- Jelaskan perbedaan mendasar konflik bersenjata international dan konflik bersenjata non international. Lengkapi pula dengan contoh serta karakteristik dari masing-masing jenis tersebut.
- Deskripsikan menurut pemahaman saudara tentang mekanisme penegakan hukum humaniter beserta dasar hukumnya?
- Uraikan Implementasi hukum humaniter di Indonesia dan jelaskan peraturan perundang-undangan hasil ratifikasi dari konvensi international dibidang hukum humaniter.
Senin, 04 Januari 2016
Soal UAS MK. Hukum Humaniter International (Kelas E dan F FH.Ubhara)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Nama : Irya Nugroho
BalasHapuskelas : 5 E
NIM : 13010053
1. - konflik bersenjata internasional ada dua jenis, yaitu murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir. Konflik bersenjata internasional murni adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional semu adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalamhal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
- Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dlm suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan slalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
2.Mekanisme penegakan hukum humaniter dpt ditemukan dalam ketentuan-ketentuan huku itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tdk dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjdi opsi berikutnya.
3. Indonesia telah lama memulai fokus dan perhatian terahadap hukum humaniter karena di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga muncul pemberontakan dari kelompo-kelompok tertentu, misalnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Pemerintah telah melakukan berbagi program agar hukum humaniter ini dapat di terapkan di Indonesia misalnya : ada Komanas HAM sebagai sarana untuk memproseskan apabila ada pelanggaran dalam peperangan, ada juga aturan yang materil yang tertuang dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan pemerintah jg membuat aturan formilnya agar aturan yang materil dapat di implementasikan hal ini dengan adanya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun, Indonesia tergolong Negara yang masih sering melakukan pelanggaran hak asasi manusia atau hukum humaniter pada saat mempertahankan Negara kesatuan dari para pemerontak khususnya di provinsi Aceh. Dari kejadian ini ditemukan indikasi adanya pelanggaran HAM, yaitu pembunuhan di luar kewajaran dan pelecehan seksual. Kasus pembunuhan di luar kewajaran adalah kasus penembakan terhadap sekelompok pekerja tambak dan di antara korbannya adalah anak-anak. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak diberlakukannya darurat militer di Aceh, telah menimbulkan korban jiwa, tidak terkecuali TNI dan masyarakat sipil. Namun demikian adalah fakta bahwa TNI sudah berusaha semaksimal mungkin menghindari jatuhnya korban jiwa masyarakat sipil antara lain dengan cara melokalisir dan memisahkannya dengan GAM, tetapi jatuhnya korban tetap tidak bisa dihindari. Disamping itu, tidak sedikit pula jatuhnya korban masyarakat sipil, fakta sebenarnya hal tersebut dilakukan oleh GAM adan aparat keamanan TNI/Polri. Jadi terjadinya pelanggaran tersebut disebabkan kurangnya implementasi hukum humaniter atau kode etik dalam berperang dan menghadapi musuh dalam berperang atau pada saat akan berperang dan setelah perang terjadi.
BalasHapusNama : Wahyu Widari
BalasHapusNIM : 13010036
Kelas : VE
1. konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C.
Karakteristik :
• Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional
• Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuan
hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah
kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang
tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam
Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban
membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949
Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal
sampai saat ini yaitu :
Mahkamah atau tribunal yang bersifat ad hoc dan mahkamah yang bersifat permanen.
(a) Mahkamah Internasional Ad Hoc Tentang Kejahatan Perang
Dalam sejarah dikenal ada dua mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia II,
yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk
mengadili para penjahat perang Nazi Jerman, sedangkan Mahkamah Tokyo dibentuk untuk
mengadili para penjahat perang Jepang. Kedua mahkamah ini bersifat ad hoc atau sementara
yang berarti bahwa mahkamah ini dibentuk untuk jangka waktu dan kasus tertentu saja.
(b) Mahkamah Nuremberg
Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter)
atau biasa juga disebut Piagam London (London Charter). Sejak terbentuknya, mahkamah ini
telah menjatuhkan hukumannya kepada 24 orang tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau
kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Nuremberg, yaitu; kejahatan terhadap perdamaian,
(crimes against peace), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against humanity).
