BIAS GENDER DALAM HUKUM PERKAWINAN
(PERSPEKTIF NORMATIF-EMPIRIS)
ABSTRAK
Meskipun UUD 1945 menjamin persaman hak laki-laki dan perempuan,
tapi realitasnya masih banyak dijumpai substansi, struktur dan budaya yang
diskriminatif gender yang dilegitimasi undang-undang. Peraturan
perundang-undangan masih ada yang belum lengkap dalam melindungi perempuan,
serta belum dilaksanakan secara konsekwen dalam melindungi perempuan. Padahal keadilan dan kesetaraan gender menjadi isu
yang sangat penting dan menjadi komitmen negara-negara di dunia termasuk
Indonesia untuk melaksanakannya. Akan tetapi hingga saat ini realitas
menunjukkan bahwa bias gender masih terasa. Perempuan tetap tersubordinasikan
oleh laki-laki.
Kata Kunci: Bias Gender, Hukum
Perkawinan, Persamaan
ABSTRACT
Although the 1945 Constitution guarantees the
right equation for men and women, but it's actually still common substance,
structure and culture, which introduced gender discriminatory laws. Legislation
is still incomplete in the protection of women, and had not been implemented
consistently in favour of women. Although justice and gender equality has
become a very important issue and the commitment of countries in the world,
including Indonesia. However, until recently, reality shows that gender
discrimination is still felt.
Key
Note: gender-biased, equality before the law
Pendahuluan
Terbukanya kran demokrasi
dan kebebasan berbicara telah membuka suara-suara dan ide-ide yang selama ini
cenderung bungkam karena ditekan oleh tindakan represif penguasa. Salah satu
bidang yang mendapat porsi yang cukup besar dan mendapatkan ruang gerak yang
leluasa adalah menyangkut masalah perempuan. Isu-isu dan gerakan tentang
emansipasi, kesetaraan gender, dan perjuangan hak-hak perempuan telah menjadi
perbincangan dan wacana yang menarik.
Atmosfir perbincangan
tentang perempuan ini semakin hangat ketika kasus-kasus pelecehan dan kekerasan
terhadap perempuan semakin menjadi-jadi. Hampir setiap hari media baik
elektronik maupun cetak menayangkan berita pemerkosaan, kekerasan suami
terhadap istri dan anak perempuan, serta tingkat aborsi yang sangat tinggi (
mencapai 4 juta kasus setiap tahunnya di Negara ini )[2].
Perlakuan yang
diskriminatif dan semena-mena terhadap perempuan ini tidak hanya berada pada
dataran kasus per kasus, namun telah menginjak dataran kebijakan pemerintah. Hingga
kini Indonesia belum mampu memberikan perhatian serius
terhadap pemberdayaan perempuan. Kebijakan-kebijakan yang ada selama ini belum
memperlakukan perempuan secara adil. Hal itu dapat dilihat dari Undang-Undang
(UU) yang masih bias gender. Antara lain, UU yang mengatur pencatatan perkawinan,
poligami, batas usia nikah, kedudukan suami-istri, hak dan kewajiban
suami-istri. Padahal, negara memiliki peran penting dalam mendukung upaya
pemberdayaan perempuan melalui regulasi yang dibuat oleh pemerintah sehingga
perempuan tidak lagi mengalami diskriminasi dalam segala aspek kehidupan. Hal
ini juga dipengaruhi budaya kita yang patriarki yang berimplikasi terhadap
kehidupan perempuan selanjutnya.
Bidang hukum yang seharusnya memberikan
jaminan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi perempuan ternyata masih
jauh dari harapan. Bahkan, sebaliknya banyak produk hukum yang menyudutkan
perempuan. Berbagai fenomena menunjukkan betapa perempuan masih termarginalkan
dan belum terakomodir penuh hak-haknya termasuk dalam suatu perundang-undangan.
Misalnya berdasarkan suatu pengakuan dari si A, audience yang berasal
dari kota Probolinggo pada suatu seminar yang bertemakan “Perempuan, Poligami
dan Politik” yang diadakan di Hotel Garden Palace Surabaya tanggal 10 Juni 2007.
Dia adalah korban poligami. Bapaknya menikah lagi, sedangkan isteri pertamanya
(yaitu Ibu si A) sudah berusaha memberikan dan menjadi isteri yang terbaik,
tapi ternyata si suami tetap menikah lagi. Sejak saat itu, Isteri pertama sudah
tidak lagi mendapat nafkah untuk menghidupi diri dan anak-anaknya, sehingga ia terpaksa
harus banting tulang. Karena keterbatasan ekonomi, si anak yang kebetulan juga
perempuan tidak mendapatkan pendidikan yang layak[3].
