IMPLEMENTASI ASAS PERSIDANGAN TERTUTUP UNTUK UMUM DALAM KASUS PERKOSAAN
BAGI SAKSI KORBAN DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA
Anggrita Esthi
ABSTRAK
Menangani masalah korban perkosaan diperlukan cara khusus
yang berbeda dari kejahatan lain di tingkat pengadilan. Tugas utama dari
seorang hakim adalah untuk memberikan keadilan dan perlindungan pada
korban-korban kasus perkosaan. Hakim merupakan pelaku inti yang secara
fungsional melaksanakan kekuasan kehakiman, dalam melaksanakan kekuasaan
kehakiman tersebut hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibannya
sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada saat
melaksanakan dan memimpin jalannya proses persidangan terkait kasus perkosaan,
sidang dilakukan secara tertutup. Penyelenggaraan pelaksanaan persidangan
secara tertutup terhadap kasus perkosaan secara tidak langsung memiliki dampak
bagi saksi korban. Dampak yang akan lebih dirasakan oleh saksi korban adalah dampak
secara psikologis. Perasaan malu, trauma, dan depresi masih dirasakan oleh
saksi korban. Karena dalam proses persidangan saksi korban akan menjelaskan
peristiwa yang dialaminya tersebut kepada hakim yang memriksa perkaranya.
Korban akan teringat peristiwa itu untuk kemudian ia ungkapkan di muka
persidangan.
Kata kunci: kasus perkosaan, pelaksanaan sidang, saksi
korban.
ABSTRACT
Dealing with
rape victims needed a special way different from other crimes in the courts.
The main task of a judge is to provide justice and protection to victims of
rape. Hakim is the core players that are functionally carrying out the judicial
authorities, in carrying out the judge of the judicial authorities must
understand the scope of duties and obligations as set out in legislation. When
implementing and leading the way proceedings related to cases of rape, the
trial was held in private. The delivery of implementation in a closed trial on
rape cases are not directly have an impact on the survivors. Impact would be
felt by the survivors is the psychological impact. Feelings of shame, trauma,
and depression is still being felt by the survivors. Because the trial
witnesses will explain the events that happened to the judges who examined his
case. Victims will be remembered for the incident then he revealed in a court
of law.
Key words: the
case of rape, the implementation of the trial, witnesses
Pendahuluan
Indonesia
sebagai negara yang berkembang sedang menghadapi permasalahan sosial.
Perkembangan kejahatanpun juga beraneka ragam. Persoalan kriminalitas sama
sekali bukan persoalan sederhana terutama dalam masyarakat yang tengah
mengalami perubahan-perubahan sosial ekonomi seperti Indonesia. Masalah itu
harus ditanggapi secara serius dengan mengacu pada konteks sosial yang lebih
luas dengan mempertimbangkan pula kenyataan pelaksanaan fungsi-fungsi aparat
keamanan dan ketertiban masyarakat dalam lingkungan sosial, ekonomi, politik,
teknologi, dan hukum yang semakin kompleks.
Kejahatan
juga sering menimpa wanita dan anak-anak. Kejahatan yang menimpa wanita dan
anak-anak tersebut salah satunya adalah kejahatan kesusilaan. Kejahatan
kesusilaan seperti pelecehan seksual, perkosaan, perbuatan cabul, dan zina
sering terjadi di masyarakat. Kejahatan kesusilaan pada umumnya menimbulkan
kekhawatiran atau kecemasan khususnya orang tua terhadap anak wanita karena
selain dapat mengancam anak-anak wanita dapat pula mempengaruhi pertumbuhan ke
arah kedewasaan seksual lebih dini. Made
Dharma Dewa menyatakan bahwa “dewasa ini kejahatan perkosaan merupakan
kejahatan yang cukup mendapatkan perhatian di kalangan masyarakat. Kejahatan
tersebut sepertinya meningkat, sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat”.[1]
Berbicara
mengenai perkosaan, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah korban. Korban
perkosaan tidak hanya mengalami penderitaan secara fisik, melainkan juga
mengalami penderitaan sosial dan psikis. Trauma psikologis membekas pada diri
korban. Korban biasanya akan mengalami stres dan depresi yang cukup berat
sehingga diperlukan penanganan khusus dalam proses persidangan. Akibat kejadian
tesebut sangat dimungkinkan terjadi trauma psikologis yang akan mengganggu perkembangan
mental pada korban perkosaan. Tidak jarang kondisi sosial psikologis lebih
memperberat penderitaan seorang korban meskipun kondisi fisiknya telah dapat
disembuhkan secara medis. Seseorang yang menjadi korban perkosaan akan merasa
malu dan takut untuk mengungkapkan peristiwa yang dialaminya.
