KEDUDUKAN PIDANA SEUMUR HIDUP DALAM SISTEM HUKUM PIDANA NASIONAL
Jonaedi Efendi
ABSTRAK
Dilihat dari konsepsi pemasyarakatan, kedudukan pidana
seumur hidup dalam sistem hukum pidana nasional pada hakikatnya merupakan
“Perampasan Kemerdekaan” seseorang yang bersifat sementara (untuk waktu
tertentu) sebagai sarana untuk memulihkan integritas terpidana agar ia mampu
melakukan readaptasi sosial. Penggunaan pidana penjara seumur hidup harus
bersifat eksepsional dan sekedar untuk memberikan ciri simbolik. Sifat
eksepsional ini didasarkan terutama pada tujuan untuk melindungi atau
mengamankan masyarakat dari perbuatan-perbuatan dan perilaku tindak pidana yang
dipandang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat.
Kata kunci: pidana seumur hidup, hukum pidana
ABSTRACT
Judging from the conception
of prisons, the criminal status of a lifetime in the national criminal justice
system was in essence a "deprivation of freedom" a person who is
temporary (for a specific time) as a means to restore the integrity of the
convict that he is able to perform social readaptasi. The use of life
imprisonment should be exceptional and just to give symbolic characteristics.
These exceptional properties are based primarily on the goal to protect or
safeguard the public from acts and criminal behavior are considered extremely
dangerous or detrimental to the public.
Key words: lifelong criminal, criminal law
Pendahuluan
Kedudukan pidana
seumur hidup dalam sistem hukum pidana nasional masih dipandang relevan sebagai
sarana penanggulangan kejahatan, hal tersebut nampak dari masih banyaknya
tindak pidana yang diancam dengan pidana seumur hidup. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum
pidana merupakan cara yang paling tua setua peradaban manusia itu sendiri.
Kehadiran sanksi pidana dalam penanggulangan kejahatan menuai kritik, yang menyatakan
bahwa pidana merupakan penanggulangan dari kebiadaban kita di masa lalu (Vestige
of our savage past)[1] yang seharusnya
dihindari. Hal tersebut dikarenakan pidana merupakan bagian dari praktek
perlakuan manusia terhadap manusia yang lain secara kejam seperti dibakar
hidup-hidup, dirajam sampai meninggal dunia, ditenggelamkan ke laut, atau
dipenggal leher dengan pedang.
Kritik ini
berujung pada munculnya gerakan penghapusan pidana yang ingin diganti dengan
tindakan (treatment-maatregelen), atau yang dikenal dengan “Abolisionist
Movement”. Terlepas dari pro dan kontra terhadap pidana sebagai instrument
penanggulangan kejahatan, tapi kenyataannya pidana tetap digunakan. Sepanjang
sejarah umat manusia dan dipraktekkan di berbagai negara dan bangsa termasuk di
Indonesia melalui pencantumannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya
disebut KUHP).
Dilihat dari
konsepsi pemasyarakatan, kedudukan pidana seumur hidup dalam sistem hukum
pidana nasional pada hakikatnya merupakan “Perampasan Kemerdekaan” seseorang
yang bersifat sementara (untuk waktu tertentu) sebagai sarana untuk memulihkan integritas
terpidana agar ia mampu melakukan readaptasi sosial.
Sehubungan
dengan hal itu Mulder pernah menyatakan “pidana perampasan kemerdekaan
mengandung suatu ciri khas, yaitu bahwa dia adalah sementara, terpidana akhirnya tetap diantara kita”.[2]
Penggunaan
pidana penjara seumur hidup harus bersifat eksepsional dan sekedar untuk
memberikan ciri simbolik. Sifat eksepsional ini didasarkan terutama pada tujuan
untuk melindungi atau mengamankan masyarakat dari perbuatan-perbuatan dan
perilaku tindak pidana yang dipandang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat.
Terhadap kriteria eksepsional yang demikian inipun hendaknya harus tetap
berhati-hati, karena kriteria “membahayakan atau merugikan masyarakat” itupun
merupakan kriteria yang cukup sulit. di samping karena kriteria itu dapat
bersifat relatif juga, karena pada hakikatnya setiap tindak pidana adalah
perbuatan yang membahayakan atau merugikan masyarakat.
Bertolak dari
pemikiran “relativitas”, bahwa tidak ada perbuatan yang secara absolut
terus-menerus membahayakan masyarakat dan tidak ada pelaku tindak pidana yang
mempunyai kesalahan absolut atau sama sekali tidak dapat diperbaiki atau
memperbaiki dirinya sendiri, maka akan dirasakan lebih aman bila tidak
menggunakan pidana penjara seumur hidup yang di dalamnya mengandung unsur “absolut”
dan “definite”.