Kasus tersebut menunjukkan bahwa UUP tidak
efektif. Masih banyak laki-laki yang berpoligami tanpa memenuhi persyaratan
yang ditentukan oleh undang-undang. Hal ini dikarenakan tidak ada sanksi yang
tegas bagi pelaku yang melanggar ketentuan tersebut. Tidak hanya itu, menurut
Pasal 4 ayat 3 UUP pengadilan hanya akan memberi izin untuk berpoligami jika isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya, isteri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan, atau isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan dalam kasus tersebut si isteri
tidak memenuhi seluruh kriterianya. Pun demikian, pada dasarnya pasal tersebut
masih bias gender. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana jika suami yang
memiliki kekurangan sebagimana diatur dalam pasal tersebut?
Setelah
bergulirnya reformasi, perempuan seperti terbangun dari tidur panjang.
Suara-suara perempuan yang tadinya termarjinalkan karena kuatnya peran negara
dalam menentukan peran perempuan, kini mencuat ke permukaan. Salah satunya
adalah mencoba untuk melakukan upaya revisi terhadap UU No 1/1974 tentang
Perkawinan, yang mengangkat harkat dan martabat perempuan, sehingga tidak bias
gender dan tidak mengakomodasi hak-hak perempuan. Dengan
demikian maka penulis akan membahas “BIAS GENDER DALAM HUKUM PERKAWINAN
(PERSPEKTIF YURIDIS-EMPIRIS)”.
Akar Awal Timbulnya Bias
Gender
Kata ‘gender’
berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin[4]. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender
diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi nilai dan tingkah laku[5]. Sedangkan H. T. Wilson dalam Sex and
Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan
pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan
perempuan[6]. Sedangkan
menurut Oakley dalam Sex, Gender dan Society yang dimaksud Gender adalah
perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan
kodrat Tuhan. Perbedaan biologis jenis kelamin (sex) merupakan
kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanent dan universal berbeda.
Sementara gender adalah behavioral differences antara laki-laki
dan perempuan yang socially constructed, yakti perbedaan yang bukan kodrat
atau bukan ciptaan Tuhan melainkan diciptakan oleh baik laki-laki dan perempuan
melalui proses sosial dan budaya yang panjang.[7]
Dalam tulisan ini
penulis mengartikan ‘gender’ sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat
serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan
jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Ada perbedaan secara biologis antara
perempuan dan laki-laki, namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini
menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan
pada gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Kendati tuntutan ini bervariasi di
setiap masyarakat, tapi terdapat beberapa kemiripan yang mencolok. Misalnya,
hampir semua kelompok masyarakat menyerahkan tanggung jawab perawatan anak pada
perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan pada laki-laki. Meski demikian perlu dicatat bahwa gender
tidak semata-mata mempersoalkan perbedaan dan pembedaan
an sich antara laki-laki dan perempuan; terlebih penting lagi ia
menyangkut dominasi baik dari konteks relasi maupun distribusi kekuasaan.
Jadi bias gender
adalah kebijakan/program/kegiatan atau kondisi yang menguntungkan pada salah satu
jenis kelamin yang berakibat munculnya permasalahan gender.[8] Atau lebih sederhananya bias gender adalah perlakuan yang tidak seimbang
antara laki-laki dan perempuan yang kecenderungan untuk menomorduakan status
perempuan di masyarakat.
Faktor-faktor Penyebab Bias Gender
Dari penelusuran penulis, sedikitnya
ditemukan empat faktor yang mengkontruksi Bias Gender ini.
Faktor pertama adalah budaya masyarakat yang
patriarki. Pada awalnya konstruksi budaya patriarki tersebut sangat erat
hubungannya dengan budaya feodal. Jika ditinjau dari konteks budaya feodal,
-yang merupakan warisan bangsa penjajah-, jelas menunjukkan bahwa kedudukan
perempuan adalah subordinat terhadap laki-laki. Hal ini berimplikasi pula
terhadap kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Perempuan dalam hal ini
dianggap ‘the second person’. Berpijak dari fakta empiris, fenomena di
masyarakat menunjukkan bahwa superioritas laki-laki atas perempuan sering
berdampak terjadinya kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan psikis
Kedua adalah konstruksi teologis. Dalam budaya
masyarakat jika ditelusuri keberlangsungan keterpurukkan perempuan salah
satunya dilatarbelakangi oleh kekurangarifan dalam menafsirkan dalil-dalil
agama Islam yang kemudian seringkali dijadikan dasar utuk menolak kesetaraan
jender. Kitab-kitab tafsir dijadikan referensi untuk melegitimasi paradigma
patriarki, yang memberikan hak-hak istimewa kepada laki-laki dan cenderung
memojokkan perempuan dengan pendefinisian yang negatif. Pendefinisian sosok
perempuan yang negatif ini kemudian diwariskan secara turun temurun yang pada
akhirnya mengendap dalam alam bawah sadar perempuan yang menimbulkan
ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam hubungannya sebagai
hamba Tuhan. Dengan kata lain pemahaman akan posisi perempuan yang bias gender
sudah dengan sendirinya tertradisikan di masyarakat yang dibakukan oleh konstruksi
budaya dan doktrin keagamaan serta ditopang oleh nilai-nilai kultural dan
ideologis.
