PRINSIP
SENGKETA TATA USAHA NEGARA DALAM HUKUM ADMINISTRASI PERADILAN
TATA USAHA NEGARA
Bangun Patrianto
ABSTRAK
Obyek pemeriksaan PTUN dikenal dengan sebutan
sengketa bukan perkara yang merupakan karakteristik PTUN, karena yang
berhadapan antara warga masyarakat dengan pemerintah, dan yang disengketakan
berupa keputusan. Dengan adanya PTUN tersebut hak-hak asasi warga negara terlindungi
dari tindakan pemerintah yang tidak berdasarkan pada hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kata kunci adalah sengketa, keputusan.
ABSTRACT
Object examination known as the Administrative
Court is not the case of disputes which are characteristic of the
administrative court, because the deal between citizens and the government, and
who disputed a decision. The administrative court in the presence of basic
rights of citizens are protected from government action that is not based on
laws and regulations in force.
Keyword is a dispute, the decision.
Pendahuluan
Masyarakat sebagai
kelompok manusia dan tempat manusia yang lain berkumpul untuk memudahkan dalam
penyelenggaraan kehidupan antara mereka dengan prinsip saling membantu, saling
menghormati, saling mengkasihi, dan saling bekerja sama dalam berbagai hal dan
dalam berbagai kepentingan untuk mendatangkan keuntungan bersama, dan bukan
untuk menguntungkan salah satu pihak saja.
Dalam hubungan hukum
sangat mungkin akan timbul benturan kepentingan antara individu sebagai anggota
masyarakat dengan kelompok yang lainnya, sehingga menyebabkan keseimbangan dan
ketentraman masyarakat terganggu, dan keadaan ini haruslah dipulihkan agar
tercapai kedamaian dalam masyarakat tersebut. Hal ini sesuai dengan konsideran
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 huruf c yang
pada pokoknya mengatur bahwa dalam melaksanakan pembangunan nasional yang
bertujuan agar setiap warga negara, masyarakat dapat menikmati suasana tertib
dan kepastian hukum yang berintikan keadilan, dalam pelaksanaannya ada
kemungkinan timbul benturan kepentingan antara Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan dan menghambat jalannya pembangunan
nasional.
Apabila terjadi sengketa
antara individu dengan alat-alat negara dalam hal ini pemerintah, maka akan
diselesaikan oleh badan Peradilan Umum, namun setelah berlakunya Undang-Undang
RI No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo Undang-Undang RI No.
No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, hal tersebut sesuai dengan prinsip negara
hukum yang dipilih oleh seluruh rakyat dengan telah dimasukan dan dirumuskan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tepatnya dalam
ketentuan pasal 1 ayat 3. Prinsip dalam negara hukum adalah negara memiliki
fungsi dan tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang
sejahtera, aman, tenteram, tertib yang menjamin persamaan kedudukan warga
masyarakat dalam hukum dan yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi
serta selaras antara alat-alat negara (Pemerintah) dalam hal ini adalah bidang
Tata Usaha Negara dengan pihak warga masyarakat.
Hal ini sesuai pendapat
dari Prof, Dr, Satjipto Rahardjo,S.H.
dalam bukunya ilmu hukum yang mengutip
pendapat Roscoe pound“ agar perhatian hukum lebih diarahkan pada aspek-aspek
yang nyata dan institusi-institusi serta doktrin-doktrin hukum. Kehidupan hukum
terletak pada pelaksaannya”.[1]
Artinya Negara memiliki tugas dalam melakukan pembangunan hukum harus
mendayagunakan hukum agar berfungsi untuk menertibkan dan mengayomi warga
negaranya supaya tidak ada sengketa.
Bahwa keberadaan
Peradilan Tata Usaha Negara dalam kehidupan bernegara sangat diperlukan untuk
memenuhi syarat formal adanya negara hukum yang diharapkan akan mampu menegakan
keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan
pengayoman kepada warga masyarakat, khususnya dalam hubungan antara Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat. Yang menjadi pertanyaannya adalah
apakah yang menjadi obyek pemeriksaan dalam Peradilan Tata Usaha Negara?
