PROBLEMATIKA HUKUM PERKAWINAN BEDA
AGAMA DI INDONESIA
Azis Setyagama[1]
Abstrak
Perkawinan beda agama antara
seorang pria dengan seorang wanita
akan mengalami kendala hukum
di Indonesia . Hal
ini disebabkan tidak
adanya aturan hukum yang mengatur mengenai masalah perkawinan beda
agama setelah dicabutnya
Keputusan Menteri Dalam
Negeri No. 172223 /1991
yang membolehkan adanya
perkawinan beda agama. Realita yang
terjadi di tengah
masyarakat ada sebagian anggota
masyarakat yang ingin melakukan
perkawinan denagn pasangan yang
berbeda agama ,halini akan
mengalami kesulitan apabila kedua
belah pihak ( Calon Suami Isteri
) tetapmempertahankan keyakinannya masing
-masing. Dengan tidak adanya
aturan hukum yang
mengaturnya maka akan
memberikan peluang untuk
memalsukan identitas diri , agar perkawinannya
bisa dilangsungkan sehingga
akan terjadi problema
hukum yang bersangkutan.
Kata Kunci : Problematika Hukum ,
Perkawinan Beda Agama
ASBTRACT
Interfaith marriages between a man a woman would have legal problems
in Indonesia. This is due to the lack of legal norms regulating the marital
problems of different religions after removal of the Minister of Home Affairs
No. 172223/1991, which allows the existence of interfaith marriages. The
reality of what's going on in society, there are some members of the public who
would like to perform marriages denagn couples of different religions, halini
would be difficult if the two sides (future husband-wife) tetapmempertahankan
Vera respectively. In the absence of legal norms that regulate this will
provide opportunities for enhancing identity, marriage may happen, that there
will be no legal problems.
Key note: problematic law, interfaith marriage
Pendahuluan
Setiap ada pernikahan
beda agama selalu mengundang masalah ,setidaknya masalah hukum dan
akibat dari pernikahan itu. Tetapi orang yang sedang di mabuk asmara perbedaan yang
prinsip tersebut tidak
menjadi halangan sepertiapayang
dilakukan oleh Penyanyi terkenal Yuni
Shara dengan Henry Siahaan dan
Nia Dicky Zulkarnaen dengan Shihasale.
Tentu
saja perkawinan beda agama ini
akan membikin masalah ,khususnya
dari segi hukum baik itu hukum
nasional maupun hukum agama.
Permasalahan yang prinsip
ini bagi orang
yang dilanda cinta tidak
dipermasalahkan yang penting bisa hidup bersama
dalam perkawinan meskipun Pemerintah
dan agama tidak mengakui
adanya adanya perkawinan beda agama
tersebut. Sehingga mereka melakukan
perkawinan di luar negeri
yang mengakui adanya perkawinan
beda agama tersebut, namun demikian apabila
mereka kembali ke Indonesia tetap saja
perkawinan tidak sah menurut
hukum nasional.
Dengan tidak adanya solusi
hukum terhadap orang yang
melakukan perkawinan beda agama ini
,maka yang banyak terjadi pemalsuan identitas atau mereka pura
–pura memeluk atau pindah agama agar tidak terbentur masalah
administrasi untuk melakukan perkawinan. Setelah mereka
melakukan perkawinan menurut agama
tertentu, mereka suami atau isteri akan kembali ke agama yang dianut masing –masing. Kenyataan ini merupakan
problema hukum yang perlu dicarikan penyelesaiannya , agar orang yang
ingin melakukan perkawinan beda agama tidak membikin agama sebagai alat untuk
memperlancar perkawinan beda agama
tersebut atau juga menghindari kepura – puraan yang tidak sesuai dengan keyakinan orang yang melakukan
Kajian Dari Hukum
Nasional
Sebelum
dicabutnya Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri No. 172223/1991, perkawinan beda
agama diperbolehkan . Dengan alasan untuk mengisi
kekosongan hukum ,maka perkawinan
beda agama bagi warga negara diperbolehkan dengan terlebih dahulu mendapatkan
Penetapan dari Pengadilan Negeri yang
isinya memerintahkan perkawinannya menurut
hukum agama yang disepakati oleh kedua
mempelai. Setelah mendapatkan
Penetapan dari pengadilan Negeri
tersebut baru kemudian dicatatkan di
Kantor Catatan Sipil untuk mendapatkan Akte Perkawinan.