Ditambahn lagi sejumlah ulama telah
menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis dengan penafsiran yang bias gender dan
bias nilai-nilai patriarkhat[9]. Hal itu
karena mereka berpijak pada teks harfiyahnya yang sepintas memang tampak
mendukung penafsiran demikian. apalagi pengaruh latar belakang sosio-historis
dan sosio-politis para penafsir yang umumnya didominasi budaya patriarki. Pada
masyarakat dimana unsur budaya patriarki sangat dominan, penafsiran seperti itu
bukan hal yang janggal dan karenanya tidak dipersoalkan. Akan tetapi, pada
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi atau sedang mengalami
proses demokratisasi dengan upaya-upaya penegakan hak-hak asasi manusia,
penafsiran tersebut dirasakan sangat tidak kondusif lagi. Karena itu, diperlukan reinterpretasi ajaran agama
agar sesuai dengan tuntutan dinamika masyarakat.
Padahal posisi antara
laki dan perempuan adalah sederajat. Berdasarkan beberapa ayat-ayat di
al-Qur’am, akan diketahui bahwa Islam mengakui persamaan kedudukan, -hak dan
kewajiban- antara laki-laki dan perempuan[10]. Kesamaan antara perempuan dan laki-laki
itu, terutama dapat dilihat dari tiga dimensi. Pertama, dari segi
hakikat kemanusiaannya. Dilihat dari hakikatnya sebagai manusia, Islam
memberikan kepada perempuan sejumlah hak untuk meningkatkan kualitas
kemanusiaannya, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, dan hak-hak
lain yang berkenaan dengan urusan publik. Kedua, dari segi pelaksanaan
ajaran agama, Islam mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama
mendapat pahala atas amal saleh yang diperbuatnya. Sebaliknya, keduanya pun
akan mendapatkan siksaan atas dosa yang diperbuat. Tidak
satupun amalan dalam Islam yang memberikan keistimewaan kepada salah satunya.
Bahkan juga disebutkan bahwa perempuan adalah mitra sejajar laki-laki[11].
Ketiga, Jika
ditilik lebih mendalam, pada prinsipnya semua penafsiran, mazhab-mazhab, dan
aliran-aliran itu adalah hasil ijtihad atau pemikiran manusia. Dan karena semua
ijtihad dan pemikiran itu bukanlah wahyu yang bersifat absolut, melainkan
bersifat relatif, maka semua bentuk ijtihad atau pemikiran itu bisa berubah dan
boleh berubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan manusia dan tuntutan
kemajuan zaman[12].
Sejak zaman klasik Islam, para ulama besar sudah terbiasa menerima keragaman
penafsiran dan hasil ijtihad dengan sikap demokratis, penuh pengertian, dan
lapang dada, bahkan para imam mujtahid, yakni para pendiri mazhab yang terkemuka,
seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hanbal tak
segan-segan menghimbau para murid dan pengikutnya untuk tidak bersikap fanatik
dan taklid buta, apalagi mengklaim bahwa pendapat merekalah yang mutlak benar[13].
Sebaliknya, para imam mazhab itu secara tertulis meminta kepada para penganut
mazhabnya untuk tetap bersikap terbuka menerima kritik, dan jika perlu mengubah
pendapat mereka dengan pendapat yang lebih kuat argumentasinya. Itulah sikap
tasamuh (toleransi) yang banyak diajarkan para ulama pendiri mazhab.
Faktor penyebab kesenjangan gender yang
ketiga adalah tata nilai sosial budaya masyarakat, Jika dilihat dari konstruksi
budaya patriarki, ajaran Islam yang demikian ideal dan luhur itu dalam
perkembangan selanjutnya, terutama setelah kekuasaan Islam meluas ke berbagai
wilayah yang penduduknya masih kental menganut budaya patriarki, mengalami
perubahan sangat drastis. Ajaran Islam yang sangat mempromosikan nilai-nilai
kemanusiaan, prinsip-prinsip egalitarian, inklusif, dan nilai-nilai demokrasi
serta ramah terhadap perempuan ternyata tidak lagi dipraktekkan sebagaimana mestinya.
