MENANGKAP HUKUM
DALAM KEUTUHAN ONTOLOGIKNYA:
SUATU
PENJELAJAHAN HISTORIS
Bernard L.
Tanya[1]
ABSTRAK
Memahami
hakikat ontologi hukum sebagai pergulatan manusia yang multi
faset-dimensi-logika semestinya dapat mengakhiri perbantahan yang tidak
produktif di kalangan penstudi hukumi. Kajian hukum butuh penglihatan yang
komprehensif, baik yang normatif, doktrinal, maupun yang lebih teleologis dan
kontekstual. Semua pendekatan (dengan plus-minusnya) bukanlah untuk dipilih.
Tapi untuk dimanfaatkan semuanya. Penglihatan yang baik, adalah penglihatan
yang sekaligus “normatif”, “doktrinal”, "teleologis", dan “kontekstual”.
Tugas dan tanggung-jawab ilmuan adalah
sedapat-dapatnya dengan segala kemampuan yang ada pada diri ilmuan
mengambil penglihatan komprehensif. Mungkin tidak sempurna, namun itu yang maksimal dapat yang lakukan.
Kata Kunci:
Hukum, ontologism, kontekstual
ABSTRACT
Understanding
the nature of the ontology of law as the human logic of multi-faceted fight
dimensions must end the disputes between the unproductive hukumi penstudi.
Review the laws need a global vision, both normative, doctrinal, and most
teleological and contextual. All the methods (the más-menos) must not be
selected. But to use them. A good vision is a vision, as well as
"normative", "doctrine", "teleological", and
"contextual". Duties and responsibilities of scientists are as capable
as with all the capabilities that exist in the auto - scientists have a
comprehensive vision. It may not be perfect, but it is the most you can do.
Keyword: law,
ontology, contextual
Prolog
Titik-tolak semua teorisasi hukum—pada dasarnya—berporos pada satu hal,
yaitu 'hubungan manusia dan hukum'. Semakin landasan suatu teori
bergeser ke faktor peraturan, maka
semakin ia menganggap hukum sebagai unit tertutup yang formal-legalistik. Sebaliknya,
semakin bergeser ke manusia, semakin
teori itu terbuka dan menyentuh mosaik sosial kemanusiaan.
Tipe yang pertama melahirkan doktrin-doktrin hukum seperti misalnya
legalisme (di zaman klasik), positivisme hukum atau Ideenjurisprudenz (abad ke-19), dan rechtsdogmatiek atau analytical
jurisprudence (era kontemporer). Sedangkan tipe yang kedua, melahirkan antara
lain teori tentang nomos dan keadilan
(zaman klasik), Frei Rechtslehre dan Historism (awal abad ke-20), Interessenjurisprudenz, Sociological Jurisprudence, dan Realistic Jurisprudence (abad ke 20), teori-teori
hukum kritis[2]
(critical legal theories) serta Hukum
Responsif dan Hukum Progresif (era kontemporer).
Hukum Itu, Poly-Ontologik
Ilmu Hukum, sering dipahami sekedar ilmu tentang peraturan (segi
formal-legalistik aturan). Dipahami sebatas
rechtsdogmatiek—sebuah ilmu praktis
yang normologik[3].
Konsepsi seperti ini memang tidak seluruhnya salah. Sesuai namanya, hukum
memang menyangkut peraturan. Tapi, identifikasi hukum sebagai soal
formal-legalistik aturan per se,
hanya salah satu riak pemikiran tentang
hukum[4]. Di
samping segi formal peraturan, orang masih berbicara tentang muatan nilai dari
peraturan itu, berikut roh dan summum
bonum-nya[5].
Sejak tahun 600 Sebelum Masehi hingga kini ini, konsepsi
ontologik hukum, memang tidaklah tunggal. Pada awal sekali, hukum dilihat
sebagai kekuatan. Hukum merupakan produk 'nafsu' orang kuat. Ini dikemukakan
oleh kaum filsuf generasi pertama seperti Anaximander. Kemudian Herakleitos (eksponen
kemudian dari generasi itu) melihat hukum sebagai bagian dari logos—semacam roh ilahi yang memandu
manusia pada hidup yang patut. Esensi hukum sebenarnya, soal kepatutan. Ya,
kepatutan yang dapat diterima akal sehat orang waras. Protagoras (wakil kaum
Sofis, sekitar tahun 500-an Sebelum Masehi), juga menyatakan yang sama. Meski
terjatuh pada pragmatisme, kaum Sofis masih tetap mengidealkan hukum itu
sebagai 'buah' logos (bukan produk
nafsu).
Trio filsuf Yunani Klasik
(Socrates, Plato, dan Aristoteles), menekankan aspek keadilan. Hakikat hukum
adalah keadilan. Hukum berfungsi melayani kebutuhan keadilan dalam masyarakat.