Perbuatan atau
orang yang dipandang “membahayakan masyarakat” itu, dapat dinetralisir dengan
merelatifkan sifat berbahayanya itu dalam jangka waktu tertentu. katakanlah batas
waktu antara 25-40 tahun merupakan batas waktu yang dipandang cukup untuk
menganggap bahwa “bahaya” itu telah dihilangkan atau telah dinetralisir.
Maka dapat
dikonkretkan bahwa pidana penjara seumur hidup hanya dapat diterima secara
eksepsional dalam arti hanya sekedar untuk memberikan ciri simbolik. Jadi tidak
untuk benar-benar secara harfiah dijatuhkan, tetapi sekedar untuk memberikan
“peringatan” kepada warga masyarakat akan sangat tercelanya perbuatan yang
bersangkutan. Tanda peringatan atau simbol itu mengandung arti, bahwa si pelanggar dapat dikenakan maksimum pidana penjara yang
cukup lama. Jumlah lamanya pidana penjara ini tidak perlu dicantumkan dalam
perumusan delik yang bersangkutan. Secara teknik perundang-undangan, dapat
dirumuskan sebagai “maksimum umum” untuk delik-delik yang diancam dengan pidana
penjara seumur hidup. jadi cukup dirumuskan dalam bagian umum KUHP.
Dengan demikian,
berbeda dengan sistem perumusan yang selama ini digunakan, yaitu pidana penjara
seumur hidup dialternatifkan dengan pidana penjara maksimum 20 tahun dalam perumusan
delik yang bersangkutan.
Kedudukan pidana
penjara seumur hidup dalam sistem hukum pidana nasional semakin kokoh dengan
adanya unifikasi WvS (Wetbook van Strafrecht) di Indonesia dengan
Stb. 1915 – 732 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. Dengan
diberlakukannya WvS di Indonesia maka secara resmi kedudukan pidana
penjara termasuk pidana seumur hidup menjadi salah satu jenis pidana yang ada
dalam hukum pidana nasional. Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa
pidana penjara termasuk pidana seumur hidup merupakan produk hukum Barat/bukan
produk asli bangsa Indonesia dan karenanya tidak berasal dari nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat Indonesia. Dengan demikian, upaya melakukan reorientasi dan
reformulasi terhadap pidana seumur hidup dalam kedudukan sistem hukum pidana
nasional sangatlah penting.
Penetapan sanksi
pidana dalam KUHP mengandung konsekuensi logis-yuridis untuk menjadi alasan
bagi pemberlakuan berbagai jenis, susunan dan cara pengenaan sanksi pidana.
Oleh karena pencantuman yang demikian, maka menjadi jelas bagi aparat peradilan
pidana dalam hal ini hakim untuk mengenakan salah satu dari jenis sanksi
pidana, baik pidana pokok maupun pidana tambahan.
Diantara sanksi
pidana penjara yang menarik dan penting disoroti dalam kaitannya dengan upaya
(1) pengaturan pidana seumur hidup (2) pembinaan dan rehabilitasi narapidana dalam kedudukan dalam sistem hukum
pidana nasional, adalah sanksi pidana seumur hidup yang merupakan bagian dari
pidana pokok yakni pidana penjara atau pidana perampasan kemerdekaan.
Hal ini disebabkan
narapidana yang menjalani pidana seumur hidup sukar diharapkan untuk kembali ke
dalam masyarakat dan menjalin proses resosialisasi karena itu harus mendekam
selamanya di dalam lembaga pemasyarakatan. Berkaitan dengan hal tersebut
menyebabkan lembaga grasi sering menjadi acuan bagi terpidana seumur hidup untuk
memperjuangkan nasibnya agar diubah pidananya menjadi pidana jangka waktu
tertentu. Jika demikian permasalahannya, maka perlu ditelusuri pula kedudukan
dari pidana seumur hidup dalam sistem hukum pidana nasional, di samping ada
keharusan mendeskripsikan pelaksanaan pidana seumur hidup, dan proyeksinya terutama
menyongsong berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru yang juga
cenderung mempertahankan pidana seumur hidup.
Permasalahan
1. Bagaimana konsep pidana seumur hidup dalam sisten hukum
nasional?
2. Bagaimana kedudukan dan sanksi pidana seumur hidup
dalam sistem hukum nasional dalam mewujudkan pemasyarakatan?
Pembahasan
Pengertian dan Ruang Lingkup Pidana Penjara Seumur
Hidup
17
|
Selain dampak
seperti diungkap di atas, ditinjau dari kedudukannya, PSH sebagai bagian dari Pidana
penjara adalah termasuk salah satu bentuk pidana pokok yang diatur dalam Pasal
10 KUHP. Sekalipun tidak tercantum secara langsung dalam susunan pidana (strafstelsel)
pada Pasal 10 KUHP, tetapi PSH merupakan bagian dari pidana penjara, hal ini
ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (1) KUHP yang menegaskan bahwa “pidana penjara
ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu”. Berdasarkan kententuan Pasal 12
ayat (1) KUHP ini jelaslah bahwa pidana penjara terdiri dari 2 (dua) jenis
pidana penjara, yaitu (1) PSH, (2) pidana selama waktu tertentu.