Nama : Kristanti Cahyaningrum
BalasHapusNim : 13010031
Kelas : V E
1) Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir . Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional. Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977. maka konflik bersenjata internasional atau perang antar negara terdiri dari tiga jenis situasi, yakni : 1) Perang yang dilakukan dengan cara-cara yang sah, dalam hal ini perang yang didahului dengan pernyataan perang (declaration of war) maupun peperangan yang tidak dilakukan dengan cara-cara tersebut (declared/undeclared war). 2) Peperangan yang diikuti dengan adanya invasi atau pendudukan dari pihak musuh (occupation); baik yang di dalamnya menemui perlawanan maupun yang tidak; serta 3) Situasi yang menegaskan bahwa dalam situasi peperangan di mana para pihak yang bersengketa adalah para pihak atau bukan pihak pada Konvensi Jenewa 1949, maka hal tersebut tidak menyebabkan tidak berlakunya Konvensi Jenewa 1949 itu sendiri.
Secara harfiah pengertian sengketa bersenjata non-internasional adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam negeri antara sesama anak bangsa di mana tidak ada keterlibatan negara atau bangsa lain, dengan kata lain sengketa yang terjadi di wilayah salah satu negara antara pemberontak dengan pasukan Pemerintah. sengketa bersenjata non-internasional adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam teritorial suatu negara, antara pemerintah di satu sisi dan pasukan pengacau di sisi lain. Yang termasuk pasukan pengacau adalah baik yang disebut pengacau, pemberontak, revolusioner, gerakan separatis, pejuang kebebasan, teroris, dan atau nama lain semacam yang bermaksud menggulingkan pemerintahan, atau memperoleh keuntungan ekonomi dalam suatu negara, atau dalam rangka membentuk negara sendiri.Syarat dan kriteria-kriteria untuk suatu sengketa bersenjata non-internasional adalah: 1. Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung. 2. Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident). 3. Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab. 4. Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut. 5. Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol.
Nama : Kristanti Cahyaningrum
BalasHapusNim : 13010031
Kelas : V E
2) Menurut saya Suatu perangkat hukum akan dapat efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakan terhadap yg melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu ditegakkan. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya. a) Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal dalam Konvensi Jenewa maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelakuk akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan. b) Mekanisme Internasiona. Disamping mekasinme nasional penegakan hukum humaniter juga dapat dilaksanakan melalui mekanisme internasional. Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal sampai saat ini, yaitu mahkamah bersifat ad-hoc dan mahkamah bersifat tetap.
Nama : Kristanti Cahyaningrum
BalasHapusNim : 13010031
Kelas : V E
3) Konvensi Jenewa tahun 1949 mencakup empat buah konvensi yang masing-masing bernama:
1) Konvensi Jenewa I untuk Perbaikan kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medan Perang.
Konvensi Jenewa pertama ditandatangani pada tahun 1864 oleh 12 Negara yang pada waktu itu, mempunyai posisi penting di bidang politik internasional. Pada tahun 1864, Konvensi Jenewa terdiri dari 10 pasal yang mengatur tentang perbaikan kondisi Prajurit yang cedera dan sakit dimedan perang. Konvensi ini menetapkan bahwa: a. Prajurit yang cedera dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat, tampa mempedulikan kebangsaannya; b. Petugas kesehatan dan sarana serta prasarana yang digunakan untuk merawat prajurit yang cedera dan sakit di medan perang harus diberikan status netral; c. Lambang Palang merah di atas dasar putih disetujui sebagai tanda pelindung Setelah itu, Konvensi Jenewa tersebut direvisi dan dikembangkan pada tahun 1906 dan 1929, menjadi Konvensi Jenewa I tahun 1949. 2) Konvensi Jenewa II untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, Korban Kapal Karam dalam Peperangan di Laut. Pada Konvensi Den Haag yang diadakan tahun 1899, perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa pertama diperluas mencakup korban kapal karam pada waktu terjadi peperangan dilaut. Ketentuan-ketentuan ini dikembangkan kembali pada Konvensi Den Haag tahun 1907. 