Dengan demikian berdasarkan Surat Edaran Mendagri
tersebut perkawinan beda agama oleh
negara diperbolehkan meskipun tidak sah oleh agama.
Dan memang kenyataannya di
masyarakat ada sebagian orang yang ingin melaksanakan perkawinan beda agama
tanpa harus beraleh ke agama
pasangannya.
Setelah di cabutnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
No. 172223 /1991 ,perkawinan beda agama tidak ada jalan keluarnya ,
sehingga banyak pasangan calon mempelai menikah di LuarNegeri. Namun demikian perkawinan beda agama tersebut tidak sah menurut hukum nasional.
Pertimbangan yang menjadi dasar dicabutnya Surat Edaran Mendagri tersebut ,
karena bertentangan dengan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan , dimana
dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 memuat
ketentuan sbb:
(1)
Perkawinan adalah sah ,
apabila dilakukan menurut hukum
masing –masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2)
Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang
berlaku.
Dalam ayat (
1 ) tersebut sudah jelas bahwa perkawinan sah harus sesuai dengan
ajaran agama dan kepercayaannya , padahal kita
tahu diajaran agama manapun di
dunia ini tidakmembolehkan umatnya untuik kawin beda agama , lebih – lebih Agama Islam.
Kalau ada orang yang ingin
melakukan perkawinan dengan beda agama
berarti orang tersebut tidak
mematuhi ajaran agama yang dianutnya . Padahal kita tahu bahwa
agama itu berfungsi untuk menuntun manusia agar selamat
di dunia dan akhirat.
Dalam ayat (2) menunjukkan legalitas bahwa perkawinan tersebut harus dicatat
,fungsinya perkawinan tersebut harus dibuktikan secara formal yaitu dengan
bukti Akte Perkawinan. Dengan bukti
formal tersebut secara administratif
perkawinan itu telah
dilangsungkan sesuai dengan ketentuan ayat ( 1 ) tersebut. Sehingga sah
secara hukum agama dan sah
menurut hukum negara ( dicatat oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan ).
Dengan dicabutnya Surat Edaran
Mendagri No. 172223 / 1991 tersebut ada
juga dampak negatifnya ,yaitu
kecendrungan orang memalsukan
identitas agar perkawinan beda agama
tidak mengalami kendala secara administratif dan ini membikin orang
untuk bersikap Munafik atau penuh dengan kepura – puraan ,yaitu dengan membuat
pernyataan memeluk agama calon mempelai,
agar perkawinan beda agamanya
tidak mengalami kendala administrasi.
Kajian Dari Hukum Islam
Agama
Islam melarang keras Wanita
Muslimah melakukan perkawinan dengan laki – laki Non Muslim , tetapi untukLaki –Laki Muslim
masih ada toleransi yaitu dalam keadaan darurat yaitu
wanita muslimah tidak ada, dan
baru boleh mengawini wanita yang Ahlul
Kitab.
Menueurt Prof. Dr. Buya Hamka , tidak semua laki –laki muslim
diijinkan untukmenikahi dengan Perempuan
Yahudi atau Nasroni,yang diberi ijin hanyalah
laki laki Muslim yang kuat
imannya , sehingga imannya tidak goyah
karena berlainan agama dengan perempuan
isterinya. Dia akan tetap menjadi suami yang memimpin dalam rumah tangganya . Tetap akan menjadi
teladan baik dalam fungsinya sebagai
seorang muslim secara umum , maupun sebagai
suami secara khusus. Jika Imannya
lemah ,ia tidak diijinkan kawin
dengan perempuan Yahudi atau Nasroni.