Pembahasan
1.
Objek Sengketa
Berdasarkan ketentuan
dalam pasal 1 butir 4 Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara jo Undang-Undang RI No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara mengatakan bahwa :
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang
timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang–undangan yang berlaku.”
Sesuai dengan makna sengketa (bukan perkara), pembentuk undang-undang
mempunyai maksud bahwa istilah sengketa memiliki arti khusus sesuai dengan
fungsi PTUN untuk memeriksa, menguji, mengadili, dan memutuskan dengan
memberikan penilaian dalam penggunaan
hukum oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, khususnya dalam mengambil
dan/atau mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Sengketa ini timbul
dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dengan orang atau badan hukum perdata tertentu, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang–undangan yang berlaku.
Dalam mengambil keputusan, Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara bertugas mengemban dan menjaga kepentingan umum,
masyarakat, bahkan kepentingan negara, namun dalam hal tertentu dapat saja
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut diambil atau dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara itu dirasakan oleh orang atau badan hukum perdata
tertentu mengakibatkan kerugian baginya.
Bahwa Sengketa Tata Usaha Negara tersebut timbul antara orang atau badan
hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengakibatkan
kerugian bagi orang atau badan hukum perdata, jelas akan diadili dan diputus
oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Apabila terdapat pertentangan antara individu
dan masyarakat menyebabkan keseimbangan dan ketentraman masyarakat terganggu,
maka keadaan tersebut haruslah dipulihkan yang
secara umum diselesaikan oleh Peradilan Umum, sedangkan perselisihan
antara rakyat (masyarakat) dengan pemerintah timbul hal khusus, yaitu bidang
Tata Usaha Negara yang tidak sama dengan perselisihan perdata yang diadili oleh
Peradilan Umum. Untuk maksud itu, maka dibentuklah badan – badan peradilan yang
melaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara.
Dilahirkannya PTUN tersebut untuk melindungi hak-hak asasi manusia -
kepentingan masyarakat warga negara - terhadap tindakan pemerintah yang tidak
berdasar pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
sesuai dengan paham atau asas dalam negara hukum yang pada prinsipnya
menghendaki agar setiap tindakan penguasa haruslah berdasarkan hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut pendapat Rozali Abdullah
dalam bukunya ‘Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara” yang mengutip pendapat
dari FJ. Stahl dalam bukunya Abudaud
Busroh yang mengatakan bahwa “suatu negara hukum formal harus memenuhi 4
(empat) unsur penting, yaitu :
a. Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia ;
b. Adanya pemisahan/pembagian kekuasaan ;
c. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
d. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara[2]
Pada prinsipnya
parameter dari suatu sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa administrasi
yang diakibatkan oleh Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian
sebagai hasil perbuatan dan tindakan penetapan administrasi negara.
Administrasi negara sebagai pemerintah dalam menjalankan fungsi dan tugas
pokoknya untuk menyelenggarakan kepentingan umum dalam rangka mencapai tujuan
negara guna kemakmuran bersama rakyat, tentunya banyak melakukan berbagai
tindakan. Tindakan – tindakan pemerintah tersebut sebagai administrasi negara
yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintah dapat
menimbulkan sengketa administrasi ,baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, dalam bukunya
Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU PTUN 2004 yang mengutip
pendapat Sjachran Basah mengatakan
bahwa : “Istilah “ketetapan” dalam hal ini belum ada kesatuan pendapat diantara
banyak pakar hukum administrasi. Sering kali dipakai kata lain yang sepadan
seperti beschikking atau ketetapan,
surat penetapan, penetapan. Akan tetapi maksudnya adalah sama, merupakan
keputusan tertulis dari administrasi negara yang mempunyai akibat hukum untuk
menyelenggarakan pemerintahan ( dalam arti sempit ). Atas dasar itu, maka
ketetapan menentukan situasi hukum yang konkret dan mempunyai akibat hukum bagi
yang terkena.[3]
2. Keputusan
Tata Usaha Negara
Berdasarkan ketentuan
dalam pasal 1 butir 3 Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara jo Undang-Undang RI No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengatakan
bahwa :
“Keputusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
kongkrit, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Dalam penjelasan pasal
demi pasal terhadap pasal 1 butir 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa :
“Istilah “penetapan tertulis” terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada
bentuk keputusan yangdikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis
bukanlah bentukformalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan
sebagainya.Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian.
