektronik dalam bentuk e-mail.[1]
Dengan adanya perkembangan teknologi yang
semakin pesat dan perkembangan telekomunikasi tersebut sangat memudahkan
seseorang berkirim surat melalui e-mail sebab penggunaan e-mail tersebut
dianggap murah dan cepat. Penggunaan e-mail juga sangat berperan sekali dalam
berbagai kegiatan pendidikan, bisnis, perdagangan, sosial dan berbagai kegiatan
lainnya. Untuk itu perlu adanya pengertian baru mengenai alat bukti yang dapat
digunakan dalam proses persidangan dalam bentuk e-mail tersebut.
Di beberapa negara, data elektronik dalam
bentuk e-mail sudah menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutus suatu perkara
(perdata). Kiranya, tidak perlu menunggu lama agar persoalan bukti elektronik,
termasuk e-mail, untuk mendapatkan
pengakuan secara hukum sebagai alat bukti yang sah di pengadilan.
Dengan
perkembangan teknologi keberadaan dokumen ini menjadi konsekuensi dalam praktek
bisnis. Dalam praktek kegiatan bisnis yang menggunakan perangkat elektronik
(komputer) dalam kegiatan bisnis, tidak ada satu alasan untuk menyetarakan
dengan tulisan asli. Cakupannya begitu luas, seperti persetujuan, rekaman, kompilasi
data dalam berbagai bentuk termasuk undang-undang, opini, dan hasil penelitian
yang dihasilkan pada waktu transaksi itu dibuat atau yang dihasilkan melalui
pertukaran informasi dengan menggunakan komputer.[2]
Semua bukti tadi diakui secara hukum setelah
mendengarkan pendapat (keterangan) seorang ahli. Dokumen tersebut juga bisa
diakui tanpa adanya keterangan, jika sebelumnya telah ada sertifikasi terhadap
metode bisnis tersebut.
Cara pertama disebut sebagai pengakuan yang
didasarkan atas kemampuan komputer untuk menyimpan data. Pengakuan
tersebut sering digunakan dalam praktek
bisnis maupun non-bisnis untuk menyetarakan dokumen elektronik dalam bentuk
e-mail dengan dokumen konvensional.
Cara kedua untuk mengakui dokumen elektronik
adalah dengan menyandarkan pada hasil akhir komputer. Misalkan dengan out put
dari sebuah program komputer yang hasilnya tidak didahului dengan campur tangan
secara fisik. Contohnya, rekaman log in internet, rekaman telephon dan
transaksi Automatic Teller Machine (ATM).
Artinya, dengan sendirinya bukti elektronik dalam bentuk e-mail tersebut diakui
sebagai bukti elektronik dan memiliki kekuatan hukum. Kecuali bisa dibuktikan
lain, data tersebut bisa dikesampingkan.
Dalam praktek kegiatan bisnis, keberadaan
dokumen elektronik memang tak bisa dihindari. Transaksi ekspor dan impor (antar
negara) sudah sejak lama menggunakan Electronic
Data Interchange (EDI). Hampir semua negara di dunia menggunakan dan
menerima suatu transaksi yang dilakukan dengan EDI.
Indonesia sudah menggunakan EDI sejak 1967
hingga saat ini. Namun, pengadilan sendiri belum menerima bukti elektronik
dalam bentuk e-mail tersebut sebagai alat bukti yang sah di pengadilan.
Tetapi tidaklah tepat jika dikatakan
Indonesia telah ketinggalan dalam
menggunakan data elektronik sebagai bukti transaksi.[3]
Dengan adanya internet, seolah ada semacam
pengaburan akan adanya pengakuan terhadap data elektronik dalam bentuk e-mail
melalui transaksi. Jika dilihat dari esensi dari transaksi yang dilakukan
secara elektronik, sepanjang para pihak tidak keberatan dengan prasyarat dalam
perjanjian tersebut, segala bukti transaksi yang dihasilkan dalam transaksi
tersebut memiliki nilai yang sama dengan dokumen transaksi konvensional.
Dalam hukum positif Indonesia, penggunaan
data elektronik tidak setegas di beberapa negara. Apa yang diperjanjikan atau
apa yang secara nyata tersebut secara subtantif telah sesuai dengan kaidah
hukum yang berlaku.
Untuk
pengakuan data atau bukti elektronik di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru.
Meskipun masih sedikit kasus yang menggunakan bukti elektronik dalam bentuk
e-mail sebagai alat bukti di pengadilan, itu dikarenakan rentannya kemauan dari
hakim untuk mempelajari hal-hal yang baru. Khususnya, berkaitan dengan
pemanfaatan teknologi informasi.
Karena memang
saat ini belum ada suatu kesepakatan hukum dari para praktisi hukum untuk
menetapkan ketentuan yang menyatakan bahwa suatu bukti elektronik dalam bentuk
e-mail dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan yang dapat
dipersamakan dengan surat otentik.[4]
Sebagai contoh tudingan monopoli ditujukan
kepada Microsoft. Sebagian alat bukti
yang disampaikan oleh pemerintah Amerika terhadap Microsoft adalah e-mail yang dikirimkan oleh pegawai di perusahaan Microsoft yang dikirimkan ke
masing-masing pihak.
Secara teknis, bila terdapat satu standart
keamanan untuk memberikan jaminan keotentikan suatu dokumen, selayaknya
transaksi (pertukaran informasi) yang dilakukan oleh para pihak harus
dinyatakan valid dan memiliki nilai pembuktian di pengadilan. Hal ini penting,
karena menyangkut persoalan siapa yang mengirimkan e-mail tersebut.
Dengan mengetahui siapa yang mengirimkan,
tergugat dapat menjadikan bukti tersebut sebagai dasar untuk melakukan gugatan
atau penuntutan. Kemudian, penggunaan e-mail sebagai alat bukti di pengadilan
juga bisa merujuk pada log yang berada pada ISP (Internet Service Provider) dan data RFC (Request for Comment).