Trauma
psikologis akan berlanjut apabila anggota keluarganya atau masyarakat
menganggap peristiwa itu sebagai aib yang memalukan. Korban perkosaan
seharusnya mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat mereka. Tetapi
biasanya orang tua korban tidak mengerti apa yang harus dilakukan, bahkan
terkadang ada yang tidak berbuat apa-apa dengan tujuan agar aib tersebut tidak
diketahui oleh orang lain atau masyarakat, sehingga pelaku perkosaan dapat
bebas dari jeratan hukum.
Di
Indonesia, induk peraturan hukum pidana terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP). KUHP yang berlaku di Indonesia saat
ini masih tetap KUHP peninggalan kolonial. Dalam KUHP terdapat beberapa rumusan
mengenai kejahatan kesusilaan, antara lain : Pasal 281 yang mengatur tentang
perbuatan merusak kesusilaan di muka umum; Pasal 282 merumuskan pornografi;
Pasal 284 merumuskan delik zina; Pasal 285 merumuskan perbuatan perkosaan;
Pasal 286-288 mengatur mengenai persetubuhan; dan Pasal 289-296 merumuskan
perbuatan cabul.
Oleh
karena itu, untuk menangani masalah korban perkosaan diperlukan cara khusus
yang berbeda dari kejahatan yang lain di tingkat pengadilan. Tugas utama dari
seorang hakim adalah untuk memberikan keadilan dan perlindungan pada
korban-korban kasus perkosaan. Hakim merupakan pelaku inti yang secara
fungsional melaksanaan kekuasaan kehakiman, dalam melaksanakan kekuasaan
kehakiman tersebut hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibannya
sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.[2]
Pada
saat melaksanakan dan memimpin jalannya proses persidangan terkait kasus
perkosaan, sidang dilakukan secara tertutup. Sebagaimana Pasal 153 ayat 3 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP), menegaskan
bahwa untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan
menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau
terdakwanya anak-anak.[3]
Hal
ini dapat dipahami karena kasus perkosaan berkaitan dengan rasa susila dan rasa
malu dalam diri manusia. Segala hal yang terkait dengan kesusilaan merupakan
suatu hal yang bukan untuk dipertunjukan pada masyarakat umum. Acara
pemeriksaan di persidangan yang didengar keterangannya adalah korban yang menjadi
saksi, hal ini didasarkan pada Pasal 160 ayat 1 b KUHAP. Keadaan dimana korban
menjadi saksi maka bagi tersangka, ia mungkin merupakan bukti yang paling
membahayakan bagi penuntutan. Bagi pengadilan kesaksian korban dipandang sangat
penting, oleh karena saksi ini dalam persidangan akan dianggap mengetahui lebih
banyak mengenai peristiwa pelanggaran hukum yang terjadi.
Penyelenggaran
pelaksanaan persidangan secara tertutup terhadap kasus perkosaan secara tidak
langsung memiliki dampak bagi saksi korban. Dampak yang akan lebih dirasakan
oleh saksi korban adalah dampak secara psikologis. Perasaan malu, trauma, dan
depresi masih dirasakan oleh saksi korban. Karena dalam proses persidangan
saksi korban akan menjelaskan peristiwa yang dialaminya tersebut kepada hakim
yang memeriksa perkaranya. Korban akan teringat peristiwa itu untuk kemudian ia
ungkapkan di muka persidangan.
Permasalahan
1.
