KEJAHATAN NARKOTIKA OLEH ANAK
JALANAN DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
Ismu Gunadi Widodo
ABSTRAK
Kejahatan di
bidang narkotika tidak seluruhnya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi ada
kalanya kejahatan ini dilakukan pula bersama-sama dengan anak dibawah umur
(belum genap 18 tahun) yang salah satunya adalah anak jalanan. Bagi anak jalanan, dimana mereka tidak lagi
memiliki keluarga maupun orang tua yang dapat mengontrol mereka. Di jalanan
adalah tempat mereka hidup, hukum alam-lah yang berkuasa, uang dan kekuatan
otot-lah yang memegang peran penting dalam menjalani kehidupan mereka
sehari-hari, tanpa itu mereka akan mudah tersingkir. Premanisme seakan-akan
menjadi pelengkap nasib duka yang dialami oleh anak-anak jalanan ini. Kekerasan
fisik dan mental dari preman-preman, narkoba, judi, minum-minuman keras serta
rokok adalah bagian dari kehidupan yang kerap seringkali mereka jumpai. Kebiasaan
anak jalanan untuk menggunakan narkotika tanpa sah menjadikan mereka sebagai
lahan basah bagi para bandar narkotika. Pada akhirnya mereka terjerumus dalam
lingkaran sindikat narkotika yang tidak berujung dan tanpa henti. Menjadi
pemakai dan pengedar adalah pekerjaan sampingan mereka.
Kata kunci:
kejahatan narkotika, anak jalanan, upaya penanggulangan
ABSTRACT
Crime in the
area of narcotics is not entirely done by adults, but there are also times
when the crime was carried out together with a minor (not even 18 years), one
of which is the street children. For street children, where they no longer have
families and parents who can control them. On the street is where they live,
natural law was the one who came to power, money and muscle power was the one
that plays an important role in carrying out their daily lives, without it they
will be easily eliminated. Thuggery seemed to be a complement to the fate of
grief experienced by these street children. Physical and mental violence from
thugs, drugs, gambling, drinking and smoking is often part of life that they
often encounter. Habits of street children to use drugs without making them
legally as a wetland for drug dealers. In the end they got into the circle of
narcotics syndicates that are not endless and endlessly. Become users and
dealers is their job.
Key words: drug
crime, street children, the response
Pendahuluan
Reformasi hukum pidana dalam Undang-undang Narkotika Indonesia diawali
dengan pemberlakuan Undang-undang Obat Bius (Verdoovende middlen Ordonanntie S.
27-278 jo. 536 tgl. 12 Mei 1927) yang kemudian diganti dengan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mempunyai dasar
pertimbangan bahwa narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan
dan ilmu pengetahuan, serta sebaliknya narkotika dapat pula menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila digunakan tanpa pembatasan dan
pengawasan yang seksama.[1]
Latar belakang diundangkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
narkotika adalah karena Undang–undang Nomor 9 Tahun 1976 sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dalam upaya penanggulangan
kejahatan narkotika dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih.
Yang menjadi keprihatinan ternyata saat ini negara Indonesia bukan saja
menjadi transit bagi peredaran gelap narkoba saja tetapi telah menjadi surga
bagi pemasok dan sekaligus telah menjadi produsen bagi peredaran narkotika itu
sendiri, terutama ganja yang merupakan salah satu jenis Narkotika Golongan I.
Wabah narkotika di Indonesia yang terjadi di era tahun 70-an kini terulang
kembali dengan penampilan yang lebih dahsyat. Dulu penggunanya masih terbatas
kalangan anak remaja yang secara materi orang tuanya berlebihan dan
berkecukupan, tetapi sekarang anak-anak jalanan juga telah terjangkit
penyalahgunaan narkotika.