Yang
menjadi pertanyaan ,mengapa wanita Muslimah tidak diperbolehkan kawin dengan
laki – laki non Muslim ? Hal
ini sudah sesuai dengan Firaman Allash
SWT dalam Al Qur’an ,bahwa perempuan – perempuan Muslimah tidak halal bagi laki -
laki kafir, dan laki – laki kafir tidak halal bagi perempuan – perempuan
muslimah. Disamping itu Allah SWT
memberikan aturan atau hukum kepada manusia itu sesuai dengan “ Sunatullah “
atau Hukum Alam sesuai dengan yaitu sesuai dengan kodrat ciptaan-Nya , dalam hal ini
wanita lebih mengedepankan emosi dari rasio dan nalar wanita lebih labildibandingkan
dengan laki – laki . Untuk itu wanita Muslimah dilarang oleh Allah SWT untuk kawin dengan
seorang laki - laki
non Muslim.
Meskipun sudah jelas dilarang oleh Agama ,perkawinan beda
agama masih juga dilakukan oleh sebagian manusia dengan berbagai alasan yang berdasar
pada keinginan manusia yang jelas
tidak dibenarkan oleh agama maupun
negara dan ini merupakan realitas yang ada
di tengah masyarakat.
Menurut Hakim Agung
Bismar Seregar,SH. “ Wanita yang kawin dengan laki - laki
bukan Islam boleh disebut melepaskan agamanya , wanita yang demikian
ini bagaikan sudah memilih suaminya
daripada agamanya.” Bagi
seorang Muslim harta yang berharga di dunia adalah “ Keimanan “ atau Aqidah ,karena seorang muslim tidak hanya mengejar
kebahagian di dunia saja tetapi juga kebahagiaan
yang kekal di akhirat dan modalnya adalah keimanan , dan kalau
keimanan sudah hilang maka harapan untuk mengejar kebahagian akhirat sudah tidak ada harapan lagi. Menurut ajaran Islam dosa apapun yang
dilakukan oleh manusia di dunia ini oleh Allah SWT masih diampuni kecuali perbuatan Syirik / menyekutukan
Tuhan.
Mengapa Allah SWT
begitu murka terhadap
perbuatan syirik ini , menurut Penulis
,semua yang ada di langit dan bumi ini atau yang ada di alam semesta ini
ciptaan Allah SWT, dan tidak pantas /
patut ciptaan Allah itu dijadikan atau dianggap sebagai Tuhan oleh manusia.Untuk itu Allah SWT sangat murka
terhadap perbuatan Syirik ini.
Maksud Dan Tujuan Perkawinan Menurut Pandangan Islam
Pengertian perkawinan dalam Hukum
Islam artinya nikah yang mempunyai arti perkawinan akad perjanjian. Akad Nikah
berarti perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang
wanita dengan seorang pria membentuk keluarga bahagia dan kekal.[2] Menurut Imam Syafei pengertian nikah adalah
suatu aqad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan
wanita, sedangkan menurut arti majasi
nikah itu artinya hubungan seksual. Dengan demikian dapat diartikan
nikah adalah suatu aqad yang membolehkan seorang pria ( suami ) dengan seorang
wanita ( isteri ) untuk membentuk rumah tangga yang bahagia sesuai dengan
ajaran agama Islam, sebab dalam agama Islam dilarang melakukan hubungan seksual
kecuali dengan isterinya atau suaminya,
maka dari itu agama Islam menganjurkan dan mewajibkan pria yang sudah mampu
segera mengikatkan diri dalam perkawinan, sbab perkawinan itu sangat baik dan
dianjurkan oleh Allah SWT.
Untuk melakukan perkawinan dalam
hukum Islam harus memuat rukun dari perkawinan tersebut, rukun perkawinan
adalah sebagai berikut ;
1.