Kedua jenis
pidana penjara yaitu (1) PSH dan (2) pidana selama waktu tertentu sebetulnya
termasuk “pidana perampasan kemerdekaan” atau pidana perampasan kebebasan
orang. Seorang terpidana penjara dikekang kebebasannya sehingga tidak bisa
bebas bergerak leluasa di dalam masyarakat, kebebasannya diatur dengan
peraturan kepenjaraan (dulu dalam Getichten Reglemen Stb. 1917 Nomor 708,
sekarang Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).
Secara
filosofisnya bahwa seseorang dijatuhi pidana penjara seumur hidup adalah orang
yang melanggar hukum, dan sudah barangtentu merasakan penderitaan (pidana).
Sehingga pidana penjara cenderung diartikan sebagai pidana pembatasan kebebasan bergerak seorang terpidana, yang
dilakukan dengan mengisolasikan orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan,
dengan mewajibkan orang tersebut untuk menaati semua peraturan tatatertib yang
berlaku dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan
tatatertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.
Khusus tentang
PSH, Arief[4] berpendapat
bahwa pidana penjara seumur hidup (SH) seperti halnya dengan pidana mati, pada
dasarnya merupakan jenis pidana absolut. Oleh karena itu PSH juga masih
digolongkan sebagai, pidana yang bersifat pasti (definite sentence)
karena siterpidana dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite periode of
time) yaitu menjalani pidana sepanjang hidupnya, walaupun orang tidak tahu
pasti berapa lama masa hidupnya di dunia ini.[5] Oleh
karena ketidakpastian tentang umur seorang narapidana yang dijatuhi PSH itulah,
maka timbul pendapat lain bahwa PSH sebetulnya jenis pidana yang tidak pasti (indeterminate
sentence). Pandangan tentang PSH sebagai indeterminate sentence ini
ditunjang juga oleh tidak adanya secara eksplisit dirumuskan dalam KUHP tentang
batasan tentang jangka waktu pidana seumur hidup. Di dalam Pasal 12 KUHP hanya
ditentukan bahwa batas waktu pidana penjara selama waktu tertentu yakni minimal
satu hari dan maksimal 15 (lima belas) tahun berturut-turut, dan dasar pembatasan
waktu pidana inilah yang memberi batasan minimum (straf minima) dan
batas maksimum (straf maksima).
Rumusan PSH dalam Pidana Nasional
Sistem Hukum
Pidana Nasional (selanjutnya disebut SHPN) adalah sistem hukum pidana yang
berlaku saat ini di Indonesia. Berdasarkan pemahaman demikian, maka tanpa menyebut kata
“nasional”, sistem hukum pidana yang dibahas (dianalisis) ini adalah bernuansa
nasional, sebab mengacu pada hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia (ius constitutum), baik
yang tercantum dalam KUHP maupun di luar KUHP.
Istilah sistem
hukum pidana (SHP) menurut Barda Nawawi Arief[6]
identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari subsistem hukum
pidana materiel/substantif, sub-sistem hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan
pidana. Lebih lanjut dikemukakan Barda Nawawi Arief [7] bahwa
ketiga sub-sistem itu merupakan satu kesatuan penegakan hukum pidana atau
sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/
ditegakkan secara konkrit hanya dengan salah satu sub-sistem itu.
SHP ditinjau
dari sistem penegakan hukum pidana atau sistem pemidanaan dapat dibedakan dalam
2 (dua) sudut pandang, yaitu (1) SHP dalam arti luas, dan (2) SHP dalam arti
sempit.
Menurut Arief[8] SHP
dalam arti luas atau SHP ditinjau dari sudut fungsional (dari sudut bekerjanya/
berfungsinya/berprosesnya) sistem hukum pidana dapat diartikan sebagai (1) keseluruhan
sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/operasionalisasi/
konkretisasi hukum pidana, (2) keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan)
yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalisasikan secara
konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.
Oleh karena SHP
dalam arti luas (SHP fungsional) mencakup sistem pemidanaan dalam hukum pidana
materiil, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana.
SHP dalam arti
sempit (SHP substantive) atau SHP normatif
diartikan sebagai keseluruhan sistem/norma hukum pidana materiil untuk
pemidanaan, atau keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiil untuk
pemberian atau penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Berdasarkan pemahaman ini
maka SHP
normatif/substantive terbatas pada Hukum Pidana Materiil, tetapi dalam
pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dari hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan
pidana.