Bagaimana kedudukan saksi
korban dalam persidangan kasus perkosaan?
2.
Bagaimana pelaksanaan persidangan secara
tertutup kasus perkosaan bagi saksi korban?
Pembahasan
Kedudukan
Saksi Korban Dalam Persidangan Kasus Perkosaan
Saksi
yang paling menentukan dalam kasus korban perkosaan adalah saksi korban
perkosaan. Pasal 160 ayat 1 huruf b KUHAP, merumuskan bahwa yang pertama-tama didengar
keterangannya adalah korban yang menjadi saksi.
Sistem
dalam KUHAP mengatur dalam hal mendengarkan keterangan saksi satu demi satu dan
yang pertama didengar ialah saksi korban yakni orang yang dirugikan akibat
terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, jika yang didengar sebagai saksi yang
pertama-tama dan ia merupakan saksi utama. Akan tetapi dalam prakteknya tidak
menutup kemungkinan saksi lain didengar keterangannya terlebih dahulu.
Pada
proses pemeriksaan dan persidangan dibutuhkan alat bukti yang sah yang dapat
dijadikan hukum dalam memutuskan suatu perkara yang disidangkan. Pada Pasal 184
ayat 1 KUHP merumuskan suatu alat bukti
yang sah, yaitu: (1) Keterangan saksi; (2) Keterangan ahli; (3) Surat;
(4) Petunjuk; (5)Terdakwa. Konsekuensinya keterangan saksi menghendaki urutan
pertama dalam proses pembuktian persidangan. Bagi saksi korban kesaksiannya
dinilai sangat penting, karena ia mengetahui secara langsung kronologis
peristiwanya, hal ini berbeda dengan saksi yang tidak mengalami sendiri peristiwanya.
Rumusan mengenai saksi juga diatur dalam Pasal 185 ayat 1 KUHAP yang berbunyi:
“keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan”. Pasal ini memberikan ketentuan tentang keterangan saksi, dengan
kata lain keterangan yang disampaikan tidak diperoleh dari orang lain atau testimonium auditu, dan alat bukti
inilah yang dinilai paling penting. Kesaksian yaitu suatu keterangan dengan
lisan di muka hakim dengan sumpah tentang hal-hal mengenai kejadian tertentu
yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri.
Selain
saksi korban perkosaan diperiksa sebagai saksi oleh majelis hakim dalam
persidangan kasus perkosaan, orang tua maupun keluarga dari korban perkosaan
biasanya juga menjadi saksi dalam persidangan yang bersangkutan, disamping
saksi lain yang mengetahui peristiwa yang terjadi.
Korban
dalam kasus perkosaan sudah pasti orang yang mengalami peristiwa ini secara
langsung. Ia berhak mengajukan pengaduan atas kejahatan yang menimpanya
tersebut. Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 108 ayat 1 KUHAP, yang menyatakan
bahwa setiap orang yang mengalami, meihat, menyaksikan dan atau menjadi korban
peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau
pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis. Makna
yang terkandung dalam pasal ini, bagi setiap orang yang mengalami, melihat,
menyaksikan dan atau menjadi korban suatu peristiwa yang merupakan tindak
pidana, maka berhak mengadukan hal tersebut kepada pejabat yang berwajib
sebagaimana dirumuskan dalam pasal tersebut merupakan suatu hak bukan
kewajiban. Ini berarti, bahwa orang itu tidak akan mendapatkan kesukaran apapun
apabila ia tidak melaporkan hal itu kepada pejabat yang berwajib.
Korban kasus perkosaan dalam
proses pidana mempunyai kedudukan pertama ialah korban hadir sebagai saksi.
Fungsi korban yaitu memberi kesaksian dalam rangka mengungkapkan kejahatan yang
sedang dalam proses pemeriksaan baik dalam tahap penyidikan maupun pada tahap
penuntutan.
