PEMBIAYAAN BERMASALAH
DI BANK SYARIAH
Abstrak
Budaya hukum akan membentuk
kesadaran hukum masyarakat di sebuah negara. Bank syariah menyediakan
pembiayaan dengan harapan bahwa
pendanaan berjalan lancar. Akan
tetapi itu bisa terjadi jika
dalam jangka waktu pembiayaan timbul pembiayaan bermasalah
(Non Performing Financing/ NPF). Upaya yang dilakukan oleh bank syariah adalah melakukan penyelamatan untuk restrukturisasi atau melakukan penyelesaian pembiayaan
tergantung pada
itikad baik dari nasabah.
Kata Kunci: pembiayaan bermasalah, bank syariah.
Abstract
Syariah bank provide
financing in the hope that the funding is running smoothly. But it can happen during the
funding period of funding problems (Non performing Financing/NPF). Islamic banks will be to rescue to
restructuring or a solution to the problem of financing depends on the good will
of the customers.
Key words: troubled financing, Islamic bank.
Pendahuluan
Pembiayaan
adalah merupakan sebagian besar asset dari bank syariah
sehingga pembiayaan tersebut harus dijaga kualitasnya, sebagaimana diamanatkan
pada Pasal 2 Undang-undang Perbankan Syariah bahwa perbankan syariah dalam
melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan
prinsip kehati-hatian.
Sebagaimana diamanatkan pada pada Pasal
4 Undang-Undang Perbankan Syariah keberadaan bank syariah disamping sebagai lembaga intermediasi seperti halnya bank
konvensional yaitu menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat juga berfungsi sosial. Secara garis besar kegiatan operasional Bank
Syariah dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu:[2]
1.
Kegiatan
penghimpunan dana (funding).
2.
Kegiatan
penyaluran dana (lending).
3.
Jasa
Bank.
Sebagian besar dana yang dipergunakan oleh bank syariah dalam
menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan adalah dana nasabah penyimpan/nasabah
investor[3],
sehingga dana nasabah penyimpan/nasabah investor wajib mendapat perlindungan
hukum.
Bilamana terjadi
kegagalan dalam pembiayaan maka sumber pelunasan pembiayaan adalah dari usaha
nasabah yang menghasilkan pendapatan (revenue) yang disebut first way out dan second way out berupa agunan (collateral).
Second way out berupa jaminan
tertentu atas suatu benda, apabila terjadi pembiayaan bermasalah, bank berhak
menjual benda agunan yang dibebani dengan hak jaminan dan mengambil hasil
penjualan atas benda tersebut sebagai sumber pelunasan pembiayaan. Jaminan
merupakan hal penting untuk diperhitungkan bagi Bank karena jaminan merupakan
sumber pelunasan bilamana nasabah mengalami kegagalan pembiayaan Syariah.
|
Proses
pemberian pembiayaan pada bank syariah maka tahapan yang dilakukan oleh bank
syariah tidak jauh berbeda dengan tahapan yang dilakukan oleh bank konvensional
dalam memberikan kreditnya. Proses pemberian pembiayaan diawali dengan tahapan
:
1. tahap sebelum
pemberian pembiayaan diputuskan oleh bank syariah, yaitu tahap bank syariah
mempertimbangkan permohonan pembiayaan calon nasabah penerima fasilitas . Tahap
ini disebut tahap analisis kelayakan penyaluran dana.
2. tahap setelah
permohonan pembiayaan diputuskan pemberiannya oleh bank syariah dan kemudian
penuangan keputusan tersebut kedalam perjanjian pembiayaan (akad pembiayaan)
serta dilaksanakannya pengikatan agunan untuk pembiayaan yang diberikan itu.
