HAK PAKAI ATAS TANAH: REGULASI
DAN PERKEMBANGAN
Urip
Santoso
ABSTRAK
Hak Pakai terjadi pada tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah Hak
Milik. Sebagai tanda bukti Hak Pakai atas tanah Negara dan tanah Hak
Pengelolaan diterbitkan sertipikat. Hak Pakai ada yang diberikan untuk jangka
waktu tertentu dan ada yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan
selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Hak Pakai yang bersifat
privat dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dan dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Kata Kunci : Hak Pakai, penguasaan, beralih, dialihkan, pembebanan hak.
ABSTRACT
Land use right can be became for land government, land right of management,
and land of property right. For that must establish sertificate. There are two
land use right, for limitation time and unlimitation. Land use right can move
and can be movement for another party, and can be debt guarantee by guarantee
right.
Keywords : Land use right, move, can be move, guarantee right.
Pendahuluan
Tanggal 24 September 1960 merupakan
tanggal yang penting dalam pembentukan Hukum Pertanahan Nasional, sebab pada
tanggal ini disahkan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA). UUPA diundangkan dalam LNRI Tahun 1960 No. 104 – Penjelasannya
dimuat dalam TLNRI No. 2043. UUPA melaksanakan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang
Dasar 1945 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu : ”Atas
dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
UUPA memuat ketentuan-ketentuan pokok
tentang Hukum Pertanahan Nasional, sehingga masih memerlukan penjabaran lebih
lanjut yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. UUPA mengakhiri
dualisme hukum dalam Hukum Pertanahan dan diciptakan Hukum Pertanahan yang
tunggal (unifikasi hukum) yang didasarkan pada Hukum Adat. Dengan UUPA
diharapkan dapat terwujud jaminan kepastian hukum bagi hak-hak rakyat Indonesia
atas tanah.
Boedi Harsono menyatakan bahwa dengan
berlakunya UUPA terjadilah perubahan yang bersifat mendasar atau fundamental
pada Hukum Agraria di Indonesia terutama Hukum Pertanahan.[1]
Dengan diundangkan UUPA, terjadi perombakan Hukum Agraria di Indonesia, yaitu
tidak berlakunya lagi Hukum Agraria Kolonial melalui pencabutan peraturan dan
keputusan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda, dan sekaligus pembangunan
Hukum Agraria Nasional.
Pasal 4 ayat (1) UUPA menjadi dasar
hukum bagi lahirnya hak-hak atas tanah yang bersumber dari hak menguasai negara
atas tanah, yaitu : ”Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Hak-hak
atas tanah ini dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh perseorangan baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain dari warga negara Indonesia
maupun orang asing yang berkedukan di Indonesia, badan hukum privat dan badan
hukum publik, dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia.
Hak-hak atas tanah yang dimaksudkan
dalam Pasal 4 ayat (1) dijabarkan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak sewa;
f. hak membuka tanah;
g. hak memungut hasil hutan;
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak
tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang, serta hak-hak yang
sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.
Macam-macam hak atas tanah yang
bersifat sementara disebutkan dalam Pasal 53 UUPA, yaitu :
a. hak gadai;
b. hak usaha bagi hasil;
c. hak menumpang;
d. hak sewa tanah pertanian.
Sri Hajati menyatakan bahwa macam-macam
hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA dan Pasal 53 UUPA
dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :[2]
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap.
Macam hak atas tanahnya adalah Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Untuk Bangunan,
Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan
Undang-undang.
Macam hak atas tanah ini belum ada.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara.
Macam hak atas tanah adalah Hak Gadai,
Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Sistem dalam UUPA menentukan macam hak
atas tanah bersifat terbuka, artinya UUPA masih membuka peluang adanya
penambahan macam hak atas tanah baru selain yang ditentukan dalam Pasal 16 ayat
(1) UUPA. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 16 ayat ( 1 ) huruf h UUPA yang
dinyatakan dalam hak-hak lain yang akan ditetapkan dengan Undang-undang. Macam
hak atas tanah yang bersifat tetap sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 ayat (
1 ) huruf a sampai dengan huruf g UUPA ditentukan secara limitatif. Demikian
pula dengan hak atas tanah yang bersifat sementara sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 53 UUPA ditentukan secara limitatif. Namun demikian, dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf h UUPA diberikan peluang akan lahir hak atas tanah yang akan
ditetapkan dengan Undang-undang.