Kaitan SHP dalam
arti luas dan dalam arti sempit tersebut, Hulsman[9]
secara umum menyatakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing sistem)
adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan
pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanctions and punishment).
pendapat Hulsman ini jika dikaitkan dengan keberadaan peraturan
perundang-undangan pidana di Indonesia, maka SHP normatif dimaksud dapat
dijumpai dalam Buku I KUHP (Pasal 1 -103 KUHP) yang digolongkan sebagai aturan
umum (general rules), begitu pula SHP yang dijumpai dalam Buku II KUHP
dan Buku III serta peraturan perundang-undangan di luar KUHP digolongkan
sebagai aturan khusus (special rules). Sedangkan SHP dalam arti luas
atau dalam arti fungsional meliputi sistem pemidanaan yang terdapat baik dalam
hukum pidana materiil, hukum pidana formil (hukum acara pidana), maupun dalam
hukum pelaksanaan pidana.
SHP yang
diungkap di atas memperlihatkan betapa luas cakupannya (ruang lingkup) karena mencakup kebijakan legislatif, kebijakan
aplikatif dan kebijakan eksekusi. SHP dalam kebijakan legislatif tercermin dari
kebijakan perumusan sanksi pidana dalam perundang-undangan pidana, baik yang
menyangkut susunan pidananya (strafstelsel), jenis pidananya (strafsoort),
bobot pidana (strafmaat) maupun pelaksanaan penjatuhan pidana (strafmodus).
SHP dapat juga
dilihat dalam kerangka sistem perumusan sanksi pidana, baik yang berbentuk (1)
sistem perumusan tunggal/imperatif, (2) sistem perumusan alternatif, dan (3)
sistem perumusan kumulatif, (4) sistem perumusan kumulatif-alternatif.[10] Sistem
perumusan sanksi pidana tunggal yakni hanya ada satu jenis pidana saja yang
bisa dikenakan kepada terdakwa, dapat berupa pidana penjara saja, atau pidana
denda saja. Sistem perumusan sanksi pidana alternatif yakni ada dua jenis
sanksi pidana yang dijatuhkan, tetapi
hanya satu yang dijalani, misal hakim mengenakan pidana penjara atau pidana
denda. Akan tetapi pada umumnya memang demikian bahwa KUHP merumuskan sistem
sanksi antara pidana penjara yang dialternatifkan dengan pidana denda. Sistem perumusan
sanksi pidana kumulatif artinya bahwa ada dua jenis pidana yang dapat
dikenakan/ dijatuhkan sekaligus kepada terdakwa, misal hakim dapat menjatuhkan
pidana penjara dan pidana denda. Sedangkan sistem perumusan sanksi pidana
kumulatif-alternatif lazim pula disebut perumusan sanksi gabungan atau
campuran. Ciri yang dikenal dari sistem perumusan sanksi pidana campuran ini
adalah disertai dengan kata “dan/atau”.
Menurut Lilik[11]
sistem perumusan sanksi pidana campuran kebanyakan dianut oleh peraturan
perundang-undangan di luar KUHP. Perumusan sistem sanksi pidana sebagai salah
satu cerminan SHP tentunya berada pada tahapan kebijakan legislatif atau
formulatif, Kebijakan legislatif ini merupakan tahap kebijakan strategis dan menentukan.
Kesalahan pada tahap ini akan berdampak pada kebijakan aplikatif dan kebijakan
eksekusi.
Pengaturan PSH dalam KUHP
Pasal 10 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) mencantumkan jenis pidana
yang diberlakukan di Indonesia. Pemberlakuan jenis pidana ini sesuai dengan
Pasal 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang penambahan pidana pokok baru
dalam Pasal 10 sub a KUHP dengan pidana tutupan, maka selengkapnya susunan
pidana (straf stelsel) terdiri dari :
a. Pidana Pokok
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara Kurungan
3. Kurungan
4. Denda
5. Pidana tutupan
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan
barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
Menurut Pasal 10
KUHP pidana yang diberlakukan terdiri dari (1) pidana pokok dan (2) pidana
tambahan, dan kebijakan yang bisa dilihat bahwa susunan pidana diurut dari yang
terberat sampai dengan yang teringan. Perbedaan pidana pokok dan pidana
tambahan juga nampak jelas bahwa (1) pidana tambahan dapat ditambahkan pada
pidana pokok dengan perkecualian perampasan barang-barang tertentu diserahkan
kepada negara, (2) pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya jikalau hakim
yakin mengenai tindak pidana dan kesalahan terdakwa, maka hakim tidak harus
menjatuhkan pidana tambahan, kecuali untuk Pasal 250 bis dan Pasal 275 KUHP
(penyimpanan surat hutang, sertifikat, dividen, bunga dari negara dengan maksud
untuk melakukan kejahatan) yang bersifat imperatif, yakni hakim harus
menjatuhkan pidana pokok bila tindak pidana dan kesalahan terdakwa terbukti.
Akan tetapi dalam penerapannya hakim boleh memilih salah satu dari pidana pokok
dan pidana tambahan.