Hukum menunjuk pada suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita-cita tentang
hidup bersama, yakni keadilan. Isi kaidah hukum, harusnya adil. Tanpa keadilan, hukum hanya merupakan
kekerasan yang diformalkan. Hukum dirasakan penting ketika kita dihadapkan
pada ketidakadilan. Orang menuntut ke pengadilan, sebenarnya untuk meminta
keadilan. Jadi pengadilan, sebenarnya untuk keadilan
Maka Ius,
sebenarnya tidak sama dengan lege atau
lex. Lege menunjuk pada aturan-aturan hukum yang faktual ditetapkan,
tanpa mempersoalkan mutunya. Sedangkan Ius
menunjuk pada cita hukum yang harus tercermin dalam hukum sebagai hukum, yakni
keadilan. Karena itu, Ius tidak
selalu bisa ditemukan dalam segala aturan hukum (lege/lex). "Das Volk des
Rechts ist nicht das volk des Gesetzes" (Bangsa hukum, bukan bangsa UU),
demikian salah satu adagium Romawi.
Bagi Socrates, keadilan merupakan inti hukum[6].
Cara mengetahui keadilan adalah lewat theoria
(pengetahuan intuitif), berupa logos
yang sudah ada dalam diri manusia yang dianugerahkan oleh Alkhalik. Karena itu,
supaya adil, orang perlu refleksi diri. Kata Socrates, Gnooti Seauton! Kenalilah dirimu. Dengan mengenal diri (sebagai
pemilik logos) manusia dapat meraih kearifan
untuk membedakan mana yang ius dan
mana yang hanya sekedar lex. Plato
juga begitu. Bagi Plato, hakikat asasi dari hukum adalah dikaiosune (keadilan: keutamaan rasa tentang yang 'benar', 'baik',
dan 'pantes'). Aristoteles menghubungkan keadilan (sebagai hakikat hukum)
dengan kebahagiaan manusia (eudaimonia).
Mutu hukum ditentukan oleh kapasitasnya menghadirkan kebahagiaan bagi manusia
(materi dan jiwa).
Immanuel Kant mengaitkan hukum dengan imperatif
kategoris. Ada dua prinsip di sini. Pertama, hukum itu benar jika muatannya
dapat berlaku sebagai kepatutan yang bersifat universal”. Artinya, apa yang
menjadi muatan hukum itu “benar” apabila di manapun dan kapanpun adalah yang
seharusnya dilakukan oleh siapapun. Dan prinsip yang kedua, apa yang “benar”
adalah apabila hukum memperlakukan manusia, dalam setiap hal, sebagai tujuan,
dan bukan sekedar sebagai alat. Dua prinsip itulah yang dikenal dengan
imperatif kategoris (kategorisher
imperativ) Immanuel Kant. Menaati prinsip, berarti benar. Melanggar prinsip, berarti salah. Tidak ada kompromi. Untuk dapat digolongkan dalam imperatif
kategoris, suatu aturan harus sedemikian baiknya, sehingga siapapun tidak
merasa terusik, karena selain rasional, juga dirasa wajar atau patut oleh semua
orang normal. Bahkan bukan masalah, seandainya aturan itu diterapkan pada diri
kita sendiri.
Baru pada abad ke-19, hukum ditangkap sebagai unit
formal-legalistik. Austin dan Hans Kelsen tampil sebagai juru bicaranya. Inilah
era positivisme hukum. Legalisme klasik hidup kembali dengan
doktrin-doktrinnya. UU merupakan sistem aturan. Hakim, hanyalah mulut UU,
corong wet atau la bouche de la lois. Hakim hanya boleh menerapkan UU secara
mekanis. UU merupakan tempat satu-satunya bagi hakim (qui les juges suivent la lettre de la lois)[7]
Ini dikukuhkan oleh Positivisme Yuridis yang bertopang pada beberapa doktrin:
(1). Satu-satunya hukum yang
diterima sebagai hukum, adalah tata hukum positif. (2). Tata hukum itu nyata
dan berlaku, bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (contra Comte
dan Spencer), bukan pula karena hukum itu bersumber pada jiwa bangsa (contra von
Savigny), bukan pula karena cermin keadilan dan logos (contra Socrates Cs),
tetapi karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari institusi yang
berwenang. (3). Yang penting dalam mempelajari hukum adalah bentuk yuridisnya,
bukan mutu isinya. (4). Isi material hukum, merupakan bidang non-yuridis yang
dipelajari oleh disiplin ilmu lain, dan hanya bermanfaat dalam law making process. (5). Justifikasi
hukum ada di segi formal-legalistiknya, baik sebagai wujud perintah penguasa (versi
Austin) maupun derivasi Grundnorm (versi
Kelsen).