Oleh karena itu, sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut
dan akan merupakan suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut
undang-undang ini apabila sudah jelas :
a.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya.
b.
Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu.
c.
Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang
ditetapkan di dalamnya.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat di pusat dan
daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Bersifat kongkrit
artinya obyek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak
abstrak, tetapi berwujud tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan
mengenai rumah si A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai Pegawai
Negeri.
Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan
untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang
dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu
disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan
lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut.
Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan
akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau
instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak
atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan
seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi
Kepegawaian Negara.”
3. Unsur
Keputusan Tata Usaha Negara
Bertitik tolak pada
pasal 1 butir 3 undang-undang tersebut, maka pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara mengandung unsur-unsur yakni :
a. Keputusan Tata Usaha Negara itu berbentuk
tertulis;
b. Materi berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara ;
c. Dikeluarkan Oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara ;
d. Berdasarkan Peraturan Perundang – Undangan yang
berlaku ;
e. Bersifat Individual, Konkret,dan Final ;
f. Menimbulkan akibat Hukum bagi Seseorang atau Badan
Hukum Perdata ;
KEPUTUSAN
TATA USAHA NEGARA ITU BERBENTUK TERTULIS
Bahwa suatu keputusan
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara disyaratkan dalam
wujud penetapan yang tertulis, namun demikian hal ini bukan menunjuk kepada
bentuk format keputusan, misalnya Surat Keputusan Pengangkatan atau
Pemberhentian si A sebagai Pegawai Negeri Sipil, tetapi kepada isi (materi)
yang menunjuk kepada hubungan hukum . Hal ini sesuai dengan penjelasan pasal 1
butir 3 Undang-Undang tersebut yang mengharuskan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan
atau pejabat Tata Usaha Negara itu harus tertulis yang menunjuk pada isi
(materi) dan bukan bentuk yang berbunyi :
“Istilah “penetapan tertulis” terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada
bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis
bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.”
Persyaratan bahwa
Keputusan Tata Usaha Negara harus dikeluarkan secara tertulis ini diharuskan
oleh pembentuk undang-undang bertujuan agar memudahkan orang atau badan hukum
perdata untuk membuktikan dari segi pembuktian atau pengujian hakim di
peradilan serta untuk kepastian hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
tindakan hukum atau Keputusan Tata Usaha Negara yang dilakukan secara lisan
tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara vide pasal 1 butir
3 UU 5/86 jo UU 9/2004.
Hal ini-pun telah
dijelaskan dengan tegas oleh pembentuk undang-undang dalam penjelasan pasal demi
pasal dalam pasal 1 butir 3 yang berbunyi
“ Persyaratan tertulis itu
diharuskan untuk memudahan segi pembuktian.”
Oleh karena itu,
sebuah memo tertulis atau nota tertulis yang maksudnya jelas dan terang
dikategorikan dianggap memenuhi syarat tertulis tersebut dan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini. Sebuah memo tertulis atau nota
tertulis dapat disebut sebagai suatu Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara menurut penjelasan undang-undang ini,
apabila sudah jelas yakni:
a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang
mengeluarkannya.
b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu.
c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang
ditetapkan di dalamnya.
MATERI
BERISI TINDAKAN HUKUM TATA USAHA NEGARA
Negara Republik
Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi pasal 1 ayat 3 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang memiliki tujuan untuk
mewujudkan keadilan, kehidupan yang makmur dan sejahtera, aman dan tertib.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka kedudukan hukum warga negara dalam
masyarakat harus dijamin, sehingga keseimbangan antara kepentingan individu
dengan kepentingan masyarakat dapat terjaga.