Berkaitan dengan lahirnya hak atas
tanah baru, Eman Ramelan menyatakan bahwa pembentuk UUPA menyadari bahwa dalam
perkembangannya nanti akan sangat dimungkinkan timbulnya hak atas tanah yang
baru sebagai konsekuensi dari adanya perkembangan masyarakat, hanya saja
pengaturannya harus dalam bentuk Undang-undang.[3]
Hak atas tanah adalah hak yang memberi
wewenang kepada pemegang haknya untuk mempergunakan dan atau mengambil manfaat
dari tanah yang dihakinya. Perkataan ” mempergunakan ” mengandung pengertian
bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan (non
pertanian), misalnya rumah tempat tinggal, rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan),
kantor, pabrik, gudang,
pasar/plaza/mall, rumah sakit/pusat kesehatan masyarakat, toko, hotel, sekolah.
Sedangkan perkataan ”mengambil manfaat” mengandung
pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bukan
mendirikan bangunan, misalnya untuk kepentingan pertanian, peternakan,
perikanan, dan perkebunan.
Salah satu hak atas tanah yang
disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, adalah Hak Pakai. UUPA hanya memuat 3
(tiga) pasal yang mengatur tentang Hak Pakai, yaitu Pasal 41 sampai dangan
Pasal 43 UUPA. Ketentuan-ketentuan tentang Hak Pakai yang diatur dalam UUPA
hanyalah pokok-pokoknya saja, sehingga masih perlu diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundangan. Hal ini diperintahkan oleh Pasal 50 ayat (2) UUPA, yaitu
: ”Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai, dan Hak Sewa Untuk Bangunan diatur dengan peraturan perundangan”.
Peraturan perundangan yang dimaksudkan dalam Pasal 50 ayat (2) UUPA, adalah
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
Sejak berlakunya UUPA hingga saat ini,
pengaturan Hak Pakai mengalami perkembangan. Baik dari aspek penguasaan hak,
peralihan hak, dan Hak Pakai sebagai obyek pembebanan hak. Tulisan ini mengkaji
perkembangan pengaturan penguasaan, peralihan, dan pembebanan Hak Pakai.
Permasalahan
1. Apa ruang lingkup penguasaan Hak Pakai atas tanah?
2. Apakah Hak Pakai atas tanah dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain?
3. Apakah Hak Pakai atas tanah dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan?
Pembahasan
Penguasaan
Hak Pakai Atas Tanah.
Ketentuan mengenai Hak Pakai
disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUPA. Secara khusus diatur dalam
Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA. Pengaturan lebih lanjut mengenai Hak
Pakai diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, yang secara khusus
diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 58. Yang dimaksudkan dengan Hak Pakai
menurut Pasal 41 ayat (1) UUPA, adalah: ”Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan
dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau
tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan
dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau
dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini”.
Dari ketentuan Pasal 41 UUPA dapat
dijelaskan bahwa ciri-ciri Hak Pakai, adalah :
a. Wewenang pemegang Hak Pakai terhadap tanahnya
adalah mempergunakan tanah untuk kepentingan mendirikan bangunan, yaitu dapat
dilihat dari kata ”menggunakan tanah”, juga dipergunakan untuk kepentingan
pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan, yaitu dapat dilihat dari
perkataan ”memungut hasil dari tanah”.
b. Asal tanah Hak Pakai adalah di samping terjadi
pada tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, juga dapat terjadi pada tanah
Hak Milik;
c. Cara terjadinya Hak Pakai adalah untuk Hak Pakai
yang terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh negara melalui keputusan
pemberian hak oleh pejabat yang berwenang, sedangkan Hak Pakai yang terjadi
pada tanah Hak Milik terjadi melalui perjanjian penggunaan tanah antara pemilik
tanah dengan pemegang Hak Pakai.
d. Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu
tertentu, atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Pasal 42 UUPA menetapkan bahwa yang
yang dapat mempunyai Hak Pakai atas tanah, adalah :
a. warga Negara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia.
Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 40
Tahun 1996 memperluas pihak yang dapat mempunyai Hak Pakai atas tanah, yaitu :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia;
c. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan
Pemerintah Daerah;
d. Badan-badan keagamaan dan badan sosial;
e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia;
g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan
internasional.
Khusus Hak Pakai yang dapat dipunyai
oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia untuk kepentingan rumah tempat
tinggal atau hunian diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan
di Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 dilaksanakan oleh
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun
1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang
Asing.
Dari aspek asal tanah Hak Pakai, ada
perbedaan antara UUPA dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Pasal 41
ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa Hak Pakai dapat berasal dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara dan Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Milik.
Pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 memperluas asal tanah Hak
Pakai, yaitu Hak Pakai atas tanah Negara, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan,
dan Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Berdasarkan asal tanahnya, terjadinya
Hak Pakai dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Hak Pakai atas tanah Negara.
Hak Pakai ini diberikan dengan
keputusan pemberian hak oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia (BPNRI) atau pejabat BPNRI yang diberi pelimpahan kewenangan
memberikan hak atas tanah. Hak Pakai ini terjadi sejak Surat Keputusan Pemberian
Hak Pakai didaftarkan oleh pemohon Hak Pakai kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan
untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti
haknya.
Prosedur perolehan Hak Pakai melalui pemberian
hak diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan.
b. Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan
Hak Pakai ini diberikan dengan
keputusan pemberian hak oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang
wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan berdasarkan usul
pemegang Hak Pengelolaan setelah dibuatkan Perjanjian Penggunaan Tanah antara
pemegang Hak Pengelolaan dengan calon pemegang Hak Pakai. Hak Pakai ini terjadi
sejak Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai didaftar oleh pemohon Hak Pakai
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi
letak tanah yang bersangkutan untuk dicatat dalam Buku tanah dan diterbitkan
sertipikat sebagai tanda bukti haknya.
c. Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Hak Pakai ini terjadi dengan pemberian
tanah oleh pemilik tanah dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT). Akta PPAT ini wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan untuk dicatat
dalam Buku Tanah. Hak Pakai ini tidak diterbitkan sertipikat sebagai tanda
bukti haknya.
Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak
menentukan secara tegas jangka waktu penguasaan Hak Pakai. Pasal ini hanya
menentukan bahwa Hak Pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu, atau
selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Dalam Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996 secara tegas ditentukan jangka waktu Hak Pakai
berdasarkan asal tanahnya, yaitu :
a. Hak Pakai atas tanah Negara.
Hak Pakai ini berjangka waktu untuk
pertam kalinya paling lama 25 (duapuluh lima) tahun, dapat diperpanjang untuk
jangka waktu paling lama 20 (duapuluh) tahun, dan dapat diperbaharui haknya
untuk jangka waktu paling lama 25 (duapuluh lima) tahun.
Khusus Hak Pakai yang dipunyai oleh
Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan
keagaman dan badan sosial, perwakilan negara asing dan perwakilan badan
internasional diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Permohonan perpanjangan jangka waktu
atau pembaharuan Hak Pakai diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu Hak Pakai tersebut. Perpanjangan jangka waktu atau
pembaharuan Hak Pakai dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
b. Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan
Hak Pakai ini berjangka waktu untuk
pertama kalinya paling lama 25 (duapuluh lima) tahun, dapat diperpanjang untuk
jangka waktu paling lama 20 (duapuluh) tahun, dapat diperbaharui haknya untuk
jangka waktu paling lama 25 (duapuluh lima) tahun.
Perpanjangan jangka waktu atau
pembaharuan Hak Pakai ini dapat dilakukan atas usul pemegang Hak Pengelolaan.
c. Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Hak Pakai ini diberikan untuk jangka
waktu paling lama 25 (duapuluh lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun,
atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai dapat
diperbaharui haknya dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan untuk
dicatat dalam Buku Tanah.