Selain itu, untuk lebih memudahkan, perlu
diperhatikan juga keberadaan tanda tangan elektronik (Electronic Signature) dalam e-mail tersebut. tanpa adanya tanda
tangan elektronik, mungkin agak sulit untuk mendapatkan kepastian siapa
pengirim sebenarnya dari e-mail yang menjadi pokok sengketa.
Dalam memutus suatu perkara, tentu saja
hakim harus mendasarkan ketentuan hukum acara yang mengatur masalah pembuktian.
Apalagi hampir di semua negara, termasuk Indonesia mengakui alat bukti surat
sebagai salah satu bukti untuk yang bisa diajukan ke pengadilan.[5]
Masalah otentikasi adalah persoalan yang
berbeda dengan pengakuan data elektronik dalam bentuk e-mail. Jika data atau
dokumen elektronik tersebut diterima atau diakui secara hukum, dengan
sendirinya proses otentikasi atas data tersebut akan megikutinya.
Persoalannya, kita membicarakan tentang
validitas dokumen elektronik sementara kita juga membicarakan metode
otentikasi. Proses otentikasi adalah persoalan treknologi, sedang pengakuan
dokumen elektronik dalam bentuk e-mail menyangkut pengakuan secara formal di
dalam peraturan perundang-undangan.
Sebenarnya, Indonesia bukan tidak mampu
untuk melakukan satu revolusi pengembangan hukum. Namun, lebih didasarkan pada
tidak ada kemauan untuk mengakui dokumen elektronik dalam bentuk e-mail. Jika
logika berpikir hanya melandaskan pada cara lama, dapat dipastikan sampai kapan
pun tidak akan pernah ada pengakuan terhadap dokumen elektronik dalam bentuk
e-mail tersebut. Sekali lagi, dalam penguasaan teknologi, Indonesia tidaklah
kalah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Praktek bisnis di Indonesia
sudah sejak lama menggunakan komputer. Dan hingga kini, tidak ada keberatan
dari para pihak yang melangsungkan transaksi (pertukaran informasi).
Hanya kemudian terkesan Indonesia adalah negara terbelakang
dalam penguasaan teknologi dari pada negara lainnya. Jika pemerintah dan
masyarakat sudah siap, praktis masalah pengakuan dokumen elektronik dalam
bentuk e-mail bukanlah satu hal yang tabu dalam praktek hukum di Indonesia.[6]
Permasalahan
1.
Apakah E-mail (elektronik mail)
dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perdata?
2.
Bagaimana syarat yang harus
dipenuhi agar e-mail bisa menjadi alat bukti dalam persidangan?
Pembahasan
E-Mail Dalam Kaitannya Dengan Alat Bukti Dalam Proses Persidangan Perdata
E-Mail Dalam Kaitannya Dengan Alat Bukti Dalam Proses Persidangan Perdata
Dari keseluruhan tahap persidangan perkara perdata maka pembuktian
merupakan tahap spesifik dan menentukan. Dikatakan spesifik oleh karena pada
tahap pembuktian ini para pihak diberi kesempatan untuk menunjukkan kebenaran
terhadap fakta-fakta hukum yang menjadi titik pokok sengketa. Sedangkan disebut
sebagai tahap menentukan oleh karena hakim dalam rangka proses mengadili dan
memutus perkara tergantung terhadap pembuktian para pihak di persidangan.
Akan
tetapi dalam praktek, substansi pembuktian ini diterapkan secara selektif.
Dalam artian, tidak semua fakta-fakta harus dibuktikan di persidangan. Karena
esensi pembuktian ini elementer sifatnya maka pandangan para doktrina/ teoretis
dan praktisi terhadap pembuktian ini cukup variatif.16)
Dari beberapa pengertian pembuktian terkandung
elemen-elemen sebagai berikut :
1.
Merupakan bagian dari hukum
acara perdata.
Sebagai
bagian dari hukum
acara perdata maka pembuktian bersifat spesifik
dan menentukan. Selain itu apabila ditinjau
dari visi kerangka proses pembuktian merupakan satu bagian atau tahap dari
proses tersebut, karena tujuannya serta prinsip-prinsip yang berlaku baginya
juga berlaku bagi pembuktian. Kalau tujuan dari proses perdata ialah agar
supaya para pihak berkepentingan memperoleh putusan pengadilan yang mengikat
pihak bersengketa dana dapat dipaksakan realisasinya apabila dipandang perlu
maka pembuktian juga mengejar tujuan itu.
Pembuktian memberi dasar-dasar bagi
pemutusan suatu perkara dana dapat berisi perintah (gebod) maupun larangan (verbod)
bertujuan memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya dan
larangan-larangan bertujuan mencegah jatuhnya sesuatu kepada orang yang tidak
berhak. Karena esensi inilah maka “pembuktian” merupakan bagian dari hukum
acara perdata.
2.
Merupakan suatu proses
prosesuil untuk meyakinkan hakim terhadap kebenaran dalil-dalil yang
dikemukakan para pihak berperkara perdata di sidang pengadilan.
Dengan demikian jelaslah bahwa proses
pembuktian diperlukan jikalau terhadap sengketa antara dua pihak mengenai hak
itu dan pembuktian ini terjadi dalam proses di muka persidangan. Kepada hakim
diminta agar ia menentukan apa yang menjadi hukumnya antara kedua belah pihak
bersengketa, secara baliknya dari para pihak dituntut supaya mereka memberi
bukti-bukti diperlukan guna mengakhiri persengketaan tersebut.
3.
Merupakan dasar bagi hakim
dalam rangka menjatuhkan putusan.
Penjatuhan putusan oleh hakim berdasarkan
pembuktian yang dikemukakan para pihak berperkara. Kalau para pihak
mengemukakan dalil-dalil atas bukti dan aspek pembuktian lainnya maka kewajiban
hakimlah yang menilai kebenaran terhadap pembuktian tersebut.24)
Berdasarkan
ketentuan pasal 164 HIR, dikenal 5 (lima) macam alat-alat bukti utama dalam
perkara perdata, yaitu :
1.
