REVITALISASI PERAN NEGARA DALAM
PENDIDIKAN
(KRITIK TERHADAP LEGISLASI
PENDIDIKAN NASIONAL)
W. Danang Widoyoko
ABSTRAK
Dalam Undang-Undang Dasar
1945 termaktub jelas tanggung jawab Negara dalam konteks pendidikan nasional
yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini konstitusi mengamanatkan
sebuah tanggung jawab besar terhadap Negara atas pendidikan menyeluruh terhadap
pembangungan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam mainstream globalisasi,
liberalisasi pendidikan terjadi melalui peraturan perundang-undangan yang
mengarahkan pendidiikan nasional menuju pendidikan sebagai sektor yang bergerak
bebas tanpa kendali negara. Dengan ditempatkannya pendidikan sebagai sektor
yang diliberalisasi maka tatanan global menempatkan pendidikan sebagai sektor
jasa yang bersifat komersial. Oleh karena itu tema-tema tentang otonomisasi
institusi pendidikan milik Negara, penyeragaman format badan hukum pendidikan,
pemberdayaan peran masyarakat, minimalitas peran Negara dan tema tentang
masuknya institusi pendidikan asing adalah tema yang selalu dipaksakan masuk
dalam setiap munculnya peraturan perundang-undangan tentang pendidikan
nasional.
Kata kunci:
liberalisasi, tanggung jawab Negara, pendidikan nasional, legislasi nasional
ABSTRACT
In the Indonesian Constitution of 1945 set forth clear responsibilities of States in the context of national education the intellectual life of the nation. In this case the constitution mandates a huge responsibility towards the State's comprehensive education on Indonesia Development of human beings. In the mainstream of globalization, liberalization of education takes place through legislation that directs national education as the education sector to move freely without state control. Placed education as a sector with a liberalized global order placing the education as a commercial services sector. Therefore, the themes of the autonomization of the state-owned educational institution, the uniform format of legal education, the role of community empowerment, minimality role of the State and the theme of the entry of foreign educational institutions is a theme that has always forced entry in each of the emergence of legislation on national education.
Keywords: liberalization, state responsibility, national education, national legislation
Pendahuluan
Para pendiri bangsa (Founding Fathers) memiiki
cita-cita besar terhadap eksistensi Negara Indonesia kedepan. Pendiri bangsa
mendirikan Negara ini tidak hanya untuk sekedar hadir saja dalam percaturan
dunia, lebih dari itu beliau mendirikan Negara ini dengan cita-cita dan tujuan
besar sebagai Negara besar yang mampu menjadi mercusuar dunia dalam tatanan
kehidupan dunia yang lebih baik. Sebagaimana telah diwujudkan oleh para
pendahulu nusantara di era raja Kertanegara dengan Ekspedisi Pamalayu-nya atau
di era Mahapatih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya. “Khittah”
ini termaktub jelas dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Maka dari pada
itu untuk mewujudkan Indonesia sebagai satelit dunia, Negara diberi amanat
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai pilar penopang Negara adidaya.
Generasi penerus bangsa adalah modal utama
membangun peradaban nusantara dalam nuansa post-modernis ini. Modal ini harus
dikembangbiakkan dengan nutrisi paradigma idealisme berbangsa yang tinggi
(Wawasan Nusantara) serta jiwa luhur (Pancasila). Landasan ini kemudian
diharapkan menjadi “volkgeist” bagi generasi muda yang kemudian diterapkan
disetiap sendi kehidupan berbangsa. Dalam realitanya membangun generasi yang
siap pakai (plug in), konstruksi “volkgeist” ini diarahkan pada paradigma
materialistis-sosiologis yang kemudian menjadi generasi yang siap terjun secara
organis ke masyarakat atau ke mesin-mesin kehidupan lainnya seagaimana tuntutan
pasar.
Era globalisasi telah menyeret elemen-elemen bangsa
dan negara memasuki era ekonomi berbasis pengetahuan (knowlegde-based
economy) dengan ciri masyarakat unggul (excellence) yang berbasis
pengetahuan (knowlegde-based society). Keniscayaan pembangunan dan
pengembangan pendidikan tinggi berbasis kearifan lokal menjadi sangat penting
dan strategis. Bagi bangsa Indonesia amanat pembangunan pendidikan nasional
bertujuan mengangkat harkat dan martabat serta kuat dan berwibawa menjadi warga
negara Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing.