Memang, kadang dapat
saja terjadi benturan antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan
individu, maka keadaan inilah yang dapat menimbulkan sengketa. Bahwa tugas
administrasi negara melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan umum atau bestuurszorg dan pelayanan publik
diberbagai bidang untuk melaksanakan pembangunan guna mencapai tujuan negara
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD RI Tahun 1945.
Bahkan sudah menjadi
rahasia umum, kalau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah penguasa (overhead) yang mengurus negara ini memiliki kedudukan dan kekuasaan yang lebih
tinggi dan lebih kuat daripada rakyat yang dibawah kekuasaanya, sehingga
administrasi negara banyak melakukan perbuatan penetapan, yang selanjutnya
berwujud keputusan-keputusan.
Berkaitan dengan
perbuatan penetapan tersebut, maka tindakan pelaksanaan administrasi sering
pula melakukan penyimpangan – penyimpangan sehingga merupakan pelanggaran hak
serta kewajiban asasi manusia yang dapat menimbulkan sengketa antara Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dengan orang atau Badan Hukum Perdata.
DIKELUARKAN
OLEH BADAN ATAU PEJABAT TATA USAHA NEGARA
Keputusan Tata Usaha
Negara adalah merupakan tindakan yang telah selesai dilakukan oleh administrasi
negara dalam bentuk surat tertulis – dalam hal ini pemerintah selaku pihak yang
mengurus negara - dalam rangka pelaksanaan fungsi untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkrit,
individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.Tindakan tersebut adalah
berupa produk Keputusan Tata Usaha Negara tersebut yang diambil dan dikeluarkan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Dasar hukumnya dapat
diketahui dari ketentuan dalam pasal 1 butir 3 Undang-Undang RI No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo Undang-Undang RI No. 9 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara mengatakan bahwa :
“Keputusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
kongkrit, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Berkaitan dengan subyek
gugatan dalam PTUN, maka kedudukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
telah mengeluarkan KTUN yang digugat pasti selalu sebagai pihak Tergugat. Hal
ini sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir 6 UU 5/1986 jo UU 9/2004 yang
berbunyi :
“Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau
yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum
perdata.”
Ketentuan pasal 1 butir
6 tersebut diperkuat dan dipertegas lagi dengan pasal 1 butir 5 UU 5/1986 jo UU 9/2004 yang berbunyi :
“Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan
terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk
mendapatkan putusan”
Dalam penjelasan pasal
demi pasal dari pasal 1 butir 5 undang-undang tersebut menjelaskan bahwa makna
gugatan dalam UU 5/1986 jo UU 9/2004 ini memiliki arti khusus sesuai dengan
fungsi PTUN yakni untuk memeriksa, menguji,
mengadili, dan memutuskan dengan memberikan
penilaian dalam penggunaan hukum oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, khususnya dalam mengambil dan/atau mengeluarkan Keputusan Tata Usaha
Negara.
Gugatan ini timbul
dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dengan orang atau badan hukum perdata tertentu. sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang–undangan yang berlaku.
Pemerintah pasti
berkedudukan dan selalu dijadikan tergugat, karena dalam kenyataannya
pemerintah-lah yang terus menerus mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat, yang tidak jarang KTUN yang dikeluarkan tersebut
mengakibatkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata tertentu. Oleh
karena itu KTUN tersebut perlu mendapatkan koreksi serta pelurusan dari segi
penerapan hukumnya, sehingga untuk keperluan tersebut-lah diciptakan lembaga
gugatan terhadap Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara.
Mengenai kedudukan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara selalu sebagai Tergugat menurut ketentuan pasal
1 butir 6 UU 5/1986 jo UU 9/2004 yang berbunyi :
“Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau
yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.”
Adalah sangat tepat
perumusan dan pengkategorian tersebut, karena Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara tersebut-lah yang mendapatkan kekuasaan dan berwenang untuk mengeluarkan
KTUN.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, dalam bukunya
Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU PTUN 2004 yang mengatakan bahwa
Pejabat tersebut adalah dapat disebut
pejabat perdagangan, perkebunan, ekonomian, perbankan, perindustrian pertanian,
pendidikan yang merupakan lembaga yang melakukan tugas-tugas pemerintahan di
bidang usaha negara seperti perusahaan negara yang didirikan berdasarkan UU No.
