ASPEK KONTRAKTUAL PENGELOLAAN
PERTAMBANGAN
MINERAL DAN BATU BARA
Faizal Kurniawan*
Abstrak
Pada awalnya,
pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara dilakukan melalui kontrak karya.
Kontrak karya ini mengandung karakteristik publik yang lazim disebut government contract berimplikasi pada
keseluruhan proses kontrak, mulai dari tahap pembentukan, pelaksanaan dan
penegakan hukumnya. Keabsahan kontrak karya sebagai kontrak publik menjadi
faktor utama untuk mencapai optimalisasi tujuan pemerintahan dan negara guna
mencapai kesejahteraan rakyat.
Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara
terjadi pergeseran dari kontrak karya menjadi konstruksi pemberian Izin Usaha
Pertambangan (IUP). Meskipun terjadi pergeseran mekanisme pengelolaan
pertambangan mineral dan batu bara, kedudukan kontrak karya masih tetap berlaku
sampai dengan berakhirnya jangka waktu kontrak karya tersebut. Pergeseran ini
juga membawa akibat hukum yang berbeda.
Kata Kunci: kontrak karya, government contract, Izin Usaha
Pertambangan.
Abstract
Before the Act Number 4/2009 came into force, the operation of
mineral and coal
mining is managed by contract. The contract belongs to government
contract which has a hybrid characteristic; therefore, it
affects to the entire contract process, starting from the establishment, implementation and its enforcement.
Validity of the contract is being the
main factor to achieve the
welfare of the people.
Since the enactment of Law Number 4/2009 on Mineral and Coal, there was a substantive shifting
from the contract into giving a license, called Izin
Usaha Pertambangan (IUP). This legal
mechanism also takes into different legal consequences.
Despite the position of contract will be changed, the contract is still valid
until the expiry date of the
contract.
Keywords : government contract,
validity of contract, mining license.
Pendahuluan
Pengelolaan pertambangan di Indonesia mengalami berbagai perkembangan
sejak dikeluarkan Undang-Undang pertambangan Tahun 1967. Pada Tahun 2009
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
Batubara yang mengatur mengenai pengelolaan pertambangan di Indonesia.
Sumber daya alam termasuk di dalamnya mineral dan batubara merupakan
salah satu modal dasar dalam melakukan pembangunan. Khusus untuk sumber daya
pertambangan perlu diwaspadai dan diatur pemanfaatannya karena sumber daya ini
tidak dapat diperbarui dalam jangka waktu cepat. Sejalan dengan pentingnya
peranan sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam mendukung kehidupan
manusia, maka pemerintah menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam pengelolaan
lingkungan termasuk pertambangan.
Pengelolaan pertambangan juga tidak lepas dari aspek kontraktual. Kontrak
merupakan instrument hukum yang menjadi aturan main bagi para pihak untuk
mengakomodir setiap kepentingan dan menjamin setiap transaksi bisnis, terlebih
lagi apabila salah satu pihak yang menjadi kontraktannya adalah Pemerintah.
Konsep klasik yang diusung dalam kontrak adalah konsep kebebasan berkontrak.
Dalam konsep tersebut setiap orang berhak untuk menentukan dan membuat kontrak,
bahkan bebas untuk menentukan lawan sekontraknya. Intervensi pemerintah ditolak
dan sebaliknya memberi kebebasan kepada setiap individu, yakni kebebasan untuk
mengejar kebahagiaan dan kebebasan untuk mengadakan hubungan sesuai dengan yang
dikehendaki. [1]
Dalam konteks kontrak yang melibatkan pemerintah sebagai salah satu
subyek hukumnya, prinsip kebebasan berkontrak ini mempunyai fungsi yang sangat
penting terkait dengan tindakan pemerintah dengan sector privat. Seringkali
hubungan hukum yang muncul melalui sarana kontrak tersebut sering menimbulkan
kekaburan yang disebabkan karena tindakan pemerintah yang bersifat administrasi
dalam banyak hal bertumpu pada hukum public.
Seperti halnya pada usaha pertambangan yang mana pemerintah selaku pihak
penguasa atas penguasaan mineral dan batubara yang disebabkan karena mineral
dan batubara merupakan Sumber Daya Alam yang menguasai hajat hidup orang
banyak, sudah sepantasnyalah pemanfaatan atas Sumber Daya Alam tersebut
haruslah dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Kontrak yang melibatkan
penguasa ini sebagai pihak lazim disebut sebagai government contract. Y.
Sogar Simamora menterjemahkan istilah tersebut dengan kontrak pemerintah.
Dalam kontrak pemerintah, khususnya bidang pertambangan ini terdapat syarat,
prosedur dan standar tertentu yang harus dipenuhi sebelum para pihak menandatangani
kontrak tersebut.
Kontrak pertambangan ini di dalam UU No. 4/ 2009 dikenal dengan kontrak
karya atau perjanjian karya. Dalam Pasal 169 UU No. 4/ 2009, bahwa kontrak
karya atau perjanjian karya harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang
tersebut. Problematika yang sering muncul atas kontrak-kontrak karya ini,
apabila syarat, prosedur dan standar tertentu yang sudah dilalui dan dipegang
oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) ternyata cacat prosedur. Cacatnya
izin yang diperoleh tersebut tentunya akan berdampak pada hubungan kontraktual
yang sudah dibangun antara pemerintah dan pemegang Izin Usaha Pertambangan.
Permasalahan
1.
Apa
syarat keabsahan kontrak karya sebagai jenis kontrak pemerintah (government contract)?
2.
Apakah
akibat hukum terhadap tidak dipenuhinya syarat administratif dalam kontrak
karya?
ANALISIS HUKUM
KEDUDUKAN KONTRAK KARYA PASCA BERLAKUNYA UU No. 4/ 2009
Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 11 tahun 1967 jo. Undang-undang
No. 4 tahun 2009 tidak mengatur secara tegas mengenai pengertian Kontrak Karya.