Bukti Surat;
2.
Bukti Saksi;
3.
Persangkaan;
4.
Pengakuan;
5.
Sumpahan.
Terhadap kelima macam alat bukti tersebut, pada asasnya Majelis
Hakim/ Hakim tunggal yang menyidangkan perkara perdata haruslah memberi
kesempatan seluas-luasnya kepada pihak berperkara untuk mengajukan alat bukti
tersebut guna meneguhkan dalil-dalil gugatannya atau dalil-dalil bantahannya.
Kemudian majelis hakim/hakim tunggal meneliti, menilai, mempertimbangkan serta
mengadili (memutus) semua itu dalam putusannya. Dalam praktek peradilan maka
kelima macam alat-alat bukti tersebut bersifat baku dalam artian bahwa selain
kelima alat bukti tersebut tidak dikenal lagi secara limitatif adanya alat
bukti lain.27)
Ad.1. Bukti Surat
Pengertian dan
kedudukan surat biasa, akta otentik dan akta di bawah tangan.
Pasal 137 HIR berbunyi :Kedua belah pihak boleh timbal balik
menuntut melihat surat keterangan lawannya yang untuk maksud itu diserahkan
kepada hakim.
Pasal
tersebut diatas memungkinkan pada kedua belah pihak untuk diserahkan kepada
hakim surat-surat yang berhubungan dengan perkara yang sedang diperiksa agar ia
dapat meyakinkan isi surat-surat tersebut, serta memeriksa ada alasan untuk
menyangkal keabsahan surat-surat tersebut.
Pasal
138 HIR mengatur tentang bagaimana cara bertindak, apabila salah satu pihak
menyangkal keabsahan dari surat bukti yang diajukan oleh lawan. Apabila terjadi
demikian, maka pengadilan negeri wajib mengadakan pemeriksaan khusus mengenai
hal tersebut. Ayat 2 sampai dengan 5 dari pasal 138 HIR mengatur, apa yang
harus dilakukan oleh hakim dan oleh penyimpan surat tersebut, apabila dalam
penyelidikan ini diperlukan surat-surat resmi yang berada di tangan pegawai
khusus ditunjuk oleh Undang-Undang untuk menyimpan surat-surat tersebut.28)
Dalam
proses perdata bukti tulisan merupakan bukti yang paling utama. Di dalam hukum
acara perdata mengenal 3 macam surat, ialah :
(a)
Surat biasa
(b)
Akta otentik
(c)
Akta di bawah tangan
Perbedaan
dari ketiga macam surat ini, yaitu dalam kelompok mana suatu tulisan termasuk,
itu tergantung dari cara pembuatannya. Sehelai surat biasa dibuat tidak dengan
maksud untuk dijadikan bukti. Apabila kemudian surat itu dijadikan bukti, hal
itu merupakan suatu kebetulan saja. Berbeda dengan surat biasa, sehelai akta dibuat dengan sengaja untuk
dijadikan bukti di persidangan, akan tetapi suatu akta merupakan suatu bukti
bahwa peristiwa hukum telah dilakukan, dan akta itu adalah buktinya. Akta di
bawah tangan dan akta otentik dibuat secara berlainan.29)
Pasal
165 HIR memuat suatu definisi apa yang
dimaksud dengan akta otentik, yang berbunyi sebagai berikut : “Akta otentik
yaitu surat yang diperbuat oleh atau dihadapkan pegawai umum yang berkuasa akan
membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak, dan ahli
warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya yaitu tentang
segala hal, yang tersebut dalam surat itu hanya sekedar yang diberitahukan
langsung berhubung dengan pokok dalam akta itu.”
Dalam
pasal 165 HIR ditentukan, bahwa akta otentik merupakan bukti yang cukup bagi
kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak
daripadanya, tentang apa yang tersebut didalamnya perihal pokok soal dan juga
tentang apa yang disebutkan sebagai pemberitahuan belaka, apabila hal yang
disebutkan kemudian ini mempunyai hubungan langsung dengan pokok soal tersebut.
Akta
otentik merupakan bukti yang cukup,
bukti yang cukup ini disebut juga bukti yang sempurna. Kekuatan pembuktian
sempurna ini berarti, bahwa isi akta tersebut oleh hakim dianggap benar,
kecuali apabila diajukan bukti lawan yang kuat, hal mana berarti bahwa hakim
harus mempercayai apa yang ditulis dalam akta tersebut, dengan perkataan lain
yang termuat dalam akta itu harus dianggap benar. Selama ketidakbenarannya
tidak dibuktikan.
Akta
otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian, yakni :
a)
Kekuatan pembuktian formil.
Membuktikan antara pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam
akta tersebut.
b)
Kekuatan pembuktian materiil.
Membuktikan antara pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta
itu telah terjadi.
c)
Kekuatan mengikat. Membuktikan
antara para pihak dan pihak ketiga bahwa dalam akta tersebut dalam akta yang
bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang
ditulis dalam akta tersebut oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka
disebutkan bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang keluar (orang
luar).30)
Dalam
akta otentik tanda tangan merupakan persoalan, akan tetapi di dalam akta di
bawah tangan pemeriksaan tentang benar tidaknya akta yang bersangkutan telah
ditandatangani oleh yang bersangkutan merupakan acara pertama. Apabila tanda
tangan yang terdapat dalam akta di bawah tangan di sangkal oleh pihak yang
menandatangani akta tersebut sebagai pihak, maka pihak yang mengajukan akta di
bawah tangan itu harus berusaha membuktikan kebenaran dari tanda tangan
tersebut. Dengan perkataan lain, apabila tanda tangannya disangkal, maka hakim
harus memeriksa kebenaran tanda tangan tersebut.31)
Ad.2. Bukti Saksi
Pembuktian dengan
saksi lazim disebut dengan kesaksian. Dalam hukum acara perdata pembuktian
dengan saksi sangat penting artinya, terutama untuk perjanjian-perjanjian dalam
hukum adat, dimana pada umumnya karena adanya saling percaya mempercayai, tidak
dibuat sehelai surat apapun. Oleh karena bukti surat tak ada, pihak-pihak
berusaha untuk mengajukan saksi yang dapat menguatkan atau membenarkan
dalil-dalil yang dimajukan di muka persidangan. Ada 2 macam saksi, yaitu :
1.