3) Konvensi Jenewa III tentang perlakuan Tawanan Perang Konvensi Den Haag yang diselenggaran pada tahun 1899 dan 1907, menyinggung pula soal tawanan perang. Namun demikian, pada waktu Perang Dunia I, ketentuan-ketentuan yang mengatur persyaratan penahanan dan perlakuan tawanan perang masih kurang oleh karena itu, pada tahun 1929, disusun Konvensi Jenewa tentang perlakuan tawanan perang yang terdiri dari 97 pasal. Konvensi ini menegaskan bahwa: a. Tawanan perang bukanlah seorang Kriminal, tetapi pihak musuh yang tidak dapat lagi turut serta dalam pertempuran. b. Oleh karena itu, tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi selama ditahan. c. Tawanan perang harus dibebaskan pada waktu permusuhan sudah berakhir. Konvensi Jenewa ini dikembangkan kembali pada tahun 1949, menjadi Konvensi Jenewa III. 4) Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan Sebelum tahun 1949, HHI belum dapat diterapkan untuk melindungi masyarakat sipil. Pada waktu Perang Dunia II, ribuan orang sipil menjadi korban. Hal ini sangat menggemparkan opini masyarakat internasional, sehingga pada tahun 1949 disetujui Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan. Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 sudah ditandatangani oleh 188 Negara (31 Maret 1997). Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi-Konvensi Jenewa pada tahun 1958. Dengan menandatangani Konvensi-konvensi Jenewa, setiap negara diwajibkan pada waktu pertikaian bersenjata untuk: a. Merawat orang yang cedera dan sakit, tanpa mempedulikan kebangsaannya. b. Menghormati manusia dalam integritas fisik, martabat, hak keluarga, keyakinan moral dan agamanya. c. Melarang penyiksaan, perlakuan kejam, hukuman mati tanpa didahului proses pengadilan yang sah, pembasmian, deportasi, penyanderaan, perampokan dan perusakan harta benda sipil. d. Mengizinkan delegasi ICRC (Palang Merah Internasional) untuk mengunjungi para tawanan perang dan interniran sipil (orang yang ditempatkan di suatu lokasi dan kebebasannya dibatasi) dan untuk berbicara dengan mereka tanpa saksi.
nama : hiskia kusuma dewi
BalasHapuskelas : VE
nim : 13010181
1.1. “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional”(international armed conflict); serta
2. “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict).
1) Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict). Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir. Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
2) Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
2.Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuan
hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah
kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang
tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam
Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban
membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional
umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131
Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949.
Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa
kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang
melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam
Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter
dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional Apablia mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan,
maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya
3.HHI seperti yang dikenal masa ini terdiri dari Hukum Jenewa (Perlindungan terhadap Korban Perang) dan Hukum Den Haag(Sarana dan (cara berperang). Pada makalah ini akan difokuskan pada Hukum Jenewa. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang yang disebut juga Konvensi Palang Merah, mencakup empat buah konvensi yang masing-masing bernama:
BalasHapus1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medang Perang.
2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, dan Korban Kapal Karam dalam Peperangan di Laut.
3. Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan Perang.
4. Konvensi Jenewa tentang Perlindungan kepada para Penduduk Sipil dalam Peperangan.
ad.1 Konvensi Jenewa I untuk Perbaikan kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medan Perang.
Konvensi Jenewa pertama ditandatangani pada tahun 1864 oleh 12 Negara yang pada waktu itu, mempunyai posisi penting di bidang politik internasional. Pada tahun 1864, Konvensi Jenewa terdiri dari 10 pasal yang mengatur tentang perbaikan kondisi Prajurit yang cedera dan sakit dimedan perang. Konvensi ini menetapkan bahwa:
a. Prajurit yang cedera dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat, tampa mempedulikan kebangsaannya;
b. Petugas kesehatan dan sarana serta prasarana yang digunakan untuk merawat prajurit yang cedera dan sakit di medan perang harus diberikan status netral;
c. Lambang Palang merah di atas dasar putih disetujui sebagai tanda pelindung;
Setelah itu, Konvensi Jenewa tersebut direvisi dan dikembangkan pada tahun 1906 dan 1929, menjadi Konvensi Jenewa I tahun 1949.
ad.2 Konvensi Jenewa II untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, Korban Kapal Karam dalam Peperangan di Laut.