Akibatnya, kaum perempuan di berbagai
wilayah Islam kembali diperlakukan seperti pada masa Jahiliyyah. Perempuan
kembali terkekang di dalam rumah dan dituntut mengerjakan tugas-tugas
tradisional mereka selaku perempuan –salah satunya tugas rumah tangga-. Mereka
hanya boleh keluar jika ada izin suami atau kerabat lelakinya, itu pun untuk
keperluan darurat. Perempuan tidak lagi memiliki kebebasan bersuara, berkarya
dan berharta. Bahkan, mereka tidak bebas lagi memilih model busana (walaupun
tetap sopan, tidak merangsang), melainkan harus mengenakan hijab, semacam
pakaian yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Tentu saja
kondisi demikian tidak kondusif bagi perempuan untuk berkiprah dan beraktivitas
di masyarakat secara leluasa sebagaimana pernah terjadi di masa Rasul. Kondisi
seperti inilah yang masih berlangsung sampai sekarang, termasuk di kalangan
umat Islam Indonesia.umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan
(ideologi patriarki); Peraturan perundang-undangan masih banyak yang berpihak
pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan
gender[14];
Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung
tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial
kurang holistik[15];
Rendahnya pemahaman para pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif,
legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender,
serta konstruksi feodalisme yang masih melekat di Indonesia.
Dilihat dari konstruksi institusi negara
dalam pembentukan hukum. Analisis terhadap kasus-kasus hukum mengungkapkan
bahwa ketimpangan gender dalam bidang hukum dijumpai pada tiga aspek hukum
sekaligus sebagaimana diungkapkan Friedman, yaitu pada materi hukum (content
of law), budaya hukum (culture of law) dan struktur hukumnya (structure
of law)[16].
Pada aspek struktur, ketimpangan gender ditandai oleh masih rendahnya
sensitivitas gender di lingkungan penegak hukum, terutama di kalangan polisi,
jaksa dan hakim. Lalu, pada aspek budaya hukumnya juga masih sangat dipengaruhi
nilai-nilai patriarki yang kemudian mendapat legitimasi kuat dari interpretasi
agama. Tidak heran jika selanjutnya agama dituduh sebagai salah satu unsur yang
melanggengkan budaya patriarki dan mengekalkan ketimpangan relasi gender dalam
bidang hukum.
Hal itu kemudian diperparah oleh
keterbatasan materi hukum yang ada sebagaimana terlihat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik.
Materi hukum dalam sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut sarat dengan
muatan nilai-nilai patriarki yang bias gender, bahkan peraturan
perundangan-undangan tersebut masih menjadikan perempuan sebagai obyek, bukan
sebagai subyek. Akibatnya, perempuan kehilangan haknya menikmati tujuan
perundang-undangan dan menjadi kelompok yang dirugikan dan dipinggirkan atas
nama Peraturan perundangan-undangan.
Bias Gender dalam Hukum Perkawinan
Melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1984
Indonesia telah meratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan, yang otomatis mengharuskan peraturan perundang-undangan
kita untuk mengakomodasi hak-hak dan kepentingan perempuan. Dalam Konvensi tersebut
tercantum beberapa alasan mengenai pentingnya pemajuan hak asasi perempuan dan komitmen-komitmen
dari negara-negara penandatanganan Konvensi dan hanya bila komitmen itu diimplementasikan,
maka barulah akan terwujud kesetaraan gender. Namun, berbagai kenyataan di
lapangan menunjukkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak-hak perempuan dan
belum terwujudnya kesetaraan gender. Hal ini menunjukkan bahwa masih adanya
bias gender dalam perundang-undangan[17].
Meskipun UUD 1945 menjamin persaman hak
laki-laki dan perempuan, tapi realitasnya masih banyak dijumpai substansi,
struktur dan budaya yang diskriminatif gender yang dilegitimasi undang-undang.
Peraturan perundang-undangan masih ada yang belum lengkap dalam melindungi
perempuan, serta belum dilaksanakan secara konsekwen dalam melindungi
perempuan.
Keadilan dan
kesetaraan gender menjadi isu yang sangat penting dan menjadi komitmen
negara-negara di dunia termasuk Indonesia untuk melaksanakannya. Akan tetapi
hingga saat ini realitas menunjukkan bahwa bias gender masih terasa. Perempuan
tetap tersubordinasikan oleh laki-laki.