Kedua ialah korban hadir
sebagai pihak yang dirugikan. Fungsi korban disini ialah mengajukam gugatan
ganti kerugian yang diderita atas kejahatan yang menimpanya. Mengenai ganti
kerugian ini, KUHAP merumuskan dalam Pasal 98 ayat 1, yang menentukan bahwa
jika perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dalam suatu tuntutan perkara yang
diajukan oleh penuntut umum di pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi
orang lain, maka orang ini dapat mengajukan permintaan ganti kerugian dan hakim
ketua sidang dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian itu kepada perkara pidananya. Makna “kerugian
bagi orang lain” disini ialah kerugian pihak ketiga termasuk saksi korban.
Dalam pemeriksaan persidangan, hakim meminta saksi korban perkosaan untuk menceritakan
kronologis peristiwanya, kapan peristiwa itu terjadi, bagaimana cara
melakukannya. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus diperhatikan oleh hakim
agar saksi korban dapat memberikan keterangan dengan baik tanpa harus membuat
korban merasa tertekan dan jatuh mentalnya.
Saksi korban perkosaan dalam
proses peradilannya diwakili oleh jaksa penuntut umum dalam menuntut terdakwa
agar dijatuhi hukuman yang setimpal sesuai dengan perbuatannya. Berdasar data
putusan yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya pada kasus
perkosaan tahun 2008-2010 (tabel 2), terbukti bahwa tuntutan jaksa penuntut
umum belum mencerminkan keseimbangan penderitaan dan kerugian-kerugian yang
dialami korban. Hal ini jugdidukung oleh pernyataan salah satu keluarga korban,
yang menyatakan bahwa “tuntutan dan hukuman yang diterima pelaku sangat tidak
sebanding dengan kerugian dan penderitaa anaknya (dalam hal ini korban). Korban
tidak mau melanjutkan sekolahnya karena telah berbadan dua dan terus mengurung
diri di dalam rumah”.[4]
Hal ini menunjukkan bahwa jaksa penuntut umum dalam tuntutannya hanya menuntut
pidana saja. Belum ada jaksa penuntut umum yang menyertakan tuntutan ganti
kerugian kepada terdakwa terkait kasus perkosaan yang mengakibatkan korban
perkosaan menderita kerugian baik materiil maupun inmateriil.
Menurut Abdul Rosyad, tuntutan jaksa biasanya mengacu pada KUHP saja, jadi
jaksa penuntut umum hanya menuntut pidananya saja.[5]
Pada hal ini, korban tidak mendapatkan ganti kerugian, karena terdakwa lebih
memilih menjalankan pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda yang
dibebankan kepadanya. Berdasarkan data register perkara di Pengadilan Negeri
Surabaya, pelaku perkosaan berasal dari golongan ekonomi lemah dan
berpendidikan rendah sehingga pelaku tidak dapat membayar biaya denda yang
dikenakan kepadanya.
Bentuk perlindungan yang
diberikan hakim dalam menangani kasus perkosaan ini hanyalah sebatas pada
memberikan putusan yang seadil-adilnya. Pelaksanaan persidangan secara tertutup
juga merupakan salah satu bentuk perlindungan bagi saksi korban perkosaan.
Hakim dapat menyarankan kepada jaksa penuntut umum agar tidak mengacu pada KUHP
saja dalam memberikan tuntutan bagi terdakwa kasus perkosaan, padahal jika
korban perkosaan itu adalah anak-anak, jaksa penuntut umum dapat menggunakan
undang-undang perlindungan anak. Hal ini dikarenakan, di dalam Undang-Undang
perlindungan anak, sanksi pidananya lebih berat daripada sanksi dalam KUHP. Hal
itupun juga termasuk bentuk perlindungan bagi korban perkosaan khususnya
anak-anak. Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, mengatur mengenai perlindungan dan hak-hak saksi dan korban, antara
lain:
Pasal 5 ayat (1), yang berisi bahwa seorang
saksi dan korban berhak memperoleh:
a.
Perlindungan atas keamanan
pribadi dari ancaman fisik maupun psikologis yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, tengah atau telah diberikannya atas suatu perkara pidana,
b.
Hak untuk memilih dan
menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan,
c.
Hak untuk mendapatkan nasehat
hukum,
d.
Hak untuk memberikan keterangan
tanpa tekanan,
e.