Selepas abad ke-19, hukum kembali dikaitkan lagi
dengan mosaik sosial dan kemanusiaan. Melalui Stammler yang Neo-Kantian dan
Radbruch yang Neo-Hegelian, hukum dikaitkan dengan humanisasi hidup manusia.
Melalui Marx, Weber, Holmes, Rawls dan
yang lainnya, hukum dikaitkan dengan upaya mewujudkan keadilan sosial. Hukum
merupakan bagian dari perjuangan mewujudkan keadilan sosial.
Oleh karena itu, muncul kehendak meninggalkan tradisi analitical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang hanya melihat ke
dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke
dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai
sistematis dan logis. Dunia di luar, seperti manusia, masyarakat, kesejahteraan,
yang ditepis oleh analitical
jurisprudence atau rechtsdogmatiek, dirangkul
kembali dalam pemikiran hukum. Di sinilah muncul gagasan Frei Rechtslehre, Interessenjurisprudenz,
Sociological Jurisprudence, Realistic Jurisprudence, Hukum Responsif[8], dan yang paling akhir adalah Hukum Progresif[9].
Kiranya jelas, rechtsdogmatiek
yang masih dianut kuat dalam dunia hukum di Indonesia, merupakan salah satu
tipe saja dari sekian ragam pemikiran tentang hukum sepanjang peradaban
manusia. Ia merupakan ciri pemikiran tipikal abad ke-19 di mana pengagungan
otonomi individu, rasionalisme-dualistis, dan nation state sedang berkibar[10]. Bahwa
'fosil' abad ke-19 itu masih kokoh-utuh diamini komunitas hukum dan akademikus
di negeri yang sedang membangun dan sedang menghadapi keadaan serba darurat
seperti Indonesia, memang diarasakan cukup mengganggu.
Soal Normativisme Hukum
Penglihatan yang formal-legalistik sering diidentikkan begitu saja dengan
sifat normatif dari hukum. Cara seperti ini, sebenarnya agak menyesatkan.
Penyamaan itu mungkin sekali akibat adanya pengandaian bahwa setiap aturan
hukum yang formal-legalistik itu selalu normatif sifatnya. Karena ilmu hukum
mengkaji aturan legal-formal, maka otomatis bersifat normatif (?). Tidak
selalu! Normatif tidaknya suatu aturan, bukan terutama ditentukan oleh sah
tidaknya aturan tersebut. Suatu aturan dikatakan bersifat normatif, jika dalam
dirinya terdapat semacam summum bonum
(keutamaan) yang secara akal sehat diterima sebagai sesuatu yang
mulia-baik-benar-patut, dan oleh karena itu setiap manusia yang waras merasa
memiliki kewajiban untuk menghormatinya.
Aturan dari seorang tiran Hitler yang mengijinkan pembasmian ras Yahudi
misalnya, tidak memiliki nilai normatif apapun—meski ia sah dan legal secara
yuridis. Meski perintah Hitler merupakan kewenangan tertinggi bagi Nazi Jerman,
dan cita-cita Hitler itu menyerupai Grundnorm
ala Kelsenian, namun ia tidak memiliki nilai normatif. Penolakan ini bukan
lantaran karena Hitler seorang yang kejam, tetapi semata-mata karena aturan
yang demikian tidak memiliki summum bonum
yang dapat diterima akal sehat orang waras.
Jadi, sifat normatif suatu aturan bukan ditentukan oleh
karena ia berasal dari perintah pihak yang berwenang dan berkuasa seperti
dipahami Austin. Bukan pula ditentukan oleh sah tidaknya aturan itu seperti
dipahami kaum legalis. Ia normatif, semata-mata karena keutamaan nilai yang
dikandungnya. Ini sudah dikatakan di atas sebagaimana tampak dalam pemikiran
para filsuf seperti Herakleitos sampai Kant. Bahkan Putusan MA Amerika tahun
1954 justru menempatkan normativitas hukum dalam konteks moral kesetaraan. Keputusan
tersebut merupakan sebuah usaha untuk merubah perilaku orang kulit putih
Amerika yang sebelumnya menaruh sikap prasangka pada orang-orang Negro.
Keputusan itu juga yang menjadi dasar bagi penerapan hak-hak orang Negro untuk
memilih, memperoleh pekerjaan, menikmati fasilitas-fasilitas umum, dan lain
sebagainya.