Jumlah pecandu narkotika di negara kita secara nasional mencapai 1% ( satu
persen) dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Itu artinya, jika jumlah
penduduk 210 juta jiwa, sedikitnya ada 2,1 juta orang Indonesia yang menjadi
pecandu narkotika. Jumlah tersebut sudah sangat memprihatinkan, karena
mengingat bahwa data tersebut bagaikan “fenomena gunung es” yang semakin lama
semakin besar. Sedangkan menurut data dari UNDCP (United Nations Drugs Control
Program) lebih dari 200 juta orang diseluruh dunia telah menyalahgunakan
narkotika.[2]
Keprihatinan kita semakin besar manakala diketahui bahwa diantara para
pecandu narkotika tersebut adalah anak-anak dibawah umur. Bahkan menurut Kepala
Pelaksanaan Harian Badan Narkotika
(BNN), Irjen Pol. Togar M. Sianipar, sedikitnya tercatat antara 800
sampai 870 anak siswa sekolah dasar (SD) telah menjadi pecandu narkotika.
Padahal mereka adalah tunas-tunas harapan bangsa yang kelak memikul tugas dan tanggung
jawab kepimpinan bangsa. Apa jadinya jika kelak bangsa kita dikelola oleh para
pecandu atau mantan pecandu narkotika.
Kondisi dan keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya “The Lost Generation” atau hilangnya generasi
penerus bangsa. Anak yang belum cukup umur adalah merupakan kelompok rawan
resiko terhadap penyalahgunaan narkotika, karena masa remaja adalah masa
pencarian untuk menemukan jati diri yang dilakukan dengan ingin mencoba semua
hal yang dianggapnya baru, tetapi lebih banyak tanpa pemikiran dan pertimbangan
yang matang. Ini terjadi karena mengingat usia mereka yang masih belia, yaitu
antara 10 (sepuluh) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun, yang mempunyai sifat
mudah tergoda, mudah putus asa dan mudah terpengaruhi oleh kelompokmya.[3]
Terlebih lagi bagi anak jalanan, dimana mereka tidak lagi memiliki keluarga
maupun orang tua yang dapat mengontrol mereka. Di jalanan adalah tempat mereka
hidup, hukum alam-lah yang berkuasa, uang dan kekuatan otot-lah yang memegang
peran penting dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari, tanpa itu mereka
akan mudah tersingkir. Premanisme seakan-akan menjadi pelengkap nasib duka yang
dialami oleh anak-anak jalanan ini. Kekerasan fisik dan mental dari
preman-preman, narkoba, judi, minum-minuman keras serta rokok adalah bagian
dari kehidupan yang kerap seringkali mereka jumpai.
Salah satu kebiasan yang dilakukan anak jalan adalah menggunakan narkotika,
dengan alasan untuk melupakan masalah dan berbagai tekanan yang dialami oleh
mereka dan sebagian besar dari mereka tidak menyadari bahwa dengan kebiasaannya
itu mereka akan berhadapan dengan hukum. Anak yang melanggar Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009 dapat dikategorikan sebagai anak nakal.
Jumlah anak jalanan di Jawa Timur terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari
6.000 anak jalanan yang tersebar di
seluruh wilayah Jawa Timur dan 5.000 anak diantaranya atau sekitar 83% berada
di kota Surabaya. Sedangkan menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Kota
Surabaya, jumlah anak jalan yang hidup di jalan-jalan kota Surabaya malah
mencapai sekitar 8.000 orang. Jumlah ini akan semakin meningkat mengingat
krisis ekonomi yang belum selesai.[4]
Di tengah ketidakmampuan pemerintah memelihara anak terlantar atau anak
jalanan, dilain sisi ada pihak-pihak yang memanfaatkan dan mengeksploitasi
mereka untuk mengeruk keuntungan dengan memanfaatkan anak jalan sebagai
pengedar, penanam, kadang-kadang anak-anak tersebut menjadi pemakai.
Negara kita telah mempunyai perangkat hukum untuk memberikan perlindungan
terhadap anak yang melakukan kejahatan narkotika, yaitu:
a.
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang bertujuan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup tumbuh berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
b.
Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang bertujuan untuk melaksanakan
pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak yang bermasalah dengan
hukum.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 sangat diharapkan dapat
menjamin perlindungan anak terhadap kejahatan narkotika, Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009. Berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 memberikan jaminan
atas perlindungan anak yang diharapkan dapat dipenuhi, mengingat anak adalah
amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Permasalahan
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi Anak Jalanan
Pelaku Kejahatan Narkotika ?