Pengaturan mengenai Kontrak Karya diatur dalam pasal 10 UU No. 11 tahun 1967,
yaitu:
“(1) Menteri dapat menunjuk pihak
lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh
Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang
kuasa pertambangan.
(2) Dalam
mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor seperti yang dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara harus berpegang pada
pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk dan syarat-syarat yang diberikan oleh
Menteri.
(3)
Perjanjian karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini berlaku sesudah disahkan
oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat apabila
menyangkut eksploitasi golongan a sepanjang mengenai bahan galian yang
ditentukan dalam pasal 13 Undang-undang ini dan/atau yang perjanjian karyanya
berbentuk penanaman modal asing.”
Maka berdasar
ketentuan tersebut, Pasal 10 ini menjadi dasar untuk kontrak karya baik dengan
pihak modal dalam Negeri maupun dengan modal Asing. Konsultasi termaksud
dilakukan dengan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat c.q. Komisi yang
bersangkutan. Penentuan penempatan Kontrak Karya dan pelaksanaannya diatur dengan
cara yang paling menguntungkan bagi Negara dan masyarakat.
Dalam Kontrak Karya ini, perusahaan pertambangan migas hanya diberi hak
kuasa pertambangan saja, tidak meliputi hak atas tanah, demikian pula
sebaliknya pemegang hak atas anah wajib untuk mengizinkan pemegang kuasa
pertambangan untuk melaksanakan tugas yang bersangkutan dengan tanah miliknya
dengan menerima ganti rugi[2].
Dalam ketentuan pasal 1 angka Kepmen ESDM No. 1614/ 2004, menyatakan
bahwa KK perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan
berbadan hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk melaksanakan
usaha pertambangan bahan galian, tidak
termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batubara. Jadi
dari maksud pasal diatas, ialah Kontrak Karya digunakan antara PMA yang tunduk
dengan hukum Indonesia, termasuk pada pendirian perusahaan dalam bentuk PT ( UU
No. 40/ 2007 jo UU No. 25/ 2007 ) dengan Pemerintah yang bahan-bahan galian
pertambangan umum ( selain Migas dan Batubara ) yang dijadikan sebagai objek
perjanjian.
Namun, dengan lahirnya UU No. 4/ 2009 terdapat perubahan yang signifikan
terhadap kedudukan kontrak karya dimaksud. Seperti yang telah dijelaskan pada
bab sebelumnya bahwa di dalam UU No. 4/ 2009 usaha pertambangan dibagi menjadi
dua bagian besar yakni usaha pertambangan mineral dan batu bara. Pembagian
usaha pertambangan ini nampaknya juga berpengaruh pada eksistensi kontrak
karya.
Kedudukan kontrak karya dimaksud sedikit bergeser ke ranah hukum
administrasi yakni digantikan dengan mekanisme pemberian izin, dalam hal mana
pemberian izin ini berdasarkan dilaksanakan dalam bentuk:
a.
Izin Usaha Pertambangan (IUP);
b.
Izin Pertambangan Rakyat (IPR);dan
c.
Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Pengaturan lebih
lanjut mengenai kedudukan Kontrak Karya pada era berlakunya UU No. 4/ 2009
terdapat dalam ketentuan peralihan yakni Pasal 169 – 172 UU No. 4/ 2009. Namun,
pergeseran kedudukan kontrak karya menjadi pemberian izin ini, tetap
memberlakukan kontrak karya tersebut sampai berakhirnya masa kontrak.
PRINSIP-PRINSIP HUKUM
KONTRAK PEMERINTAH
Kontrak Karya merupakan kontrak yang melibatkan
pemerintah sebagai salah satu kontraktan. Keterlibatan pemerintah dalam kontrak
memiliki karakteristik yang unik, dikarenakan kontrak yang melibatkan
pemerintah tersebut terletak dalam situasi yang kompleks dan ambigu diantara
hukum publik dan hukum privat.
Kontrak yang dibuat oleh pemerintah karenanya mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan kontrak privat pada umumnya. Konsekuensi dari
singgungan antara hukum publik dan hukum privat berimplikasi pada proses
pembentukan, pelaksanaan, dan penegakan hukum kontrak. Keterlibatan pemerintah
dalam suatu kontrak lazim disebut government
contract, lebih lanjut Y. Sogar Simamora menerjemahkan sebagai Kontrak
Pemerintah.
Pemerintah sebagai sebuah subjek hukum dituntut untuk
memenuhi kebutuhan publik (public
interest) secara permanen dan konstan, dimana dalam memenuhi kebutuhan
tersebut pemerintah melakukan hubungan kontraktual. Pola kontraktualisasi
ini digunakan oleh pemerintah sebagai
salah satu cara dalam melaksanakan fungsinya disamping tindakan-tindakan
sepihak (unilateral acts) yang
didasarkan pada kewenangan dan perintah (authority
and command).[3] Di dalam kontrak-kontrak
yang dibuat oleh pemerintah alasan utamanya adalah lebih mudah dan efisien
dalam mencapai tujuan pemerintahan dan Negara tidak dirugikan akibat adanya
kontraktualisasi tersebut. Pada umumnya apa yang terkandung dalam kontrak
pemerintah pada dasarnya adalah kemauan sepihak dari pemerintah. Syarat-syarat
dalam kontrak telah disiapkan oleh pemerintah melalui perancang yang terampil
dan berpengalaman. Pihak kontraktor atau pemasok hanya mempunyai dua pilihan,
setuju atau tidak. Sama sekali tertutup kemungkinan melakukan penawaran balik.
Kontrak pemerintah yang pada umumnya dikatakan berkekuatan sebagai peraturan
itu tercermin dalam kontrak baku yang tergolong ke dalam kontrak adhesi (adhesion contract).