Oleh karena itu, penglihatan terhadap hukum secara normatif
mestinya diarahkan pada dimensi-dimensi normatif dalam aturan tersebut, bukan
melulu pada segi sah tidaknya aturan itu. Dengan mengarahkan pada segi normatif
di atas, kita bisa menempatkan suatu aturan dengan melihat aspek normatif yang
terkait dengan: Nomos (keteraturan), Kebajikan, Prinsip-prinsip keadilan
(berikut varian-variannya), Agama/religi, Moral, Etika, Demokrasi, Pengembangan
pribadi individu, Kepentingan umum (Rasionalisme Wolff, Realisme Amerika:
Cardozo dan Pound), Hak-hak dasar manusia (Tradisi Inggris), Penciptaan tatanan
masyarakat yang baik sehingga hak-hak dasar manusia terjamin (Marx), Usaha
menjamin keadilan (Kant, Stammler, Radbruch), Menjaga keamanan (Hobbes), Tingkat
evolusi kehidupan sosial (Comte dan Spencer), Jiwa bangsa (von Savigny), Hukum
alam (Pufendorf), dan lain sebagainya. Jadi sekali lagi, hukum tidak sekedar
soal aturan legal-formal.
Tidak Hanya Satu Jalan
Saya tidak tahu persis, dasar episteme dan mengapa
orang begitu terpikat pada rechtsdogmatiek/analyticaljurisprudence—sampai-sampai
dianggap harga mati bagi kajian hukum. Mungkin saja dirasa lebih 'secure'. Harus diakui, cara berpikir
dogmatis-legalistik, memang memberi beberapa keuntungan yang sangat real. Ia
memberi pegangan yang tegas dan jelas. Orang tidak perlu bingung tentang apa
yang benar dan apa yang salah, asal saja hukumnya jelas. Tapi justru dalam hal
yang terakhir inilah kita menghadapi kesulitan. Kehidupan manusia itu begitu
kompleks dan begitu dinamisnya, sehingga hampir mustahil mempunyai hukum yang
jelas bagi setiap kemungkinan. Perintah “Jangan berbohong”, misalnya.
Perintahnya sendiri, sangat jelas. Tapi bagaimana hukum yang jelas ini harus
diterapkan, adalah sesuatu yang jauh dari sederhana! Apakah itu berarti setiap
kebohongan adalah salah? Apakah itu berarti berbohong untuk melindungi nyawa
orang dari amukan massa yang salah sangka, adalah salah? Apakah berbohong untuk
kebaikan yang lebih besar adalah salah? Dan banyak pertanyaan lain lagi.
Setiap situasi itu, unik dan individual!
Demikian Fletcher[11]. Oleh karena itu, tidak ada hukum
atau pedoman yang sudah siap pakai. Kita harus kreatif dan bijaksana menentukan
langkah yang paling tepat untuk tiap situasi dan peristiwa. Mengajak sobat
akrab bersantai di pinggir jalan sambil minum kopi, bisa merupakan suatu
kesalahan besar, karena pada malam itu ia sedang belajar untuk ujian besok
pagi.
Bagaimanapun, harus diakui bahwa yang “benar” itu
belum tentu “baik”. Penerapan hukum secara kaku, tidak jarang justru berakibat
buruk. Konon, di sebuah tempat, terlihat seorang anak sedang mengerang
kesakitan karena terjatuh ke dalam liang karang yang berbahaya. Banyak orang
jatuh iba, tapi tak seorangpun berani menolongnya—meski mereka sebenarnya mampu
menyelamatkan si anak itu. Sebab, hukum yang berlaku di tempat itu melarang
siapapun selain petugas untuk masuk ke areal tersebut. Jalan satu-satunya
adalah memanggil petugas, dan membiarkan si anak terkapar tidak berdaya hingga
ajal menjemputnya.
Persoalan normatif dan moral yang paling teras di
sini, adalah: benarkah soal prosedur itu sedemikian tinggi nilainya
dibandingkan dengan nyawa si anak? Dapatkah itu diyakini sebagai primum et summum bonum yang coute que coute harus dipertahankan
secara mati-matian? Bahkan tak peduli apa saja akibatnya? Persoalannya akan
sama sekali berbeda jika kita sedikit mempertimbangkan pemikiran hukum yang
lebih teleologis dan kontekstual seperti Frei
Rechtslehre,Interessenjurisprudenz, Hukum Responsif, ataupun Hukum Progresif.
Bagi aliran-aliran ini, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari
kepentingan manusia. Mutu hukum, ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi
pada kesejahteraan manusia.
Aliran-aliran tersebut, memang mengandalkan
pemeriksaan yang cermat dan serius atas kepentingan-kepentingan yang
dipertaruhkan—dalam suatu kasus konkret—berikut konteksnya yang relevan.
Kemudian dengan menimbang bobot kepentingan yang dianggap lebih utama,
diambillah keputusan yang mendukung kepentingan yang lebih utama tersebut.
Sekalian aliran tersebut tegas-tegas menolak
pertimbangan yuridis yang legalistik yang dilakukan secara pasang-jarak dan in abstracto. Ia tidak memulai
pemeriksaan dari bangunan peraturan secara hitam-putih, melainkan dari konteks
dan kasus khusus di luar narasi tekstual aturan itu sendiri[12]. Sebab
keadilan tidak bisa secara langsung
ditemukan lewat proses logis-formal. Keadilan justru diperoleh lewat intuisi.