2. Bagaimana upaya penanggulangan terhadap
Kejahatan Narkotika bagi Anak Jalanan ?
Pembahasan
Perlindungan Hukum Bagi Anak
Jalanan terhadap Kejahatan Narkotika
Kejahatan di bidang narkotika tidak seluruhnya
dilakukan oleh orang dewasa, tetapi ada kalanya kejahatan ini dilakukan pula bersama-sama
dengan anak dibawah umur (belum genap 18 tahun) yang salah satunya adalah anak
jalanan.[5]
Kebiasaan anak jalanan untuk menggunakan narkotika tanpa sah menjadikan mereka
sebagai lahan basah bagi para bandar narkotika. Pada akhirnya mereka terjerumus
dalam lingkaran sindikat narkotika yang tidak berujung dan tanpa henti. Menjadi
pemakai dan pengedar adalah pekerjaan sampingan mereka.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 diberlakukan
dengan pertimbangan bahwa Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dalam upaya penanggulangan
kejahatan narkotika dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih.
Suatu perbuatan dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana, apabila perbuatan tersebut merupakan :
a. Perbuatan Pidana
Adalah
perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja
dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan.
Perbuatan
pidana menurut ketentuan di dalam KUHP terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
kejahatan dan pelanggaran. Pembagian tersebut tidak dapat ditentukan dengan
nyata dalam suatu pasal di KUHP, pembagian tersebut didasarkan atas perbedaan
prinsipil.
Yang
dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak
ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran
itu sendiri adalah perbuatan-perbuatan yang sifatnya melawan hukumnya baru
dapat diketahui setelah ada hukum yang menentukan demikian.
Unsur-unsur
pidana adalah :
(1) Kelakuan dan akibat yang menyertainya
(2) Keadaan Tertentu yang menyertai perbuatan
(3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
(4) Unsur melawan hukum [6]
Jika
seorang anak jalanan yang telah berumur 8 (delapan) sampai 18 (delapan belas)
tahun serta belum menikah, melakukan atau turut melakukan kejahatan narkotika,
maka ia dapat diajukan ke sidang anak. Untuk itu maka ia dapat dikenakan pidana
atau tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 24 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997.
b. Kesalahan
Adalah
keadaan psikis tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya
hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga
orang tersebut dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.
Unsur
kesalahan adalah :
(1) Melakukan perbuatan pidana (terdapat sifat
melawan hukum)
(2) Diatas Umur tertentu mampu
bertanggungjawab
Kemampuan bertanggungjawab merupakan
dasar untuk seseorang dalam melakukan kesalahan. Dalam hal ini, berkaitan
dengan masalah keadaan batin orang tersebut, karena jika keadaan jiwa tidak
normal, maka fungsinya juga tidak normal. Seorang anak yang melakukan perbuatan
pidana tetapi belum genap berusia 8 (delapan) tahun, tidak dapat dipidana,
karena ia belum memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk.
Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997.
(3) Kesengajaan atau kealpaan
Suatu
kesengajaan atau kehendak berbuat sesuatu dengan mengetahui bahwa perbuatan
tersebut salah. Adapun bentuk-bentuk kesengajaan dapat berupa :
- Kesengajaan dengan maksud
- Kesengajaan kepastian, keharusan
- Kesengajaan dengan kemungkinan
Sedangkan
kealpaan adalah kurang perhatiannya pada obyek yang dilindungi hukum, tidak
menduga-duga bahwa itu salah dan kurang hati-hati dalam berbuat, sehingga
kealpaan tersebut dapat disadari dan tidak disadari.
(4) Tidak adanya alasan pemaaf
Alasan
pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan
perbuatan pidana, tetapi ia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.
Terhadap
anak yang telah berumur 8 (delapan) dan belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun serta belum menikah dapat pula tidak diminta pertanggungjawaban karena
ada alasan pemaaf, jika anak tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 48 KUHP
yang menyebutkan bahwa orang yang melakukan tindak pidana, karena pengaruh daya
paksa, tidak dapat dipidana. Daya paksa disebabkan oleh daya fisik yang
menimbulkan tekanan pada kondisi kejiwaan.