Saksi-saksi yang secara
kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwa-peristiwa yang menjadi
persoalan.
2.
Saksi-saksi yang pada waktu
pembuatan hukum dilakukan, sengaja diminta untuk menyaksikan perbuatan hukum
tersebut. yang diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang ia lihat, ia dengar dan
ia rasakan sendiri, lagi pula tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan
apa sebabnya, dan bagaimana ia sampai mengetahui hal-hal yang diterangkan
olehnya. Perasaan atau sangka istimewa yang terjadi karena akal, tidak
dipandang sebagai penyaksian. (Pasal 17, ayat 2 HIR).
Testimonium de auditu adalah
keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain, ia tidak mendengar sendiri
atau mengalami sendiri, hanya ia dengar dari orang lain tentang kejadian
tersebut atau adanya hal tersebut. Testimonium
de auditu dalam bahasa Indonesia berarti kesaksian dari pendengaran, juga
disebut kesaksian de auditu. Pendapat
yang lama menyatakan bahwa kesaksian semacam ini tidak ada harganya sama sekali.
Memang sebagai kesaksian, keterangan dari pendengaran tidak mempunyai nilai
pembuktian sama sekali, akan tetapi keterangan-keterangan yang demikian itu
dapat dipergunakan untuk menyusun persangkaan-persangkaan atau untuk
memperlengkapi keterangan-keterangan saksi yang dipercayai. Berdasarkan hal
itu, pendapat bahwa saksi de auditu tidak berarti adalah keliru.
Unus testis nullus testis,
apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kalimat itu berarti “satu saksi
bukan saksi”. Keterangan seorang saksi saja tanpa adanya bukti lain, tidak
cukup untuk membuktikan atau dianggap terbuktinya suatu dalil yang harus
dibuktikan. Keterangan saksi yang seorang itu harus dilengkapi dengan
bukti-bukti lain. Kalau didasarkan atas keterangan itu saja, maka dalil yang harus
dibuktikan itu belum terbukti.35)
Ad.3. Persangkaan-persangkaan
Apabila
dalam suatu pemeriksaan perkara perdata sulit untuk mendapatkan saksi yang
mendengar, melihat atau merasakan sendiri, maka peristiwa hukum yang harus
dibuktikan diusahakan agar dapat dibuktikan dengan
persangkaan-persangkaan. Dipakai perkataan
persangkaan-persangkaan, oleh karena
satu
Persangkaan saja tidak cukup untuk membuktikan sesuatu, harus banyak
persangkaan-persangkaan yang satu sama lain saling menutupi, berhubungan,
sehingga peristiwa/ dalil yang disangkal misalnya, dapat dibuktikan.36)
Persangkaan
adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap
terbukti, atau peristiwa yang dikenal kearah suatu peristiwa yang belum
terbukti. Yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim atau Undang-Undang.
Persangkaan
hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, dengan lain
perkataan, terserah kepada
penilaian hakim yang
bersangkutan,
kekuatan bukti apa yang akan diberikan kepada persangkaan hakim
tertentu itu, bukti yang berkekuatan sempurna, atau sebagai bukti permulaan
atau akan tidak di beri kekuatan apapun juga. Pada umumnya apabila hanya ada
satu persangkaan hakim saja, maka persangkan tersebut tidaklah dianggap cukup
untuk menganggap dalil yang bersangkutan itu terbukti. Dengan perkataan lain
persangkaan hakim itu baru merupakan bukti lengkap, apabila saling berhubungan
dengan persangkaan-persangkaan hakim
lain yang terdapat dalam perkara
itu.37)
Pengertian persangkaan hakim sesungguhnya amat luas. Segala
peristiwa, keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang di dapat dari pemeriksaan
perkara tersebut, kesemuanya itu dapat dijadikan bahan untuk menyusun
persangkaan hakim.
Ad.4.
Pengakuan
Dalam HIR
ketentuan yang mengatur perihal pengakuan adalah pasal-pasal 174, 175 dan 176.
Sesungguhnya adalah kurang tepat untuk menamakan pengakuan itu sebagai alat
bukti, karena justru apabila dalil tersebut sebenarnya tidak usah dibuktikan
lagi. Sudah diterangkan di muka, bahwa yang harus dibuktikan hanyalah terhadap
dalil-dalil yang disangkal oleh pihak lawan.
Ada 2
macam pengakuan yang di kenal dalam hukum acara perdata, ialah:
(1)
Pengakuan yang dilakukan di
depan sidang;
(2)
Pengakuan yang dilakukan di
luar persidangan.
Kedua
macam pengakuan tersebut di atas, satu sama lain berbeda dalam nilai
pembuktian. Menurut ketentuan dalam pasal 174 HIR : Bahwa pengakuan yang
diucapkan dihadapan hakim menjadi bukti yang cukup untuk memberatkan orang yang
mengaku itu, baik pengakuan itu diucapkan sendiri, baik diucapkan oleh
seseorang yang istimewa dikuasakan untuk melakukannya.38)
Dengan
demikian, pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan bukti
yang sempurna, sedangkan mengenai pengakuan di luar sidang perihal penilaian
terhadap kekuatan pembuktiannya, diserahkan kepada kebijaksanaan hakim, atau
dengan lain perkataan merupakan bukti bebas. Hal itu berarti, bahwa hakim
leluasa untuk memberi kekuatan pembuktian, atau pula, hanya menganggap sebagai
bukti permulaan.