Karenanya, argumen-argumen logis-formal “dicari” sesudah keadilan ditemukan
untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut.
Alkisah, seorang ibu dan bayinya berada dalam satu
rombongan dengan puluhan orang lain, melewati suatu daerah yang amat berbahaya
oleh sebab ancaman orang-orang Indian Apache yang terkenal ganas. Persis di
daerah yang rawan itu, si bayi—yang kebetulan sedang sakit—mulai rewel dan mau
menangis keras. Sang ibupun menghadapi dilema. Membiarkan si bayi menangis,
berarti mengundang bahaya, dan seluruh rombangan terancam musnah. Tetapi
membekab mulutnya, bayi itu akan mati pengab kehilangan nafas. Manakah yang
harus dipilih si ibu? Menurut kisah, ibu itu memilih yang kedua. Dengan sangat
berat hati, ibu itu merelakan nyawa anaknya, demi keselamatan seluruh
rombongan. Salahkah tindakan ibu itu?
Bagi penganut legalisme, tindakan ibu itu tergolong
salah, tidak benar. Ia telah membunuh secara sengaja. Salah adalah salah,
titik. Tidak ada yang lebih besar atau lebih kecil. Tidak mungkin orang
dibenarkan hanya karena ia melakukan kejahatan yang lebih kecil. Bagaimana
menurut kita? Persoalan seperti dilakukan sang ibu itu, adalah persoalan
kenyataan hidup yang konkret. Ia tidak mungkin kita perdebatkan secara a priori
dan normatif sambil minum kopi dan makan kacang di pinggir jalan. Ia hanya
dapat dipahami melalui pengalaman, konteks, dan situasi unik yang dihadapi sang
ibu itu.
Pemahaman melalui pengalaman, konteks, dan situasi
unik, seperti yang dihadapi sang ibu itu merupakan pusat perhatian Frei Rechtslehre,Interessenjurisprudenz,
Hukum Responsif, ataupun Hukum Progresif. Bagi Frei Rechtslehre (yang mengutamakan epiekeia ketimbang rumusan aturan hitam putih), tindakan si ibu itu
merupakan langkah bijaksana—yang dalam etika dikenal sebagai “jahat tapi apa
boleh buat” (necessary evil). The greatest good for the greatest number,
demikian John Stuart Mill, sang filsuf Inggris yang kondang itu. Menurut Mill,
sebuah tindakan dapat dikatakan “baik”, apabila ia bertujuan dan berakibat
“membawa kebaikan yang paling besar bagi sebanyak mungkin orang”.
Demikian pula bagi Interessenjurisprudenz (yang mengutamakan 'timbangan antar kepentingan'),
maka tindakan tersebut merupakan pilihan yang cerdas. Ketika ibu itu memilih
yang jahat dari yang jahat, ia memilih yang kadar dan akibatnya lebih kecil (the lesser evil). Bagi Hukum Responsif
dan Hukum Progresif (yang mengandalkan akal sehat dan empaty), maka tindakan
tersebut merupakan keputusan yang memberi agape—kasih
kepada manusia yang penuh tepo saliro
dan tanpa pamrih. “Man is more than Constitutions”, demikian salah satu baris
dari sajak JR Lowell[13]. Rasanya kita setuju, bahwa hidup (human life) lebih berharga daripada
konstitusi/hukum.
Frei Rechtslehre, Interessenjurisprudenz, Hukum Responsif, ataupun Hukum Progresif, tidak sekali-kali menafikan peraturan. Meski
begitu, aliran-aliran tersebut tidak seperti legalisme dan rechtsdogmatiek yang mematok peraturan/doktrin sebagai harga mati.
Tidak juga seperti analytical
jurisprudence yang hanya berkutat pada proses logis-formal. Baik Frei Rechtslehre maupun Interessenjurisprudenz, Hukum Responsif,
dan Hukum Progresif, berusaha
menolak keadaan status quo—manakala
keadaan tersebut menimbulkan dekadensi, suasana korup, dan semangat merugikan
kepentingan manusia. Dalam aliran-aliran itu, melekat semangat “perlawanan” dan
“pemberontakan” untuk mengakhiri kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan
inovatif para pelaku hukum. Para pelaku hukum dapat melakukan perubahan dengan
melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus
menunggu perubahan peraturan (changing
the law). Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para
pelaku hukum yang progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan
pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap
kali terhadap suatu peraturan.