19 /Prp/1960 tentang Perusahaan Negara, selanjutnya Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), yakni Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum ( Perum), Perusahaan
perseroan ( Persero) yang didirikan berdasarkan UU No. 9 Tahun 1969 tentang
Bentuk-Bentuk Usaha Negara jo Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1969.[4]
Menurut pendapat Martiman Prodjohamidjojo, selanjutnya
bahwa kriteria untuk Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang
mengeluarkan surat KTUN adalah “Organ atau Pejabat yang mempunyai fungsi
pemerintahan (eksekutif)”, yang dilaksanakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, bukan kedudukan struktural dalam lingkungan
kekuasaan negara dan bukan nama resminya (Indroharto, 1991 : 49).[5] Urusan pemerintahan”
adalah segala macam urusan mengenai masyarakat, bangsa dan negara (eksekutif),
yang bukan tugas legislative maupun yudikatif (Indroharto, 1992 : 104-105).[6]
Suatu gugatan diajukan
oleh orang atau badan hukum perdata ke Peradilan Tata Usaha Negara disebabkan karena orang atau badan hukum
perdata tersebut merasa kepentingannya
dirugikan akibat tindakan-tindakan administrasi negara, yang dituangkan dalam
surat keputusan. Unsur “ kepentingan “ tersebut merupakan salah satu syarat
bagi penggugat dan pihak ketiga dalam proses Perantun ( pasal 53 jo pasal 83 ).
Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara menganut pula sistem lembaga hukum pihak ketiga, baik atas
prakarsa sendiri atau atas prakarsa salah satu pihak dengan mengajukan
permohonan atau atas prakarsa hakim dapat masuk mencampuri dalam proses
sengketa, namun demikian tetap harus berpegang prinsip pada kedudukan (legal
standing) yang berlaku dalam ketentuan
pasal 1 butir 6 UU 5/1986 jo UU 9/2004 yang berbunyi :
“Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau
yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum
perdata.”
Ketentuan pasal 1 butir
6 tersebut diperkuat dan dipertegas lagi dengan pasal 1 butir 5 UU 5/1986 jo UU 9/2004 yang berbunyi :
“Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan
terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk
mendapatkan putusan”
Artinya bahwa ada yang
membedakan antara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Umum, baik
peradilan perdata maupun peradilan pidana, yang mana jangan sampai di dalam
pemeriksaan sengketa di Peratun akibat pencampuran oleh lembaga hukum pihak
ketiga terjadi suatu arena penyelesaian
konflik antara pemerintah dengan pemerintah atau antara orang/badan hukum
perdata sendiri, karena sudah sangat jelas bahwa tujuan dibentuknya Peratun
adalah untuk melindungi hak-hak asasi
manusia kepentingan masyarakat warga Negara terhadap tindakan pemerintah yang
tidak berdasar pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal
ini sesuai dengan paham atau asas dalam negara hukum yang pada prinsipnya
menghendaki agar setiap tindakan penguasa haruslah berdasarkan hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencampuran atau lebih
dikenal dengan intervensi dalam hukum acara perdata, ada dua macam yaitu voeging dan tussenkomst.Apabila pihak ketiga itu akan menempatkan diri
disamping salah satu pihak untuk bersama- sama dengan pihak lain, maka
intervensi demikian disebut voeging
(menggabungkan diri pada salah satu pihak). Akan tetapi apabila masuknya pihak
ketiga itu menempatkan diri ditengah-tengah antara kedua belah pihak, dan
membela kepentingannya sendiri, maka intervensi demikian disebut tussenkomst (mencampuri sengketa para
pihak).
Disamping itu, dikenal
pula dalam hukum acara perdata yaitu adanya pemanggilan pihak ke tiga untuk
ditarik masuk dalam proses pemeriksaan perkara untuk menanggung pihak yang
menarik yang disebut vrijwaren
(ditarik masuk) yang bertujuan agar tergugat bebas dari penuntutan yang dapat
merugikan dirinya.