Tahap ini disebut tahap dokumentasi pembiayaan
3. tahap setelah
perjanjian pembiayaan (akad pembiayaan) ditandatangani oleh keduabelah pihak
dan dokumentasi pengikatan agunan telah selesai dibuat serta selama pembiayaan
itu digunakan oleh nasabah penerima fasilitas sampai jangka waktu pembiayaan
berakhir. Tahap ini disebut tahap penggunaan pembiayaan
4. tahap setelah
pembiayaan menjadi bermasalah tetapi usaha nasabah penerima fasilitas masih
memiliki prospek sehingga pembiayaan yang bermasalah itu dapat diselamatkan
untuk menjadi lancar kembali. Tahap ini disebut tahap penyelamatan pembiayaan
Dari latar
belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka dapat ditarik suatu rumusan
masalah sebagai berikut, yaitu bagaimana karakteristik, penyelamatan serta
penyelesaian pembiayaan bermasalah di Bank Syariah.
Analisis Hukum
A.
Kriteria Pembiayaan Bermasalah
Pada jangka waktu (masa) pembiayaan tidak mustahil
terjadi suatu kondisi pembiayaan yaitu adanya suatu penyimpangan utama dalam
hal pembayaran yang menyebabkan keterlambatan dalam pembayaran atau diperlukan tindakan yuridis dalam
pengembalian atau kemingkinan potensial
loss. Kondisi ini yang disebut dengan pembiayaan bermasalah, keadaan
turunnya mutu pembiayaan tidak terjadi secara tiba-tiba akan tetapi selalu
memberikan ” warning sign” atau faktor-faktor
penyebab terlebih dahulu dalam masa pembiayaan. Ada beberapa faktor penyebab pembiayaan bermasalah:[5]
1.
faktor intern
(berasal dari pihak bank)
ü kurang baiknya pemahaman atas bisnis nasabah
ü kurang dilakukan evaluasi keuangan nasabah
ü kesalahan setting fasilitas pembiayaan (berpeluang melaku-kan
sidestreaming)[6]
ü perhitungan modal kerja tidak didasarkan kepada bisnis
usaha nasabah
ü proyeksi penjualan terlalu optimis
ü proyeksi penjualan tidak memper-hitungkan kebiasaan
bisnis dan kurang memperhitungkan aspek kompetitor
ü aspek jaminan tidak diperhitungkan aspek marketable
ü lemahnya supervisi dan monitoring
ü terjadinya erosi mental : kondisi ini dipengaruhi timbali
balik antara nasabah dengan pejabat bank sehingga mengakibatkan proses
pemberian pembiayaan tidak didasarkan pada praktek perbankan yang sehat
2.
faktor ekstern
ü karakter nasabah tidak amanah (tidak jujur dalam
memberikan informasi dan laporan tentang kegiatannya)
ü melakukan sidestreaming
penggunaan dana
ü kemampuan pengelolaan nasabah tidak memadai sehingga
kalah dalam persaingan usaha
ü usaha yang dijalankan relatif baru
ü bidang usaha nasabah telah jenuh
ü tidak mampu menanggulangi masalah/ kurang menguasai
bisnis
ü meninggalnya key person
ü perselisihan sesama direksi
ü terjadi bencana alam
ü adanya kebijakan pemerintah: peraturan suatu produk atau sektor ekonomi
atau industri dapat berdampak positif maupun negatif bagi perusahaan yang
berkaitan dengan industri tersebut.
Kualitas pembiayaan ditetapkan
menjadi 5 (lima) golongan yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar,
Diragukan dan Macet, yang dikategorikan pembiayaan bermasalah adalah kualitas
pembiayaan yang mulai masuk golongan dalam perhatian khusus sampai golongan
Macet. Bank syariah wajib untuk
menggolongkan kualitas aktiva produktif[7]
sesuai dengan kriterianya dan dinilai secara bulanan, sehingga jika bank
syariah tidak melakukannya maka akan dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud Pasal 56 Undang-Undang Perbankan Syariah.
Bilamana terjadi pembiayaan
bermasalah maka Bank syariah akan melakukan
upaya untuk menangani pembiayaan bermasalah tersebut dengan melakukan upaya penyelamatan dan penyelesaian
pembiayaan bermasalah, agar dana
yang telah disalurkan oleh bank syariah dapat diterima kembali. Akan tetapi
mengingat dana yang dipergunakan oleh bank syariah dalam memberikan pembiayaan
berasal dari dana masyarakat yang ditempatkan pada bank syariah maka bank syariah dalam memberikan pembiayaan
wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank syariah dan/atau UUS dan
kepentingan nasabahnya yang telah mempercayakan dananya.