Untuk kepentingan penanaman modal,
permintaan perpanjangan jangka waktu, dan pembaharuan Hak Pakai dapat dilakukan
sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan pada saat pertama
kali mengajukan permohonan Hak Pakai. Persetujuan untuk pemberian perpanjangan
jangka waktu dan pembaharuan Hak Pakai, serta perincian uang pemasukan
dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Pakai.
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
menetapkan kewajiban-kewajiban pemegang Hak Pakai terhadap tanahnya, yaitu :
a. membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara
pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian
penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas
tanah Hak Milik;
b. menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau
perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan, atau perjanjian pemberian Hak
Pakai atas tanah Hak Milik;
c. memelihara tanah dengan baik tanah dan bangunan
yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
d. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan
Hak Pakai kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan, atau pemilik tanah sesudah
Hak Pakai tersebut hapus;
e. menyerahkan sertipikat Hak Pakai yang telah hapus
kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat; dan
f. memberikan jalan keluar atau jalan air atau
kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah Hak
Pakai.
Hak-hak pemegang Hak Pakai terhadap
tanahnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, yaitu :
a. menguasai dan mempergunakan tanah Hak Pakai selama
jangka waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya;
b. memindahkan Hak Pakai kepada pihak lain;
c. membebaninya dengan Hak Tanggungan;
d. menguasai dan menggunakan tanah untuk jangka waktu
yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Peralihan
Hak Pakai Atas Tanah.
Ada 2 bentuk peralihan hak atas tanah
yang diatur dalam UUPA, yaitu :
1. Beralih
Beralih artinya berpindahnya hak atas
tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain disebabkan oleh suatu peristiwa
hukum. Dengan meninggalnya pemegang hak atas tanah, maka hak atas tanah secara
hukum berpindah kepada ahli warisnya sepanjang ahli warisnya memenuhi syarat
sebagai subyek hak atas tanah yang diwariskan.
2. Dialihkan/pemindahan hak.
Dialihkan/pemindahan hak artinya
berpindahnyahak atas tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain disebabkan
oleh suatu perbuatan hukum. Contoh perbuatan hukum, yaitu jual beli, tukar
menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan, lelang.
Pasal 43 UUPA mengatur peralihan Hak
Pakai berdasarkan asal tanah Hak Pakai, yaitu :
a. Hak Pakai atas tanah negara.
Hak Pakai ini hanya dapat dialihkan
kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.
b. Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Hak Pakai ini hanya dapat dialihkan
kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang
bersangkutan.
Peralihan Hak Pakai yang diatur dalam
UUPA hanya sebatas pada bentuk dialihkan, sedangkan peralihan Hak Pakai yang
berbentuk beralih tidak diatur. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan dalam
pelaksanaan peralihan Hak Pakai atas tanah negara maupun atas tanah Hak Milik.
Untuk mengatasi permasalahan peralihan
Hak Pakai ini, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 lebih rinci mengatur
peralihan Hak Pakai. Berdasarkan asal tanahnya, peralihan Hak Pakai dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Hak Pakai atas tanah Negara.
Hanya Hak Pakai atas tanah Negara yang
berjangka waktu tertentu dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain,
sedangkan Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan
selama tanahnya dipergunakan unuk keperluan tertentu tidak dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.
Peralihan Hak Pakai atas tanah Negara
harus dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang, yaitu Badan Pertanahan
Nasional (BPN).
b. Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan.
Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Peralihan Hak Pakai atas tanah Hak
Pengelolaan harus dilakukan dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
pemegang Hak Pengelolaan.
c. Hak Pakai atas tanah Hak Milik
Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya
dapat dialihkan kepada pihak lain apabila hal tersebut dimungkinkan dalam
perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Milik perseorangan.
Peralihan Hak Pakai atas tanah Hak
Milik harus dilakukan dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemilik
tanah yang bersangkutan.
Hak Pakai atas tanah Negara yang
diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tertentu, yang diberikan kepada Departemen, Lembaga Pemerintah
Non Departemen, Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing, perwakilan badan
internasional, dan badan-badan keagamaan dan sosial tidak dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.