Untuk memperjelas duduk persoalan, ada baiknya saya kutip ulasan Profesor
Satjipto Rahardjo dalam salah satu tulisannya di Harian Kompas. Menurut beliau, dalam melihat hukum perlu dibedakan antara
peraturan (lex, wet, rule) dan kaidah
(ius, recht, norm). Apabila kita
membaca undang-undang, pertama-tama yang dibaca adalah peraturan, pasal-pasal.
Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan bisa menimbulkan
kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu menjadi terluputkan.
Kaidah itu adalah makna spiritual, roh. Sedangkan peraturan adalah penerjemahan
ke dalam kata-kata dan kalimat. Maka senantiasa ingat akan kaidah sebagai basis
spiritual dari peraturan, mengisyaratkan orang agar berhati-hati dan selalu
berpikir dua, tiga, empat kali dalam membaca hukum. Hukum mempunyai tujuan.
Itulah yang harus direfleksi lebih lanjut. Terkadang roh dan tujuan itu,
cenderung hilang di tengah rimba kalimat-kalimat, pasal-pasal.
Logika peraturan, hanya salah satu saja, dan yang paling sederhana dalam
membaca hukum. Karena merasa sudah sesuai dengan kalimat undang-undang, acapkali
orang menganggap bahwa ia telah membaca hukum secara benar. Diingatkan, masih
ada logika lain yang perlu dimasukkan manakala diinginkan untuk membaca hukum
dengan lebih baik, yaitu logika kepatutan sosial (social reasionableness) dan logika keadilan. Logika ini tidak bisa
segera ditemukan dengan membaca peraturan, tetapi dibutuhkan suatu perenungan
dan pemaknaan lebih dalam terhadap apa yang kita baca itu. Adilkah apabila kita
sibuk mengatur pendapatan keuangan anggota dewan, sedangkan rakyat di luar
mengalami busung lapar? Inilah yang disebut membaca kaidah.
Membaca kaidah, bukan peraturan, adalah pedoman yang amat baik dalam
penegakan hukum. Membaca kaidah adalah menyelam ke dalam roh dan tujuan hukum.
Ini membutuhkan perenungan. Meski kalimat-kalimat hitam-putih, yang namanya
peraturan, sudah dibaca, kita tetap merenungkan tentang apa makna lebih dalam
kalimat-kalimat itu. Di mana letak rohnya, keadilannya. Tindakan korupsi dengan
alasan 'sesuai prosedur', mungkin menjadi contoh yang baik. Orang berhenti pada
mengeja peraturan, tidak akan pernah terusik bahwa dia melakukan
ketidakpatutan. Seharusnya, tidak hanya prosedur yang dibaca, tetapi juga
bertanya lebih jauh, apakah makna prosedur ini bagi keuangan negara dan
kepentingan rakyat? Apakah yang ingin saya lakukan tidak bertentangan dengan
keinginan bangsa untuk memberantas korupsi? Apakah ini bukan bentuk korupsi?
Sudah benar dan adilkah bila saya berbuat begini? Dan seterusnya. Cara membaca
yang mendalam seperti ini, jelas tidak bertolak dari teks tapi dari konteks.
Kelompok aliran yang progresif, berangkat dari titik ini.
Semangat progresif itu semata-mata oleh karena Frei Rechtslehre,interessenjurisprudenz,
Hukum Responsif, dan Hukum Progresif, melihat hukum bukan sebagai tujuan pada
dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh
karena itu, kelompok aliran yang progresif itu meninggalkan tradisi analitical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang hanya melihat ke
dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke
dalam[14], sementara
dunia di luar, seperti manusia, masyarakat, kesejahteraan, ditepis ke luar[15].
Meminjam
istilah Nonet-Selznick, kelompok aliran yang progresif tersebut memiliki prioritas "the souvereignity of purpose"[16]. Itulah
sebabnya, aliran-aliran tersebut merupakan program dari sociological jurisprudence dan
realist jurisprudence/legal realism.
Dua aliran tersebut, memang dikerangkakan sebagai sebuah seruan untuk
kajian hukum yang lebih empirik—dengan fokus pada perluasan pengetahuan hukum
dan peran kebijakan dalam putusan hukum. Dalam sociological jurisprudence dan legal
realism, pemahaman orang mengenai hukum melampaui peraturan atau teks-teks
dokumen dan "looking towards"
proses, hasil, akibat, dan manfaat dari hukum itu.