Apabila
seorang anak jalanan melakukan kejahatan narkotika karena ada unsur daya paksa,
maka ia tidak dapat dipidana. Pada prinsipnya seorang Anak Pelaku Kejahatan
Narkotika hanya dapat dijatuhkan.
(1) Pidana (Pasal 23) atau;
(2) Tindakan (Pasal 24), sesuai dengan UU No.
3 Tahun 1997.
Khusus
mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu:
(a) Bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai
12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan (Pasal 24).
(b) Bagi anak yang telah mencapai umur di atas
12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana.
Ancaman pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap anak sesuai Pasal 26 Ayat (1) UU No. 3 Tahun
1997 paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa. Dengan ketentuan Pasal 26 ini, maka ketentuan-ketentuan dalam KUHP atau
di luar KUHP tentang ancaman bagi orang dewasa. Tidak dikecualikan menyuruh,
ikut serta dan melakukan percobaan.
Berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan
hukum diatur dalam Pasal 64 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 yang berbunyi
perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang
berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana.
Mereka menjadi tanggungjawab pemerintah dan
masyarakat. Kemudian Pasal 64 ayat (2) mengatur tentang pelaksanaan
perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 ayat (1), yaitu melalui :
(1) Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai
martabat dan hak-hak anak;
(2) Penyediaan Petugas pendamping khusus anak sejak
dini;
(3) Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
(4) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan
yang terbaik bagi anak;
(5) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap
perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
(6) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan
dengan orang tua atau keluarga dan perlindungan dari pemberitaan identitas
melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Undang-undang Perlindungan Anak memberikan
perlindungan mengenai hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum meliputi :
a. Hak
memperoleh perlindungan dari
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi
(Pasal 16 ayat (1));
b. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana
penjara sesuai dengan hak yang berlaku (Pasal 16 ayat (3));
c. Hak anak yang dirampas kebebasannya (Pasal 17
ayat (1)). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
(1)
mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
(2)
memperoleh
bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku; dan
(3)
membela diri
dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak
memihak serta dalam sidang tertutup untuk hukum.
Selain itu Undang-undang ini juga memberikan
ketentuan pidana, yaitu Pasal 89 ayat (1) yang berbunyi bahwa Setiap orang yang
dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak
dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika
di pidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Anak nakal adalah anak yang melakukan tindak
pidana atau perbuatan yang terlarang bagi anak, baik terlarang menurut
perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat.[7]
Anak pelaku kejahatan narkotika yang dapat diajukan ke depan sidang Pengadilan
Anak minimum telah berumur 8 (delapan) tahun dan maksimum 18 (delapan belas)
tahun serta belum pernah menikah. Ini dengan pertimbangan sosiologi, psikologi
dan paedagogis, bahwa anak belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Hukum acara tindak pidana untuk sidang Pengadilan
Anak adalah melanggar Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), karena Pengadilan Anak masuk dalam Peradilan Umum
dan hanya menyangkut kasus pidana saja. Ini berarti semua ketentuan-ketentuan
dalam KUHAP dapat diberlakukan dalam sidang Pengadilan Anak, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-undang Pengadilan Anak. Adanya pengaturan khusus oleh
Undang-undang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap anak itu sendiri.
Terhadap anak jalanan pelaku kejahatan narkotika
yang belum berumur 12 (dua belas) tahun Pasal 26 Ayat 3 dan melakukan kejahatan
narkotika, berdasarkan Pasal 1 angka 2 huruf a, yang diancam dengan pidana
penjara sementara waktu, tidak diancam dengan hukuman mati atau seumur hidup,
akan tetapi dikenakan sanksi berupa tindakan. Untuk dapat diajukan di depan
sidang Pengadilan Anak, maka anak jalanan pelaku kejahatan narkotika minimum
telah berumur 8 (delapan) dan maksimum 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah menikah.