Wajib adanya sighat ijab Kabul
2.
Adanya wali dari pihak wanita
3.
Adanya mahar atau maskawin
Ad.
1 Sighat dab qabul
Sighat adalah aqad nikah atau ijab
qabul , yang dimaksudkan ijab adalah ucapan penyerahan nikah dari wali
penganten perempuan atau wakilnya pada waktu upacara akad nikah. Sedangkan yang
dimaksud dengan qabul adalah jawaban dari pihak pria. Dengan melaksanakan ijab
qabul ini berarti kedua belah pihak telah rela dan sepakat melangsungkan
perkawinan serta bersedia mengikuti ketentuan – ketentuan agama yang
berhubungan dengan perkawinan. Apabila pihak- pihak yang berakad melaksanakan
akad dengan terpaksa atau tidak mau melaksanakan hal – hal yang telah ditentukan oleh agama , maka pihak
– pihak yang merasa dirugikan oleh adanya akad itu dapat mengajukan gugatan
kepada hakim.
Pihak –pihak yang telah
melaksanakan akad nikah harus memenuhi syarat – syarat tertentu supaya akadnya
sah. Syarat – syarat sah adalah :
1.
Telah baligh sehingga dianggap mempunyai kecakapan sempurna
2.
Tidak ada paksaan
3.
Berakal sehat
4.
Harus mengetahui , mengerti dan mendengar arti ucapan atau
perkataan masing – masing.
Mengenai ukuran dewasa bagi calon
mempelai laki – laki dan wanita dalam undang – undang perkawinan, dalam pasal 7
ayat 1 ditegaskan bahwa pihakpria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Untuk penyimpangan terhadap ketentuan pasal 7 ( 1 ) tersebut , harus meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang
tua pihak pria maupun wanita.
Ad.
Adanya Wali
Untuk menjadi wali harus memenuhi syarat – syarat untuk menjadi
;
a.
Seorang lelaki yang muslim
b.
Baligh / dewasa
c.
Berakal
d.
Adil dan merdeka
Wali
ini berasal dari pihak keluarga wanita tanpa adanya ali, maka prnikahan
tersebut dianggap tidak sah, wali ini bisa ayah dari pihak wanita , atau
kakeknya atau saudara lelakinya atau paman dari pihak ayah.
Pada
dasarnya perwakilan dalam aqad nikah bisa dilaksanakan secara lesan tanpa
saksi. Tetapi untuk menghindari hal – hal
yang tidak diinginkan yang timbul dikemudian hari , apalagi yang
mewakilkan tidak hadir pada waktu akad nikah dilaksanakan, sebaiknya perwakilan
itu dinyatakan secara tertulismengenai perwakilan dalam aqad nikah selain wali,
mempelai laki – laki pun boleh mewakilkan kepada orang lain untuk menyatakan.
Tugas
wakil dalam aqad nikah hanya sebagai duta yang menyatakan sesuatu atas nama
orang yang mewakilkan . Begitu akad
nikah selesai tugas perwakilanpun sudah
selesai. Mereka tidak dapat dituntut
untuk memenuhi kewajiban – kewajiban akibat terjadinya kad nikah. Misalnya
seorang wakil tidak dapat dituntut untuk membayar maskawin yang belum dibayar
oleh memepelai laki – laki.
Orang yang menerima tugas untuk
mewakili seseorang dalam aqad nikah tidak boleh mewakilkan lagi pada orang lain
untuk menjalankan tugasnya itu. Perwakilan menjadi sah apabila wakil dalam
menjalankan tugas perwakilannya sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh
orang yang mewakilkan . Kalau tidak sesuai atau menyimpang , maka perwakilan
itu dianggap tidak sah . Di Indonesia biasanya para wali dalam
melaksanakan aqad nikah mewakilkan
kepada penghulu, atau petugas dari Kantor Uruan Agama.
Ad.