Hak untuk mendapatkan
penerjemah,
f.
Hak untuk mendapatkan
informasi mengenai perkembangan kasus,
g.
Hak untuk mendapatkan
informasi mengenai keputusan pengadilan,
h.
Hak untuk mengetahui dalam
hal terpidana dibebaskan,
i.
Hak untuk mendapatkan identitas
baru,
j.
Hak untuk mendapatkan tempat
kediaman baru (relokasi), dan/atau
k.
Hak untuk memperoleh
penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 5 ayat (2) hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan pula kepada keluarga saksi korban dan/atau korban dalam
kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan lembaga perlindungan saksi dan
korban.
Pasal 6 merumuskan, korban
dalam tindak pidana dengan kekerasan dan pelanggaran HAM berat, selain berhak
atas hak sebagaimana diatur dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan bantuan
berupa bantuan medis dan bantuan raehabilitasi psiko-sosial.
Pada dasarnya tindak
kekerasan menyebabkan penderitaan fisik pada korban. Selain penderitaan fisik,
korban juga menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya. Oleh sebab itu,
negara berkewajiban untuk memberikan bantuan pada korban untuk membantu
menyembuhkan luka-lukanya baik secara fisik maupun psikis, salah satunya yaitu
bantuan psikolog. Bantuan ini dirasa sangat diperlukan untuk membantu korban
dalam menjalani kembali kehidupannya yang telah dikacaukan oleh adanya tindak
kekerasan.
Pelaksanaan
Persidangan Secara Tertutup Kasus Perkosaan Bagi Saksi Korban
Penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang pelaksanaannya dilakukan oleh institusi peradilan, terdapat hal
yang perlu diperhatikan bahwa salah satu asas yang ada dalam asas-asas umum
peradilan yang baik adalah pemeriksaan berlangsung terbuka. Asas ini dapat
dijumpai dalam Pasal 19 ayat (1)
Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman)
yang menyebutkan bahwa “sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk
umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain”. Hal ini berarti bahwa
setiap orang boleh hadir, mendengar dan menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara
di pengadilan.
KUHP juga mengatur mengenai
persidangan yang terbuka untuk umum. Hal ini tercantum dalam Pasal 153 ayat 3
KUHP yang berbunyi “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”. Berdasarkan pasal tersebut, hakim ketua
sidang membuka sidang dengan suatu pernyataan bahwa persidangan dibuka dan
terbuka untuk umum yang berati sidang bersangkutan dapat dikunjungi oleh setiap
orang. Namun, dalam hal-hal tertentu perkara-perkara anak atau perkara yang
menyangkut kesusilaan seperti perkosaan, maka sidang ditutup untuk umum, akan
tetapi semua putusan diucapkan senantiasa dengan sidang terbuka untuk umum. Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 20 UU Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan semua
putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.
Adapun hubungannya dengan
kasus perkosaan persidangan yang diselenggarakan secara tertutup, dimaksudkan
untuk melindungi dan menjaga mental dari korban perkosaan. Di samping itu,
selain untuk menunjukkan adanya perlindungan terhadap korban agar memaparkan
peristiwa tanpa merasa membuka aibnya kembali di depan umum. Sehingga,
diharapkan saksi korban perkosaan tidak akan merasa malu untuk menceritakan
peristiwa yang dialaminya di depan persidangan, serta tidak merasa dipermalukan
di depan umum, karena membuka aib yang menimpanya. Kasus perkosaan merupakan
kasus yang menyangkut nama baik dan sifatnya yang sangat pribadi. Sehingga
dalam pemeriksaannya dilakukan secara tertutup. Hal ini di samping kasus perkosaan meupakan kasus yang
berkaitan dengan kesusilaan, sistem hukum yang ada mengatur bahwa untuk
kasus-kasus kesusilaan persidangannya dilakukan secara tertutup.
Kasus kesusilaan yang sering
terjadi di wilayah Pengadilan Negeri Surabaya adalah kasus perkosaan. Korban
perkosaan sering menimpa wanita di usia antara 16 tahun sampai 20 tahun.