Tindakan Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997 yang dapat
dikenakan kepada anak jalanan pelaku kejahatan narkotika adalah sebagai berikut
:
(1) Dikembalikan kepada orang tua / wali /
orang tua asuh
Apabila menurut penilaian hakim, si anak tersebut
masih dapat dibina di lingkungan orang tua / wali / orang tua asuhnya. Namun
demikian, si anak tersebut masih dibawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing
Kemasyarakatan yang antara lain untuk mengikuti kegiatan-kegiatan kepramukaan
dan lain-lain.
(2) Diserahkan kepada negara
Dalam hal menurut penilaian hakim, pendidikan dan
pembinaan terhadap anak jalanan pelaku kejahatan narkotika tidak dapat lagi
dilakukan di lingkungan keluarga (Pasal 24 ayat (1) huruf b), maka anak itu
diserahkan kepada negara dan disebut sebagai anak negara. Untuk itu si anak
tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan wajib mengikuti
pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Tujuannya adalah untuk memberi bekal
keterampilan kepada anak yang berupa keterampilan mengenai : pertukangan,
pertanian, perbengkelan, tata rias dan sebagainya. Selesai menjalani
keterampilan maka anak tersebut diharapkan mampu hidup mandiri.
(3)
Diserahkan
kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Tindakan lain yang mungkin dijatuhkan hakim kepada
anak jalanan pelaku kejahatan narkotika adalah menyerahkannya kepada Departemen
Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang
pendidikan, pembinaan dan latihan kerja untuk dididik serta dibina. Walaupun
pada prinsipnya pendidikan, pembinaan dan latihan kerja itu diselenggarakan
oleh pemerintah di Lembaga Kemasyarakatan Anak atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan, akan tetapi dalam hal kepentingan si anak menghendaki, maka hakim
dapat menetapkan anak tersebut diserahkan kepada Organisasi Sosial
Kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial dan lembaga sosial lainnya
(Pasal 24 ayat (1) huruf c). Apabila anak diserahkan kepada Organisasi Sosial
Kemasyarakatan, maka dalam hal ini hakim harus memperhatikan agama dari anak
yang bersangkutan.
Disamping tindakan yang dikenakan kepada anak
jalanan pelaku kejahatan narkotika, juga disertai dengan teguran dan
syarat-syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim (Pasal 24 ayat (2)). Teguran
itu berupa peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak itu atau
tidak langsung melalui orang tua/wali/orang tua asuhnya. Maksud dari teguran
ini adalah agar anak tersebut tidak lagi mengulangi perbuatannya yang mengakibatkan
ia dijatuhi tindakan.
Berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Undang-undang narkotika ini juga memberikan
perlindungan terhadap anak jalanan yang bermasalah dengan narkotika. Di dalam
Pasal 128 ayat (1) disebutkan bahwa orang tua/wali/orang tua asuh pecandu yang
belum cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja
tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Kemudian Pasal 128 ayat
(2) menyebutkan, pecandu yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang
tua/wali/orang tua asuhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak
dipidana.
Selain itu juga terdapat dalam Pasal 133 yang
berbunyi, bahwa :
Barang siapa menyuruh, memberi atau
menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan,
memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau
membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111-126 dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) dan
paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupih).
Pasal-pasal tersebut hanya dikenakan terhadap
orang yang memanfaatkan anak yang belum dewasa saja, sedangkan anak yang
bersangkutan tetap dapat dipidana berdasarkan Undang-undang Narkotika sesuai
dengan perbuatannya sesuai ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 133 diatas.
Berhubung pelaku kejahatan narkotika tersebut dibawah umur maka yang berlaku
adalah Undang-undang Pengadilan Anak dan berkas perkaranya harus dipisahkan.
Upaya Penanggulangan Kejahatan Narkotika Pelaku Anak Jalanan
Berikut ini upaya-upaya penanggulangan yang dapat dilakukan oleh
pihak-pihak yang berkaitan dengan permasalahan narkotika sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, yaitu:
a. Upaya Preventif
Adalah
upaya-upaya untuk mencegah kejahatan narkotika yang dilakukan oleh pemerintah,
peran serta masyarakat dan keluarga. Upaya-upaya dari pemerintah dapat
dilaksanakan melalui :
(1) Pembinaan
Pasal 60 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009
“Pemerintah
melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan
narkotika”.