3 . Adanya Mahar Atau Maskawin
Mahar atau maskawin ialah sesuatu
yang berupa uang , harta benda ( barang )
ataupun jasa ( misalnya memberi pelajaran Al Qur’an ) yang wajib
diberikan oleh suami kepada isterinya sebagai tanda janji setia dan kasih
sayang terhadapnya.
Dengan demikian mahar yang menjadi
hak isteri itu dapat diartikan sebagai tanda bahwa suami sanggup untuk
memikul kewajiban – kewajiban sebagi
suami dalam hidup perkawinannya. Jadi jangan diartikan bahwa memberikan mahar
itu sebagai pembelian atau upahnya isteri yang telah menyerahkan dirinya kepada
suami.
Sedangkan mengenai maksud dan
tujuan perkawinan menurut Islam
adalah menurut perintah
Allah dan mengharapkan
ridho-Nya dan sunnah Rasul , demi memperoleh
keturunan yang sah dan
terpuji dalam masyarakat, dengan membina rumah
tangga yang bahagia
dan sejahtera serta
penuh cinta dan kasih sayang.
Hanya dengan perkawinanlah
penyambung keturunan dengan cara
yang sah dan teratur dapat
terlaksana .
Sahnya Perkawinan Menurut Undang – Undang No. 1 Tahun 1974
Dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan, diatur mengenai perkawinan menurut hukum nasional atu
hukum positip yaitu hukum yang berlaku
di Indonesia mengenai pengaturan perkawinan. Dengan dikeluarkannya UU ini, maka
telah terjadi unifikasi hukum perkawinan yang sebelumnya diatur kedalam
berbagai peraturan perundang – undangan menurut daerah berlakunya. Dengan
dikeluarkannya UU ini hanya dibedakan mengenai agamanya . Untuk yang beragama
Islam apabila mengajukan NTR ke Pengadilan Agama sedangkan yang beragama selain
Islam ke Pengadilan Umum / Pengadilan Negeri.
UU nomor 1 Tahun 1974 tidak
mengatur sampai tuntas segala ketentuan dibidang perkawinan, masih banyak yang
belum diatur dalam unang – undang ini. Dalam hubungan dengan peraturan –
peraturan lainnya maka tentang segala hal yang telah diatur dalam UU no 1 tahun
1974, bila hal tersebut juga diatur peraturan lainnya tersebut tiak berlaku
lagi. Ketentuan yang demikian bisa ditafsirkan sebaliknya bahwa tentang segala
hal hal yang berhubungan dengan perkawinan yang telah diatur oleh ketentuan
lain yang terdahulu, bila hal itu tidak diatur pada UU nomor 1 Tahun 1974 maka
ketentuan lain tersebut masih tetap berlaku.
Mengenai pengertian perkawinan
menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 , dapat kita lihat pada pasal 1 yang
memuat ketentuan sbb;
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (
rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke- Tuhanan Yang Maha Esa.
Mengenai perkawinan ini undang –
undang memandang perkawinan tidak hanya
masalah formalitas saja, tetapi juga lebih menekankan pada unsur matrialnya,
yaitu pertanggungan jawab moral dari perkawinan itu yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan
kekal didasarkan kepada Ke- Tuhanan Yang Maha Esa , bukan sekedar menyalurkan
kebutuhan biologis saja tetapi ada niatan moral yang tinggi . Sebagai negara
yang berdasarkan Pancasila , dimana sila yang pertamanya Ke Tuhanan Yang Maha
Esa , maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau
kerochanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau
jasmaniah saja, tetapi unsur bathin atau
rochanitidak kalah pentingnya dibandingkan dengan unsur lahiriah.