Dalam konteks global, peran Negara dalam pendidikan
mengalami semacam anomali paradigmatik. Sebuah paradigma yang beranggapan
pendidikan adalah adalah sektor yang bebas dari kendali Negara. Anomali ini
disebabkan dunia telah menjadi sebuah entitas tunggal dimana entitas masing-masing Negara
mulai samar-samar. Negara bukan lagi sebagai penentu utama melainkan pasarlah
yang justru menjadi “imam” kemana
kebijakan Negara diarahkan. Negara tidak dapat lagi memproteksi dan
mengintervensi sektor kehidupan. Dunia melebur menjadi Negara minimalis bernama
WTO (World Trade Organization).
Tulisan ini akan berusaha mengupas bagaimana
seharusnya tanggung jawab Negara terhadap pendidikan nasional berlandaskan
amanat konstitusi dan cita-cita pendahulu Negara dalam konteks globalisasi.
Sebuah Anomali:
Pendidikan dalam Kontruksi Globalisasi
Dalam kaitan dengan pendidikan, WTO (World Trade Organization) telah menempatkan pendidikan
sebagai salah satu sektor yang harus bergerak bebas tanpa kendali Negara. WTO,
melalui GATS (General Agreement on Trade in Services), menempatkan pendidikan
sebagai sektor industri tersier yang perlu diliberalisasi. Dengan ditempatkannya
pendidikan sebagai sektor yang diliberalisasi maka tatanan dunia global telah
menempatkan pendidikan sebagai sektor jasa yang bersifat komersial.
Sementara itu Indonesia sejak 1995 telah menjadi
anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan
multilateral menjadi undang-undang nomor 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut
mengatur tata perdagangan barang, jasa dan Trade Related Intellectual Property
Rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan
perdagangan. Dalam bidang jasa yang masuk dalam pengaturan WTO adalah semua
jasa kecuali “jasa non komersial atau tidak bersaing dengan penyedia jasa
lainnya”.
Makna pendidikan dapat dilacak dari akar katanya. Education, padanan ini berasal dari dua
kata dalam bahasa latin. Pertama, educere
yang berarti ‘melatih’ atau ‘membawa keluar dari’. Kedua, educare yang berarti ‘melatih’ atau ‘memelihara’.[1]
Menurut Paulo Freire dalam Teori Pendidikan Radikalnya pendidikan tidak hanya
dimaknai untuk mengubah manusia dari tidak berpengatahuan menjadi
berpengatahuan melainkan lebih dari itu pendidikan juga dapat dilihat dari
upaya membebaskan manusia dari penindasan. Sebagaimana kaum proletar ditindas oleh kaum borjuis
dalam dikotomi Marxisme atau kaum elit
terhadap kaum alit. Lebih lanjut Freire
menegaskan dengan pendidikan sebuah golongan tertindas akan berkomitmen untuk
melakukan transformasi ke dalam bentuk golongan fredom (tidak tertindas).[2]
Sejarah bangsa kita membuktikan kebenaran teori Freire
diatas. Kemerdekaan yang diraih adalah produk dari kesadaran pendidikan
nasional. Dari kegundahan kaum terdidik akan kondisi bangsa yang ditindas oleh
bangsa lain kemudian bertransformasi dalam bentuk Negara merdeka dan berdaulat.
Sebagaimana M. Fadlur Rahman berpendapat, bahwa seseorang yang terdidik, di
tangannya tergenggam dunia, seseorang yang menyerah pada kebodohan, berarti
menyerah dalam hegemoni keterjajahan. Keterjajahan hanya pantas disandang oleh
masyarakat atau bangsa yang ‘memusuhi’ hak pendidikan.[3]
Menyadari titik kunci kemerdekaan bangsa ada pada pendidikan bangsa, menjadi
hal yang ‘fardlu ain’ bagi founding fathers untuk mengamanatkan upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa kepada Negara baru, NKRI.
Spirit pendiri Negara tentang pendidikan nasional
sebagai tugas utama Negara mengalami apa yang disebut Thomas Khun sebuah
anomali[4]
paradigmatik dalam mainstream globalisasi. Pertama,
pendidikan diposisikan sebagai sebuah komoditas. Artinya pendidikan menjadi
sebuah industri pendidikan yang keberadaan utamanya adalah untuk meraup keuntungan semata. Kedua, pendidikan sebagai industri pendidikan dimaknai untuk mencetak
individu-individu yang cepat diserap pasar. Misalkan tingginya permintaan pasar
akan kebutuhan tenaga di bidang informatika mendorong lembaga pendidikan
membuka program berbasis teknologi informasi. Paradigma ini akan mendorong
lembaga pendidikan akan menegasikan pendidikan yang kurang dapat diserap pasar
namun berpengaruh vital terhadap keberlangsungan sebuah Negara bahkan bangsa.