Pasal
60 ayat (2)
“Pembinaan
yang dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) adalah :
- Memenuhi ketersediaan narkotika untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
- Mencegah dan memberantas segala bentuk
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika;
- Mencegah pelibatan anak di bawah umum dalam
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika;
- Mendorong dan menunjang kegiatan penelitian
dan/atau pengembang-an teknologi di bidang narkotika guna kepentingan pelayanan
kesehat-an;
- Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi
pecandu narkotika baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.”
(2) Pengawasan
Pasal
61 ayat (1)
“Pemerintah melakukan pengawasan
terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan narkotika.”
Peran
serta masyarakat sangat diperlukan dalam upaya pencegahan penyalahgunaan dan peredaran narkotika.
Pasal 109
UU No. 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Pemerintah memberi peng-hargaan kepada
anggota masyarakat atau badan yang telah berjasa dalam membantu upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
dan/atau pengungkapan tindak pidana narkotika.
Dalam
pemberian penghargaan tersebut harus tetap memperhatikan jaminan atas keamanan
dan perlindungan terhadap yang diberi penghargaan yang dalam bentuk piagam,
tanda jasa, premi, dan/atau bentuk penghargaan yang lainnya. Peran serta
keluarga dan orang tua juga menunjang keberhasilan upaya pencegahan kejahatan,
penyalahgunaan dan peredaran narkotika terhadap anak.
b. Upaya Represif
Adalah upaya-upaya penindakan dan
penegakan hukum terhadap ancaman faktual dengan sanksi yang tegas dan konsisten
sehingga membuat jera para pelaku kejahatan narkotika dan pengedar narkotika.[8]
Bentuk kegiatan represif itu adalah sebagai berikut:
(1) Penjatuhan sanksi yang berat terhadap bandar,
pengedar dan pemasok narkotika serta penjatuhan sanksi pidana dan tindakan
terhadap anak sebagai pelaku kejahatan narkotika;
(2) Pemusnahan terhadap narkotika yang diproduksi
tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku, kadaluarsa, tidak memenuhi
persyaratan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
berkaitan dengan tindak.
c. Upaya Rehabilitasi
Dalam bab
IX Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 menggunakan istilah pengobatan karena kata
pengobatan berkonotasi positif, yang berarti proses penyembuhan suatu penyakit.
Untuk kepentingan pengobatan suatu penyakit atau untuk perawatan seseorang
dapat memiliki, menyimpan atau membawa narkotika, namun yang bersangkutan harus
mempunyai bukti yang sah atas penguasaan narkotika tersebut, namun dalam
Undang-undang Narkotika tidak memberikan penjelasan mengenai bukti apa yang
harus dimiliki si pasien.
Selain
itu dalam Bab IX tersebut mengatur tentang Pengobatan dan Rehabilitasi, yang
isinya mengenai :
(1) Pecandu (Pasal 54, 55)
(2) Rehabilitasi (Pasal 56, 57, 58)
Pecandu narkotika wajib menjalani
pengobatan atau perawatan (Pasal 53). Hakim yang memeriksa perkara pecandu
narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti
bersalah atau tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Masa
menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika, dihitung
sebagai masa menjalani hukuman.
Pengobatan
atau perawatan itu dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi yang meliputi :
- Rehabilitasi Medis
Adalah suatu Proses
kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan narkotika (Pasal 1 angka 16).
- Rehabilitasi Sosial
Adalah suatu proses
kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas
pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan
masyarakat (Pasal 1 angka 17).
Rehabilitasi
medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri
Kesehatan. Atas dasar persetujuan Menteri Kesehatan lembaga rehabilitasi
tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat melakukan rehabilitasi
pecandu narkotika. Selain pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh
masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Sedangkan rehabilitasi
sosial bekas pecandu narkotika dilakukan di lembaga rehabilitasi sosial yang
diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat yang ditunjuk oleh
Menteri Kesehatan.