Untuk
pengakuan yang dilakukan di depan sidang, baik yang diberikan oleh yang
bersangkutan sendiri ataupun melalui kuasanya, merupakan bukti yang sempurna
dan mengikat. Hal itu berarti, bahwa hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil
yang telah diakui adalah benar, meskipun sesungguhnya adalah benar, akan tetapi
karena pengakuan tersebut gugatan yang didasarkan atas dalil-dalil itu harus
dikabulkan.
Pengakuan
di depan sidang tidak boleh ditarik kembali. Pengecualian terhadap asas ini
adalah, apabila pengakuan itu merupakan suatu kekhilapan mengenai hal-hal yang
terjadi. Suatu pengakuan di depan sidang dalam proses tertulis, dilakukan
tertulis dalam surat jawaban, dimana kekuatan pembuktiannya dipersamakan
sebagai suatu pengakuan secara lisan di depan sidang.39)
Dalam
putusan-putusan pengadilan pada umumnya terlebih dahulu dikemukakan dalil-dalil
yang diakui, setidak-tidaknya yang tidak disangkal, baru kemudian meningkat
kepada hal-hal yang merupakan persoalan. Dengan demikian putusan menjadi padat
berisi, dan hanya dalil-dalil yang menjadi dasar gugat dan disangkal saja, yang
harus dibahas secara mendalam. Dari kekuatan pembuktian pengakuan di depan
sidang ini ternyata benar, bahwa dalam hukum acara perdata tidak dicari
kebenaran yang hakiki, melainkan cukup dengan kebenaran formil belaka.
AD.5. Bukti Sumpah
Ada dua
macam sumpah, ialah sumpah yang dibebankan oleh hakim dan sumpah yang
dimohonkan oleh pihak lawan. Baik sumpah penambah maupun sumpah pemutus
bermaksud untuk menyelesaikan perselisihan, oleh karenanya, keterangan yang
dikuatkan dengan sumpah itu adalah keterangan yang benar, dan bahwa orang yang
disumpah itu tak akan berani berbohong, oleh karena apabila ia memberikan
keterangan yang bohong, ia akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Esa.
E-mail
Sebagai Alat Bukti Dalam Persidangan
Suatu surat yang dikirim
dalam bentuk e-mail akan dijadikan alat bukti di pengadilan, maka pihak yang
menunjukkan bukti surat dalam bentuk e-mail tersebut harus dapat memperlihatkan
yang aslinya dalam proses pembuktian dipersidangan. Sebab dengan adanya bukti
surat dalam bentuk e-mail yang asli yang diajukan dalam persidangan maka
kekuatan pembuktian e-mail dalam persidangan tersebut mempunyai kekuatan yang
sama dengan alat bukti otentik.
Oleh karena itu, alat bukti berupa
e-mail tersebut dapat dipergunakan pada persidangan kelima dan
persidangan keenam, sebab di dalam persidangan kelima dan persidangan keenam,
pihak penggugat maupun pihak tergugat dapat menggunakan alat bukti berupa
e-mail yang sudah dicetak. Maka alat bukti berupa e-mail yang sudah dicetak itu
dapat dianggap sama dengan surat asli, karena surat yang dikirim oleh pengirim
e-mail isinya sama dengan surat yang diterima oleh penerima e-mail, tetapi cara
pengiriman tersebut tidak mengubah status surat yang semula berstatus akta
otentik menjadi akta dibawah tangan.
Sehingga dari pihak penggugat mempunyai kebebasan yang
seluas-luasnya untuk membuktikan kebenaran dari dalil-dalil gugatannya serta
pihak tergugat pun dapat menyangkal bukti-bukti yang telah diajukan oleh pihak
penggugat.
Kekuatan E-mail dalam proses persidangan bila dikaitkan dengan pasal
164 HIR yang terdiri dari 5 (lima) alat bukti yang sah, yaitu :
a.
Bukti Surat
Dalam pasal 164 HIR bukti surat
merupakan alat bukti pertama dan utama. Dikatakan pertama oleh karena alat
bukti surat gradasinya disebut pertama dibandingkan dengan alat bukti lainnya.
Sedangkan dikatakan utama oleh karena dalam hukum perdata yang dicari adalah
kebenaran formal maka alat bukti surat memang sengaja dibuat untuk dapat
dipergunakan sebagai alat pembuktian
utama.
Alat bukti surat pada hukum
acara perdata dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) macam yaitu :
1.
Surat biasa
Pada prinsipnya surat biasa ini dibuat tidak dengan
maksud untuk menjadi alat bukti, akan tetapi, apabila dikemudian hari surat
tersebut dijadikan alat bukti di persidangan maka hal ini bersifat insidental
(kebetulan) saja.
2.
Akta otentik
Pada dasarnya akta otentik merupakan suatu akta yang
dibuat dengan bentuk sebagaimana
ditentukan “oleh” dan “dihadapan”
seorang pegawai umum (Hakim, Notaris, Jurusita, Pegawai Catatan Sipil,
Camat, Pegawai Pencatat Nikah)
Konkretnya, akta otentik dibuat memang sengaja untuk
pembuktian. Kemudian mengenai kekuatan pembuktian akta otentik bersifat “acte ambtelijk” merupakan suatu bukti
sempurna dan mengikat (pasal 165 HIR). Pengertian “sempurna “ dimaksudkan bahwa
akta otentik tersebut cukup membuktikan tentang peristiwa atau hak. Konkretnya,
sebagai bukti sempurna dalam arti bahwa ia tidak memerlukan penambahan alat
bukti lagi. Sedangkan “mengikat” dimaksudkan bahwa apa yang ditulis dalam akta
tersebut harus dipercaya hakim yakni harus dianggap sebagai benar selama
ketidakbenaran tersebut dapat dibuktikan sebaliknya.52)
Jadi, dengan demikian suatu
akta otentik itu pada hakekatnya mempunyai 3 (tiga) macam pembuktian, yaitu :
a.
Sebagai pembuktian formal
Dalam artian bahwa antara para pihak telah
membuktikan apa yang ditulis adalah benar dalam akta tersebut.
b.