Pada Konvensi Den Haag yang diadakan tahun 1899, perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa pertama diperluas mencakup korban kapal karam pada waktu terjadi peperangan dilaut. Ketentuan-ketentuan ini dikembangkan kembali pada Konvensi Den Haag tahun 1907. Berdasarkan kedua Konvensi Den Haag, disusun pada tahun 1949 Konvensi Jenewa II tentang perbaikan kondisi tentara yang cedera, sakit dan korban kapal karam dalam peperangan dilaut. Isi dan konvensi tersebut adalah penyesuaian ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa I untuk situasi perang di laut.
ad.3 Konvensi Jenewa III tentang perlakuan Tawanan Perang
Konvensi Den Haag yang diselenggaran pada tahun 1899 dan 1907, menyinggung pula soal tawanan perang. Namun demikian, pada waktu Perang Dunia I, ketentuan-ketentuan yang mengatur persyaratan penahanan dan perlakuan tawanan perang masih kurang oleh karena itu, pada tahun 1929, disusun Konvensi Jenewa tentang perlakuan tawanan perang yang terdiri dari 97 pasal.
ad.4 Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan
Sebelum tahun 1949, HHI belum dapat diterapkan untuk melindungi masyarakat sipil. Pada waktu Perang Dunia II, ribuan orang sipil menjadi korban. Hal ini sangat menggemparkan opini masyarakat internasional, sehingga pada tahun 1949 disetujui Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan.
nama : maiyyah nadziroh
BalasHapuskelas : VF
nim : 13010063
Secara garis besar,hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu : 1). “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional”(international armed conflict); serta 2.)“sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional”(non-international armed conflict)
1.1)Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional:murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir.
Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B)Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo.Pasal 96 ayat(3)Protokol Tambahan I tahun 1977.
2) Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan”yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C.Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja,yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Disamping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.
2.Mekanisme penegakan hukum humaniter dpt ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri.Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang.Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana.Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter.Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional,yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional.Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tdk dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjdi opsi berikutnya.
BalasHapus3.Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang yang disebut juga Konvensi Palang Merah, mencakup empat buah konvensi yang masing-masing bernama:
1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medang Perang.
2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, dan Korban Kapal Karam dalam Peperangan di Laut.
3. Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan Perang.
4. Konvensi Jenewa tentang Perlindungan kepada para Penduduk Sipil dalam Peperangan.
ad.1 Konvensi Jenewa I untuk Perbaikan kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medan Perang.
Konvensi Jenewa pertama ditandatangani pada tahun 1864 oleh 12 Negara yang pada waktu itu, mempunyai posisi penting di bidang politik internasional. Pada tahun 1864, Konvensi Jenewa terdiri dari 10 pasal yang mengatur tentang perbaikan kondisi Prajurit yang cedera dan sakit dimedan perang. Konvensi ini menetapkan bahwa:
a. Prajurit yang cedera dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat, tampa mempedulikan kebangsaannya;
b. Petugas kesehatan dan sarana serta prasarana yang digunakan untuk merawat prajurit yang cedera dan sakit di medan perang harus diberikan status netral;
c. Lambang Palang merah di atas dasar putih disetujui sebagai tanda pelindung;
Setelah itu, Konvensi Jenewa tersebut direvisi dan dikembangkan pada tahun 1906 dan 1929, menjadi Konvensi Jenewa I tahun 1949.
ad.2 Konvensi Jenewa II untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, Korban Kapal Karam dalam Peperangan di Laut.
Pada Konvensi Den Haag yang diadakan tahun 1899, perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa pertama diperluas mencakup korban kapal karam pada waktu terjadi peperangan dilaut. Ketentuan-ketentuan ini dikembangkan kembali pada Konvensi Den Haag tahun 1907. Berdasarkan kedua Konvensi Den Haag, disusun pada tahun 1949 Konvensi Jenewa II tentang perbaikan kondisi tentara yang cedera, sakit dan korban kapal karam dalam peperangan dilaut. Isi dan konvensi tersebut adalah penyesuaian ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa I untuk situasi perang di laut.
ad.3 Konvensi Jenewa III tentang perlakuan Tawanan Perang
Konvensi Den Haag yang diselenggaran pada tahun 1899 dan 1907, menyinggung pula soal tawanan perang. Namun demikian, pada waktu Perang Dunia I, ketentuan-ketentuan yang mengatur persyaratan penahanan dan perlakuan tawanan perang masih kurang oleh karena itu, pada tahun 1929, disusun Konvensi Jenewa tentang perlakuan tawanan perang yang terdiri dari 97 pasal.
ad.4 Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan
Sebelum tahun 1949, HHI belum dapat diterapkan untuk melindungi masyarakat sipil. Pada waktu Perang Dunia II, ribuan orang sipil menjadi korban. Hal ini sangat menggemparkan opini masyarakat internasional, sehingga pada tahun 1949 disetujui Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan.