Sebut saja seni, budaya, sastra dan lain-lain. Ketiga, privatisasi pendidikan, pendidikan didistribusikan dan
diakses secara privat memunculkan sebuah kompetisi baik kompetisi horizontal
(sesama pengguna jasa) maupun kompetisi vertikal (sesama penyedia jasa).[5]
Pandangan neoliberal memang telah menggiring Negara
menjadi Negara dengan peran pemerintah seminimal mungkin. Fundamentalisme pasar
memegang peranan besar dan menderivasi peran tersebut pada masyarakat madani
yang otonom dan individualisme ekonomi yang kuat.[6]
Argumentasi ekonomi terungkap dalam adagium neolib ….”free competition would result in an optimum allocation of resources”.[7] Konsep
neoliberal, sebagaimana Giddens menjuluki, adalah mengurangi campur tangan
Negara bahkan menghilangkan campur tangan tersebut dan diserahkan sepenuhnya
terhadap mekanisme pasar yang sedang berjalan.
Sebenarnya jika ditelusuri dasar pemikiran bahwa tidak
diperlukannya campur tangan Negara (non-interference
in the economy) karena adanya keyakinan akan bekerjanya “tangan tak
terlihat”(invisible hand) yang akan memungkinkan bekerjanya
mekanisme pasar secara otomatis. Sebagaimana gambaran pendiri liberalisme, Adam
Smith :
“ as every individual,
therefore, endeavours as much as he can to employ his capital in the support of
domestic industry, and so to direct that industry that is produce may be of the
greatest value; every individual necessarily labours to render the annual
revenue of the society as great as he can. He generally, indeed, neither
intends to promote the public interest, nor knows how much he is promoting it.
By preferring the support of domestic to that foreign industry, he intends only
his own security; and by directing that industry in such a manner as its
produce may be of the greatest value, he intends only his own gain, and he is
in this, as in many other cases, led by an invisible hand to promote and end
which was no part of intention”.[8]
Gagasan Adam Smith tentang pasar bebas bahwa setiap
orang berusaha mengupayakan nilai modalnya meningkat. Pelaku pasar sama sekali
tidak berniat mensejahterahkan kepentingan umum dan bahkan tidak tahu bagaimana
mereka bergerak ke sana. Mereka hanya mementingkan diri sendiri mengejar
kebahagian pribadi. Tanpa disadari mereka dibimbing oleh tangan tak terlihat
yang bukan bagian dari keinginannya. Namun anehnya dengan mengejar keuntungan
pribadi menurut Smith justru bersamaan dengan meningkatkan kepentingan umum
secara lebih efektif. Sebagaimana gagasannya sebagai berikut :
“by persuing his own
interest he frequently promotes that of society more effectually than when he
really inteds to promote it”
Dalam paradigma pasar bebas, sebagian ahli ekonomi
memiliki anggapan bahwa pasar dapat mengatur dirinya sendiri melalui apa yang
disebut Adam Smith “the invisible hand”.
Hal ini yang menjadi pijakan kaum kapitalisme/neoliberalisme bahwa pasar selalu
dapat melakukan koreksi terhadap dirinya sendiri.
an Enquiry into The Nature
and Causes of The Wealth of Nations adalah karya Adam Smith diakui sebagai masterpiece
peletak dasar-dasar bagi tumbuh dan berkembangnya ilmu ekonomi bahkan Smith
sendiri dijuluki bapak ilmu ekonomi. Gagasanya tentang pasar bebas didukung
oleh pemikir lain seperti David Hume, John Stuart Mill, Milton Friedman, Rose
Freidman bahkan pandangan utilitarianisme
(“the greatest happiness for the greatest
number”) dari Jeremy Bentham dimungkinkan berlandaskan pemikiran dari Smith.
Terbentuknya WTO yang didirikan atas konsep pasar bebas menjadi bukti pasar
bebas telah diadopsi semua Negara.
Munculnya freedom
market bukan tanpa kendala berbagai kritik acap kali meluncur deras
menggoyahkan konstruksi paradigma kapitalisme sebagaimana Karl Max dalam das capital-nya:
“the transformation of
money into capital is to explained on the basis of laws immanent in the
exchange of commodities, is to be explained in such a way that the starting
point is an exchange of equivalent. Mr Moneybags, who is a yet only an embryo
of capitalist, must buy his commodities at their value, and must sell them at
their value; and nevertheless at the end of process, he must draw more value
out of circulation then he puts into it a starting. From being a caterpillar,
he must grow into a butterfly, and this transformation must simultaneously take
place in the sphere of circulation and outside the sphere of circulation. Such
are the conditions of problem. That is the nut we have to crack.”[9]
Menurut marxisme kesalahan utama dalam sistem
kapitalisme adalah dibenarkannya hak milik perorangan atas sumber daya alam
tanpa batas yang notabene perorangan ini selalu berupaya mengejar kepentingan
pribadi. Maka kemudian pendapat kaum marxisme-sosialis adalah bahwa sumber daya
alam haruslah dikuasai oleh Negara untuk menjamin sebuah distribusi yang adil. Walaupun
kemudian sejarah menunjukkan paradigm ini kemudian melahirkan etatisme.