Kontraktualisasi membawa implikasi kontrak yang dibuat
oleh pemerintah selalu terdapat unsur hukum publik.[4]
Inilah alasan mengapa kontrak pemerintah
disebut sebagai kontrak publik.
Kontrak publik merupakan kontrak yang di dalamnya terkandung
hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah).[5] Di
samping dalam fase pembentukan, terutama menyangkut prosedur dan kewenangan
pejabat publik, elemen hukum publik juga terdapat dalam fase pelaksanaan dan penegakan (enforcement) kontrak. Daya kerja hukum publik berlaku dalam semua fase ini. Adanya unsur hukum publik inilah yang menjadi
alasan mengapa kontrak pemerintah ada yang menilai bukan sebagai kontrak melainkan sebagai
“peraturan” karena isi yang terkandung di dalamnya tidak mencerminkan adanya
persesuaian kehendak. Dalam kontrak pemerintah terjadi “pencangkokan”. Di satu
sisi pembuatannya sama seperti kontrak, tetapi isinya mengandung efek
peraturan.[6]
Kuatnya warna publik dalam kontrak pemerintah menjadi
alasan bahwa aturan dalam hukum kontrak
konvensional tidak sesuai dalam hubungan kontraktual antara pemerintah dengan
individu maupun perusahaan swasta.
Kedudukan pemerintah dalam suatu hubungan kontraktual
memang istimewa. Situasi ini pada akhirnya membawa kompleksitas pada hubungan
hukum yang terbentuk. Di samping adanya kemungkinan penyalahgunaan keadaan (Misbruik van Omstandigheden) yang
merugikan pihak privat, tidak tertutup kemungkinan timbulnya persoalan hukum
yang cukup pelik. Di samping karena faktor tidak memadainya aturan yang
tersedia, juga karena faktor kurangnya pemahaman pejabat publik dalam
memanfaatkan instrumen hukum perdata tersebut serta tidak tertutup kemungkinan mala fide[7]
oleh pihak pemerintah.
Sekalipun di Indonesia tidak secara tegas dinyatakan,
tetapi UUD 1945 juga merupakan dasar hukum utama bagi pemerintah dalam
melakukan hubungan kontraktual. Pasal 23 UUD 1945 yang mengatur tentang
keuangan menentukan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud
dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang
dan dilaksanakan secara terbuka dan bertangung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Prinsip transparansi dan akuntabilitas yang terkandung dalam
ketentuan tentang keuangan negara ini selanjutnya menjadi dasar dalam
penyusunan undang-undang yang ada kaitannya dengan keuangan negara, yaitu UU
No. 17/2003 dan UU No. 1/2004 serta undang-undang APBN.
KEABSAHAN
KONTRAK KARYA
Kontrak yang sah yaitu
kontrak yang dalam pembentukkannya memenuhi seluruh syarat dalam Pasal 1320 BW,
membawa konsekuensi berlakunya maxim Pacta
Sunt Servanda. Kontrak yang demikian itu berlaku mengikat dan tidak dapat
ditarik kembali tanpa ada kesepakatan kedua belah pihak.[8]
Secara umum, keabsahan kontrak karya juga diukur dari terpenuhi atau tidaknya
ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1320, yaitu:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
Kecakapan untuk membuat perikatan;
3.
Suatu hal tertentu;
4.
Sebab yang diperbolehkan.
Syarat keabsahan tersebut juga identik dengan syarat yang diatur dalam Art. 1108 French Code Civil in 1804, there
are four essential conditions:
1.
Consent of the
parties to the obligations;
2.
Capacity to make
contract;
3.
A certain subject
matter for the transaction;
4.
A lawfull cause.
Sebagai tambahan alat ukur keabsahan sebuah kontrak yang melibatkan
pemerintah sebagai salah satu kontraktan, dititik beratkan pada aspek keabsahan
pembentukan (prosedur), kewenangan, dan substansi kontrak.
A.
Aspek
prosedur
Dalam aspek prosedur hal yang
dikedepankan adalah proses terbentuknya kesepakatan diantara para pihak. Proses
terbentuknya kesepakatan inidiartikan bahwa masing-masing pihak dalam menutup
sebuah perjanjian dilatarbelakangi oleh kehendak yang bebas dalam upaya
mencapai kesesuaian kehendak.
Kesepakatan merupakan syarat pertama
dan utama dalam pembentukan suatu kontrak dimana terdapat beberapa tahapan yang
harus dilalui oleh para pihak sebelum menuju pada persesuaian kehendak (meeting of minds). Hal ini sejalan
dengan prinsip konsensualisme, dalam hal mana kontrak dianggap telah lahir dan
mengikat sejak menginjak kata sepakat. Kesepakatan ini dibentuk oleh dua unsur,
yaitu bertemunya unsur penawaran dan penerimaan.
Penawaran diartikan sebagai
pernyataan kehendak yang mengandung usulan untuk mengadakan perjanjian. Usulan
yang dapat dikategorikan sebagai penawaran, yakni penawaran tersebut harus
mengemukakan unsur essensialia dari
jenis kontrak yang akan ditutup oleh para pihak. Dalam kaitan ini lebih lengkap pernyataan Treitel mengenai penawaran:
An offer is an
expression of willingness to contract on specified terms, made with the
intention that it shall become binding as soon as it is accepted by the person
to whom it is addressed.[9]
Penerimaan merupakan pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari.