Karena dalam hukum acara
Peratun itu berlaku suatu asas dan mengarah pada pembuktian bebas, maka
sebaiknya dalam hal menempatkan pihak ketiga dalam proses sengketa, hakim harus
lebih cermat dan bijaksana agar tujuan untuk mencari kebenaran tidak akan
kehilangan maknanya. Juga hakim harus\mempertimbangkan apa tidak lebih baik
dijadikan saksi saja agar dapat dipakai sebagai alat bukti vide pasal 100 UU
5/1986 jo UU 9/2004, daripada sebagai pihak ketiga masuk dalam proses sengketa
yang dapat mengkacaukan posita gugatan.
Mengapa hal ini penting,
karena di dalam hukum acara Peratun itu berlaku pula suatu asas bahwa hakim PTUN itu harus aktif
yang berkaitan dengan tujuan yang harus dicari adalah kebenaran materiil,
bahkan hingga pengetahuan hakim dijadikan sebagai alat bukti dalam memutus
perkara. Namun sebagai pertimbangan terakhir hakim adalah masuknya pihak ketiga
dalam sengketa karena adanya unsur “kepentingan“ artinya kepentingannya akan
terganggu jika ia tidak mencampuri proses atau dengan mencampuri proses itu ia
dapat mempertahankan hak-haknya.
Pengertian “kepentingan“
dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara tidak sama dengan pengertian “kepentingan“ dalam hukum
acara perdata, karena dalam hubungan hukum yang lahir dari peristiwa perdata
tidak sama dengan hubungan hukum yang dilahirkan dari peristiwa hukum dalam
bidang administrasi negara. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tidak memberikan
penjelasan mengenai “kepentingan“, oleh
karena itu haruslah dicari dalam ilmu pengetahuan maupun dalam putusan-putusan
pengadilan yang terdahulu.
Menurut Indroharto (
1992 : 181- 184, 185 – 186 ), unsur “ kepentingan “ tersebut dimaksudkan
mengandung dua arti, yaitu :
a.
menunjuk
kepada nilai yang harus dilindungi hukum,
Kepentingan yang harus
dilindungi oleh hukum adalah suatu nilai yang baik, adil, pantas, patut, yang
ditimbulkan oleh Keputusan Tata Usaha Negara atau suatu keputusan penolakan
tata usaha negara. Kepentingan semacam itu dapat bersifat material atau
immaterial, individual atau umum ( kolektif ).
b.
kepentingan
proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan proses gugatan.
Artinya orang atau badan
hukum perdata dalam melakukan pengajuan gugatan ke PTUN harus memiliki tujuan
yakni untuk melindungi kepentingan umum.
Jadi penggugat dalam
menggugat Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara, harus sesuai dengan yang
ditentukan dalam pasal 53 yakni adanya suatu kepentingan yang dirugikan dengan
keluarnya KTUN yang digugat. Artinya kepentingan pribadi penggugat sendiri yang
dirugikan tersebut nyata (dapat dibuktikan secara nyata bahwa kepentingan
pribadi penggugat sendiri yang
dirugikan), jelas (dapat ditentukan secara obyektif tentang kepentingan pribadi
penggugat sendiri yang dirugikan), dan
bukan kepentingan orang lain atau pihak ke tiga serta kepentingan penggugat sendiri
tersebut terkena langsung oleh akibat KTUN (artinya kepentingan penggugat memiliki hubungan yang
relevan dengan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dengan keluarnya KTUN
tersebut).
Berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku
Norma wewenang merupakan
norma yang harus dipatuhi oleh badan atau pejabat tata usaha negara dalam mengambil
tindakan hukum yang selanjutnya mengeluarkan KTUN. Norma wewenang yang
melandasi lahirnya KTUN adalah asas legalitas, yang merupakan sumber dan
pedoman, petunjuk berupa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan perundang –
undangan harus diartikan dalam arti formil, artinya undang – undang yang dibuat
pemerintah bersama – sama dengan Dewan perwakilan Rakyat, baik pusat maupun
daerah termasuk pengertian perundang – undangan yang meliputi segala peraturan
– peraturan yang dikeluarkan pihak eksekutif, yang merupakan pelaksanaan undang
– undang atau peraturan daerah tersebut. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 7
ayat 1 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Jenis dan Hierarki Perundang-Undangan RI
yakni :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan daerah
Namun demikian dalam
pasal 7 ayat 4 UU 10 Tahun 2004
menyebutkan “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
ayat 1, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Termasuk di
dalamnya keputusan yang lahir dari kewenangan diskresi yang berdasar pada petunjuk
tertulis atau pedoman, asalkan dibuat oleh badan atau pejabat aksekutif serta peraturan
– peraturan yang dibuat oleh badan usaha milik negara ( BUMN ).