Kritik tajam dating dari kelompok gerakan studi
hokum kritis (critical legal studies movement) dengan para penggagasnya seperti
Roberto Mangabeira Unger, Duncan Kennedy, Mark Thusnet, Betty Mensch, Morton
Horowitz dan David Kairys. Menurut pendapat mereka, market menjadikan masyarakat menjadi teralienasi karena di dominasi
pelaku-pelaku individu yang dilindungi hokum untuk mengabadikan dominasi
tersebut. Sebagai bentuk konkret perselingkuhan negara dengan pelaku bisnis
besar.[10]
Dalam konteks pendidikan seakan posisi Negara dalam
sebuah persimpangan. Di satu sisi paksaan privatisasi dan liberalisasi sebagai konsekuensi logis Indonesia sebagai anggota
WTO di sisi lain tuntutan akan pendidikan nasional dibawah kendali Negara
sepenuhnya. Disini dibutuhkan sebuah sintesa kearifan dalam berpikir dan
bertindak dalam konteks pendidikan nasional dalam abad liberal.
Negara di Persimpangan
Dalam kaitan dengan intervensi negara dalam konteks
kemapanan paradigma liberalisasi, seorang pakar ekonomi bernama John Maynard Keynes
memperkenalkan teori dalam karyanya yang berjudul The General Theory of Employment, Interest and Money bahwa adalah
sebuah keharusan campur tangan atau intervensi negara melalui kebijakan baik
fiskal maupun moneter, guna membantu mengatasi akibat buruk gejolak resesi,
depresi dan bahkan booming ekonomi.
Karya ini muncul sebagai buah pemikiranya terhadap krisis besar yang melanda
dunia tahun 1929-1939 (Great Depression). Dari hasil pemikirannya ini
kemudian Keynes dianggap sebagai peletak dasar macroeconomics.
Intervensi negara terhadap pasar bebas pun pernah
terjadi di negara kelahiran liberalism itu sendiri. Sebagaimana pada penghujung
tahun 2008 krisis melanda dunia bermula
dari permasalahan subprime mortage dua
perusahaan pemberi kredit perumahan di Amerika Serikat: Freddie Mac dan Fannie
Mae. Saat menteri keuangan di era pemerintahan Bush mengajukan dana sebesar US
$ 700 milyar guna membantu institusi keuangan di Amerika serikat akibat kredit
macet. Bahkan pemikiran Keynes tentang campur tangan negara berupa bail-out ataupun fiscal stimulus menjadi jawaban atas krisis yang terjadi di
beberapa negara Eropa akhir-akhir ini. Negara yang memegang teguh prinsip
libaralisme pun terpaksa harus meninggalkan prinsip tersebut demi menyelamatkan
pasar bebas itu sendiri.
Pasca tumbangnya sosialisme yang didukung oleh ideologi
komunisme yang dikembangkan dari ajaran-ajaran Karl Marx dan Friedrich Engels yang
kemudian dari perkembangan sejarah ajarannya melahirkan sebuah state monopoly. Jika awalnya pemilikan
negara atas sumber daya alam bertujuan untuk menjamin kelancaran distribusi
bagi kepentingan rakyat banyak, namun secara perlahan dan pasti mengalami
pergeseran yang pada akhirnya digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Bahkan
juga negara penganut komunisme pun kemudian secara perlahan meninggalkan ajaran
komunis.
Dengan runtuhnya sistem ekonomi sosialis-komunis
menegaskan posisi kapitalisme-liberalisme menjadi semakin mapan (single fighter). Konstruksi kemapanan
ini bukan tanpa cela dan lubang di sana-sini bahkan sebagaimana dijelaskan
diatas mudharat paradigma ini lebih
besar ketimbang manfaat yang didapat dalam konteks globalisasi. Negara
hendaknya mau mengambil sikap tegas untuk tetap memegang teguh konstitusi yang
ada dengan tetap mengambil manfaat dari pasar bebas itu sendiri secara merdeka
dan berdaulat. Bahkan mewarnai dunia dengan keunikan Demokrasi Pancasila atau Sistem
Ekonomi Pancasila.