Dari pengertian yang diberikan
Undang- Undang Perkawinan tersebut bisa memberikan gambaran yang jelas kepada
kita bahwa perkawinan mempunyai beberapa unsur yang meliputi ;
§ Adanya ikatan
§ Dasar ikatan adalah lahir dan
bathin
§ Tujuannya membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal
§ Berdasarkan keimanan sesuai dengan
agama atau kepercayaan yang dianut
Adanya ikatan disini ditekankan
pada kesepakatan berupa perjanjian yang dibuat diantara mereka, hukum Islam
memberikan istilah aqad nikah ( Perjanjian perkawinan ) . Aqad Nikah perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam
perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk keluarga bahagia
dan kekal . Perjanjian atas perkainan tersebut dikatakan suci karena dasar dan
pelaksanaannya dari perjanjian tersebut
didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan. Lain halnya ketentuan yang
diatur oleh KUH Perdata yang menganggap dan memandang perkawinan hanya dilihat
dari sisi hubungan keperdataan sebagaimana
ketentuan yang terdapat dalam pasal 26 BW. Ketentuan KUH Perdata tersebut menyatakan,
bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat –
syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata dan syarat – syarat serta peraturan
yang lain, ketentuam agama dikesampingkan.[3]
Atas ikatan perkawinan tersebut
hukum adat mengenal dengan istilah Perjodohan, perjodohan tidak semata – mata
berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan
keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut
para anggota kerabat dari pihak isteri dan pihak suami.[4] Hukum
Adat juga memandang bahwa perkawinan atau perjodohan adalah merupakan peristiwa
sacral yang mengandung unsur religius dan magis, ini ditampakkan dalam berbagai
serangkaian kegiatan upacara perkawinan yang mendahalui pelaksanaan perkawinan
maupun tata cara pelaksanaan perkawinan, serta dengan adanya perjodohan ini
mengakibatkan terikatnya keluarga isteri dengan keluarga suami dalam ikatan
keluarga periparan.
Dari pengertian ikatan yang sudah
tertuang dalam pasal 1 UU Perkawinan tersebut, merupakan gabungan dari beberapa
pengertian menurut hukum Islam dan hukum
adat dengan agama / kepercayaan mempunyai
kedudukan dan peranan yang cukup besar sebagai sarana pengesahan atas
perkawinan tersebut.
Sedangkan ikatan lahir dan bathin ,
didasarkan pada kematangan secara sosiologis maupun pisik atas para calon yang hendak atau akan melaksanakan
perkawinan . Kematangan dimaksud adalah meliputi usia dari para calon sudah
memenuhi ketentuan undang – undang dan telah memenuhi kebutuhan sarana dan
prasarana maupun kelengkapan untuk pemenuhan hidup rumah tangga sudah tersedia,
sehingga harapan kematangan fisik dan mental para calon sudah siap.
Ikatan lahir lebih nampak
dalam bentuk pergaulan hidup atau
hubungan antara para calon didasarkan pada cinta kasih dan kesepakatan para
pihak untuk menghilangkan kebiasaan orang tua tempo dulu yang mengawinkan anak
– anak hanya atas kesepakatannorang tua saja ( kawin paksa ) , tiada
kesepakatan para calon mengakibatkan perkawinan dapat diajukan pembatalan
perkawinan. Sebab yang akan menjalani kehidupan rumah tangga adalah para calon
, bukan orang lain sehingga kebebasan para calon untuk menentukan kehendak
dalam melangsungkan perkawinan harus mutlak pada para calon.
Ikatan lbathin didasarkan pada keinginan
luhur yang sudah menyatu pada para pihak , yakni didasarkan pada keinginan
luhur untuk membentuk rumah tangga ( keluarga ) yang bahagia dan kekal, bukan
didasarkan pada nafsu belaka. Sehingga UU perkawinan tidak mengenal bentuk
perkawinan yang didasarkan pada uji coba dulu atau kumpul bersama dulu, yang
jelas – jelas melanggar ketentuan hukum agama , adat dan moral Bangsa
Indonesia. Keinginan luhur harus pula didasarkan dan dilandasi hukum agama atau
kepercayaan masing – masing calon mempelai, sehingga dengan dilingkupi hukum
agama yang kelak akan memperkuat dan memperkokoh kehidupankeluarga atau rumah
tangga, keinginan untuk tetap mempertahankan kehidupan rumah tangga yang
bahagia dan kekal akan tetap menjadi cita – cita dari para pihak.