Sedangkan pelaku berusia lebih tua dari korban, yaitu sekitar 19 tahun sampai
36 tahun. Perkosaan yang menimpa wanita dewasa maupun yang menimpa anak-anak
akan memberikan dampak yang berbeda. Umumnya secara psikologi saksi korban
perkosaan akan mengalami trauma.
Penderitaan korban akan
terasa kembali saat menjalani persidangan, di mana saksi korban perkosaan harus
menceritakan kembali semua peristiwa yang dialaminya dari awal sampai akhir
secara rinci dan jelas. Dari berbagai penderitaan korban yang telah disebutkan
sebelumnya, misalnya kerugian fisik dan non fisik, serta kerugian materiil dan
non materiil, maka terdapat unsur-unsur penting dalam penderitaan korban yaitu
adanya kerugian fisik, mental dan sosial akibat kejahatan, dimana penderitaan
itu ia rasakan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai contoh,
setelah persidangan tidak serta merta
berakhir karena penderitaan korban perkosaan tidak selesai dengan berakhirnya
proses persidangan. Aib yang menimpa dirinya, penderitaan lahir, batin maupun
sosial serta rasa malu masih dirasakan korban perkosaan. Korban perkosaan hanya
membutuhkan perhatian dari pihak keluarganya saja, karena masyarakat sudah
tidak akan menghargai dia lagi, bahkan peristiwa tersebut akan selalu
diungkit-ungkit oleh masyarakat. Jika korban masih berdomisili di tempat yang
sama. Abdul Rosyad, menyatakan bahwa
untuk korban perkosaan baik itu yang masih anak-anak maupun yang sudah dewasa
disarankan untuk pindah dari lingkungannya semula.[6]
Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak mengungkit lagi kejadian yang menimpanya.
Sehingga dengan tinggal di tempat dan di lingkungan yang baru tersebut,
diharapkan korban perkosaan agar segera pulih dan melupakan peristiwa pahit
yang menimpanya.
Pada saat menyelesaikan
kasusnya di persidangan, saksi korban menyerahkan sepenuhnya keputusan pada
hakim. Senada dengan hal tersebut, salah satu keluarga korban menyatakan bahwa
“bagimanapun persidangan pada waktu itu,
kami pasrahkan sepenuhnya pada hakimnya, yang penting hukuman yang diterimanya
setimpal”.[7]
Dapat dilihat bahwa keluarga dan saksi korban berharap terdakwa akan dihukum
sesuai dengan perbuatannya. Proses pemeriksaan di persidangan semua pengadilan
memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim, kecuali
apabila undang-undang menentukan lain. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin pemeriksaan
yang seobyektif mungkin guna memberikan perlindungan hak asasi manusia dalam
bidang peradilan. Sistem KUHAP selalu menyebutkan adanya hakim ketua yang
memimpin sidang, yang berarti bahwa Pengadilan Negeri selalu bersidang dengan
seorang ketua dan beberapa hakim anggota lainnya, sekurang-kurangnya dengan
jumlah 3 (tiga) orang hakim sehingga susunan yang demikian itu merupakan suatu
susunan majelis hakim. Untuk melindungi saksi korban dalam kasus perkosaan ini
pelaksanaan pemeriksaan di persidangan dilakukan secara tertutup, dengan acara
tertutup ini orang lain yang tidak berkepentingan tidak dapat hadir untuk
mengikuti jalannya proses persidangan.
Dampak
Pelaksanaan Persidangan Secara Tertutup Kasus Perkosaan Bagi Saksi Korban
Dampak dari persidangan yang
dilakukan secara tertutup ini selain memiliki danpak positif juga memiliki
dampak negatif bagi saksi korban perkosaan. Dampak positif dengan adanya
persidangan secara tertutup ini yaitu masyarakat tidak dapat mengikuti dan melihat
secara langsung proses pemeriksaan di persidangan, sehingga korban tidak merasa
malu dalam memberikan kesaksian dan menceritakan kronologis peristiwa yang
dialaminya.