Hak Pakai yang dipunyai oleh badan
hukum publik ada right to use, yaitu
mempergunakannya untuk waktu yang tidak terbatas selama pelaksanaan tugas,
namun tidak ada right of dispossal,
yang dimaksud disini adalah tidak dapat dialihkan dalam bentuk apapun kepada
pihak ketiga dan juga tidak dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan.[4]
Pihak lain yang membutuhkan Hak Pakai atas tanah ini dapat menempuh melalui
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah oleh pemegang Hak Pakai dengan
pemberian ganti kerugian oleh pihak yang memerlukan tanah tersebut kepada
pemegang Hak Pakai. Dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah ini, tanah
kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara untuk kemudian dimohon
dengan hak atas tanah yang baru oleh pihak yang memerlukan Hak Pakai tersebut.
Prosedur beralih dan dialihkan Hak
Pakai atas tanah dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Beralih
Peralihan Hak Pakai atas tanah yang
berbentuk beralih karena pewarisan harus dibuktikan dengan adanya surat wasiat
atau surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang, surat keterangan kematian pemegang Hak Pakai yang dibuat oleh
pejabat yang berwenang, bukti identitas para ahli waris, sertipikat Hak Pakai
yang bersangkutan.
Prosedur peralihan Hak Pakai atas
tanah karena pewarisan diatur dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun
1996 jo Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah jo Pasal 111 dan Pasal 112 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun1997 tentang Pendaftaran Tanah.
b. Dialihkan.
Peralihan Hak Pakai atas tanah yang
berbentuk dialihkan karena jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan
(pemasukan) dalam modal perusahaan harus dibuktikan dengan akta yang dibuat
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT, kecuali lelang harus dibuktikan dengan
Berita Acara Lelang atau Risalah Lelang yang dibuat oleh pejabat dari Kantor
Lelang.
Prosedur peralihan Hak Pakai atas
tanah karena jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam
modal perusahaan diatur dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
jo Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 97 sampai
dengan Pasal 106 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 3 Tahun 1997.
Prosedur peralihan Hak Pakai atas
tanah karena lelang diatur dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun
1996 jo Pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 107 sampai
dengan Pasal 110 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 3 Tahun 1997.
Peralihan Hak Pakai atas tanah
yang berbentuk beralih dan dialihkan
wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya
meliputi letak tanah yang bersangkutan wajib dicatat dalam Buku Tanah dan
dilakukan perubahan nama pemegang hak dalam sertipikat Hak Pakai dari pemegang
Hak Pakai semula menjadi pemegang Hak Pakai yang baru.
Pembebanan
Hak Pakai Atas Tanah.
Dari macam-macam hak atas tanah yang
disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 53 UUPA, UUPA menetapkan bahwa hak
atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan
adalah Hak Milik (Pasal 25), Hak Guna Usaha (Pasal 33), dan Hak Guna Bangunan
(Pasal 39). Hak Pakai atas tanah tidak termasuk hak atas tanah yang dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Dalam perkembangannya, Hak Pakai atas
tanah negara dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 13 Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun,
yaitu: ”Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 12 hak milik atas satuan rumah
susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dapat dijadikan jaminan utang
dengan :
a. dibebani hipotik, jika tanahnya tanah hak milik
atau hak guna bangunan;
b. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai
atas tanah Negara.
Hak Pakai yang dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani fidusia dalam Undang-undang No. 16 Tahun 1985 hanya
terbatas pada Hak Pakai atas tanah Negara yang di atasnya dibangun rumah susun.
Pada rumah susun ada bagian yang dapat dimiliki secara perseorangan dan
terpisah yang disebut hak milik atas satuan rumah susun, dan ada bagian pada
rumah susun yang dimiliki secara bersama-sama oleh seluruh pemilik satuan rumah
susun, berupa bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Setelah 36 tahun berlakunya
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), disahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah, atau dikenal dengan sebutan Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT).