Jika
diperhatikan susunan pidana (strafstelsel), baik pidana pokok maupun
pidana tambahan seperti di atas, maka PSH tidak dicantumkan secara eksplisit
(dengan tegas) diatur dalam susunan pidana (stelsel pidana) pada Pasal 10 KUHP.
Akan tetapi PSH dicantumkan dalam Pasal 12 ayat (1) KUHP. Selengkapnya ketentuan
Pasal 12 ayat (1) KUHP sebagai berikut :
a. Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu
tertentu;
b. pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek
satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
c. pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan
untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim
boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara
selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui
sebab tambahan pidana karena perbarengan (concursus), pengulangan (residive),
atau karena ditentukan dalam Pasal 52.
d. pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak
boleh melebihi dua puluh tahun.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 12 KUHP di atas, ternyata bahwa ketentuan tentang PSH hanya
diatur dalam satu ayat saja, yaitu Pasal 12 ayat (1), dan pengaturan PSH tidak
serinci pengaturan pidana penjara selama waktu tertentu. Untuk maksud tersebut
diperlukan pengaturan pelaksanaan PSH, padahal ada cukup banyak tindak pidana
dalam Buku II KUHP yang diancam PSH.
Kelompok
kejahatan (tindak pidana) tehadap keamanan negara adalah kelompok tindak pidana
yang paling banyak mengancam PSH. Pasal 104 tentang makar membunuh terhadap presiden
atau wakil presiden atau membuat tidak dapat memerintah. Pasal 106 tentang
makar untuk memisahkan sebagian wilayah negara, Pasal 107 makar untuk
menggulingkan pemerintahan, Pasal 111 (2) tentang mengadakan hubungan dengan
negara asing dengan maksud menggerakkan untuk melakukan perbuatan permusuhan
atau perang. Pasal 124 ayat (2) tentang memberi bantuan kepada musuh atau
merugikan negara terhadap musuh pada masa perang, Pasal 124 ayat (3) ke-1 membantu
musuh dan ke-2 menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara atau
pembrontakan di kalangan angkatan perang. Pasal 140 ayat (3) mengatur tentang
makar yang dilakukan secara berencana terhadap nyawa atau kemerdekaan kepala negara
sahabat yang berakibat maut, termasuk kejahatan terhadap negara sahabat.
Kelompok tindak pidana yang banyak diancam dengan PSH adalah kejahatan yang
membahayakan kepentingan umum.
PSH diatur dalam
Pasal 187 ke-3 tentang sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan, bahaya banjir
yang mengakibatkan matinya orang. Pasal 198 ke-2 dengan sengaja menenggelamkan,
mendamparkan atau merusak perahu yang 71 mengakibatkan matinya orang. Pasal 200
ke-3 dengan sengaja menghancurkan atau merusak gedung yang mengakibatkan matinya
orang. Pasal 200 (2) tentang kejahatan memasukkan sesuatu ke dalam perlengkapan
air minum untuk umum yang mengakibatkan matinya orang, dan Pasal 204 (2) mengatur
tentang menjual- menawarkan, menyerahkan atau membagikan barang yang
membahayakan nyawa orang dan menimbulkan matinya orang.
PSH juga
diancamkan kepada pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan
tindak pidana dengan maksud mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya sebagaimana
diatur dalam Pasal 339 KUHP. Sementara itu PSH diancamkan kepada pelaku
pembunuhan berencana seperti diatur dalam
Pasal 340 KUHP.
PSH diancamkan
kepada kejahatan pencurian yang didahului, disertai dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan terhadap orang atau barang yang mengakibatkan luka berat atau
matinya orang sebagaimana diatur dalam Pasal 365 ayat (4) KUHP. Untuk kejahatan
pemerasan dan pengancaman yang mengakibatkan luka berat atau kematian juga
diancam dengan PSH seperti diatur dalam Pasal 368 (2) KUHP. PSH diancamkan
kepada tindak pidana pelayaran sebagaimana diatur dalam Pasal 444 KUHP yakni
apabila dalam tindak pidana pelayaran itu menimbulkan matinya orang. Pasal 444
KUHP ini mengancam PSH yang sebelumnya diatur dalam Pasal 438 sampai Pasal 441
KUHP.
PSH dikenakan
(diancamkan) juga terhadap tindak pidana penerbangan seperti diatur dalam Pasal
479 f sub b tentang perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan
atau membuat tidak dapat dipakai pesawat udara yang mengakibatkan matinya
orang. Begitu pula PSH diancamkan terhadap tindak pidana penerbangan yang
dilakukan secara bersama sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, dengan rencana
lebih dahulu, mengakibatkan luka berat, mengakibatkan kerusakan pada pesawat
untuk merampas kemerdekaan seseorang.