Karakter Liberal dalam
Legislasi Pendidikan Nasional
Sebagaimana hasil analisis diatas mengenai
globalisasi dan pasar bebas didapatkan beberapa karakter tertentu yang didapat
kemudian dikategorisasikan kedalam sebuah formulasi tertentu dalam konteks
legislasi pendidikan nasional dalam hal ini adalah UU SISDIKNAS, UU BHP dan UU
PT/UU DIKTI.
Sejarah politik dan hukum pasca tumbangnya orde
baru memasuki babak baru. Pasca amandemen pasal 31 UUD 1945 mengalami perubahan
yang signifikan yang menarik untuk dikaji. Adapun isi pasal lengkap adalah
sebagai berikut :
(1)
Setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan
(2)
Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang.
(4)
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Prinsip penting yang dapat ditangkap dalam pasal 31
hasil amandemen tersebut adalah negara adalah actor utama yang harus berperan
aktif dalam memajukan pendidikan sebagaimana termaktub dalam ayat (2) yang
mewajibkan warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar dan negara yang
membiayainya dengan diambil dari sumber pendapatan negara yakni APBN dan bahkan
APBD sebagaimana diatur dalam ayat (4) dengan porsi luar biasa banyak yakni
minimal 20%. Dalam ayat (1) dan (3) dapat dipahami bahwasanya negara wajib
mencerdaskan kehidapan bangsa dengan sebuah sistem pendidikan nasional yang
memiliki karakter tersendiri kepada semua warganegara tanpa terkecuali.
Dalam beberapa legislasi nasional terkait dengan
pendidikan nasional ditemukan karakter-karakter liberalisasi pendidikan. Bahkan
dalam Rancangan undang-undang perguruan tinggi sebagaimana telah diundangkan
pada 13 juli 2012 lalu yang kemudian menimbulkan beberapa kegelisahan dari
beberapa pakar pendidikan. Sebagaimana pendapat Dewan Pembina Forum Rektor
Indonesia (FRI) Prof Laode M Kamaluddin menilai, UU tersebut berpotensi "membonsai"
peran intelektualitas kampus. "Kami khawatirkan jika penelitian dan
pengabdian masyarakat dikendalikan menteri, sama saja mengekang kebebasan
intelektual perguruan tinggi. Padahal penelitian identik pada ranah perguruan
tinggi. Pendapat senada terkait UU PT ini disampaikan Rektor Undip Prof
Sudharto P Hadi mengatakan, kendati UU ini memberi peluang bagi perguruan
tinggi asing dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia, namun perlu
kontrol yang ketat dalam implementasinya. Sebab bisa dipastikan, perguruan
tinggi asing itu hanya berorientasi pada prodi-prodi favorit.
"Perekonomian kita sudah neo liberal, lantas jika pendidikan juga menuruti
pasar bebas maka (negara ini) sudah tidak punya apa-apa lagi. Dalam persoalan
ini PTN yang harus menjadi benteng," tuturnya.[11]
Perasaan kecewa begitu kentara
dalam diri mantan ketua Forum Rektor Prof Ir Eko Budihardjo MSc Menurut beliau
masih ada pro-kontra dan kesenjangan dalam isi regulasi tersebut. Dijelaskan,
saat menjadi RUU, seharusnya regulasi ini dibahas lebih komprehensif.
’’Artinya, pihak-pihak yang terkena UU ini harus diajak bicara bersama, baik
itu PTN dan PTS. Apalagi, di Indonesia ada sekitar 87 PTN dan 32.000 PTS dengan
kondisi yang berbeda-beda.’’ Setali tiga uang, Rektor Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto, Prof Drs Edy Yuwono PhD menilai senada. Dikatakan, UU ini
tidak mengakomodir sejumlah bidang pengajaran. Misalnya, dengan adanya
pengkategorisasian rumpun ilmu pada Pasal 10 Ayat (2). “Pasal itu menyebut
rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas ilmu agama, ilmu humaniora,
ilmu sosial, ilmu alam, ilmu formal, dan ilmu terapan. Lalu bagaimana dengan
ilmu yang lain. Apakah tidak bisa masuk dalam kelompok ini,” kata Edy,
Sementara itu, Rektor Universitas Wijayakusuma Purwokerto, H Kaboel Soewardi SH
MM menilai, UU PT versi terbaru memperlihatkan upaya-upaya pemindahan tanggung
jawab negara atas pendidikan kepada masyarakat, terutama dalam hal pendanaan
dan pembiayaan. Dicontohkan, pada Pasal 69 tentang Wewenang Mendirikan Badan
Usaha dan Mengembangkan Dana Abadi. “Ayat ini mengandung arti perguruan tinggi
berhak untuk melakukan praktik komersialisasi, misalnya fasilitas kampus. Hal
ini tentu berakibat aset-aset yang dimiliki universitas akan bebas dipakai oleh
pihak non-kampus,” ujar dia.