Bersifat
Individual, Konkret,dan Final
Tindakan hukum tata
usaha negara yang berupa KTUN yang menimbulkan hak dan kewajiban pada orang
lain, yaitu :
1.
Bersifat
konkret, artinya objek yang diputuskan dalam KTUN itu tidak abstrak, tetapi
berwujud tertentu atau dapat ditentukan misalnya pemberhentian Ali sebagai
pegawai negeri sipil.
2.
Bersifat
individual, artinya KTUN tidak ditujukan kepada umum, tetapi tertentu, baik
alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap –
tiap nama orang yang terkena itu disebutkan. Misalnya keputusan tentang
pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama – nama orang yang terkena
keputusan tersebut.
3.
Bersifat
final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat mengakibatkan akibat hukum.
Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain
belum bersifat final, kerenannya belum dapat menimbulkan suatu hak dan
kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Misalnya Keputusan pengangkatan pegawai
negeri sipil memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Menimbulkan
akibat Hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata
KTUN yang ditujukan kepada
orang atau badan hukum perdata tertentu dapat menimbulkan akibat hukum, baik
yang bersifat menguntungkan maupun yang bersifat merugikan. Nah untuk yang terakhir ini yang
bersifat merugikan yang dapat mengajukan gugatan ke PTUN karena menimbulkan
suatu perubahan dalam suasana hubungan hukum yang telah ada yang tidak
diinginkan. Sebagai suatu tindakan hukum, penetapan tertulis mampu menimbulkan
suatu perubahan dalam hubungan yang telah ada, umpamanya melahirkan hubungan
hukum baru, menghapuskan hubungan yang telah ada, menetapkan status, dan
sebagainya. Suatu penetapan tertulis itu juga dapat melahirkan suatu wewenang
bagi badan atau pejabat tata usaha negara yang lain untuk berbuat sesuatu atau
menyebabkan diubahnya atau dicabutnya wewenang yang pernah dimiliki oleh badan
atau pejabat tata usaha negara, contohnya adalah penerapan upaya paksa pada
tindakan penertiban, yang sebelum tindakan itu dilakukan, didahului dengan perberitahuan
tertulis bahwa terhadapnya akan dilakukan tindakan penertiban.
Tidak
Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
Dasar pasal 2 UU 5 Tahun
1986 jo UU 9 Tahun 2004 menyebutkan tidak
termasuk pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini
adalah :
a. KTUN yang
merupakan perbuatan hukum perdata, misalnya jual beli, sewa-menyewa, pemborongan kerja yang dilakukan instansi
pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata.
b. KTUN yang
merupakan pengaturan yang bersifat umum, yakni peraturan yang berkekuatan
berlakunya mengikat setiap orang. Misalnya,perubahan arus lalu lintas.
c. KTUN yang
masih memerlukan persetujuan. Persetujuan ini dapat berasal dari instansi atasan atau instansi lain. Adakalanya
peraturan dasar menentukan bahwa persetujuan instansi lain itu diperlukan
karena instansi lain tersebut terlibat dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan
oleh keputusan itu. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan, tetapi sudah menimbulkan kerugian
dapat digugat di pengadilan dilingkungan peradilan umum.
d. KTUN yang
dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana,
dan KUHAP atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. Misalnya dalam perkara lalu
lintas, dimana terdakwa dipidana dengan suatu pidana bersyarat, yang
mewajibkannya memikul biaya perawatan si korban selama dirawat dirumah sakit.