Dengan demikian penulis lebih menspesifikkan
pembahasan bias gender dalam peraturan perundang-undangan khususnya tentang
poligami dalam undang-undang perkawinan. Dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (UUP) yang berbunyi “Pengadilan dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila: (a) isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri; (b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan; (c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.”[18]
Kemudian Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan
juga ternyata telah menyebabkan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak
perempuan. Batas usia minimal 16 tahun untuk perempuan yang boleh melangsungkan
perkawinan adalah bertentangan dengan batas usia dalam Konvensi Internasional
Tentang Hak Anak (Convention on the Right of the Child). Dalam konvensi
tersebut diatur batas usia anak sampai dengan usia 18 tahun sehingga perkawinan
di bawah usia 18 tahun merupakan pelanggaran terhadap hak anak[19].
Kemudian Pasal 31 ayat 3 UUP yang mengatur tentang
peran istri dan suami yaitu suami adalah kepala keluarga sementara istri adalah
ibu rumah tangga,. Pembagian
peran tersebut jelas menghendaki posisi istri sebagai subordinat suami. Pasal
tersebut memberi kekuasaan penuh terhadap laki-laki sebagai kepala rumah
tangga, yang artinya sebagai pemegang kekuasaan tunggal dalam hal pengambilan
keputusan dalam rumah tangga.
Disamping itu bias
gender juga terdapat pada Pasal 34 Undang-undang Perkawinan yang menyatakan
bahwa suami adalah kepala keluarga sedangkan istri, ibu yang bertanggung jawab
mengenai pengurusan rumah tangga, juga merupakan sebuah bentuk domestifikasi
perempuan, segala bentuk urusan rumah tangga dibebankan pada isteri. Dalam ayat
1 pasal 34 tersebut suami hanya dibebani kewajiban melindungi isterinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya, akan tetapi tidak disebutkan batasan-batasan kemampuan suami,
sehingga hal ini dapat dengan mudah diselewengkan dengan mengatakan “memang kemampuannya
hanya segitu”[20]. Kemudian juga tentang hak suami untuk
hal-hal tertentu dalam hal diizinkan berpoligami, serta terbatasnya hak istri
untuk mengajukan gugatan terhadap suami bila ingin bercerai di pengadilan
tempat tinggal suami, serta sejumlah peraturan lainnya.
Paparan tersebut menunjukkan bahwa masih
banyak peraturan perundang-undangan kita yang diskriminatif dan bias gender.
Kesimpulan dan Rekomensi
Pertama, perlu sekali melakukan upaya-upaya
rekonstruksi budaya melalui pendidikan, baik di level formal mau pun
non-formal, terutama pendidikan dalam keluarga. Pendidikan yang dapat mengubah
budaya patriarki menjadi budaya yang menghargai kesetaraan, perbedaan, dan
kemajemukan; mengubah budaya kekerasan menjadi budaya damai penuh toleransi.
Upaya ini diharapkan dapat membantu lahirnya iklim demokrasi yang memungkinkan
partisipasi perempuan secara luas dalam berbagai perumusan kebijakan publi.
Kedua, melakukan upaya-upaya sistematik merevisi
semua perundang-undangan, khususnya perda yang diskriminatif dan tidak ramah
terhadap perempuan melalui judicial review kepada Mahkamah Agung dan executive
review kepada Departemen Dalam Negeri, dan selanjutnya mengusulkan perda-perda
yang memihak perempuan, seperti Perda Propinsi Jawa Timur nomor 9 tahun 2005
tentang Perlindungan Anak dan Perempuan Korban Kekerasan. Sejatinya, perda
semacam inilah yang sangat pantas disebut Perda Syariat Islam mengingat Islam
adalah agama yang paling gigih menyuarakan pemihakan dan perlindungan kepada
semua kelompok tertindas yang dalam Al-Qur'an disebut kelompok mustadh'afin.
Perda seperti inilah yang dapat mwujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi
seluruh masyarakat.
Ketiga, menggalakkan upaya-upaya reinterpretasi
ajaran agama dalam rangka mengeliminasi secara gradual semua pemahaman
keagamaan yang tidak kondusif bagi kehidupan demokrasi dan bangunan masyarakat
madani, seperti kewajiban berjilbab, larangan keluar malam, larangan bepergian
tanpa muhrim dan sebagainya yang tidak memiliki dasar argumen teologis yang
kuat dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasul. Reinterpretasi ajaran agama ini pada
akhirnya diharapkan mewujudkan ajaran Islam yang akomodatif terhadap
nilai-nilai kemanusiaan, ajaran yang ramah terhadap perempuan, ajaran yang
rahmatan lil alamin atau sungguh-sungguh mendatangkan kesejukan, kedamaian,
kemaslahatan bagi alam semesta. Wallahu a`lam bi
as-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
An-Naim, Dekonstruksi Syari`ah (terjemahan), Yogyakarta:
LKiS, 1995.