Akibatnya, PTS semakin tertekan karena dengan adanya otonomi maka PTN
bisa dengan bebas membuka program studi. Mau tidak mau, PTS harus ikut
bertarung mati-matian untuk mencari mahasiswa.[12]
Adapun karakter liberal-kapitalis sebagaimana
analisa berikut:
Pertama, karakter otonomisasi
lembaga pendidikan. Otonomi istitusi pendidikan menjadi karakter
liberal-kapitalis disebabkan pengurangan peran negara menjadikan institusi
pendidikan harus mandiri dalam segala hal. Otonomi institusi pendidikan dimulai
sejak munculnya peraturan pemerintah nomor 61 tahun 1999 tentang penetapan
perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Konsep badan hukum milik negara
(BHMN) yang dilandasi oleh peraturan pemerintah ini memberikan otonomi bagi
perguruan tinggi negeri yang berubah menjadi BHMN yang kemudian berdampak pada
mahalnya biaya pendidikan. Format BHMN yang lahir tahun 1999 tersebut serupa
dengan terminologi badan hukum pendidikan (BHP) yang lahir tahun 2003 dalam
undang-undang nomor 20 tentang sistem pendidikan nasional. UU BHP
(Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009) sendiri kemudian dinyatakan tidak berlaku
oleh mahkamah konstitusi.
Format BHP sendiri dalam UU No 20 Tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional ditujukan pada semua perguruan tinggi yakni
PTN dan PTS dan seluruh tingkat satuan pendidikan. Sebagaimana ketentuan dalam
pasal 53 berikut :
(1)
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan.
(2)
Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3)
Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk
memajukan satuan pendidikan.
(4)
Ketentuan tentang badan hukum pendidikan
diatur dengan undang-undang tersendiri.
Terkait hal ini mahkamah konstitusi dalam uji
materiil UU sisdiknas dan UU BHP dalam putusan 11-14-21-126 dan
136/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa yang dimaksud ‘badan hukum pendidikan’dalam
pasal 53 UU sisdiknas bersifat konstitusional sepanjang dimaknai sebutan fungsi
penyelenggara pendidikan belaka bukan merukuk pada bentuk badan hukum tertentu.
Sedangkan penjelasan pasal 53 ayat (1) UU sisdiknas yang mengatur bahwa bagi
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk badan hukum
milik negara (BHMN) dinyatakan oleh mahkamah konstitusi bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan UU BHP dinyatakan
pula bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain
dasar penolakan tersebut manurut mahkamah konstitusi penyeragaman badan hukum
pendidikan merupakan langkah mundur dalam pendidikan karena mengabaikan
eksistensi keanekaragaman.
Adapun dalam RUU PT yang kemudian menjadi UU DIKTI
tentang otonomi perguruan tinggi dijelaskan dalam pasal 66 s/d pasal 70.
Pasal 66
(1)
Perguruan Tinggi
memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan Tridharma.
(2) Otonomi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan
perguruan tinggi.
(3) Dasar dan tujuan serta kemampuan perguruan tinggi untuk
melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi oleh
menteri.
Pasal 67
Otonomi pengelolaan perguruan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip:
a. akuntabilitas;
b. transparansi;
c. nirlaba;
d. mutu; dan
e. efektivitas dan
efisiensi.
Pasal 68
(1) Otonomi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik.
(2) Otonomi pengelolaan di bidang akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta
pelaksanaan Tridharma.
(3) Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta
pelaksanaan:
a. organisasi;
b. keuangan;
c. kemahasiswaan;
d. kepegawaian;
dan
f. sarana
prasarana.
Undang-undang terbaru masih mengadopsi semangat
liberalism dengan masih diaturnya otonomi bagi institusi penyelenggara
pendidikan tinggi. Artinya pasca orde baru dapat dikatakan semua regulasi
pendidikan nasional memiliki semangat liberal-kapital.
Kedua, karakter pemberdayaan
masyarakat, undang-undang Sisdiknas mengatur secara rinci bagaimana
memaksimalkan peran masyarakat dalam pendidikan nasional sebagaimana diatur
dalam pasal 8 dan pasal 9 berikut ;
Pasal 8
Masyarakat berhak
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program
pendidikan.