Akseptasi itu meliputi syarat dan
ketentuan dalam penawarannya. Akseptasi yang bersyarat tidak dapat dinilai
sebagai akseptasi melainkan penawaran balik (counter offer). Dalam proses negosiasi yang panjang, sering terjadi counter
offer karena penerimaan tidak cocok (match)
dengan penawarannya. Apabila terjadi counter
offer maka penawaran kehilangan kekuatannya karena adanya penolakkan (rejection). Menjadi pertanyaan dalam hal
terjadi counter offer, siapa yang kemudian menjadi pihak pemberi penawaran (offeror) dalam situasi seperti itu? Dalam kaitan ini maka yang
menjadi offeror adalah pihak yang
melakukan counter offer itu.[10]
Terjadinya akseptasi menandai terjadinya kesepakatan. Hak dan kewajiban
para pihak efektif berlaku setelah kesepakatan terbentuk. Para pihak tidak
dapat menuntut sama terhadap yang lain sebelum mereka mencapai kesepakatan.
Dengan demikian para pihak hanya saling terikat pada kewajiban kontraktualnya
manakala mereka telah mencapai kesepakatan. Dalam kaitan inilah maka isu mengenai waktu terjadinya akseptasi
merupakan isu yang sangat penting untuk dijawab.
Prinsip dasar dalam menentukan waktu akseptasi adalah bahwa setiap
pernyataan itu mengikat. Dalam perspektif ini maka momen ketika akseptasi itu
dinyatakan, dianggap sebagai momen
saat terjadinya akseptasi. Sikap diam tidak dapat dianggap
sebagai akseptasi melainkan harus tegas dinyatakan.[11] Inilah yang kemudian menjadi dasar lahirnya
teori pernyataan (Uitingstheorie).[12] Dalam kaitan dengan kontrak yang proses
menuju kesepakatannya dilakukan secara lisan atau melalui telepon, maka saat
terjadinya akseptasi adalah saat ketika akseptasi itu diucapkan (dinyatakan).
Dengan demikian sejak itulah di antara para pihak terikat secara hukum (legally binding). Menjadi lain
persoalannya apabila proses dalam pembentukkan
itu dilakukan dengan sarana komunikasi lain, misalnya dengan surat,
telegram, fax, atau e-mail.
Dalam media-media ini terdapat perbedaan waktu antara saat akseptasi
dinyatakan dengan saat akseptasi itu diterima atau diketahui oleh pihak lawan.[13]
Aspek prosedur ini dapat dikatakan sebagai aspek pra kontrak (pre-contractual phase) dimana pada
tahapan ini penting untuk dicermati terjadinya kesepakatan untuk mencapai
perseuaian kehendak. Lebih lanjut di dalam tahapan ini terkait erat dengan
prosedur (termasuk perijinan dan persyaratan lainnya) yang juga harus dipenuhi
khususnya oleh pihak investor. Dalam hal ini, bahwa pihak investor sebelum
menandatangani kontrak karya telah memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur
dalam peraturan prundang-undangan dan memenuhi persyaratan administratif,
persyaratan teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan finansial yang
dibutuhkan sebelum melakukan usaha pertambangan (vide Pasal 65 UU No. 4/ 2009).
Akan tetapi semenjak berlakunya UU No. 4/ 2009, Pemerintah sebagai Pihak
yang berwenang memberikan izin bagi investor untuk dapat melakukan usaha
pertambangan sesuai dengan jenis izin yang diberikan baik kegiatan eksplorasi
maupun kegiatan operasi produksi. Konsekuensi yuridis bergesernya kontrak karya
yang mengedepankan pada aspek konsensualisme, pihak investor kini hanya
mendapatkan izin yang diberikan oleh Pemerintah berdasarkan kewenangan yang
dimilikinya. Prosedur pemberian izin usaha pertambangan ini haruslah tetap
mengedepankan prinsip akuntabilitas demi menjamin terwujudnya efektifitas dalam
pelaksanaan usaha pertambangan.
Hal ini tentunya sangat berbeda jika dibandingkan dengan syarat
kesepakatan dalam pembentukan suatu kontrak dimana Para Pihak mempunyai
kehendak yang bebas dalam kerangka menuju perseuaian kehendak. Pemberian izin
merupakan tindakan sepihak yang dilakukan oleh Pemerintah dimana pihak investor
tidak mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk menegosiasikan segala
sesuatu yang akan diatur.
B.
Aspek
Kewenangan
Pada aspek kewenangan dititikberatkan
pada kapasitas (capacity) dari
masing-masing pihak yang menandatangani kontrak karya tersebut. Dari sisi
Pemerintah, maka harus dipastikan bahwa pihak yang menandatangani Kontrak Karya
tersebut mamang mempunyai kewenangan untuk menutup kontrak dimaksud. Hal ini
penting dikarenakan bahwa pada prinsipnya jika Pemerintah melakukan hubungan
kontraktual dengan Pihak lain maka pemerintah tidak boleh dirugikan. Mengingat
banyaknya kasus-kasus yang lahir terutama dari aspek hukum pertambangan dimana
Pemerintah selalu menjadi pihak yang dirugikan.
Dari sisi pihak investor, sebagai
lawan kontrak pemerintah, maka hendaknya juga dipastikan bahwa pihak investor
diwakili oleh orang yang benar-benar mempunyai kapasitas untuk menandatanagani
kontrak. Hal ini bertujuan juga untuk melindungi kepentingan negara khususnya
terkait dengan perlindungan atas asset negara yakni sumber kekayaan alam.
Adapun syarat kewenangan ini merupakan syarat yang penting dalam menentukan
keabsahan kontrak yang dibuat.
Kecakapan (bekwaamheid – capacity)
yang dimaksud dalam Pasal 1320 BW syarat 2 adalah kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai
kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri
sendiri tanpa dapat diganggu-gugat.[14]
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar,
berikut ini:
a.
Person (pribadi), diukur dari standar usia
kedewasaan (meerderjarig), dan
b.
Rechtspersoon (badan hukum), diukur dari aspek
kewenangan (bevoegheid).
Kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum bagi person pada umumnya diukur dari standar usia dewasa atau cukup umur
(bekwaamheid ~ meerderjarig). Sedangkan dalam hal subyek hukumnya adalah
berupa badan hukum standar kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum tidak
menghadapi polemik seperti pada person, karena cukup dilihat pada kewenangannya
(bevoeghied). Artinya kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
didasarkan pada kewenangan yang melekat pada pihak yang mewakilinya. Dengan
demikian untuk mengetahui syarat kecakapan pada badan hukum harus diukur dari
aspek kewenangannya (bekwaamheid ~ bevoegheid).
Aspek kewenangan ditinjau dari
berlakunya UU No. 4/ 2009 dalam hal mana telah bergeser kedudukannya menjadi
Izin, maka pemberian Izin Usaha Pertambangan ini harus dipastikan dikeluarkan
oleh pejabat yang berwenang dan diberikan kepada pihak investor yang juga mempunyai
kewenangan untuk melakukan usaha pertambangan.
Berdasarkan Pasal 37 UU No. 4/ 2009,
disebutkan bahwa :
IUP diberikan oleh:
a.
bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu
wilayah kabupaten/kota;
b.
gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota
dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota
setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
d.
Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah
provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota
setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Beranjak dari ketentuan tersebut,
maka Pemerintah selaku pemberi ijin harus dipastikan bahwa Izin Usaha
Pertambangan diberikan oleh pejabat yang sesuai dengan Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP). Lebih lanjut Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha
pertambangan di WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 serta memberikan IUP
Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 kepada
masyarakat secara terbuka. Hal ini merupakan penerapan dari prinsip
transparansi yang dilakukan oleh Pemerintah dalam mengeluarkan Izin Usaha
Pertambangan.
C.
Aspek
Substansi
Isi Kontrak merupakan apa yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan
dalam klausula. Klausula kontrak pada prinsipnya terbagi ke dalam dua kelompok,
yaitu Klausula Pokok dan Klausula Penunjang. Klausula Pokok merupakan klausula
yang mengatur unsur yang esensial dalam suatu kontrak. Klausula pokok ini
mencerminkan jenis kontraknya. Klausula pokok lebih lanjut dapat dikembangkan
lebih detail tergantung kesepakatan para pihak.[15]
Klausula Penunjang yang lazim disebut dengan technical housekeeping clause, merupakan klausula yang menunjang
atau melengkapi klausula pokoknya. Jika klausula pokok antara satu jenis
kontrak dengan jenis kontrak yang lain berbeda, maka klausula penunjang pada
umumnya dijumpai dalam kebanyakan kontrak.[16]
Klausula ini pada umumnya ada pada setiap jenis kontrak.
Dalam Kontrak Karya pada saat merancang Kontrak diperlukan bahasa yang
tepat dalam mentransformasikan keinginan para pihak dalam melakukan bisnisnya,
yang kemudian dituangkan dalam bahasa hukum di dalam kontrak.
“If language is not correct, then what is said
is not what is meant; if what is said is not what is meant, then what ought to
be done remains undone.” Confussius ( 551-479 BC )
Dalam konteks perancangan kontrak apa yang dinyatakan oleh Confussius
tersebut merupakan prinsip yang fundamental. Apa yang menjadi hak dan kewajiban
masing-masing pihak harus dimengerti oleh kedua belah pihak agar maksud
pembuatan dapat dicapai sesuai dengan apa yang diharapkan para pihak.[17]
Dalam menyusun outline kontrak diperlukan pedoman, yaitu:
1.
Sistematis, lengkap dan jelas;
2.
One Clause, one concept;
3.
Setiap klausula ( pasal ) harus diberi judul;
4.
Terapkan Prinsip “3P” ( Predict, Provide, dan Protect );
5.
Klausula penunjang ditempatkan di bagian akhir.
Mengenai Prinsip 3P, dapat diterapkan pada saat proses perancangan kontrak.
Seorang Contract Drafter harus
memegang Prinsip 3 P diatas agar kontrak yang dibuat meminimalisir risiko
terhindar dari perselisihan.
This process requires the drafter to
articulate and reflect on the principles, a process which may prevent future
disputes. The book constantly emphasisez what i call the three P’s of drafting
:
Predict what may happen;
Provide for that contingency;, and
Protect your client with a remedy [18]
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan klausula yang akan
dituangkan di dalam kontrak harus dapat mengakomodasi prinsip antara lain :
1.
Memprediksi atau memikirkan persesilisihan apa saja
yang akan terjadi
2.
Menyediakan atau mengatur
3.
Melindungi klien atau para pihak
Namun dengan berlakunya UU No. 4/ 2009, prinsip-prinsip yang terkandung
dalam penyusunan kontrak tidak lagi diterapkan di dalam pemberian Izin Usaha
Pertambangan. Mengenai substansi kontrak karya yang telah berjalan sebelum
lahirnya UU No. 4/ 2009, sesuai dengan ketentuan Pasal 169 huruf (b) UU No. 4/
2009, bahwa Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian
karya pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai
penerimaan negara. Penerimaan Negara merupakan aspek penting dalam upaya
menghindari terjadinya kerugian Negara.
Lebih lanjut sebagai upaya transisi pergeseran kontrak karya menjadi
mekanisme pemberian Izin Usaha Pertambangan, Pemegang kontrak karya sebagaimana
dimaksud yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang
ini diundangkan. Pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara (PKP2B) yang telah melakukan tahapan kegiatan eksplorasi,
studi kelayakan, konstruksi, atau operasi produksi paling lambat 1 (satu) tahun
sejak berlakunya Undang-Undang ini harus menyampaikan rencana kegiatan pada
seluruh wilayah kontrak/perjanjian sampai dengan jangka waktu berakhirnya
kontrak/perjanjian untuk mendapatkan persetujuan pemerintah. Apabila
penyampaian rencana kegiatan tidak terpenuhi, luas wilayah pertambangan yang
telah diberikan kepada pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara disesuaikan denganUU No. 4/ 2009.