C.T.
Onionss (ed.), The Word Dictionary of English Etymology, Oxford: Oxford
at the Clarendon Press, 1979.
Greata, Kedudukan
Perempuan Menurut Prof. Hamka, http://grelovejogja.wordpress.com/2007/02/13/feminisme-menurut-hamka/,
diakses tanggal 12 Juni 2011
H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of
Civilization, Leiden, New York, Kobenhavn, Koln: EJ. Brill, 1989.
Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.
John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia,
Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983.
Lawrence
Meir Freidman, The Legal System; A Social Science Perspective, New York:
Russel Sage Fundation, 1975.
Lies S. Kasno, Banyak Produk Hukum yang
Menyudutkan,
Perlindungan Hak Perempuan Rendah, PIKIRAN RAKYAT, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0703/10/0311.htm, diakses tanggal 28 Juni 2007)
Perlindungan Hak Perempuan Rendah, PIKIRAN RAKYAT, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0703/10/0311.htm, diakses tanggal 28 Juni 2007)
Meutia Hatta dalam Yul, Puluhan Undang-undang Masih Bias Gender,
http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=40353, diakses tanggal 29 Juni 2007.
Meutia Hatta
dalam Yul, Puluhan Undang-undang Masih Bias Gender,
http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=40353, diakses tanggal 29 Juni 2007
Muhammad Rasyid Rida, Tafsir
al-Manar, Jilid 5, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
Musdah Mulia,
dalam NMP, Mempertanyakan RUU yang Bias Gender,
http://situs.kesrepro.info/gendervaw/okt/2003/gendervaw01.htm, diakses tanggal
29 Juni 2007)
Najlah
Naqiyah, Hukum Melindungi atau Membelenggu, dalam Otonomi Perempuan,
Malang:Bayumedia, 2005)
Oakley, Gender and Sex in Society, New York: Praeger
Publishers, 1975.
Pemerintah Propinsi Banten, Pemantapan Dimensi Tentang Gender, 2006, http://www.bantenprov.go.id/komunitas/?link=dtl&id=52, diakses
tanggal 12 Juni 2000.
Raga’
El-Nimr, Perempuan Dalam Hukum Islam, dalam Mai Yamani (ed), Perspektif
Hukum Dan Sastra: Feminisme dan Islam, Bandung: Nuansa, 2003
Siti Musdah Mudlia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta:Gramedia,
2004)
________________, Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan,
http://www.icrp-online.org/wmprint.php?ArtID=178, diakses tanggal 27 Juni 2007,
bandingkan Siti Musdah Mudlia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta:Gramedia,
2004.
Toha Hamim, Kata Pengantar, dalam Ali Munhanif (ed), Mutiara Terpendam,
Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002.
Victoria Neufeldt (ed.), Webster's New World
Dictionary, New York: Webster's New World Cleveland,1984
[2] Greata, Kedudukan Perempuan Menurut
Prof. Hamka, http://grelovejogja.wordpress.com/2007/02/13/feminisme-menurut-hamka/,
diakses tanggal 12 Juni 2011
[3] Pengalaman yang
diceritakan salah satu audience pada suatu seminar bertema “Perempuan,
Poligami dan Politik” yang diadakan oleh Partai Demokrat bertempat di Hotel
Garden Palace Surabaya, tanggal 10 Juni 2011.
[4] John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia,
Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983, h. 265
[5] Victoria Neufeldt (ed.), Webster's New World Dictionary, New York:
Webster's New World Cleveland,1984, h.561. Bandingkan dengan kamus Oxford yang
mendefinisikan gender sebagai a grammatical classification of objects
roughly corresponding to the two sexes and sexlessness, property of belonging
to such a class. (Lihat C.T. Onionss (ed.), The Word Dictionary of
English Etymology, Oxford: Oxford at the Clarendon Press, 1979).
[6] H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of
Civilization, Leiden, New York, Kobenhavn, Koln: EJ. Brill, 1989, h. 2.