Pasal 9
Masyarakat berkewajiban
membrikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Cakupan peran serta masyarakat juga diperjelas
dalam pasal 54 sebagai berikut :
(1)
Peran serta masyarakat dalam pendidikan
meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi,
pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu pelayanan pendidikan.
(2)
Masyarakat dapat berperan serta sebagai
sumber, pelaksana, dan pengguna hasil penelitian.
(3) Ketentuan
mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Adapun dalam RUU PT yang kemudian menjadi UU DIKTI
tentang pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan tinggi dijelaskan
dalam pasal 87 s/d pasal 91.
Pasal 88
(1) Masyarakat dapat
berperan serta dalam pendanaan pendidikan tinggi.
(2) Pendanaan pendidikan
tinggi yang diperoleh dari peran serta Masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diberikan kepada Perguruan Tinggi dalam bentuk:
a. hibah;
b. wakaf;
c. zakat;
d. persembahan kasih;
e. kolekte;
f. dana punya;
g. sumbangan individu
dan/atau perusahaan;
h. dana abadi pendidikan
tinggi; dan
i. bentuk lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, karakter mudahnya
pendidikan asing masuk, lembaga pendidikan sebenarnya bukan anti pendidikan
asing malah sebenarnya menjadi media yang produktif dalam transfer knowledge. Kekhawatiran yang sebenarnya adalah paradigma
pendidikan asing yang cenderung liberal-kapitalis. Paradigma ini menggeser lembaga
pendidikan dari kawah candradimuka civitas akademika kearah industri pendidikan
semata. Berikut rumusan terbaru yang notabene tidak berbeda dengan regulasi
pendahulunya :
Pasal
94
(1) Perguruan Tinggi negara
lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perguruan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di
negaranya.
(3) Pemerintah menetapkan
daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Penyelenggara pendidikan
tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. memperoleh izin
Pemerintah;
b. bersifat nirlaba;
c. bekerja sama dengan
Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
d. mengutamakan dosen dan
tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
(5) Perguruan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengembangkan ilmu dasar di Indonesia dan mendukung kepentingan
nasional.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi yang
diselenggarakan oleh negara lain diatur dalam Peraturan Menteri.
Keempat, karakter minimnya
peran negara dengan anti tesisnya maksimalitas peran masyarakat. karakter ini
merupakan ciri dari pasar bebas yang tidak menghendaki pendidikan sebagai
komoditas dihalang-halangi bahkan dikendalikan oleh negara, biarkan mekanisme
pasar yang mengendalikan melalui the
invisible hand-nya. Sebagaimana semua regulasi pendidikan yang ada karakter
ini sangat intens di semua regulasi karena ini memang ini roh regulasi pasca
orde baru. Sebagaimana dirumuskan dalam RUU PT terbaru berikut :
Pasal
95
(1)
Masyarakat berperan serta dalam pengembangan pendidikan
tinggi.
(2)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan, antara lain, dengan cara:
a. ikut menentukan
kompetensi lulusan melalui organisasi profesi, dunia usaha dan dunia industri;
b. memberikan beasiswa
dan/atau bantuan pendidikan kepada mahasiswa;
c. turut serta dalam
mengawasi dan menjaga mutu pendidikan tinggi melalui organisasi profesi atau
lembaga swadaya masyarakat;
d. menyelenggarakan PTS
bermutu;
e. berpartisipasi dalam
lembaga semi-Pemerintah yang dibentuk oleh Menteri;
f.
berpartisipasi sebagai sponsor dalam kegiatan akademik
dan kegiatan sosial sivitas akademika;
g. berpartisipasi dalam
pengembangan karakter, minat, dan bakat mahasiswa;
h. menyediakan tempat
magang dan praktik kepada mahasiswa;
i.
memberikan berbagai bantuan melalui tanggung jawab sosial
perusahaan;
j.
mendukung kegiatan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat; dan
k. berbagi sumberdaya untuk
pelaksanaan Tridharma.
Kesimpulan
1. Negara wajib mencerdaskan kehidapan bangsa
dengan sebuah sistem pendidikan nasional yang memiliki karakter tersendiri
kepada semua warga negara tanpa terkecuali. Dalam proses pencerdasan tersebut
negara dialokasikan anggaran minimal 20% dari APBN dan APBD dengan anti
tesisnya berarti bukan diambil dari dana masyarakat atau bentuk lain yang
bersumber dari masyarakat.
2. Globalisasi meniscayakan minimalitas peran
negara dalam mengatur pendidikan sebagai komoditas dan menyerahkan kendali
sepenuhnya kepada mekanisme pasar yang cenderung individualistis.