Terhadap permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara yang telah diajukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu)
tahun sebelum berlakunya UU No. 4/ 2009 dan sudah mendapatkan surat persetujuan
prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat
diproses perizinannya tanpa melalui lelang berdasarkan UU No. 4/ 2009.
Perubahan konstruksi hukum di dalam dunia usaha pertambangan mineral dan
batu bara ini juga membawa imlplikasi hukum yang luas. Dari sisi Pemerintah
sebagai pihak yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan, mekanisme pemberian
izin ini diharapkan dapat meminimalisir terjadinya kerugian Negara dimana
mekanisme pemberian izin ini merupakan kewenangan sepenuhnya dari Pemerintah.
Berbeda halnya dengan kosntruksi hukum Kontrak Karya dimana para pihak secara
proporsional dapat menetapkan besarnya pembagian keuntungan yang terkadang
besaran pembagian keuntungan tersebut belum dapat memberikan kemanfaatan bagi
Pemerintah.
Secara substansi Izin Usaha Pertambangan ini ekuivalen dengan
klausula-klausula yang terdapat di dalam Kontrak Karya. Bentuk kontrak karya
yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan penanaman modal asing
atau patungan antara perusahaan asing dengan perusahaan domestik adalah
bersifat tertulis. Substansi kontrak disiapakan oleh Pemerintah Republik
Indonesia melalui Departemen ESDM ( Energi dan sumber Daya Mineral ) dengan
calon penanam modal.Substansi dari kontrak karya tersebut meliputi :
1. tanggal
persetujuan dan tempat dibuatnya kontrak karya
2. Subjek
hukum yaitu : Pemerintah dan penanam modal
3. Definisi, yaitu : Pengertian perusahaan affiliasi,
perusahaan subsidair, pengusahaan, individu asing, mata uang asing, mineral-mineral,
penyelidikan umum, eksplorasi, wilayah pertambangan, pemerintah, menteri,
rupiah, mineral ikutan, penambangan, pemanfaatan lingkungan hidup, pencemaran,
kotoran, dan wilayah proyek.
4. Penunjukan
dan tanggung jawab perusahaan
5. modus
operandi, yaitu : memuat tentang kedudukan perusahaan, yurisdiksi pengadilan,
kewajiban perusahaan untuk menyusun program,mengkontrakkan pekerjaan jasa-jasa
teknis, manejemen dan administrasi yang dinggap perlu.
6. Wilayah
kontrak
7. periode
penyelidikan umum
8. periode
eksplorasi
9. laporan
dan deposito jaminan
10. periode studi kelayakan
11. periode konstruksi
12. periode operasi
13. pemasaran
14. fasilitas umum dan re-ekspor
15. pajak-pajak dan lain-lainkewajiban keuangan perusahaan
16. pelaporan,inspeksi dan rencana kerja
17. hak-hak khusus pemerintah
18. ketentuan-ketentuan kemudahan
19. keadaan memaksa (force majure)
20. kelalaian
21. penyelesaian sengketa
22. pengakhiran kontrak
23. kerja sama para pihak
24. promosi kepentingan nasional
25. kerja sama daerah dalam pengadan prasarana
tambahan
26. pengelolaan dan perlindungan lingkungan
27. pengembangan kegiatan usaha setempat
28. ketentuan lain-lain
29. pengalihan hak
30. pembiayaan
31. jangka waktu
32. pilihan hukum
Namun berdasar ketentuan UU No. 4 tahun 2009, model Kontrak Karya tidak
dikenal lagi. Dalam ketentuan peralihan UU No. 4 tahun 2009, Kontrak Karya yang
ditutup sebelum berlakunya undang-undang tersebut wajib mengikuti ketentuan
mengenai Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebagaimana diatur dalam pasal 36 dan 39
UU No. 4 tahun 2009. Adapun Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi berdasar
ketentuan pasal 39 UU No. 4 tahun 2009 wajib memuat ketentuan
sekurang-kurangnya:
a. nama
perusahaan;
b. lokasi dan
luas wilayah;
c. rencana umum
tata ruang;
d. jaminan
kesungguhan;
e. modal
investasi;
f. perpan.jangan
waktu tahap kegiatan;
g. hak dan
kewajiban pemegang IUP;
h. jangka waktu
berlakunya tahap kegiatan;
i. jenis usaha
yang diberikan;
j. rencana
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
k. perpajakan;
1. penyelesaian
perselisihan;
m, iuran tetap
dan iuran eksplorasi; dan
n. amdal.
Sedangkan dalam IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1) huruf b wajib memuat kctentuan sekurang-kurangnya:
a. nama
perusahaan;
b. luas
.wilayah;
c. lokasi
penambangan;
d. lokasi
pengolahan dan pemurnian,
e. pengangkutan
dan penjualan;
f. modal
investasi;
g. jangka waktu
berlakunya IUP;
h. jangka waktu
tahap kegiatan;
i. penyelesaian
masalah pertanahan;
j. lingkungan
hidup termasuk reklamasi dan pascatambang;
k. dana jaminan
reklamasi dan pascatambang;
1. perpanjarigan
IUP;
m. hak dan
kewajiban pemegang IUP;
n. rencana
pengembangan dan pernberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
o. perpajakan;
p. penerimaan
negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran produksi;
q. penyelesaian
perselisihan;
r. keselamatan
dan kesehatan kerja;
s. konservasi
mineral atau batubara;
t. pemanfaatan
barang, jasa, dan teknologi dalam negeri;
u. penerapan
kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik;
v. pengembangan
tenaga kerja Indonesia;
w. pengelolaan
data mineral atau batubara; dan
x. penguasaan,
pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau batubara
Berdasarkan perbandingan di atas, bahwa isi dari Izin Usaha Pertambangan
(IUP) tidak jauh berbeda dengan klausula-klasula minimal yang harus ada pada
kontrak karya. Hal ini tentunya membawa problematika yang baru di dalam upaya
penegakan hukum, misalnya jika terjadi penyelesaian sengketa diantara para
pihak. Bahwa berdasarkan Pasal 154 UU No. 4/ 1999 membuka kesempatan
penyelesaian sengketa berupa izin melalui arbitrase. Hal ini merupakan
kejanggalan/ keanehan mengingat sengketa izin tidak masuk dalam sengketa perdagangan.