Ini penting sekali diperhatikan (utamanya oleh para akademisi hukum), oleh
karena proses hukum tidak berhenti pada peraturan. Di samping peraturan, orang
masih berbicara tentang struktur dan budaya hukum—dua unit dari apa yang
disebut sistem hukum[17]. Cara
yang membabi-buta menempatkan aturan sebagai poros kajian ilmu hukum, secara
langsung maupun tidak telah mengabaikan sub-sistem lain dari hukum itu sendiri:
struktur hukum dan budaya hukum. Tidak perlu kecerdasan khusus untuk menangkap
keanehan ini. Akal sehat sederhana sekalipun dapat menggugat, mengapa dua hal
itu (yang memiliki atribut hukum) justru tidak menjadi materi kajian ilmu
hukum. Apakah memang ada perbedaan kualitas antara term hukum yang
melekat pada unit “aturan hukum” (legal substance) dengan yang melekat
pada unit “struktur hukum” (legal structure) dan unit “budaya hukum” (legal
culture)? Kalau ya, di mana letak perbedaannya? Lalu apa gunanya kata hukum
yang melekat pada dua sub-sistem itu? Ataukah pengabaian itu hanya lantaran
karena dua sub-sistem yang disebut terakhir terbilang obyek yang tidak berwujud
aturan formal—yang coute que coute—tidak
mendapat tempat dalam teori dan metode dogmatik?
Betapa mengenaskan jika itu jadi alasan. Terjadi kekeliruan logika yang
sangat fatal! Perlu diingat, bukan fakta untuk teori. Bukan pula fakta untuk
metode. Sebaliknya, dalam logika ilmiah, yang benar adalah: baik teori maupun
metode—keduanya—untuk fakta. Teori, bertolak dan tunduk pada fakta. Demikian
juga metode, ditentukan oleh masalah. Bukan sebaliknya. Persis di titik ini,
secara ilmiah, tidak ada cara lain bagi ilmuwan hukum untuk mengakomodasi dua
sub-sistem itu sebagai bagian dari obyek kajian ilmu hukum, kecuali melepas
fanatisme terhadap metode idamannya: metode dogmatik tersebut.
Ngotot pada kredo: “metode dogmatik sebagai metode khas ilmu hukum”, yang
menyebabkan teringkarinya dimensi struktur dan budaya hukum sebagai wilayah
garapan ilmu hukum, tidak saja melestarikan salah kaprah yang memilukan. Ia
juga mempertontonkan komedi yang tidak lucu. Ibarat orang yang hanya sibuk
mengelus-eluskan bagian tubuh tertentu, dan menyepelekan bahkan mengingkari
bagian tubuh yang lain. Bagian tubuh yang lain itu dilempar begitu saja,
ditelantarkan, seolah bukan miliknya lantaran tidak sama dengan bagian yang
dielus-eluskan. Tentu saja yang terjadi adalah sebuah tragedi. Sebuah “tragedi
mutilasi diri” yang patut disayangkan.
Epilog: Hukum Itu Juga, Antropologi
Kalau mau jujur, suatu aturan hukum tidak bisa dilepas dari aspek manusia.
Bahkan ia, sesungguhnya, berpusat pada manusia. Ya, oleh karena esensi dan
eksistensinya berpusat pada manusia (antroposentris). Dari, oleh, dan untuk
manusia. Ia berembrio dari kehendak, motif, ideal, dan keprihatinana manusia.
Ia dibuat oleh manusia, dan dirumuskan dalam bahasa manusia—yang hanya bisa
dipahami oleh manusia. Ia dijalankan oleh manusia dan untuk melayani
kepentingan manusia. Tidak lebih dan tidak kurang, itulah hukum. Bisa
dimengerti, gelar Strata-2 dalam pendidikan hukum menggunakan titel Magister
Humaniora (M.Hum)—yang memang menunjuk pada ihwal pergulatan manusiawi itu.
Dengan memahami hakikat ontologi hukum sebagai pergulatan manusia yang
multi faset-dimensi-logika ini, maka mestinya perbantahan yang tidak produktif
di kalangan penstudi hukum, bisa diakhiri. Kajian hukum butuh penglihatan yang
komprehensif, baik yang normatif, doktrinal, maupun yang lebih teleologis dan
kontekstual. Semua pendekatan (dengan plus-minusnya) bukanlah untuk kita pilih.
Tapi untuk kita manfaatkan semuanya. Penglihatan yang baik, adalah penglihatan yang
sekaligus “normatif”, “doktrinal”, "teleologis", dan “kontekstual”.
Tapi bagaimana mungkin? Memang, tidak selalu mungkin. Tugas dan tanggung-jawab
kita adalah: sedapat-dapatnya dengan segala kemampuan yang ada pada kita
mengambil penglihatan komprehensif. Mungkin tidak sempurna, namun itu yang maksimal dapat kita lakukan. Bahkan itu pula yang minimal harus kita
lakukan. Di sinilah bobot keilmuan kita.
-000-
DAFTAR
PUSTAKA
Dennis
Lloyd, The Idea of Law, Penguin
Books, Harmondworth, 1976.
G.J. Wiarda, Die
Typen van Rechtsvinding, Zwolle, W.E.J. Tjeenk Willink 2de Herziene Druk,
1980.
Gianfranco
Poggi, The Development of the Modern
State, A Sociological Introduction, London: Hurchinson & Co. Ltd.,
1978.