Karena kewajiban merupakan syarat yang harus dilakukan untuk dipenuhi oleh si
terpidana, maka jaksa yang menurut pasal 14 huruf d KUHP ditunjuk mengawasi
dipenuhi atau tidaknya syarat yang dijatuhkan dalam pidana itu, lalu mengeluarkan
perintah kepada terpidana agar segera mengirimkan bukti pembayaran biaya perawatan tersebut
kepadanya. Contoh lain : KTUN berdasarkan ketentuan KUHAP, yakni Jika
penuntut umum mengeluarkan surat perintah penahanan tersangka. Contoh lain lagi
: KTUN berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan lain yang bersifat
hukum pidana, umpamanya perintah jaksa ekonomi untuk melakukan penyitaan barang
– barang terdakwa dalam tindak pidana ekonomi.
Penilaian dari segi
penerapan hukumnya terhadap ketiga macam keputusan tata usaha negara tersebut
dapat dilakukan hanya oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum.
e. KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan perundang – undangan
yang berlaku. Misalnya Keputusan Dirjen Agraria yang mengeluarkan sertifikat
tanah atas nama seseorang yang didasarkan atas pertimbangan putusan pengadilan
perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang menjelaskan bahwa
tanah sengketa tersebut merupakan tanah negara dan tidak berstatus tanah
warisan yang diperkarakan oleh para pihak atau keputusan serupa contoh diatas,
tetapi didasarkan atas amar putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Contoh
lainnya adalah keputusan pemecatan seseorang notaries oleh menteri kehakiman
setelah memperoleh usul ketua pengadilan negeri atas dasar kewenangannya
menurut pasal 54 Undang – Undang No. 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum.
f.
KTUN mengenai tata usaha ( TNI ). Pada dasarnya, badan
atau pejabat tata usaha negara di lingkungan TNI tidak berbeda dengan kedudukan
hukum badan atau pejabat tata usaha negara dilingkungan sipil. Akan tetapi,
karena TNI mempunyai sifat khusus yang tidak diperlukan diluar lingkungan TNI, maka penetapan – penetapan yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara di lingkungan TNI dikeluarkan dari kompetensi lingkungan
peradilan tata usaha negara
g.
Keputusan panitia pemilihan ( Komisi Pemilihan Umum ),
baik di pusat maupun didaerah mengenai hasil pemilihan umum. Panitia pemilihan
Indonesia terdiri dari unsur – unsur
tokoh masyarakat yang dipilih dan diseleksi ketat ( dahulu;parpol dan
pemerintah ) sehingga apabila hasil pemilihan umum itu telah disahkan oleh Komisi
Pemilihan Umum dalam suatu keputusan, maka berarti hal tersebut merupakan kesepakatan
bersama yang tidak dapat diganggu gugat lagi.
Kesimpulan
Bahwa yang membedakan
antara Peradilan Umum dan Peradilan Administrasi adalah mengenai obyek yang
diperiksa, di Peradilan Umum dinamakan dengan perkara sedangkan di Peradilan
Administrasi dinamakan dengan sengketa. Sengketa yang diperiksa oleh Pengadilan
Administrasi sesuai dengan Undang – Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang – Undang
No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang No.5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan tata Usaha Negara, Pasal 1 Butir 3 yang berbunyi “ Keputusan Tata
Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan
Perundang – Undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, Individual dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Rozali, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
negara, CV. Rajawali, Jakarta, 1992.
Effendie
Lotulung, Paulus, Beberapa Sistem
tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah Edisi ke – II, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Prodjohamidjojo,
Martiman, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Dan
UU PTUN 2004, Ghalia Indonesia Anggota IKAPI, Bogor, 2005.
Rahardjo
Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000.
Sutantio,
Retnowulan, Oeripkartawinata Iskandar, Hukum
Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju, Bandung, 1989.
Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, 2010.
Wijoyo, Suparto, Karakteristik Hukum Acara Peradilan
Administrasi, Airlangga University Press, Surabaya,1997.
Perundang –
Undangan:
Undang – Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara
Undang – Undang No. 9 tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang – Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Tidak ada komentar
Posting Komentar