Sebagai pembuktian material
Di mana para pihak bersangkutan mambuktikan
bahwa antara mereka telah melakukan peristiwa-peristiwa sebagaimana disebutkan
dalam akta tersebut memang sungguh terjadi.
c.
Sebagai kekuatan pembuktian
“lahir/ keluar” / lazimnya juga disebut dengan istilah pembuktian dari segi
wujudnya.
3.
Akta di bawah tangan
Pada asasnya, pengertian akta di bawah tangan merupakan akta yang
dibuat “oleh” dan “dihadapan” pegawai
umum yang berwenang membuatnya.
b.
Bukti Saksi
Pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang
terpenting dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di depan hakim. Suatu
kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri
oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh seorang saksi itu hanya mendengar saja
tentang adanya peristiwa dari orang lain. Selanjutnya tidak boleh pula
keterangan saksi tersebut merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya
sendiri dari peristiwa yang dilihat/ dialaminya, karena hakimlah yang berhak
menarik kesimpulan-kesimpulan itu.
Kesaksian bukanlah alat bukti yang sempurna dan mengikat
hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya/ tidak. Artinya, hakim
leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi.
Selanjutnya, oleh undang-undang ditetapkan
bahwa keterangan satu orang saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh
mendasarkan putusannnya tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya
satu orang saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.
c.
Persangkaan
Persangkaan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu
peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini
ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan juga telah
terjadi.53)
Dalam hukum pembuktian, ada dua macam
persangkaan, yaitu :
1.
Persangkaan yang ditetapkan
oleh UU sendiri.
Pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban
membuktikan sesuatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara.
2.
Persangkaan yang ditetapkan
oleh hakim.
Terdapat dalam suatu pemeriksaan perkara dimana untuk pembuktian
suatu peristiwa tidak bisa didapatkan saksi-saksi dengan mata kepala sendiri
telah melihat peristiwa itu.
d.
Pengakuan
Sebenarnya suatu pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena
jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawannya dibebaskan dari
kewajiban untuk membuktikan hal tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak
lawan ini telah membuktikan hal
tersebut, sebab pemeriksaan di depan hakim belum sampai pada tingkat
pembuktian.
Menurut undang-undang, suatu pengakuan yang dilakukan di depan
hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau
peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan
menganggap suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi,
meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu
sungguh-sungguh telah terjadi.
e.
Sumpah
Menurut undang-undang ada 2 (dua) macam
sumpah, yaitu :
1.
Sumpah yang menentukan.
Sumpah yang menentukan adalah swumpah yang diperintahkan oleh salah
satu pihak yang berperkara kepada pihak lawannya untuk maksud mengakhiri
perkara yang diperiksa oleh hakim.
2.
Sumpah tambahan
Suatu sumpah tambahan adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh
hakim pada salah satu pihak yang berperkara, apabila hakim itu berpendapat
bahwa di dalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang
perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk
menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu.
Hakim leluasa apa ia akan memerintahkan
suatu sumpah tambahan atau tidak. Jadi tidak ada keharusan untuk memerintahkan
sumpah tersebut.54)
Dari uraian tersebut di atas, maka jelas sudah bahwa surat
elektronik dalam bentuk e-mail tersebut dianggap mempunyai kekuatan yang sama
dengan akta otentik. Meskipun surat elektronik dalam bentuk e-mail tersebut
dapat direkayasa dan mudah dihapus keberadaannya, tetapi dalam sistem komputer
ada suatu jaringan yaitu grand centrum-nya,
itulah yang harus diselidiki dan main
record-nya yang dapat diselidiki juga. Oleh karena itu, jika semua ini
terlacak maka surat elektronik dalam bentuk e-mail tersebut mempunyai kekuatan
hukum dipersidangan dengan dikuatkan adanya keterangan saksi ahli dan
saksi-saksi dari para pihak yang terkait.
Dan juga diperlukan adanya perluasan
pengertian mengenai alat bukti dipersidangan dengan menjadikan elektronik mail (e-mail) menjadi salah
satu alat bukti yang sah, sebab bukan tidak mungkin dikemudian hari nantinya
sesuai dengan perkembangan teknologi yang semakin maju surat-surat yang dikirim
itu akan berbentuk e-mail semuanya. Oleh karena itu sangat diharapkan sekali
Indonesia dalam waktu dekat ini dapat menerapkan rancangan undang-undang
tentang teknologi informasi sebagai perlindungan serta keabsahan dari
bentuk-bentuk surat yang dikirim secara elektronik melalui e-mail tersebut.
Pembuktian
Menggunakan Email Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
Dengan di berlakukannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik pada tanggal 21 April 2008, maka secara
yuridis terciptalah suatu dasar hukum
bagi transaksi-transaksi elektronik dan
informasi yang terjadi di wilayah hukum Indonesia. Setiap kegiatan yang
berurusan dengan sistem elektronik harus mendasarkan hubungan tersebut pada
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang ini. Oleh karena UU ITE
ini mengatur suatu dimensi baru yang belum pernah di atur sebelumnya maka
muncullah beberapa istilah maupun karakteristik baru yang bersesuaian dengan
kegiatan di dunia siber.
Salah satu hal yang baru adanya suatu bentuk alat bukti yang baru
dan sah secara hukum, yaitu Informasi Elektronik, Dokumen Elektronik atau pun
hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik (pasal 5 ayat (1)
UU ITE). Ketiga macam alat bukti ini benar-benar merupakan hal yang baru dalam
dunia hukum mengingat belum adanya peraturan perundang-undangan yang menyatakan
dan mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah (lih. Pasal 44
UU ITE).
Email merupakan salah satu bentuk dokumen elektronik yang berisi
informasi elektronik dari pemilik emailnya. Sebenarnya keberadaan email ini
sudah di kenal oleh masyarakat hanya saja dalam hukum pembuktian (terutama alat
bukti) belum di akui secara sah. Pengakuan secara yuridis melalui pasal 5 ayat
(1) UU ITE terhadap ketiga alat bukti yang baru ini membawa akibat yuridis di
akuinya ketiga alat bukti tersebut sebagai bagian dalam alat bukti yang selama
ini berlaku.