Mengenai sahnya perkawinan,
berdasarkan pada ketentuan pada pasal 2 ayat ( 1 ) Undang – Undang Perkawinan dikatakan, ;”
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing –masing agamanya
dan kepercayaan itu “ . Kemudian dalam Penjelasannya ditegaskan lebih lanjut , bahwa yang dimaksud
dengan hukum masing –masing tersebut adaah ketentuan perundang – undangan yang
berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaan itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang – undang ini.
Dari rumusan tersebut dapat
disimpulkan bahwa sah dan tidaknya suatuperkawinan adalah semata – mata ditentukan oleh ketentuan agama dan
kepercayaan mereka yang hendak melakukan perkawinan. Ini menimbulkan arti,
bahwa suatu suatu perkawinan yang dilangsungkan tanpa memenuhi atau
bertentangan dengan ketentuan agama ,
dengan sendirinya menurut Undang – Undang
perkawinan dianggap tidak ah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai
ikatan perkawinan.
Menurut Soemiyati, bagi Warga
Negara Indonesia yang beragama Islam bila hendak melaksanakan perkawinan ,
supaya sah harus memenuhi ketentuan – ketentuan tentang perkawinan yang telah diatur dalam hukum perkawinan Islam.
Demikian juga bagi yang beragama Nasrani , Hindhu , dan Budha, Hukum agama
merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya perkawinan.[5] Dengan
demikian dapat pula dikatakan , bahwa tiada suatu perkawinan di luar hukum
agama dan kepercayaan itu. Menurut Abdurachman, adanya ketentuan yang demikian
adalah suatu hal yang logis dalam Negara
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang secara tegas mengakui adanya prinsip kebebasan beragama.[6]
Lebih dari itu , karena merupakan
suatu perbuatan hukum, perkawinan mempunyai akibat hukum . Adanya akibat hukum
ini penting sekali hubungannya dengan keabsahan perbuatan hukum itu sendiri.
Perkawinan yang menurut hukum , misalnya
dianggap tidak ah, maka anak yang dilahirkan tidak sah juga.
Mengenai pencatatan perkawinan
diatur dalam pasal 2 ayat 2 Undang – Undang Perkawianan ; Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang – undangan yang berlaku “. Adapun pencatat perkawinan yang
dimaksud menurut Penjelasan pasal
tersebut, adalah Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk bagi mereka yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Nasrani, Hindu dan Budha adalah Pencatat
Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
Tanpa menjelaskan lebih lanjut
tentang maksud diadakannya pencatatan
itu, dalam Penjelassan Umum dari Undang
– Undang Perkawinan hanya dikatakan. Pencatatan tiap – tiap[ perkawinan adalah
sama halnya dengan pencatatan peristiwa – peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang, misalnya kematian. Dengan demikian tujuan dari pencatatan ini, dapat
dikatakan adalah untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu jelas, baik bagi
yang bersangkutan maupun pihak – pihak lain. Sehingga bisa juga dikatakan , pencatatan
perkawinan itu merupakan alat bukti tertulis yang otentik.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa
perbuatan pencatatan itu tidaklah menentukan keabsahan dari suatu perkawinan,
tetapi perbuatan pencatatan itu lebih merupakan suatu pernyataan bahwa peristiwa perkawinan itu merupakan peristiwa administrative belaka. Jadi tidak
mempengaruhi akan kabsahan dari suatu perkawinan yang telah terjadi. Sebab
seperti yang telah diuraikan dimuka,
menurut pasal 2 ayat 1 Undang – Undang Perkawinan dikatakan
bahwa perkawinan dalah sah, bilamana dilakukan menurut hukum masing –
masing agama dan kepercayaannya itu.