Harold J. Berman, The Origins of Western Legal Science, Harvard Law review, Vol. 90.
No. 5, 1977.
Joseph Fletcher, Situation
Ethics: The New Morality, Philadelphia: The Westminster Press, 1966.
Katharine
Barlett dan R. Kennedy, Feminist Legal
Theory: Readings in Law and Gender, USA: Westview Press, Inc, 1991.
L.B.
Curzon, Jurisprudence, Estover,
Plymouth: Macdonald & Evans, 1979.
Lawrence M. Friedman, The Legal
System: A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation,
1977.
Philippe
Nonet & Philip Selznick, Law and
Society in Transition: Toward Tanggapanive Law, London: Harper and Row
Publisher, 1978.
Satjipto Rahardjo, "Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu
Gagasan)", Makalah disampaikan pada acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu
Hukum Undip Semarang, tanggal 4 September 2004, hal. 3.
Valerine
J.L. Kriekhoff, “Autonomic Legislation
Sebagai Sumber Hukum Formal Dalam Penelitian Hukum”, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap
pada FH-UI Jakarta, 1997.
[1] Penulis adalah Dosen FH Universitas
Cendana Kupang
[2]Contoh
teori hukum kritis, khususnya dari perspektif feminis, lihat Katharine Barlett
dan R. Kennedy, Feminist Legal Theory:
Readings in Law and Gender, USA: Westview Press, Inc, 1991, hal. 1.
[3]Tentu konsep seperti itu berseberangan
dengan kriteria ilmu yang dikemukakan Harold Berman. Menurut Berman, keberadaan
ilmu harus memenuhi sejumlah kriteria. Pertama, kriteria metodologikal—yang
antara lain mensyaratkan agar pengetahuan tentang gejala, asas-asas dan
kebenaran diperoleh lewat kombinasi: observasi, hipotesis-verifikasi, dan
sejauh mungkin eksperimen. Kedua, kriteria nilai, yakni ilmu harus mengacu pada
premis nilai obyektif-ilmiah, pasang jarak, skeptis, dan terbuka terhadap
kebenaran baru (Harold J. Berman, The
Origins of Western Legal Science, Harvard Law review, Vol. 90. No. 5, 1977,
hal. 931).
[4]Kutub legalis, meminjam istilah Kriekhoff,
memang cenderung mengkaji dokumen hukum sebagai sumber penelitian hukum, yakni
apa yang dikenal sebagai legal document
atau legal sources. Namun seperti
J.C. Gray dan Bodenheimer, sumber penelitian hukum juga ada yang bersifat non legal materials atau non-formal
(Valerine J.L. Kriekhoff, “Autonomic
Legislation Sebagai Sumber Hukum Formal Dalam Penelitian Hukum”, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap
pada FH-UI Jakarta, 1997, hal. 6).
[5]Seperti dikatakan Curzon, ilmu hukum mencakup dan membicarakan segala
hal yang berhubungan dengan hukum. Begitu luasnya masalah yang dicakup oleh
ilmu ini, maka batas-batasnya tidak dapat ditentukan (L.B. Curzon, Jurisprudence, Estover, Plymouth:
Macdonald & Evans, 1979, hal. V).
[6] Cara pandang Socrates itu mencermin ciri
pemikiran Yunani masa itu yang selalu mengaitkan masalah negara dan hukum
dengan aspek moral, yakni keadilan (lih dalam Dennis Lloyd, The Idea of Law, Penguin Books,
Harmondworth, 1976, hal. 53.
[7]Lih G.J. Wiarda, Die Typen van Rechtsvinding, Zwolle, W.E.J. Tjeenk Willink 2de
Herziene Druk, 1980, hal. 11.
[8]Lih Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward
Tanggapanive Law, London: Harper and Row Publisher, 1978.
[9] Di Indonesia, konfigurasi hukum progresif
diintrodusir oleh Prof. Satjipto Rahardjo pertama kali lewat Harian Kompas
(15/6/2002).
[10]Baca Gianfranco Poggi, The Development of the Modern State, A Sociological Introduction,
London: Hurchinson & Co. Ltd., 1978.
[11]Joseph Fletcher, Situation Ethics: The New Morality, Philadelphia: The Westminster
Press, 1966.
[12]Satjipto
Rahardjo, "Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan)", Makalah
disampaikan pada acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang,
tanggal 4 September 2004, hal. 3.
[13]Dikutip dari Liek Wilardjo, “Mission Sacree” (?), Kompas,
4 April 1998.
[16]
Philippe Nonet & Philip Selznick, Law
and Society…, Op. Cit, hal. 78.
[17]Lih Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science
Perspective, New York: Russel Sage Foundation, 1977.
Tidak ada komentar
Posting Komentar