Lebih aneh lagi karena izin tidak termasuk hak yang dikuasai sepenuhnya
oleh para pihak yang bersengketa. Hal ini karena dalam sengketa izin, kedudukan
pemerintah sebagai pemberi izin lebih tinggi daripada pihak penerima izin.
Dengan kata lain tidak ada kesejajaran antar keduanya. Penyelesaian sengketa
izin melalui arbitrase secara doktrin hukum pun tidak taat asas. Dalam doktrin
hukum, penyelesaian melalui arbitrase mewajibkan para pihak untuk membuat
klausula atau perjanjian arbitrase yang ditegaskan dalam pasal 2 UU Arbitrase.
Instrumen izin ini juga menimbulkan polemik, apabila ini diterapkan untuk
penyelesaian sengketa izin dimana pemerintah dan penerima izin tidak
berkedudukan sejajar, apakah dimungkinkan dibuat klausula atau perjanjian arbitrase
antara pemerintah dengan penerima izin.
AKIBAT HUKUM TIDAK DIPENUHINYA SYARAT
ADMNISTRATIF DALAM KONTRAK KARYA
Sehubungan dengan keempat syarat dalam
Pasal 1320 BW sebagai tolok ukur menetukan keabsahan kontrak, tersebut di atas
terdapat penjelasan lebih lanjut terkait dengan konsekuensi tidak dipenuhinya
masing-masing syarat dimaksud. Pertama, syarat kesepakatan dan kecakapan,
merupakan syarat subyektif karena berkenaan dengan diri orang atau subyek yang
membuat kontrak. Kedua, syarat obyek tertentu dan causa yang diperbolehkan
merupakan syarat obyektif.
Suatu kontrak yang tidak memenuhi syarat
sah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 BW, baik syarat subyektif maupun
syarat obyektif akan mempunyai akibat-akibat, sebagai berikut: [19]
a.
“non-eksistensi”,
apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul kontrak.
b.
vernietigbaar
atau dapat dibatalkan, apabila kontrak tersebut lahir karena adanya cacat
kehendak (wilsgebreke) atau karena
ketidakcakapan (onbekwaamheid) -
(syarat Pasal 1320 BW angka 1 dan 2), berarti hal ini terkait dengan
unsur subyektif, sehingga berakibat kontrak tersebut dapat dibatalkan, dan
c.
nietig atau
batal demi hukum, apabila terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat obyek
tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan (syarat
Pasal 1320 BW angka 3 dan 4), berarti hal ini terkait dengan unsur subyektif,
sehingga berakibat kontrak tersebut batal demi hukum.
Sedang dalam kepustakaan common law
keabsahan kontrak diklasifikasikan ke dalam beberapa hal, meliputi: [20]
a.
A valid contract, dimana seluruh elemen
terpenuhi dalam kontrak tersebut.
b.
A voidable contract, apabila salah satu pihak
memberikan sepakat karena adanya cacat kehendak (misrepresentation, duress
or undue influence).
c.
An unenforceable contract, kontrak tersebut sah,
namun tidak dapat dilaksanakan karena ada hal-hal tertentu yang tidak atau
belum dipenuhi, umumnya terkait dengan formalitas kontrak, misal tidak adanya
perijinan.
d.
An illegal contract, merupakan kontrak dengan
tujuan atau obyeknya dilarang menurut hukum dilarang (illegal).
Berkaitan dengan tidak dipenuhinya persyaratan formal yang meliputi
persyaratan administratif dan teknis di dalam kontrak karya, maka akibat hukum
terhadap kontrak karya tersebut adalah tidak dapat dilaksanakan (unenforceable). Oleh karenanya kontrak tersebut tidak
mempunyai daya berlaku sebelum terpenuhinya persyaratan administrasi.
Implikasi hukum terhadap kontrak
karya yang tidak memenuhi persyaratan formal seiring dengan berlakunya UU No.
4/ 2009 yang mana mengubah mekanisme hubungan kontraktual menjadi pemberian
izin tentunya berbeda. Akibat hukum tidak terpenuhinya persyaratan formal yang
meliputi persyaratan administratif, teknis, persayaratan lingkungan dan
persyaratan finansial di dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah
berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana. Namun sanksi administrasi lebih
dikedepankan dalam penegakan hukum terhadap izin. Sanksi administasi tersebut
diatur dalam Pasal 151 ayat (1) UU 4 Tahun 2009, dan dapat berupa :
a.
Peringatan
tertulis;
b.
Penghentian
sementara sebagian/atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi;
dan/atau
c.
Pencabutan
IUP.
Kelebihan dari penerapan sanksi
administrasi, dimana pemberi izin dapat langsung menerapkan sanksi administrasi
tanpa perlu penetapan pengadilan. Penerapan sanksi administrasi ini tidak dapat
dilaksanakan dnegan serta merta, namun harus melalui peringatan tertulis
terlebih dahulu, tetapi bila pemegang izin tetap tidak mengindahkan teguran
tersebut, pemberi izin dapat menerapkan sanksi administrasi tersebut. Dalam hal
terjadi pelanggaran adminstrastif terhadap IUP, maka menteri, gubernur,
bupati/walikota dapat menerapkan sanksi administratif tersebut sesuai dengan
kewenangannya
KESIMPULAN
1. Syarat keabsahan kontrak karya
dalam pengelolaan pertambangan yang melibatkan Pemerintah sebagai salah satu
kontraktannya wajib memenuhi 3 (tiga) aspek, yaitu aspek prosedur, kewenangan
dan substansi. Tidak terpenuhinya ketiga aspek tersebut berakibat kontrak karya
yang dibuat tidak sah dan karenanya tidak mempunyai daya mengikat.