Tindak pidana
penerbangan yang diancam PSH seperti ini diaturdalam Pasal 479i dan Pasal 479j
KUHP. Pada Pasal 479o PSH juga diancamkan terhadap perbuatan pada Pasal 479i,
Pasal 479m, dan Pasal 479n, yakni apabila dilakukan oleh dua orang atau lebih,
secara bersama-sama, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, dengan rencana
lebih dahulu mengakibatkan luka berat (1) atau dalam ayat (2) perbuatan itu
mengakibatkan matinya orang atau pesawat hancur. Pengancaman PSH pada tindak
pidana yang disebutkan di atas rasionalisasinya adalah sebagian besar ditujukan
kepada kejahatan yang membahayakan nyawa orang (menyebabkan kematian).
Kebijakan kedudukan dan pengaturan PSH dalam KUHP juga dapat ditinjau dari
perumusan bentuk ancaman pidananya.
Kebijakan yang
nampak adalah (1) PSH hampir selalu menjadi pidana alternatif dari pidana mati,
(2) PSH selalu dialternatifkan dengan pidana penjara jangka waktu tertinggi
yakni 20 (dua puluh) tahun. Kedua kebijakan terhadap kedudukan PSH dari segi perumusan
ancaman sanksi pidananya dapat disimak berikut ini.
Bentuk Rumusan
Ancaman Sanksi Pidana Dengan PSH Dalam KUHP
No
|
Jenis Tindak Pidana
|
Pasal (ayat) KUHP
|
Bentuk rumusan
ancaman PSH
|
1
|
Makar terhadap presiden atau
wakil presiden
|
104
|
Pidana mati atau
PSH atau penjara
20 thn
|
2
|
Berhubungan dengan musuh
pada perang
|
111 (2)
|
Pidana mati atau
PSH atau penjara
20 thn
|
3
|
Beri bantuan pada musuh
waktu perang
|
124 (3)
|
Pidana mati atau
PSH, atau penjara
20 thn
|
4
|
Makar terhadap nyawa dengan
rencana lebih dahulu
|
140 (3)
|
Pidana mati atau
PSH, atau penjara
20 thn
|
5
|
Pembunuhan berencana
|
340
|
Pidana mati, PSH,
penjara 20 thn
|
6
|
Pencurian dengan kekerasan
|
365 (4)
|
Pidana mati, PSH,
penjara 20 thn
|
7
|
Pemerasan dan pengancaman
|
368 (2)
|
Pidana mati, PSH,
penjara 20 thn
|
8
|
Kekerasan sebabkan
seseorang di kapal diserang,
nahkoda, pim-pinan dan
mereka yang turut serta
|
444
|
Pidana mati, PSH,
penjara 20 thn
|
9
|
Sebabkan pesawat hancur,
orang mati
|
479o (1)–(2)
|
Pidana mati, PSH,
penjara 20 thn
|
Tabel di atas
terlihat bahwa dari 19 (sembilan belas) jenis tindak pidana dalam Buku II KUHP
tersebut PSH 9 (sembilan) jenis tindak pidana diancamkan sebagai alternatif
dari pidana mati. (1) tindak pidana menyebabkan pesawat hancur, orang mati, (2)
tindak pidana Kekerasan sebabkan seseorang di kapal diserang, nahkoda, pimpinan
dan mereka yang turut serta, (3) tindak pidana
Pemerasan dan pengancaman, (4) tindak pidana pencurian dengan kekerasan,
(5) tindak pidana pembunuhan berencana, (6) tindak pidana makar terhadap nyawa
dengan rencana lebih dahulu, (7) tindak pidana memberi bantuan pada musuh waktu
perang, (8) tindak pidana berhubungan dengan musuh pada perang, (9) tindak pidana
makar terhadap presiden atau wakil presiden.
Disamping
ditinjau dari tindak pidana dan ancaman pidananya, maka PSH ditinjau dari sudut
kebijakan pengaturan sistem perumusan sanksi pidana, ternyata PSH dalam KUHP
selalu diancamkan dengan bentuk perumusan alternatif. Salah satu pertimbangan
adalah PSH termasuk jenis sanksi pidana yang terberat satu peringkat di bawah
pidana mati. Oleh karena itu sukar dibayangkan, dan terasa sangat berat apabila
kebijakan pengaturan menempatkan bentuk perumusan ancaman sanksi pidana berupa
PSH dengan sistem perumusan kumulatif atau kombinasi (campuran, gabungan).