B. Penyelamatan Pembiayaan Bermasalah
Setiap
terjadi pembiayaan bermasalah maka bank syariah akan berupaya untuk
menyelamatkan pembiayaan, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/9/PBI/2011 Tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/PBI/2008
Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam rangka
membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling),
yaitu perubahan jadwal pembayaran
kewajiban nasabah atau jangka waktunya;[8]
b. Persyaratan kembali (reconditioning),
yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Pembiayaan tanpa menambah
sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank, antara lain
meliputi:
1) perubahan jadwal pembayaran;
2) perubahan jumlah angsuran;
3) perubahan
jangka waktu;
4) perubahan nisbah dalam pembiayaan
mudharabah atau musyarakah;
5) perubahan proyeksi bagi hasil
dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah;
dan/atau:
6) pemberian potongan.
c. penataan
kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan yang
antara lain meliputi:
1)
penambahan dana
fasilitas pembiayaan bank;
2)
konversi akad
Pembiayaan;
3)
konversi pembiayaan
menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah; dan/atau;
4)
konversi Pembiayaan
menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah[9], yang dapat disertai dengan rescheduling atau reconditioning.
Bank hanya dapat
melakukan restrukturisasi pembiayaan terhadap nasabah yang memenuhi kriteria
sebagai berikut :
a.
nasabah
mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan
b. nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu
memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.
Restrukturisasi
untuk Pembiayaan konsumtif hanya dapat dilakukan untuk nasabah yang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a.
nasabah
mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan
b.
terdapat
sumber pembayaran angsuran yang jelas dari nasabah dan mampu memenuhi kewajiban
setelah restrukturisasi.
Restrukturisasi pembiayaan wajib didukung dengan analisis
dan bukti-bukti yang memadai serta didokumentasikan dengan baik. Disamping 2 (dua) kriteria di atas maka bank syariah
akan melakukan penyelamatan pembiayaan bermasalah dengan upaya restrukturisasi
apabila nasabah masih mempunyai itikad baik dalam arti masih mau diajak
kerjasama dalam upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah, akan tetapi jika
nasabah sudah tidak beritikad baik dalam arti tidak dapat diajak kerjasama
dalam upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah maka bank syariah akan melakukan
upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah.
Adapun landasan syariah yang dapat mendukung
upaya restrukturisasi pembiayaan yaitu :
- Dalam surat Al Baqarah (2):276 : ” Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran dan selalu berbuat dosa”.
- Dalam surat Al Baqarah (2) : 280: ” dan jika (orang
berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
- Dalam surat Al Baqarah
(2) : 286 : ” Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (atas kebajikan) yang diusahakannya dan
ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. Dari kutipan ayat Al Quran diatas selalu
digarisbawahi pentingnya sedekah dan tuntunan akan perlunya toleransi
terhadap nasabah bila menghadapi nasabah sedang mengalami kesulitan (dalam
arti sebenar-benarnya) membayar kembali kewajibannya.
- Hadits Nabi riwayat Muslim :
”orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya
di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah
senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya.
C. Penyelesaian
Pembiayaan Bermasalah
1. Penyelesaian
Melalui
Eksekusi
Jaminan
Penyelesaian melalui jaminan dilakukan oleh
bank syariah bilamana berdasarkan evaluasi ulang pembiayaan, prospek usaha
nasabah tidak ada, dan atau nasabah tidak kooperatif untuk menyelesaikan
pembiayaan atau upaya penyelamatan dengan
upaya restrukturisasi tidak membawa hasil melancarkan kembali pembiayaan tersebut. Maka upaya
penyelesaian pembiayaan bermasalah dengan cara eksekusi jaminan akan
dilakukan oleh bank syariah.