Nama : Wahyu Widari
BalasHapusKelas : VE
NIM : 13010036
3. Implementasi Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan RI (Sekjen Dephan) Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai keynote speaker pada acara Lokakarya Implementasi HHI di lingkungan Departemen Pertahanan RI, Selasa (20/11) di Kantor Dephan, Jakarta.
Sekjen Dephan menambahkan, bahwa sistem pertahanan negara maupun implementasi pelaksanaan pertahanan negara yang dilaksanakan oleh TNI seperti kebijakan, keputusan dan landasan operasional, selalu berdasarkan kepada hukum.
NAMA : KARTIKA AYUNDHA H
BalasHapusKELAS : V-F
NIM : 13010158
1. Perbedaan mendasar antara konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa
• konflik non-internasional
Merupakan konflik internal atau biasa disebut dengan perang pemberontakan yang dicirikan dengan adanya pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan kelompok terorganisir / pasukan pemberontak yang melakukan perlawanan. Konflik tsb terjadi di wilayah suatu negara. Contoh: pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka, konflik suriah antara rakyat suriah melakukan perlawanan terhadap rezim Bhasar Asaad.
• konflik internasional
Merupakan konflik eksternal dimana telah terjadi dicirikan dengan sengketa antara 2 negara atau lebih dan bisa terjadi antara negara dengan bukan negara. Contoh: perang Israel dan Palestina, perang Suriah yang melibatkan banyak negara besar seperti AS & Rusia
2. Mekanisme hukum humaniter ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen.
Ketentuan ini kemudian diperkuat dengan Pasal yang mengatur tentang penghukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat hukum humaniter, yaitu Pasal-pasal yang terdapat pada Pasal 49 ayat (1) Konvensi I, Pasal 50 (1) Konvensi II, Pasal 129 (1) Konvensi III dan Pasal 146 (1) Konvensi IV, yang merupakan ketentuan yang bersamaan
Mahkamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan,maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
NAMA : KARTIKA AYUNDHA H
BalasHapusKELAS : V-F
NIM : 13010158
3. Terkait dengan pelaksanaan dari hukum humaniter yang dilaksanakan di Indonesia dengan terbentuknya sebuah komisi nasional, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terbentuknya Komnas HAM adalah bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB.
Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi jenewa 1949, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di mata dunia yang masih sangat rendah
kala itu dapat diamankan dengan ratifikasi yang dilakukan Indonesia dalam hal ini agar Negara-negara kolonial dapat lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negerinya yang dapat memicu konflik dengan Indonesia.
Negara-negara yang menjadi anggota konvensi ini akan sama terikatnya di dalam hubungan antar mereka. Mereka selanjutnya terikat oleh konvensi ini dalam hubungan dengan Negara bukan peserta, apabila Negara yang tersebut kemudian ini menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan konvensi ini. Dengan pernyataan tersebut, Indonesia dapat meloloskan kepentingan nasionalnya dalam hal keamanan karena kondisi dunia pada masa tersebut yang relative belum stabil dan kemungkinan-kemungkinan akan pecahnya konflik bersenjata yang member dampak buruk terhadap Indonesia. Perjanjian tersebut sedikit banyak dapat dimasukkan ke dalam ratifikasi HAM Indonesia dalam bidang politik. Karena di dalamnya termuuat Hak Asasi Indonesia sebagaii Negara, serta hak-hak yang dimiliki setiap warga masyarakat yang bernaung di dalamnya.
NAMA : RIMA RACHMAWATI
BalasHapusNIM : 13010142
KELAS : 5 F
1. ** perbedaan mendasar konflik bersenjata internasional & konflik bersenjata non internasional :
----- Pertama, ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan.
----- Kedua, dalam ‘non-international armed conflict’, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan “pihak bukan negara” atau “peoples” yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu “bangsa” yang masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.
----- Ketiga, “non-international armed conflict” merupakan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.
** contoh :
----- konflik internasional : Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan (“war of national liberation“). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut.
----- konflik non internasional : gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja. Inilah yang disebut dengan istilah ‘non-international armed conflict’ atau konflik internal, atau juga disebut sebagai “perang pemberontakan”.
** karakteristik :
----- Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B).
----- Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C.