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 merupakan pelaksanan Pasal 51 UUPA, yaitu : ”Hak
Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna
bangunan tersebut dalam Pasal 25, Pasal 33, dan Pasal 39 diatur dengan
Undang-undang”. Dengan disahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996, maka
terwujudlah unifikasi hukum, khususnya dalam bidang hak jaminan atas tanah.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang
No. 4 Tahun 1996, yang dimaksud dengan : ”Hak Tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau disebut Hak Tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”.
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang
No. 4 Tahun 1996 ditegaskan bahwa hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan harus memenuhi syarat-syarat,
yaitu :
1. Hak atas tanah tersebut menurut ketentuan yang
berlaku wajib didaftarkan;
2. Hak atas tanah tersebut menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan.
Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya
apabila salah satu syarat tidak dipenuhi, maka hak atas tanah tersebut tidak
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani HakTanggungan.
Syarat-syarat hak atas tanah yang
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan dinyatakan oleh I.
Soegiarto, yaitu :
1. Dapat dinilai dengan uang (karena utang yang
dijamin berupa uang);
2. Merupakan hak yang telah didaftarkan (daftar umum
pendaftaran tanah sebagai syarat untuk memenuhi asas publisitas);
3. Bersifat dapat dipindahtangankan (dalam hal
debitor cidera janji benda tersebut dapat dijual di muka umum); dan
4. Memerlukan penunjukan dengan peraturan
perundang-undangan[5]
Sependapat dengan I. Soegiarto, secara
lebih singkat Boedi Harsono menyatakan bahwa untuk dapat dibebani hak jaminan
atas tanah, obyek yang bersangkutan harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu :
1. Dapat dinilai dengan uang;
2. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum;
3. Mempunyai sifat yang dapat dipindahtangankan;
4. Memerlukan penunjukan oleh Undang-undang[6]
Sebelum disahkan Undang-undang No. 4
Tahun 1996, Hak Pakai atas tanah sudah didaftar dan dapat dipindahtangankan,
namun hak atas tanah ini tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
Hak Tanggungan disebabkan UUPA tidak menunjuknya. Pendaftaran Hak Pakai atas
tanah di samping diatur dalam Pasal 41 UUPA juga ditegaskan dalam Peraturan
Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan.
Mengingat Hak Pakai atas tanah
didaftar dan dapat dipindahtangankan, maka pembentuk UUPA menampungnya menjadi
salah satu obyek Hak Tanggungan. Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menetapkan
syarat, yaitu Hak Pakai yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan adalah Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang
berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Subyek Hak Pakai atas tanah Negara
yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan, sehingga dapat dibebani Hak Tanggungan, yaitu :
a. Hak Pakai atas tanah Negara yang dipunyai oleh
perseorangan, baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang
berkedudukan di Indonesia.
b. Hak Pakai atas tanah Negara yang dipunyai oleh
badan hukum privat, baik badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia maupun badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia.
Subyek Hak Pakai atas tanah Negara
yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya tidak
dapat dipindahtangankan, sehingga tidak dapat dibebani Hak Tanggungan, yaitu
Hak Pakai atas tanah Negara yang dipunyai oleh :
a. Departemen.
b. Lembaga Pemerintah Non Departemen.
c. Lembaga-lembaga Negara.
d. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
e. Perwakilan negara asing.
f. Perwakilan badan internasional.
g. Badan-badan keagamaan dan sosial.
Hak Pakai yang dipunyai oleh badan
hukum publik ada right to use, yaitu
mempergunakannya untuk waktu yang tidak terbatas selama pelaksanaan tugas,
namun tidak ada right of dipossal,
yang dimaksud disini adalah tidak dapat dialihkan dalam bentuk apapun kepada
pihak ketiga dan juga tidak dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan.[7]
Di luar Undang-undang No. 4 Tahun
1996, yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 ditetapkan bahwa Hak
Pakai atas tanah Negara dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Kalau dilihat dari
syarat-syarat hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan menurut
Undang-undang No. 4 Tahun 1996, maka Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan
merupakan hak atas tanah yang wajib didaftar dan dapat dipindahtangankan dengan
persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan. Atas dasar pemenuhan syarat-syarat
Hak Tanggungan, maka Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan juga dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Prosedur pembebanan Hak Pakai atas
tanah dengan Hak Tanggungan diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 jo
Pasal 53 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 jo Pasal 44 Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 114 sampai dengan Pasal 119 Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997.