Kedudukan dan Pengaturan PSH diluar KUHP
Pengaturan PSH
selain dalam KUHP, juga diatur (tercantum) dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di luar KUHP. Sebagai bahan analisis ada 4 (empat) peraturan
perundangundangan di luar KUHP yang memuat dan mengatur ancaman sanksi pidana
PSH yang akan diungkap, yakni (1) Undang-undang Nomor 12/Drt/1951 tentang
Senjata Api dan Bahan Peledak, (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika, (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dan (4) Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
a. PSH Dalam Undang-undang Nomor 12/drt/1951
Undang-undang Nomor 12/drt/1951 tentang Senjata Api
dan Bahan Peledak memuat ancaman PSH seperti diatur dalam Pasal 1 ayat (1) yang
menyatakan bahwa : “dengan tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat,
menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan, atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan,
mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau secara bahan
peledak”. Perumusan sanksi pidana PSH dialternatifkan dengan pidana penjara
dalam waktu tertentu. Di samping itu ditinjau dari perumusan PSH seperti ini
mirip dengan sistem perumusan sanksi PSH di dalam KUHP yang juga mengenal
perumusan sanksi PSH dengan sistem alternatif.
b. PSH Dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika mengancam
PSH terhadap tindak pidana seperti yang diatur dalam Pasal 59 ayat (2) , Pasal
59 ayat (1) yang dilakukan secara terorganisir. Pasal 59 ayat (1) mencakup
perbuatan sebagai berikut:
1) Menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2)
2) Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi
psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
3) Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3)
4) Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk
kepentingan ilmu pengetahuan;
5) Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika
golongan I.
Ketentuan perumusan sanksi PSH dari Pasal 59 ayat (1)
di atas dinyatakan di dalam Pasal 59 ayat (2) yang menegaskan “jika tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisir
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, atau pidana penjara
selama 20 (duapuluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp 750.000.000,00(tujuh
ratus lima puluh juta rupiah)”. PSH dirumuskan dengan menggunakan sistem
alternatif-kumulasi, artinya bahwa sekalipun PSH sebagai alternatif dari pidana
mati, tapi juga dikumulasi dengan pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan
ditambah dengan denda sebesar Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah). Bentuk perumusan sanksi PSH dengan sistem alternatif-kumulasi ini
tidak terdapat dalam perumusan sanksi PSH dalam KUHP.
c. PSH Dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997
Di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
mengancam PSH terhadap tindak pidana seperti yang diatur dalam Pasal 87, yang
menyatakan bahwa (1) Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit
atau menyediakan narkotika golongan I, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 (1)
a; (2) Tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 80 (1) a yang didahului dengan
permufakatan jahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 (2) a; (3) Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 (1) a yang dilakukan secara terorganisir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 (3) a; (4) Membawa, mengirim, mengangkut,
atau mentransit narkotika golongan I yang dilakukan secara terorganisir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 81 (3) a. (5) Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk
dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli atau menukar narkotika golongan I sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82 (1) a; (6) Tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 82 ayat (1) a yang didahului
dengan permufakatan jahat sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2) a. (7)
Tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 82 (1) a yang dilakukan secara
terorganisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) a. (8) Menyuruh,
memberi atau menjanjikan sesuatu, memberi kesempatan, menganjurkan, memberi
kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu
muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83 dan 84.
Ketentuan dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 (1)a;
perumusan sanksinya yang berkaitan dengan PSH adalah dinyatakan “dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Sistem perumusan sanksi PSH mengenal sistem perumusan
alternatif-kumulasi, yakni PSH merupakan alternatif dari pidana mati, tetapi
juga dialternatifkan dan dikumulasikan dengan pidana penjara 20 (dua puluh)
tahun, dan pidana denda Rp. 1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).
Ketentuan dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 (2)a;
perumusan sanksinya yang berkaitan dengan PSH adalah dinyatakan dipidana dengan
pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah). Sistem perumusan sanksi PSH dalam ketentuan Pasal 80 ayat
(2)a ini mengenal sistem perumusan alternatif-kumulasi. Akan tetapi patut
dicatat ialah pada Pasal 80 (1) a; tidak dikenal standar minimum penjatuhan sanksi,
sementara di dalam Pasal 80 ayat (2)a dikenal standar minimum penjatuhan sanksi
pidana penjara maupun pidana denda. Untuk pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun 80 dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah). Pengaturan mengenai ditentukan atau tidak ditentukannya
standar minimum dalam satu undang-undang seperti ini tidak diketahui dengan
jelas pendirian atau kebijakan dari pembentuk undangundang ini. Akan tetapi
yang patut disoroti bahwa sistem perumusan sanksi alternatif-kumulasi seperti
dalam Pasal 80 ayat (2) ini tidak dikenal sebelumnya dalam sistem perumusan sanksi PSH di dalam KUHP.