Kesimpulan
1. Suatu perbuatan dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana apabila perbuatan tersebut telah memenuhi unsur :
- merupakan perbuatan pidana
- ada kesalahan, yaitu mampu bertanggungjawab,
merupakan kesengajaan atau kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf sebagaimana
yang terdapat dalam Pasal 44 dan 48 KUHP.
Jika
anak jalanan melakukan kejahatan narkotika dan mereka telah memenuhi unsur
kesalahan maka dipertanggungjawabkan di hadapan hukum sebagaimana yang dimaksud
pada Pasal 25 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, seorang
anak yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhkan hukuman pidana dan tindakan
(Pasal 23 dan Pasal 4). Terdapat perbedaan sanksi pidana antara anak dan orang
dewasa, yaitu :
- Pasal 26 ayat (1) menyebutkan, bahwa pidana
penjara terhadap anak nakal, paling lama ½ (setengah) dari maksimum pidana
penjara bagi orang dewasa.
- Pasal 26 ayat (2) apabila anak nakal
melakukan tindak pidana diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling
lama 10 (sepuluh) tahun.
- Pasal 26 ayat (3) bagi anak nakal yang belum
mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana
mati atau penjara seumur hidup, maka terhadap anak tersebut hanya dapat
dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
- Pasal 27 : pidana
kurungan (1/2 dari orang dewasa)
- Pasal 28 : pidana
denda (1/2 dari orang dewasa)
- Pasal 30 : adanya
pidana pengawasan yang merupakan jenis pidana baru yang tidak diatur dalam KUHP
Selama
proses penyidikan, pemeriksaan di depan sidang, penjatuhan putusan, sampai masa
menjalani hukuman, seorang anak pelaku kejahatan berhak untuk mendapatkan
perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada, seperti Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
2. Faktor ekonomi, lingkungan dan keluarga sangat
mempengaruhi perilaku seorang anak, khususnya untuk melakukan tindak kejahatan
narkotika. Upaya-upaya penanggulangan terhadap kejahatan narkotika oleh anak
jalanan dapat dilakukan melalui :
a) Upaya preventif, oleh pemerintah melalui
pembinaan (Pasal 60 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009) dan Pengawasan (Pasal
61).
b) Upaya represif, penjatuhan sanksi dan
pemusnahan terhadap narkotika.
c) Upaya rehabilitasi : Pasal 56, 57 dan 58
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.
DAFTAR PUSTAKA
-
Gosita,
Arif, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), PT. Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta, 1989.
-
Kaligis, O.C.
& Asociaties, Narkoba & Peradilannya di Indonesia, Edisi
Pertama, Cet. Ke-1, PT. ALUMNI, Bandung, 2002.
-
Moeljatno, Asas-asas
Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
-
Prinst
Darman, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
- Sasangka, Hari, Narkotika dan Psikotropika
dalam Hukum Pidana, CV. Mandar
Maju, Bandung, 2003.
-
Undang-undang
No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
-
Undang-undang
No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
-
Undang-undang
No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
-
Undang-undang
No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
-
Undang-undang
No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
-
dr. Nalini
Muhdi, SpKj, Jawa Pos, 26 Februari 2010.
-
Jawa Pos,
Selasa 06 April 2010.
-
Kompas, Jumat
11 Desember 2009.
-
Kompas,
Senin, 28 April 2010.
-
Pikiran
Rakyat, Rabu , 31 Maret 2010.
[1] Sasangka, Hari, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum
Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung , 2003, hal. 42
[2] Pikiran Rakyat, Rabu , 31 Maret 2010
[3] dr. Nalini Muhdi, SpKj, Jawa
Pos, 26 Februari 2010
[4] Kompas, Senin, 28 April 2010
[5] Jawa Pos, Selasa 06 April
2010
[6] Moeljatno, Asas-asas Hukum
Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta ,
1993, hal 22
[7] Prinst Darman, Hukum Anak Indonesia , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 2003, hal. 15
[8] Kaligis, O.C. & Asociaties, Narkoba
& Peradilannya di Indonesia, Edisi Pertama, Cet. Ke-1, PT. ALUMNI,
Bandung, 2002, hal. 55
Tidak ada komentar
Posting Komentar