2. Akibat hukum terhadap kontrak
karya yang tidak memenuhi persyaratan
formal yaitu tidak dapat dilaksanakan (unenforceable). Kontrak tersebut tidak mempunyai daya berlaku
sebelum terpenuhinya persyaratan administrasi. Dengan adanya UU No. 4/2009,
mekanisme kontrak karya digantikan dengan pemberian Izin Usaha Produksi (IUP)
juga mengubah konsekuensi hukumnya.
Akibat hukum tidak terpenuhinya persyaratan formal dalam pemberian Izin Usaha
Pertambangan (IUP) adalah berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Atiyah, P.S., 1988, The Rise and Fall of Freedom of
Contracts, Clarendon Press, Oxford.
Badrulzaman, Mariam Darus, 1998, “Kerangka
Dasar Hukum Perjanjian (Kontrak)”, dalam Hukum Kontrak di Indonesia,
Elips, Jakarta.
Barron, M.L., 1998,
Fundamentals
of Business Law, McGraw Hill
Book Co. Sydney.
Burnham, Scott J., 1993, Drafting Contracts second edition,
Michie Company, Virginia.
Emanuel, et al., 1990, Contracts., Emanuel Law
Outlines, Inc, New York.
Halson, Roger, 2001, Contract Law, Pearson
Education Limited, London.
Le Sueur, Andrew, et.al., 1999, Principles of Public Law,
Cavendish Publishing Limited, London.
Niewenhuis,
J.H., 1985, Hoofdstukken Verbintenissenrecht, terjemahan D. Saragih, Surabaya.
Satrio, J., 2001, Hukum Perikatan-Perikatan Yang
Lahir Dari Perjanjian (Buku I), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Simamora, Yohanes Sogar, 2005, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah,
Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
______________________, 2009, Hukum Perjanjian, Prinsip Hukum
Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah, Laksbang Pressindo.
Treitel, G.H., 1995, Law of Contract, Sweet
& Maywell, London.
Peraturan
Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, diterjemahkan oleh
Subekti- Tjitrosudibio.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
Batubara.
Model Law
UNIDROIT (International Institute for the Unification
of Private Law), 1994, Principles of International Commercial Contracts,
Rome.
The Principles of European Contracts Law (PECL),
1999, Prepared by the Commision on European Contract Law.
* Dosen Tetap Fakultas Hukum
Univeritas Airlangga Departemen Hukum Perdata, menyelesaikan Master of Laws
(LL.M) pada Program International Business Law and Globalization, Utrecht
University, The Netherlands. Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian yang
dilakukan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga dengan menggunakan sumber
dana DIPA tahun 2009 yang dilakukan oleh Penulis bersama Indria Wahyuni, S.H.,
LL.M. dan Franky Butar-Butar, S.H.
[1] Yohanes Sogar Simamora, 2005, Prinsip
Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah,
Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
[2] Ibid, h. 314
[3] Yohanes Sogar Simamora, 2009, Hukum Perjanjian, Prinsip Hukum Kontrak
Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah, Laksbang Pressindo, h. 77.
(selanjutnya disebut Y. Sogar Simamora II)
[4] Hukum publik lazimnya dihadapkan dengan hukum privat. Yang pertama
mengatur hubungan antara individu dengan negara, sedangkan yang kedua mengatur hubungan antar individu. Periksa
juga Andrew Le Sueur, et.al., 1999, Principles of Public Law, Cavendish
Publishing Limited, London, p. 4-5.
[5] Mariam Darus mengemukakan bahwa kontrak publik adalah kontrak yang
sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh Hukum Publik. Tentu saja ini tidak tepat
karena di dalam kata “kontrak” inherent
watak privat. Lihat dalam, Mariam Darus
Badrulzaman, 1998, “Kerangka Dasar Hukum Perjanjian (Kontrak),” dalam Hukum
Kontrak di Indonesia, Elips, Jakarta, h. 17.
[6] Y. Sogar Simamora II, op.cit., p. 87.
[7] Ibid., p. 83.
[8] Pasal 1338 ayat ( 1) dan ayat ( 2) BW
[10] Ilustrasi tentang situasi saling tawar
dalam suatu negosiasi ini digambarkan oleh Roger Halson terkait dengan kasus Hyde v. Wrench. Lihat, Roger Halson, 2001, Contract
Law, Pearson Education Limited, London, h. 139-140.
[11] Periksa Artikel 2.6 PICC dan Artikel
2.204 PECL. Kedua model hukum tegas menyatakan bahwa sikap diam (silence) atau tidak berbuat (inactivity) tidak dapat dinilai sebagai
akseptasi.
[12] J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan-Perikatan Yang
Lahir Dari Perjanjian (Buku I), Citra Aditya Bakti, Bandung, h.
257-258. Bandingkan dengan J.H.
Niewenhuis, 1985,
Hoofdstukken Verbintenissenrecht, terjemahan D. Saragih, Surabaya, h.
6.
[13] Periksa, Steven Emanuel, et
al., 1990, Contracts., Emanuel Law Outlines, Inc, New York, h. 54-55.
[15] Y. Sogar Simamora I, op.cit., h.289.
[18] Scott J. Burnham, 1993, Drafting Contracts second edition,
Michie Company, Virginia, h. 2.
[20] M.L. Barron, 1998, Fundamentals
of Business Law, McGraw Hill
Book Co. Sydney, h. 144-145.
Tidak ada komentar
Posting Komentar