Tentang tata cara melakukan
pencatatan perkawinan diatur dalam pasal
3 sampai dengan pasal 9 dan pasal 11 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, yang meliputi beberapa tahapan yaitu, pemberitahuan, penelitian,
pengamanan dan saat pencatatan.
4.
Kesimpulan
Dengan
dicabutnya SK Mendagri No. 72223/1991, sekarang perkawinan beda agama tidak bisa dilaksankan di Indonesia, karena
perkawinan beda agama bertentangan
dengan Ajaran Agama dan UU NO.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat ada sebagian anggota masyarakat yang tetap melaksanakan perkawinan beda
agama meskipun perkawinannya dilakukan
di Luar Negeri.
Dengan
tidak adanya jalan keluar tersebut di dalam Negeri akan timbul Problematika
hukum ,dimana anggota masyarakat
yang menginginkan perkawinan beda agama
tidak menemukan jalan keluar , sehingga terpaksa
salah satunya pindah
agama, yang tidak sesuai dengan keyakinannya atau demi mengelabu administrasi
mereka membuat pernyataan
atau memalsukan identitas
agar perkawinan bisa dilaksanakan
secara hukum nasional agar
tidak terbentur masalah
administrasi. Memang kita harus
mengakui bahwa ketentuan yang digunakan oleh Undang -Undang
tersebut di dasarkan pada agama dan
kepercayaannya ,sehingga kalau kita
balik bertanya agama mana
yang membolehkan perkawinan
beda agama ? jawaban sudah tentu nahwa
setiap agama tidak ada yang membolehkan umatnya kawin dengan
beda agama ,kalau demikian siapa yang salah ? tolong
dijawab sendiri
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, Himpunan Peraturan Perundang – Undangan Tentang
Perkawinan, PT Akademi Presindo,
Jakarta, 1986
Abdurachman dan Ridwan Sahrani, Masalah
– msalah Hukum Perkawinan di Indonesia, PT Alumni , Bandung, 1978
Amak, FZ, Proses Undang – Undang
Perkawinan, PT Almaarif, Bandung, 1976
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta, 1987
Fuad Fachruddin, Masalah anak
Dalam Hukum Islam, PT Pedoman Ilmu
Jaya, Jakarta, 1983
Huzairin, Hukum Kewarisan
Bilateral Menuert Al Quran, Tinta
Mas, Jakarta, 1980
Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia
dan Indonesia, PT Alumni Bandung,
1982
Much. Yunus , Hukum Perkawinan
Dalam Islam, PT Hidaharja Agung,
Jakarta, 1983
Saidus Sahar, Undang – Undang
Perkawinan dan Masalah pelaksanaannya ditinjau dari hukum islam, PT Alumni Bandung, 1983
Sujuti Thalib, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta , 1982
Soemiyati, Hukum Perkawinan
Islam Dan Undang – Undang Perkawinan, PT
Leberty, Yogjakarta, 1982
Soerjono Soekanto, Intisari
Hukum keluarga, PT Alumni Bandung, 1980
Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan
Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1987
Zakaria Achmad, Hukum Anak – Anak Dalam Islam, PT Bulan Bintang, Jakarta, 1982.
[1] Dosen DPK Kopertis Wil. VII pada Universitas Panca Marga
Probolinggo. Saat ini menyelesaikan Program Doktor Ilmu Universitas Bhayangkara
Surabaya.
[2] M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal UU No 1 Tahun 1974
Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Alumni , Bandung , 1987, hal. 8
[3] Subekti, Pokok – pokok Hukum Perdata, PT Intermasa , 1979, hal. 84
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum
Perkawinan Adat, Penerbit Alumni,
Bandung, 1983, hal. 78
[5] Soemiyati, Hukum
Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan, PT
Leberty, 1982, hal. 63
[6] Abdurachman, Himpunan peraturan perundang – undangan tentang
perkawinan, Akademi Presindo,
Jakarta, 1986, hal 23
Tidak ada komentar
Posting Komentar