Eksekusi jaminan disesuaikan dengan lembaga jaminan yang membebani benda
jaminan tersebut, rahn (gadai syariah), jaminan hipotik, jaminan hak
tanggungan, dan jaminan fidusia. pada jaminan hipotik eksekusi agunan diatur
pada Pasal 1178 BW, Pada jaminan hak
tanggungan berdasarkan Pasal 20 Undang-undang No. 4 Tahun 1996, bilamana
debitor cidera janji ada 3 alternatif yang dapat dilakukan oleh bank yaitu:[10]
a.
berdasarkan hak
pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6;
b.
berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam
sertifikat hak tanggungan sebagaimana pada Pasal 14 (2) obyek hak tanggungan
dijual melalui pelelangan umum menurut tatacara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak
mendahulu dari para kreditor-kreditor lainnya;
c.
atas kesepakatan
penjualan obyek jaminan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika dengan cara
demikian akan dapat diperoleh harga tertinggi.
Pada jaminan fidusia berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
apabila debitor wanprestasi maka obyek jaminan dapat dieksekusi dengan cara :
a.
pelaksanaan
titel eksekutorial
b.
penjualan
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia
sendiri melalui pelelangan umum
c.
penjualan
dibawah tangan berdasarkan kesepakatan
Di Undang-undang Perbankan Syariah pada Pasal 40, bank
syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui maupun
di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan
atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik agunan, dengan
ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun[11].
Dalam hal harga pembelian agunan melebihi jumlah kewajiban nasabah kepada bank
syariah dan UUS, selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan kepada
nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang terkait
langsung dengan proses pembelian agunan.
Landasan syariah yang berkaitan
dengan jaminan dalam surat Al Baqarah (2) 283: ”Jika kamu dalam perjalanan (dan
kamu bermuamalah / jual beli tidak secara tunai), sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh
siberpiutang...”
Dari Aisyah
bahwasanya Nabi Muhammad SAW pernah membeli bahan makanan dari seorang yahudi
dengan hutang dan beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan. (HR.Bukhari,
Muslim dan Nasa’i) Dari Abu Hurairah r.a. bahwa rasulullah bersabda ” Siapapun
yang bangkrut (muflis), lalu kreditornya mendapatkan barangnya sendiri pada si
muflis, maka kreditor itu lebih berhak untuk menarik kembali barangnya daripada
orang lain. (HR.Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
2. Penyelesaian
lewat Badan Arbitrase Syariah Nasional
Berdasarkan klausula dalam
perjanjian pembiayaan, bilamana jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak dan tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah, maka penyelesainya melalui Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).[12]
BASYARNAS berwenang :
a.
Menyelesaikan
secara adil dan cepat sengketa muamalah
(perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan
lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis
untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada BASYARNAS sesuai dengan prosedur
BASYARNAS.
b.
Memberikan pendapat
yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai
persoalan berkenan dengan suatu perjanjian.[13]
Kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada BASYARNAS,
dilakukan oleh pihak:
a)
Dengan
mencantumkan klausula arbitase dalam suatu naskah perjanjian; atau
b)
Dengan
perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat dan disetujui oleh para pihak, baik
sebelum maupun sesudah timbul sengketa.
Keputusan
arbitrase merupakan keputusan terkahir dan mengikat (final and biding). Landasan
Syariah:
Al Quran
a.
Surat
Al-Hujarat ayat 9
” jika dua golongan orang yang beriman berperang
(bersengketa), maka damaikan keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat
aniaya terhadap yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu
sampai mereka kembali kepada ajaran Allah. Dan jika golongan itu telah kembali,
maka damaikan keduanya dengan adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil.
2. Surat An-Nisa ayat 35
”jika kamu khawatir terjadi sengketa diantara keduanya
(suami istri), maka kirimkan seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan (perdamaian), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maka Mengenal.