Dampak negatifnya akan sangat
terlihat apabila korban perkosaan masih anak-anak. Pemeriksaan yang dilakukan
secara tertutup akan menimbulkan dampak yang tidak baik bagi korban. Saksi
korban perkosaan dalam persidangan akan merasa tertekan dan takut karena
bertemu dengan terdakwa di ruang persidangan. Ketentuan Undang-undang yang
mengharuskan dilakukannya pemeriksaan secara tertutup berarti persidangan hanya
dihadiri oleh korban sendiri tanpa didampingi oleh siapapun. Selanjutnya di
dalam ruang persidangan hanya terdapat Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum,
Penasehat Hukum terdakwa dan terdakwa sendiri.
Abdul Rosyad, menerangkan bahwa dalam kasus
perkosaan yang pernah ia tangani, pada saat persidangan akan dimulai korban
bertemu dengan terdakwa di ruang sidang, diceritakan dari pengalamannya pernah
terjadi seketika korban menangis dan jatuh pingsan.[8]
Disini dapat dilihat bahwa korban masih dalam keadaan trauma atas peristiwa
yang menimpanya. Meskipun tidak semua korban perkosaan mengalami trauma yang
cukup berat, namun menurut beliau khusus bagi korban yang masih anak-anak,
keadaan trauma ini dirasakan cukup berat. Berbeda jika korban telah dewasa,
mereka lebih bisa menerima dengan tabah dan dapat berpikir agar pelaku dapat
dihukum sesuai dengan perbuatannya. Sehingga bagi korban anak-anak sangat sulit
untuk menceritakan kronoligis kasusnya, berbeda dengan korban yang telah
dewasa, mereka dapat dengan jelas menjawab pertanyaan majelis hakim dan
menceritakan kronologis kasusnya.
Disini dapat diketahui bahwa
dampak psikologis dari kasus perkosaan yang menimpa korban bergantung pada usia dari
kepribadian masing-masing korban. Semakin dewasa korban membuat korban lebih
bisa berpikir logis sehingga dampaknya tidak begitu dirasakan berat
dibandingkan dengan jika usia korban masih tergolong anak-anak. Kepribadian
dari masing-masing orang juga mempengaruhi keadaan psikologis korban perkosaan.
Untuk pribadi yang cenderung pendiam dan menutup diri akan merasa lebih berat
beban yang dialaminya, jika dibandingkan dengan pribadi yamg cenderung lebih
terbuka dan mudah bergaul dengan orang pribadi yang demikian akan lebih cepat
melupakan peristiwa yang menimpanya.
Pada saat pemeriksaan
persidangan, saksi korban biasanya takut untuk menceritakan peristiwa yang
dialaminya, terlebih di dalam ruang sidang ada terdakwa. Kesulitan-kesulitan
hakim dalam memeriksa saksi korban di persidangan disebabkan karena korban
tidak terbuka dalam memberikan keterangannya karena merasa malu. Selain itu
perasaan takut pada diri saksi korban yang dirasakan karena adanya terdakwa,
sehingga mengakibatkan saksi korban tidak leluasa memberikan keterangannya. Kesulitan
lain karena korban perkosaan masih anak-anak, biasanya korban lupa atau tidak
bisa mengingat ingat kronologis peristiwa yang dialaminya. Pada saat ini
dibutuhkan kesabaran hakim untuk menuntun saksi korban yang masih anak-anak
untuk menceritakan kejadiannya secara kronologis. Untuk mengatasi
kesulitan-kusulitan tersebut majelis hakim mengambil kebijakan atau
alternatif-alternatif lain yang tidak ada dalam hukum acara, yaitu saksi korban
dapat didampingi pihak keluarga khususnya orang tua. Hal ini bertujuan
memberikan keleluasaan kepada saksi korban perkosaan untuk memberikan
keterangan yang lebih terbuka dan ada keberanian utuk menceritakan peristiwa
secara kronologis.