Adapun tahapan-tahapan pembebanan Hak Pakai atas tanah dengan Hak Tanggungan
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Adanya perjanjian utang piutang sebagai perjanjian
pokoknya.
Perjanjian utang piutang antara
pemegang Hak Pakai atas tanah sebagai debitor dengan pihak lain (bank) sebagai
kreditor, dapat dibuat dalam bentuk akta autentik, yaitu dibuat oleh Notaris,
atau dibuat dengan akta di bawah tangan, yaitu akta yang dibuat sendiri oleh
debitor dan kreditor.
Perjanjian utang piutang merupakan
perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang
piutang antara pemegang Hak Pakai atas tanah sebagai debitor dengan pihak lain
(bank) sebagai kreditor.
2. Adanya pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
sebagai perjanjian ikutan (tambahan).
Untuk memberikan jaminan utang debitor
kepada kreditor, debitor menyerahkan Hak Pakai atas tanah sebagai jaminan utang
kepada kreditor.
Penyerahan jaminan ini bersifat accessoir, artinya sebagai perjanjian ikutan
atau perjanjian tambahan dari perjanjian pokok. Perjanjian accessoir merupakan perjanjian ikutan yang menimbulkan hubungan
hukum penjaminan atas perjanjian pokok.
Keberadaan, berakhir, dan hapusnya Hak
Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya.[8]
Penyerahan jaminan oleh pemegang Hak
Pakai atas tanah kepada bank sebagai pemberian Hak Tanggungan harus dilakukan
dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).
3. Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Dalam waktu selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT
wajib mendaftarkan akta tersebut kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang
wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota membuatkan Buku Tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam Buku
Tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan
tersebut pada Sertipikat Hak Pakai atas tanah yang bersangkutan. Pendaftaran
Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut merupakan syarat mutlak untuk lahirnya
Hak Tanggungan dan mengikatnya hak tersebut terhadap pihak ketiga karena telah
memenuhi asas publisitas.
Sebagai tanda bukti adanya Hak
Tanggungan, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya
meliputi letak yang bersangkutan menerbitkan Sertipikat Hak Tanggungan, yang di
dalamnya memuat irah-irah dengan kata-kata ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”.
PPAT menyerahkan Sertipikat Hak
Tanggungan tersebut kepada pemegang Hak Tanggungan, yaitu bank.
Kesimpulan
Hak Pakai atas tanah negara terjadi
melalui keputusan pemberian hak oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan terjadi melalui keputusan
pemberian hak oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atas usul pemegang
Hak Pengelolaan, dan Hak Pakai atas tanah Hak Milik terjadi melalui pemberian
Hak Pakai oleh pemilik tanah dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).
Hak Pakai atas tanah Negara dan Hak
Pakai atas tanah Hak Pengelolaan diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti
haknya oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sedangkan Hak Pakai atas tanah
Hak Milik hanya dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
Hak Pakai atas tanah Negara dan Hak
Pakai atas tanah Hak Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu tertentu yang
dapat diperpanjang jangka waktunya dan diperbaharui haknya. Hak Pakai atas
tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu tertentu yang tidak dapat
diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi dapat diperbaharui haknya atas dasar
kesepakatan kedua belah pihak. Hak Pakai atas tanah yang bersifat publik
diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tertentu.
Hak Pakai atas tanah yang bersifat
privat dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain maupun dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Sebaliknya, Hak Pakai atas tanah
yang bersifat publik tidak dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain maupun
tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Hak Pakai atas tanah yang dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Pakai atas
tanah Negara dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan yang menurut ketentuannya
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
DAFTAR
PUSTAKA
Harsono, Boedi, 10 April 1996,
”Segi-segi Yuridis Undang-undang Hak Tanggungan”, Makalah Seminar, Fakultas Hukum Universitas Trisakti Bekerjasama
Dengan Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional dan BPP Ikatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, Jakarta.