[7] Oakley, Gender and Sex in Society, New York: Praeger
Publishers, 1975, hal. 274
[8] Pemerintah Propinsi Banten, Pemantapan Dimensi Tentang Gender, 2006, http://www.bantenprov.go.id/komunitas/?link=dtl&id=52, diakses
tanggal 12 Juni 2007
[9] Ayat-ayat dan hadits yang dimaksud adalah 1) an-Nisa', 4:1 yang berbicara
soal penciptaan, 2) an-Nisa' , 4:34 yang menegaskan kepemimpinan laki-laki atas
perempuan, dan 3) ayat 36 surah Ali Imran yang menerangkan ketinggian derajat
laki-laki atas perempuan. Adapun dari hadis, umpamanya hadis Abu Hurairah,
riwayat Turmuzi menjelaskan soal penciptaan perempuan dari tulang yang bengkok
(dil`in a`waj), atau hadis Abu Bakrah riwayat Bukhari,
An-Nasa'i, dan Ahmad yang mengatakan: "tidak akan beruntung suatu kaum,
jika mengangkat perempuan sebagai pemimpin". Hal ini menyebabkan anggapan
bahwa ajaran Islam merupakan landasarn inferioritas perempuan, sebagai akibat
dari interpretasi terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang secara tekstual
memang mengarah kepada pemahaman seperti itu. (lihat: Siti Musdah Mulia, Perda
Syariat dan Peminggiran Perempuan,
http://www.icrp-online.org/wmprint.php?ArtID=178, diakses tanggal 27 Juni 2007,
bandingkan Siti Musdah Mudlia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta:Gramedia,
2004)
[10] Ayat-ayat tersebut antara lain:
Q. S. al-Hujurat, 49:13, an-Nisa', 4:1, al-A`raf, 7:189, al-Zumar, 39:6, Fatir,
35:11, dan al-Mu'min, 40:67 yang menegaskan bahwa dari segi hakikat penciptaan,
antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan, termasuk di
dalamnya antara perempuan dan laki-laki. Karena itu, tidak perlu ada semacam
superioritas satu golongan, satu suku, satu bangsa, atau satu ras terhadap yang
lainnya. Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan
antara sesama manusia, termasuk persamaan antara perempuan dan laki-laki. Dalam
sejumlah hadis Nabi pun dinyatakan bahwa sesungguhnya perempuan itu mitra
sejajar laki-laki. (Lihat,
antara lain hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan
At-Turmuzi). Dengan demikian, pada hakikatnya manusia itu adalah sama dan
sederajat, mereka bersaudara dan satu keluarga. Penjelasan tersebut melahirkan
kesimpulan bahwa Al-Qur'an menegaskan equalitas perempuan dan laki-laki. (lihat:
Siti Musdah Mudlia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta:Gramedia, 2004)
[11] An-Naim, Dekonstruksi Syari`ah (terjemahan), Yogyakarta:
LKiS, 1995.
[12] Hadisnya jika diartikan berbunyi: Barangsiapa berijtihad dan
ijtihadnya benar akan mendapat dua pahala, sedangkan jika ijtihadnya salah, ia
tetap mendapatkan satu pahala. Hadis inilah yang memberikan inspirasi dan
motivasi kuat bagi para ulama di masa awal Islam melakukan ijtihad sehingga
melahirkan berbagai macam mazhab (aliran pemikiran) dalam tafsir, fiqh, tasawuf,
filsafat dan teologi.
[13] Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995, hal.
56, lihat juga Muhammad Rasyid Rida, Tafsir
al-Manar, Jilid 5, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
[14] Ada beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
yang masih bias gender terutama bab kesusilaan yang belum mampu melindungi
perempuan sepenuhnya, misalnya pasal-pasal pornografi, khususnya pendefinisian
yang cenderung menempatkan perempuan sebagai obyek serta memojokkan perempuan
sebagai pelaku pornografi&pornoaksi, tidak/belum diaturnya pasal-pasal yang
khusus tentang pelecehan seksual, karena saat ini pelecehan seksual hanya bisa
dijerat dengan pasal tentang perbuatan cabul, sedangkan pelecehan seksual
kategori ringan seperti kata-kata kotor, bersifat porno dan sebagainya belum
diatur dalam KUHP, pasal tentang aborsi hanya menjerat perempuan sebagai pelaku
aborsi namun tidak mampu menjerat laki-laki yang tidak bertanggungjawab yang
menyebabkan perempuan melakukan aborsi, juga dari kasus kejahatan seksual
tampak sekali bagaimana lemahnya kedudukan seorang wanita sebagai korban
kejahatan di dalam sistem hukum kita, terutama yang menyangkut kejahatan
terhadap kesusilaan dan kekerasan terhadap wanita. Undang-undang lain yang bias
gender adalah UU No. 1 tahun 1974, UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan.