Kebijakan yang diambil oleh
hakim tersebut dilakukan dengan melihat situasi dan kondisi di dalam
persidangan. Jika saksi korban dalam kondisi takut sehingga ia tidak leluasa
memberikan kesaksiannya di depan
persidangan, hal ini dikarenakan adanya terdakwa di ruang persidangan, maka
hakim dapat mengijinkan orang tua atau keluarganya untuk hadir di persidangan
guna memberikan rasa aman dan tenang pada diri saksi korban. Hal ini
dimaksudkan untuk membantu saksi korban secara psikologis dapat memberikan
kekuatan dan ketabahan diri agar saksi korban dapat memberikan kesaksiannya
secara jelas. Hal tersebut, sesuai dengan yang diungkapkan oleh Abdul Rosyad, bahwa hakim dalam
memutuskan perkara juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang penting,
diantaranya yaitu berdasar pada hati nurani dan yang melatar belakangi/memicu
perbuatan tersebut.[9] Pada saat memutuskan
perbuatan pidana, hakim akan mengumpulkan informasi persidangan dari jaksa
penuntut umum, saksi, terdakwa maupun barang bukti. Dengan demikian,
fakta-fakta yang terungkap dari persidangan dan didukung dengan barang bukti
yang kuat diharapkan hakim dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya.
Kesimpulan
1.
Kedudukan saksi korban
perkosaan dalam persidangan kasus perkosaan
Saksi yang paling menentukan dalam kasus
perkosaan adalah saksi korban perkosaan. Menurut Pasal 160 ayat 1 huruf b KUHAP,
yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi.
KUHAP menyatakan dalam hal mendengarkan keterangan saksi yang pertama-tama
didengar ialah saksi korban, yakni orang yang dirugikan akibat terjadinya
kejahatan.
2.
Pelaksanaan persidangan
secara tertutup kasus perkosaan bagi saksi korban perkosaan
Pemeriksaan persidangan pada kasus perkosaan
yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Surabaya dilaksanakan secara
tertutup, hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 153 ayat (3) KUHAP, yaitu hakim ketua sidang
menyatakan sidang terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan
atau terdakwanya anak-anak. Dampak positif dengan diselenggarakannya
persidangan secara tertutup, yakni masyarakat atau orang lain yang tidak berkepentingan
tidak dapat hadir untuk mengikuti jalannya proses persidangan secara langsung
sehingga korban tidak merasa malu dalam memberikan keterangan dan menceritakan
peristiwa yang dialami. Ketentuan Undang-Undang yang mengharuskan dilakukannya
pemeriksaan secara tertutup juga menimbulkan dampak yang tidak baik bagi
korban. Saksi korban perkosaan yang tidak didampingi oleh siapapun dalam
persidangan akan merasa tertekan dan takut karena bertemu dengan terdakwa di
ruang persidangan, dan keadaan inilah yang sangat berat dirasakan oleh saksi
korban.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdul Wahid dan
Muhammad Irfan, Perlindungan Hukum
Terhadap Korban Kekerasan Seksual. Refika Aditama, Bandung, 2001.
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan Kumpulan Karangan,
PT. Buana Ilmu, Jakarta, 2004.
Kusuma, Kejahatan, Penjahat dan Reaksi Sosial,
Alumni, Bandung, 1982.
Laden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah
Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 1996.
Made Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
M. Marwan dan
Jimmy P, Kamus Hukum, Reality
Publisher, Surabaya, 2009.
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi,
Eresco, Bandung, 2005.
Yusti Probowati
Rahayu, Dibalik Putusan Hakim (Kajian
Psikologi Hukum Dalam Perkara Pidana) Citramedia, Sidoarjo, 2005.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
WAWANCARA
Wawancara dengan
Hakim Ketua Majelis Kasus Perkosaan, H. Abdul Rosyad, SH pada tanggal 25 Mei
2011
Wawancara dengan
Hakim Anggota, Agus Pambudi, SH pada tanggal 26 Mei 2011
Wawancara
dengan Jaksa Penuntut Umum, Fadilah, SH tanggal 27 Mei 2011
Wawancara dengan keluarga korban, tanggal 30
Mei 2011.
LAIN-LAIN
Rifka
Annisa, http// situs kesepro.info/generyaw/materi/perkos
Tidak ada komentar
Posting Komentar