- Penyelesaian Lewat Litigasi
Penyelesaian lewat litigasi akan
ditempuh oleh bank bilamana nasabah tidak beritkad baik yaitu tidak menunjukkan
kemauan untuk memenuhi kewajibannya sedangkan nasabah sebenarnya masih
mempunyai harta kekayaan ian yang tidak dikuasai oleh bank atau sengaja disembunyikan
atau mempunyai sumber-sumber lain untuk menyelesaikan kredit macetnya.[14]
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomer 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama
maka bilamana terjadi sengketa dalam bidang muamalah maka diselesaikan lewat
pengadilan agama. Tujuan dari keberadaan Peradilan Agama adalah bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang beragama Islam dibidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah,
waqaf, zakat, infaq, shadaqoh dan ekonomi
syariah.
Perubahan penting yang terdapat
dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah perluasan kekuasaan atau
kewenangan pengadilan agama yang meliputi juga sengketa di bidang ekonomi
syariah, hal ini terdapat pada Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. yang
dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut syariah, meliputi:
a.
Bank
Syariah
b.
Asuransi
Syariah
c.
Reasuransi
Syariah
d.
Reksa
Dana Syariah
e.
Obligasi
Syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah
f.
Sekuritas
Syariah
g.
Pembiayaan
Syariah
h.
Pegadaian
Syariah
i.
Dana
Pensiun lembaga Keuangan Syariah
j.
Bisnis
Syariah dan
k.
Lembaga
Keuangan Mikro Syariah.
Dalam
penjelasan umum dijelaskan bahwa penyelesaian yang mungkin timbul pada
perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan
Agama. Disamping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui
musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase atau melalui pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak.
Sedangkan dalam penjelasan pasal demi pasal dijelaskan yang dimaksud dengan
”penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai
berikut:
Ø musyawarah
Ø mediasi perbankan
Ø melalui badan Arbitrase Syariah nasional( Basyarnas) atau
lembaga arbitrase lain; dan /atau
Ø melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
Pemberlakuan Undang-Undang
Perbankan Syariah khususnya Pasal 55 dan penjelasannya telah mereduksi
kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa di bank syariah,
karena dimungkinkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak.
Prinsip kaffah yang terkandung pada penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Perbankan
Syariah[15]
seharusnya betul-betul diterapkan tidak saja dalam produk-produk yang ditawarkan
oleh bank syariah akan tetapi juga dalam penyelesaian sengketanya dilakukan
melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama.
D. Hapus Buku dan
Hapus Tagih
Hapus buku adalah tindakan
administratif bank untuk menghapus buku pembiayaan yang memiliki kualitas macet
dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus hak tagih bank kepada
nasabah. Hapus tagih adalah tindakan bank menghapus kewajiban nasabah yang
tidak dapat diselesaikan, dalam arti kewajiban nasabah dihapuskan tidak
tertagih kembali.[16] Hapus buku dan hapus tagih hanya dapat dilakukan
terhadap pembiayaan yang memiliki kualitas macet. Hapus buku tidak dapat
dilakukan terhadap sebagian pembiayaan (partial
write off) sedangkan hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian atau
seluruh pembiayaan. Hapus tagih terhadap sebagian pembiayaan hanya dapat
dilakukan dalam rangka restrukturisasi pembiayaan atau dalam rangka
penyelesaian pembiayaan. Hapus buku dan/atau hapus hanya dapat dilakukan
setelah bank syariah melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali aktiva
produktif yang diberikan.
Kesimpulan
Pembiayaan adalah merupakan sebagian besar asset dari
bank syariah sehingga pembiayaan tersebut harus dijaga kualitasnya dengan mendasarkan pada prinsip kehati-hatian.
Prinsip
kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan
perbankan yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penerapan prinsip
kehati-hatian oleh Bank syariah
dan/atau UUS salah satunya diwujudkan dalam
melakukan analisa pembiayaan yaitu menganalisa keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah
Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank
Syariah dan/ atau UUS menyalurkan dana kepada nasabah Penerima Fasilitas”. Akan tetapi bisa terjadi dalam jangka waktu pembiayaan
timbul pembiayaan bermasalah. Upaya yang dilakukan oleh bank syariah untuk
menangani pembiayaan bermasalah adalah melakukan penyelamatan pembiayaan
bermasalah (upaya restrukturisasi) apabila nasabah masih mempunyai itikad baik,
akan tetapi jika nasabah sudah tidak beritikad baik dalam arti tidak dapat
diajak kerjasama dalam upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah maka bank
syariah akan melakukan upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah.