Pengakuan alat bukti elektronik ini merupakan suatu langkah maju
dalam hukum pembuktian. Apabila muncul suatu perkara perdata yang mana
mempersengketakan dokumen elektronik, maka dokumen tersebut dapat di gunakan
sebagai acuan bagi para pihak untuk menyelesaikan perkara atau hakim yang
nantinya memutus perkara.
Melihat hal ini muncullah pertanyaan, termasuk dalam kelompok alat
bukti manakah alat bukti elektronik ini dalam hukum perdata. Pemahaman
kedudukan alat bukti eletronik (dokumen
elektronik) ini sangat penting mengingat dalam memeriksa perkara perdata, hakim
memberikan putusannnya dengan mempertimbangkan alat bukti yang sah dan di akui
dalam hukum perdata.
Sampai saat ini belum dapat di temukan suatu definisi yang jelas
tentang apa yang di maksud dengan ‘alat bukti yang sah’ itu. Pasal 1866 BW pun
dalam rumusannya hanya menyebutkan ‘Alat-alat bukti terdiri atas:…”. Oleh
karena itu menurut pendapat penulis yang di maksud dengan rumusan ‘alat bukti
yang sah’ itu adalah alat atau benda
yang secara tertulis di sebutkan atau diakui oleh undang-undang sebagai
alat bukti yang menunjukkan adanya suatu peristiwa hukum.
Keabsahan dari alat-alat ini jelas sangat bergantung pada pengakuan
secara tegas dan jelas dalam salah satu ketentuan hukum undang-undang. Seperti
halnya alat-alat bukti berupa tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah
di sebut sebagai alat yang sah secara hukum karena tertulis dalam
ketentuan pasal 1866 BW sebagai alat bukti. Begitu pula dengan alat bukti
elektronik juga dapat di katakan sebagai alat bukti yang sah secara hukum
menurut pasal 5 ayat (1) UU ITE.
Permasalahan yang muncul kemudian, dari kelima macam alat bukti yang
diakui dalam hukum perdata (pasal 1866 BW) termasuk dalam kelompok manakan
dokumen elektronik itu. Apabila di lihat dari kelima macam alat bukti dalam Pasal 1866 BW itu,
agaknya dokumen elektronik hanya bisa di masukkan dalam kategori alat bukti
tertulis.
Argumentasi yang dapat di kemukakan, dokumen elektronik ini pada
hakekatnya merupakan tulisan yang di tuangkan dalam sebuah surat elektronik.
Selanjutnya tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah untuk mewujudkan suatu
kejadian yang telah terjadi dan menyatakan perbuatan hukum yang harus dilakukan
oleh seseorang.
Pitlo, seorang Guru besar hukum Perdata menjelaskan hakekat alat
bukti tulisan itu sebagai “pembawa tanda-tanda bacaan yang berarti untuk
menterjemahkan suatu pikiran”. Senada dengan pendapat ini, Sudikno Mertokusumo
melengkapinya dengan mendefinisikan alat bukti surat ‘segala sesuatu yang
memuat tanda-tanda bacaan yang di maksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan di pergunakan sebagai
pembuktian”.
Terkait dengan hal ini, keberadaan dokumen elektronik pun di
maksudkan untuk mengutarakan maksud seseorang atau dua belah pihak dalam bentuk
surat elektronik yang di setujui bersama. Oleh karena itu dokumen elektronik
ini jelas dapat di kategorikan sebagai alat bukti dalam bentuk tertulis sebagaimana
di atur dalam pasal 1866 BW. Mengenai
hal ini pasal 5 ayat (2) UU ITE menyebut dokumen elektronik sebagai perluasan
dari alat bukti yang ada dalam hukum perdata.
Alat bukti tertulis dalam hukum perdata memang merupakan alat bukti
pertama yang di sebutkan dalam pasal 1866 BW. Ini berarti alat bukti tertulis
ini merupakan alat bukti yang paling krusial dalam pembuktian perkara atau
sengketa perdata. Pada prakteknya, bentuk alat bukti tertulis (surat) ini
sangat beraneka ragam, ada tulisan yang di buat secara asal-asalan (surat
biasa), tulisan yang di buat dengan akta khusus (akta).
Akta pun juga dapat di bedakan menjadi akta di bawah tangan dan akta
otentik. Lalu bagaimana dengan dokumen elektronik apakah termasuk dalam bentuk
surat biasa atau akta. Jika memang akta, termasuk dalam kategori akta di bawah
tangan ataukag akta otentik.
Untuk menjawab pertanyaan ini sebaiknya kembali diperhatikan
definisi dokumen elektronik sebagaimana di sebutkan pada pasal 1 angka (4) UU
ITE, “setiap Informasi Elektronik yang dibuat, di teruskan, dikirimkan, di
terima atau di simpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal
atau sejenisnya yang dapat dilihat, di tampilkan dan/atau didengar melalui
komputer atau sistem elektronik, tidak terbatas pada tulisan, gambar, suara,
peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka ,Kode akses,
simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti dapat di pahami oleh orang
yang mampu memahaminya.”
Dari pengertian pasal 1 angka 4 UU ITE ini bentuk dokumen elektronik
sangat beraneka ragam sangat bergantung pada maksud penggunaan dari dokumen itu
sendiri. Apabila dokumen elektronik itu hanya berupa informasi biasa maka
dokumen itu termasuk dalam surat biasa atau akta di bawah tangan karena memang
di buat seadanya dan tidak digunakan sebagai alat bukti nantinya. Namun jika
ternyata dokumen itu dimaksudkan sebagai dokumen yang otentik, maka dokumen
tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan.
Persyaratan utama agar dokumen elektronik itu dapat dinyatakan
sebagai alat bukti yang sah adalah penggunaan sistem elektronik yang telah
mendapatkan sertifikasi elektornik dari pemerintah (pasal 13-16 UU ITE).