-------------------, 2007, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Hajati, Sri, 5 Maret 2005,
“Restrukturisasi Hak Atas Tanah Dalam Rangka Pembaruan Hukum Agraria Nasional”,
Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas
Airlangga.
Parlindungan, A.P. Maret – April
1991, ”Beberapa Konsep Tentang Hak-hak Atas Tanah”, Majalah CSIS, Tahun XX Nomor 2, Jakarta.
Ramelan, Eman, Mei – Juni 2000, ”Hak
Pengelolaan Setelah Berlakunya Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun
1999”, Majalah YURIDIKA, Vol. 15 No.
3, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.
Soegiarto, I., 1997, ”Hak Pakai Atas
Tanah Negara”, Jurnal Hukum Bisnis,
Vol. I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta.
Sumardjono, Maria S.W., 1997,
”Prinsip Dasar dan Isyu di Seputar UUHT”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 1,
Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta.
[1]Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, h. 1.
[2]Sri Hajati, 5 Maret 2005, “Restrukturisasi
Hak Atas Tanah Dalam Rangka Pembaruan Hukum Agraria Nasional”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas
Airlangga, h. 9.
[3]Eman Ramelan, Mei – Juni 2000, ”Hak
Pengelolaan Setelah Berlakunya Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun
1999”, Majalah YURIDIKA, Vol. 15 No.
3, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h. 194.
[4]A.P. Parlindungan, Maret
– April 1991, ”Beberapa Konsep Tentang Hak-hak Atas Tanah”, Majalah CSIS, Tahun XX Nomor 2, Jakarta,
h. 135.
[5]I Soegiarto, 1997, ”Hak
Pakai Atas Tanah Negara”, Jurnal Hukum
Bisnis, Vol. I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakart, h. 97.
[6]Boedi Harsono, 10 April
1996, ”Segi-segi Yuridis Undang-undang Hak Tanggungan”, Makalah Seminar, Fakultas Hukum Universitas Trisakti Bekerjasama
Dengan Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional dan BPP Ikatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, Jakarta, h. 7.
[7]A.P. Parlindungan, Op.cit., h. 135.
[8]Sumardjono, S.W., 1997, ”Prinsip Dasar dan
Isyu di Seputar UUHT”, Jurnal Hukum Bisnis,
Vol. 1, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, h. 38.
Untuk Anda yang Pemula Bermain Poker Online, Anapoker Ada Bagi-bagi FreeBet & FreeChips Bagi member Baru lho
BalasHapusDaftar Sebagai Member Baru Untuk Mendapatkan UserId & Passwoed rahasia anda, Gratis Tanpa Dipungut Biaya..
Dapatkan Bonus 10% + 5% Bonus Freechips Harian Setiap kali Deposit minimal 100rb [BERLAKU 1ID per-1Hari], Hanya di Situs Poker Terpercaya Anapoker
Untuk Info lebih lanjut, Contact Anapoker
Whatsapp : 0852 2255 5128
Line ID : agenS1288
Telegram : agenS128
Kunjungi Situs Games Online Uang Asli Terpercaya Lainnya :
link alternatif sbobet
sbobet alternatif
login sbobet
link sbobet
sabung ayam online
adu ayam
casino online
poker deposit pulsa
deposit pulsa poker
deposit pulsa
Hanya di Situs Poker Anapoker Yang memberikan Bonus Freechips di setiap TurnOvernya (TO)
BalasHapusTerus Bermain, Terus Dapat Bonus Freechipsnya, Hanya berlaku di ANAPOKER LHO
Contact Anapoker di :
Whatsapp : 0852 2255 5128
Line ID : agenS1288
Telegram : agenS128
Kunjungi Situs Games Online Uang Asli Terpercaya Lainnya :
link alternatif sbobet
sbobet alternatif
login sbobet
link sbobet
sabung ayam online
adu ayam
casino online
poker deposit pulsa
deposit pulsa poker
deposit pulsa
deposit pulsa
deposit pulsa