----- ooo O ooo -----
Daftar Bacaan
Buku
Anshori, Abdul Ghofur, 2007, Perbankan
Syariah Di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogjakarta.
Muhamad, 2005, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah,
Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN, Yogyakarta.
Setiawan, 1979, Pokok-Pokok
Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung.
Sjahdeini, Sutan Remy,
Kapita Selecta Hukum Perbankan, Jilid
I, tanpa tahun.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, LNRI Tahun 2006 Nomor 22.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, LNRI Tahun 2008
Nomor 94.
Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/9/PBI/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Peraturan Bank Indoensia Nomor 13/9/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/PBI/2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah.
SEBI No.13/18/DPbS tanggal 30 Mei 2011 tentang Perubahan atas SEBI Nomor 10/34/DPbS tanggal
22 Oktober 2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah bahwa Bank Uumum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS)
Artikel, Jurnal, Disertasi
Profil dan Prosedur Badan Arbitase Syariah Nasional (
BASYARNAS), 3 Februari 2006.
Yahman dan Trisadini Prasastinah Usanti, Bunga Rampai Hukum Aktual Dalam Perspektif
Hukum Bisnis Kontraktual Berimplikasi Pidana dan Perdata, Mitra Mandiri,
Surabaya, 2011.
Trisadini Prasastinah Usanti,” Karakteristik Prinsip Kehati-Hatian Pada Kegiatan Usaha Perbankan
Syariah”, Disertasi, Universitas
Airlangga, Surabaya, 2010.
Trisadini Prasastinah Usanti dan A. Shomad, “Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Bank
Syariah”, Laporan Penelitian,
Fakultas Hukum Unair, 2008..
[1] Dosen Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Alumni Program Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga
Surabaya.
[2]Abdul Ghofur
Anshori, Perbankan Syariah Di Indoensia,
Gadjah Mada University Press, Yogjakarta, 2007, h. 65.
[3]Nasabah
penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank syariah dan/atau UUS
dalam bentuk simpanan berdasarkan akad antara Bank syariah atau UUS dan nasabah
yang bersangkutan. Nasabah investor adalah nasabah yang menempatkan dananya
di Bank syariah dan/atau UUS dalam bentuk investasi berdasarkan akad antara
Bank syariah atau UUS dan nasabah bersangkutan
[4] Trisadini
Prasastinah Usanti dan A.Shomad, “Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Bank
Syariah”, Laporan Penelitian,
Fakultas Hukum Unair, 2008, h. 16.
[7] Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 Tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 Tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah bahwa yang dimaksud dengan Aktiva Produktif adalah penanaman dana Bank
baik dalam rupiah maupun valuta asing untuk memperoleh penghasilan, dalam
bentuk pembiayaan, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal,
penyertaan modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening
administratif, Sertifikat Wadiah Bank Indonesia serta bentuk penyediaan dana
lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.
[8]Berdasarkan
SEBI No.13/18/DPbS tanggal 30 Meo 2011 yang dimaksud dengan Penjadwalan kembali
(rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau
jangka waktunya, tidak termasuk perpanjangan atas pembiayaan mudharabah atau
musyarakah yang memenuhi kualitas lancar dan telah jatuh tempo serta
bukan disebabkan nasabah mengalami penurunan kemampuan membayar.
[9] Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal BUS
atau UUS, antara lain berupa pembelian saham dan/atau konversi Pembiayaan
menjadi saham dalam perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan penyaluran
dana dan/atau piutang dalam jangka waktu tertentu sebagaimanadimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
[10]
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda
yang Berkaitan dengan Tanah.
[12] Semua fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia sebelum tahun 2008 selalu mencantumkan penyelesaiannya lewat Badan Arbitrasi Syariah, akan tetapi sejak tahun 2008 dalam fatwa dicantumkan :
“ Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syariah atau Pengadilan Agama setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
Tidak ada komentar
Posting Komentar