Sistem perumusan sanksi PSH di dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 1997 tentang Narkotika ini relatif bersistem perumusan sanksi yang
sama seperti yang diatur dalam pasalpasal selanjutnya yakni :
1) Pasal 80 ayat (3)a, yang menyatakan dipidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah);
2) Pasal 81 ayat (3)a, yang menyatakan dipidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda 81 paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
3) Pasal 82 ayat (2)a, dipidana dengan pidana mati atau
pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah). Memperhatikan sistem perumusan sanksi pidana di dalam undang-undang
ini, meskipun mengenal sistem perumusan sanksi yang seragam yakni alternatif-kumulasi,
akan tetapi tidak seragam dalam penetapan standar minimum khusus pidana, sebab
ada pasal yang mencantumkannya, sedangkan pasal lainnya tidak mencantumkan
standar minimum khusus tersebut.
d. PSH Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya disebut UUTPK) mengatur PSH sebagaimana diatur dalam Pasal
2 ayat (1) Pasal 3, Pasal 15 dan Pasal 16 UUTPK. Di dalam Pasal 2 ayat (1)
UUTPK dinyatakan bahwa :
1) Setiap orang yang dengan melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Di dalam Pasal 15 UUTPK ditegaskan bahwa percobaan, pembantuan
atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana dalam Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3. Dengan demikian percobaan, pembantuan atau permufakatan untuk
melakukan tindak pidana korupsi merupakan delik yang selesai, yang ancaman
pidananya sama dengan jenis tindak pidana korupsi (Pasal 16 UUTPK).
Pasal 12 B ayat (2) UUTPK yang mengatur tentang “delik
gratifikasi” mengancam PSH yang selengkapnya dikutip: “Pidana bagi pegawai
negeri atau penyeleggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak R. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sistem perumusan sanksi pidana di dalam Pasal 12B ayat (2) UUTPK ini khusus terhadap
PSH adalah “alternatif”, yakni alternatif dari pidana penjara waktu tertentu (dinyatakan
sebagai pidana singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun).
Kesimpulan
1. Bahwa konsep PSH pada dasarnya pengaturan terhadap
pengenaan hukuman pidana seumur hidup (PSH) pada saat ini secara nyata telah
tersirat dalam suatu perundang- undangan yang berlaku di Indonesia. Adapun
pengenaan penjara seumur hidup ini memiliki suatu gambaran bahwa pidana seumur
hidup dapat dikenakan sebagai alternatif pengenaan sanksi terhadap jenis
perbuatan yang dikenakan dengan pidana mati. Adapun jenis perbuatan yang dapat
dikenakan dengan pidana mati ini meliputi beberapa hal yakni makar terhadap
Presiden dan Wakil Presiden, berhubungan dengan musuh pada perang, memberi
bantuan kepada musuh pada saat terjadi peperangan, makar terhadap nyawa dengan
rencana lebih dahulu, pembunuhan berencana, pencurian dengan kekerasan,
pemerasan dengan pengancaman, kekerasan yang menyebabkan orang dikapal
diserang, nahkoda, pimpinan dan mereka turut serta dan sebabkan pesawat hancur
dan hukuman mati. Kesemua hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Selain itu, pengaturan terhadap pidana seumur hidup juga tercermin
dalam suatu rumusan perundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor 12/Drt/1959
tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Adapun
pengenaan pidana seumur hidup (PSH) ini dikarenakan adanya suatu konsepsi yang
menyatakan bahwa pidana seumur hidup digunakan dalam rangka melindungi hak
asasi manusia yakni hak untuk hidup. Selain itu pidana seumur hidup digunakan
mengganti pidana mati yang dianggap sebagai suatu penjatuhan pidana yang
bersifat kejam dan atau balas dendam.
2. Bahwa kedudukan PSH dalam sistem hukum nasional Adanya
ide pemasyarakatan dalam perumusan sanksi. Perumusan ini dimaksudkan agar dalam
merumuskan sanksi yang dapat dikenakan kepada masing-masing pelanggar memiliki
suatu ketentuan hukum yang sama agar dalam melaksanakan suatu keputusan
pemberian sanksi yang berhubungan dengan penjatuhan hukuman pidana seumur hidup
ini dirasakan sama antara satu dengan yang lainnya. Adanya pembaharuan ini
dikenakan pada suatu upaya yang berkenaan mengenai adanya suatu sistem yang
imperatif. Sistem imperatif ini tidak didasarkan dari adanya suatu kebijakan
selektif dan kebijakan limitatif. Kebijakan selektif secara umum diartikan
sebagai suatu kebijakan yang memilih sesuatu. Sedangkan kebijakan limitatif
secara umum diartikan sebagai pembatasan dari pidana penjara.
[2] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti Bandung 1996, hal 208.
[3] Barda Nawawi, 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana, Cetakan Ketiga Edisi Revisi, Bandung: Citra Aditya Bhakti, hal.,
237.
[4] Barda Nawawi Arief, 2008. Kebijakan Hukum Pidana
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hal., 226.
[6] Barda Nawawi Arief, 2008. RUU KUHP Baru, Sebuah
Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Semarang:
Pustaka Magister, hal. 2.
[10] Lilik Mulyadi, 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana,
Kriminologi & Viktimologi, Jakarta: Djambatan,
hal. 15-24.
Tidak ada komentar
Posting Komentar