Persyaratan yan lain, harus membubuhkan tanda tangan elektronik, menuangkannya
dalam kontrak elektronik yang baku, dll.
Dengan demikian kedudukan dokumen elektonik sesungguhnya merupakan
perluasan dari alat bukti tertulis sebagaimana
di kemukakan dalam pasal 1866 BW. Terhadap kekuatan pembuktian dokumen
tertulis dalam hukum pembuktian perkara perdata sangatlah bergantung pada
bentuk dan maksud dari dokumen itu di buat, dokumen elektronik dapat di sebut
sebagai akta otentik apabila sudah mendapatkan seritifikasi dari pemerintah dan
memenuhi persyaratan sebagai sebuah kontrak elektorbik yang sah. Sebaliknya
apabila sistem elektronik yang dipakai belum mendapat sertifikasi maka setiap
dokumen yang telah di buat tetap dianggap tidak sah.
Pemahaman
ini begitu krusial mengingat praktek bisnis akhir-akhir ini mulai menggunakan
media internet (teknologi informasi) dalam pembuatan dokumen-dokumen
perjanjian. Salah membuat dokumen elektronik akan mengakibatkan kesalahan fatal
pada kekuatan pembuktian dokumen elektornik tersebut sebagai alat bukti yang
sah.
Kesimpulan
1. Berdasarkan
proses persidangan perkara perdata maka alat bukti berupa e-mail tersebut dapat
digunakan di dalam persidangan. Mengenai aspek hukum penerapan e-mail dalam
menegakkan hukum bahwa seiring dengan perkembangan teknologi komputer dengan
ditemukannya media komunikasi yang dikenal dengan internet, yang telah mengubah
cara berfikir dan bertindak sehingga berdampak pada hukum. Sehingga memerlukan
pengertian yang luas mengenai alat bukti dalam proses persidangan. Yaitu dengan
perlunya aturan hukum yang diterapkan, baik itu berupa peraturan
perundang-undangan atau kaidah hukum yang disesuaikan dengan kebutuhan dari
media internet itu sendiri.
|
Dengan demikian kedudukan
dokumen elektonik sesungguhnya merupakan perluasan dari alat bukti tertulis
sebagaimana di kemukakan dalam pasal
1866 BW. Terhadap kekuatan pembuktian dokumen tertulis dalam hukum pembuktian
perkara perdata sangatlah bergantung pada bentuk dan maksud dari dokumen itu di
buat, dokumen elektronik dapat di sebut sebagai akta otentik apabila sudah
mendapatkan seritifikasi dari pemerintah dan memenuhi persyaratan sebagai
sebuah kontrak elektorbik yang sah. Sebaliknya apabila sistem elektronik yang
dipakai belum mendapat sertifikasi maka setiap dokumen yang telah di buat tetap
dianggap tidak sah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Effendi, Bachtiar, Masdari
Tasmin dan Chodari, Surat Gugat dan Hukum
Pembuktian Perkara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1993.
Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan
Praktek Peradilan Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999.
Pitlo, A., Bewijs En Verjaring Naar Hey Nederlands
Burgerlijk Wetboek, HD Tjeenk Willink and Zoon N.V., 1953.
Projodikoro, Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur
Bandung, Cetakan V, 1970.
Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum, Sinar
Batu, tanpa tahun.
Sitompul, Asril, Hukum Internet (Pengenalan Mengenai Masalah
Hukum di Cyberspace, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Soejono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Cetakan II, Rajawali, Jakarta, 1986.
Supraptomo, Heru, Hukum dan Komputer, Alumni, Bandung,
1996.
Sutantio, Retno Wulan dan Kartawinata,
Iskandar Oerip, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1997.
B. Peraturan
Perundang-undangan
Staatsblad 1847 Nomor 23
Tentang Pemberlakuan BW Nederland di Indonesia.
Undang-Undang Darurat No. 1
Tahun 1951 diubah dengan Undang-Undang No.11 Tahun 1955 tentang HIR.
Undang-undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
|
Rangkuman Yurisprudensi MA
Indonesia (II) Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata, Proyek Yurisprudensi MA,
1977.
C. Sumber Lain
Penataran Hakim 1976/1977
di Jakarta Jilid II, Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum
Departemen Kehakiman, Jakarta, 1978.
Penataran Hakim 1978/1980,
Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman,
Jakarta, 1981.
Penataran Hakim 1980/1981,
Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman,
Jakarta, 1982.
Penataran Hakim 1982 di
Jakarta, Ceramah dan Kuliah,
Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman,
Jakarta, 1983.
R. Soekardono, Penggunaan Upaya-Upaya Pembuktian Dalam
Prosedur Perdata, Majalah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN),
1971 No. 12.
www. hukumonline, Fokus 08-07-2002.
Kitao Kenji, and Kitao, S.
Kathleen (Rewriten on July 30th , 1996 and on October 25th
1997), Kitao @ Mail, doshisha, ac.jp, www. Google
.com.
[1] www.ptun-mataram.go.id, 20 Maret 2010.
[2] www.hukumonline.com, fokus, 20 Maret 2010.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
16) Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik
Peradilan Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999, Hal. 150.
24) Rangkuman Yurisprudensi MA Indonesia (II), Hukum Perdata dan
Hukum Acara Perdata, Proyek Yurisprudensi MA, 1977, hal 211.
27) Lilik Mulyadi, Op.Cit.,Hal. 158-159.
28) Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata, Op.Cit,
Hal. 63.
29. Ibid.
30) Ibid., Hal. 66-67.
31) Ibid., Hal.68.
35) Ibid., Hal 74-75.
36) Ibid., Hal. 77.
37) Ibid.,
38) Ibid., Hal. 80.
39) Ibid., Hal. 81.
52) Ibid. Hal. 160-162.
53) Ibid., Hal. 163.
54) Ibid., Hal. 182-185
Tidak ada komentar
Posting Komentar