Selain itu, seperti tampak dalam UU Keimigrasian, tentang keharusan seorang
anak mengikuti kewarganegaraan bapaknya. Faktanya, banyak anak di Indonesia
yang berbapakkan orang asing. Masalah timbul tatkala terjadi perceraian yang
berakhir dengan kepulangan si bapak ke negaranya. Si anak yang lahir dan
dibesarkan di Indonesia setelah dewasa akan kesulitan dalam mengurus paspor
karena persoalan kewarganegaraan itu. (lihat: Meutia Hatta dalam Yul, Puluhan
Undang-undang Masih Bias Gender, http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=40353,
diakses tanggal 29 Juni 2007)
[15] Pada dasarnya Al-Qur'an
menegaskan bahwa perempuan memiliki hak dan kewajiban yang ukurannya sama
persis dengan hak dan kewajiban laki-laki. Memang laki-laki dinyatakan
Al-Qur'an berada satu tingkat lebih tinggi. Namun posisi tersebut tidak
menyangkut hak dan kewajiban, tetapi berkaitan dengan tugasnya sebagai
pelindung. (lihat: Toha Hamim, Kata Pengantar, dalam Ali Munhanif (ed), Mutiara Terpendam,
Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002. hal. xxxiii). Persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan berulang
kali diulang-ulang dalam ayat al-Quran, misalnya dalam hal ibadah keduanya
dibebani hak dan kewajiban yang sama. Tuhan memerintahkan Laki-laki dan
perempuan untuk patuh pada hukum Tuhan. (lihat juga: Raga’ El-Nimr, Perempuan
Dalam Hukum Islam, dalam Mai Yamani (ed), Perspektif Hukum Dan Sastra:
Feminisme dan Islam, Bandung: Nuansa, 2003)
[16] Lawrence Meir Freidman, The Legal System; A
Social Science Perspective, New York: Russel Sage Fundation, 1975, h. 14
[17] Meutia Hatta menyatakan bahwa hingga saat ini
masih banyak peraturan perundnag-undangan yang bias gender. Dia mengatakan ada sekitar 21 peraturan perundang-undangan yang
masih diskriminatif. Tentu saja hal ini dapat diatasi dengan bantuan pemerintah
dalam membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan lebih sensitif
gender. (Lihat: Meutia Hatta dalam Yul, Puluhan Undang-undang Masih Bias
Gender, http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=40353, diakses tanggal 29
Juni 2007) hal ini disebabkan tradisi patriarki yang ada di indonesia masih sangat
kuat sehingga menyebabkan banyak perempuan tidak memiliki cukup pemahaman
tentang hak-haknya, dan tidak punya kemampuan menyuarakan keberatannya bila
hak-haknya tidak dipenuhi, terutama bagi perempuan yang dari segi ekonomi
tergantung pada suami akan sangat sulit untuk dapat mengakses publik, hal ini
dapat menyebabkan suara mereka tidak terjangkau oleh media, hukum negara, serta
pemerintah. (lihat: Musdah Mulia, dalam NMP, Mempertanyakan RUU yang Bias
Gender, http://situs.kesrepro.info/gendervaw/okt/2003/gendervaw01.htm,
diakses tanggal 29 Juni 2007)
[18] Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
[19] Lies S. Kasno, Banyak Produk Hukum yang Menyudutkan,
Perlindungan Hak Perempuan Rendah, PIKIRAN RAKYAT, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0703/10/0311.htm, diakses tanggal 28 Juni 2007)
Perlindungan Hak Perempuan Rendah, PIKIRAN RAKYAT, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0703/10/0311.htm, diakses tanggal 28 Juni 2007)
[20] Pembebanan kewajiban
mengurus rumah tangga tersebut tanpa melihat apakah si isteri juga ikut
membantu suami mencari nafkah, atau bahkan beban pencari nafkah justru hanya
dibebankan pada si isteri, sedangkan suami menganggur. Banyak kasus yang
terjadi, dimana si isteri dibebani dua tugas, yaitu mengurus rumah tangga juga
pencari nafkah, sedangkan si suami masih menganggur. Pasal tersebut sangat
bias, karena laki-laki dibebani kewajiban sesuai dengan kemampuannya, sedangkan
perempuan bisa mendapat tugas ganda sebagai telah disebutkan tadi. Padahal
seharusnya hukum dapat melindungi yang lemah, namun faktanya hukum dibuat
justru sering untuk yang kuat. (lihat: Najlah Naqiyah, Hukum Melindungi atau
Membelenggu, dalam Otonomi Perempuan, Malang:Bayumedia, 2005)
Tidak ada komentar
Posting Komentar