3. Bahwa paradigma pendidikan dalam konteks
globalisasi berbeda dengan paradigma
negara bangsa dan oleh karenanya negara hendaknya mampu menemukan “jalan
ketiga” dalam menengahi mainstream ini.
4. Bahwa produk legislasi pendidikan nasional
pasca orde baru (UU SISDIKNAS, UU BHP, UU PT) masih mengandung corak liberal
yang kental, hal ini mengindikasikan arah legislasi nasional dalam konteks
pendidikan menyimpang dari amanah konstitusi.
5. Bahwa demi menyelamatkan pendidikan nasional
negara harus sadar dan tegas untuk tunduk terhadap amanat konstitusi dengan
turut bertanggung jawab penuh mencerdaskan kehidupan bangsa demi menyelamatkan
masa depan dan kemakmuran bangsa juga.
DAFTAR PUSTAKA
Colander,
David C. & landreth, Harry, 1994, History of Economic Thought, third
edition, Houghton Mifflin company, Boston.
Giddens ,
Anthony, 2000, Third Way, Jalan Ketiga: Pembaharuan Demokrasi Sosial, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Gingell,
John and Winch, Christopher, 2008, Philosophy of Education: The Key Concepts,
Second Edition Routledge, New York.
Ibrahim,
Johny, 2009, Pendekatan Ekonomi Terhadap
Hukum, CV Putra Media Nusantara & Itspress, Surabaya.
Khun, Thomas
S., 1962, The Structure of Scientific
Revolution, second edition, the university of Chicago press, edisi
Indonesia : Peran Paradigma dalam
Revolusi Sains, diterjemahkan oleh Tjun Suryawan, 1993, Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Manaf, Abdul,
2008, Pendidikan Bukan untuk Penjajahan,
Visipres , Surabaya.
Murtiningsih,
Siti, 2004, Pendidikan Alat Perlawanan,
Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire, Resist Book, Yogyakarta.
Olssen, Mark,
2004, Education Policy: Globalization,
Citizenship and Democracy, SAGE, London.
Smith , Adam,
1937, an Enquiry into The Nature and
Causes of The Wealth of Nations, modern library, New York.
Unger, Roberto
Mangabeira, 1986, The Critical Legal
Studies Movement, Harvard university press, Cambridge, Massachusetts.
Peraturan
Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahan-perubahannya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan
Rancangan Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi
Internet:
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news_smg/2012/07/15/124275/UU-PT-Sisakan-Gelombang-Kontroversi, akses tanggal 24 Juli 2012
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/07/16/192841/UU-PT-Masih-Undang-Kontroversi, akses tanggal 24 Juli
2012
[1] Christopher Winch and John Gingell, 2008, Philosophy of Education: The Key Concepts, Second Edition Routledge,
New York, h.63
[2] Siti Murtiningsih, 2004, Pendidikan
Alat Perlawanan, Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire, Resist Book, Yogyakarta,
h. 62.
[3] Abdul Manaf, 2008, Pendidikan
Bukan untuk Penjajahan, Visipres , Surabaya, h. 12
[4] Thomas S. Khun, 1962, The
Structure of Scientific Revolution, second edition, the university of
Chicago press, edisi Indonesia : Peran
Paradigma dalam Revolusi Sains, diterjemahkan oleh Tjun Suryawan, 1993,
Remaja Rosdakarya, Bandung, h. 52-53
[5] Dirangkum dari Mark Olssen, 2004, Education Policy: Globalization, Citizenship and Democracy, SAGE, London, 181-182
[6] Anthony Giddens, 2000, Third Way, Jalan Ketiga: Pembaharuan Demokrasi Sosial, Gramedia Pustaka Utama
, Jakarta, h.9
[7] Harry landreth & David C.
Colander, 1994, History of Economic
Thought, third edition, Houghton Mifflin company, Boston, h. 55
[8] Adam Smith, 1937, an Enquiry
into The Nature and Causes of The Wealth of Nations, modern library, New York,
h. 423
[9] Karl Marx dalam Johny Ibrahim, 2009, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum, CV Putra Media Nusantara &
Itspress, Surabaya, h.122
[10] Roberto Mangabeira Unger, 1986, The Critical Legal Studies Movement, Harvard university press,
Cambridge, Massachusetts, h. 33
[11] http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news_smg/2012/07/15/124275/UU-PT-Sisakan-Gelombang-Kontroversi akses tanggal 24 Juli 2012
[12] http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/07/16/192841/UU-PT-Masih-Undang-Kontroversi
akses tanggal 24 Juli 2012
Tidak ada komentar
Posting Komentar