NAMA : RIMA RACHMAWATI
BalasHapusNIM : 13010142
KELAS : 5 F
2. Dalam konvensi Jenewa 1949 pada dasarnya yg didahulukan adalah mekanisme penegakan nasional, negara yang telah meratifikasi konvensi jenewa dapat memberi sanksi kepada pelaku pelanggaran Hukum humaniter melalui pengadilan nasional. Apabila mekanisme penegakan nasional tidak dapat menyelesaikan, maka dapat menggunakan mekanisme penegakan internasional. Mekanisme Internasional dalam penegakan hukum humaniter mencakup melalui Mahkamah Internasional Ad Hoc tentang Kejahatan Perang, Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo, International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Statuta Roma : Mahkamah Pidana Internasional. Dasar hukumnya yaitu Konvensi Jenewa 1949.
3. implementasi hukum humaniter di Indonesia merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. program yg telah dilakukan pemerintah Indonesia antara lain adanya komnas ham sebagai sarana untuk memproses apabila ada pelanggaran dalam peperangan dan dibentuknya organisasi perhimpunan nasional yang bergerak dibidang sosial kemanusiaan(PMI). Indonesia menyatakan dukunganya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : Yuniar Adharistin
BalasHapusKelas : 5F
NIM : 13010108
1.Perbedaan Konflik Bersenjata Internasional dan non-Internasional:
-Dalam Konfik bersenjata internasional ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara
-Salah satu pihak dalam konflik bersenjata internasional tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
-Dalam Konflik bersenjata non internasional status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity).
-Dalam Konflik bersenjata non internasional yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir.
Karakteristik:
a.Konflik bersenjata Internasional:
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara.
b.Konflik bersenjata non internasional:
Sedangkan sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara. sengketa bersenjata yang terjadi dalam wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata negara tersebut dengan pasukan bersenjata pemberontak atau dengan kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang berada di bawah komando yang bertanggung jawab.
Contoh:
a.Konflik bersenjata internasional:
Irak VS Afganistan
b.Konflik bersenjata non Internasional:
Tni vs GAM
2.Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter internasional:
a.)Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977
Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal dalam Konvensi Jenewa maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
b.)Mekanisme Internasional
Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal sampai saat ini, yaitu mahkamah bersifat ad-hoc dan mahkamah bersifat tetap. bersiafat ad-hoc atau sementara yang berarti bahwa mahkamah ini dibentuk untuk jangka waktu dan kasus tertentu saja.
c.)Statuta Roma : Mahkamah Pidana Internasional
Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mengisi kekosongan lembaga pidana kejahatan hak asasi manusia dan memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum) Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, suatu pengadilan pidana yang permanen merupakan langkah untuk mengisi kekosongan lembaga pidana di tingkat internasional pelanggaran berat hak asasi manusia. Ini jelas merupakan langkah maju untuk memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum) yang terjadi di banyak negara yang penegakan hukumnya masih sangat rendah. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mengisi kekosongan lembaga pidana kejahatan hak asasi manusia dan memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum).
Nama : Yuniar Adharistin
BalasHapusKelas : 5F
NIM : 13010108
3. Implementasi Hukum Humaniter Di Indonesia :
a.Tindakan Legalisasi
Setiap negara peserta harus mengeluarkan undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya, sebagaimana yang diatur pada Pasal 48, 49, 128, 145 masing-masing konvensi dan Pasal 84 Protokol I.Setiap negara peserta harus menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk member sanksi pidana efektif, jika terjadi pelanggaran. Orang yang harus diadili adalah orang yang melakukan dan orang yang memerintahkan untuk melakukan pelanggaran.
Tindakan Indonesia dalam melegalisasi Humaniter Internasional di Indonesia
antara lain :
1. Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 1982
2. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
4. Undang-Undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
5. Kep.Menteri Pertahanan KEP/02/M/II/2002
- Tindakan organisatoris yang harus diambil di masa damai
Perhimpunan Palang Merah Nasional harus diakui secara resmi oleh pemerintah dan memperoleh ijin, agar dapat bertindak di bawah perlindungan Konvensi-konvensi Jenewa (pasal 26 Konvensi I).
Bangunan-bangunan tetap dan unit-unit kesehatan bergerak dari Dinas Kesehatan sedapat mungkin ditempatkan dengan cara sedemikian rupa agak jauh dari objek militer, sehingga serangan yang dilakukan musuh terhadap sasaran-sasaran militer tidak membahayakan keselamatan dari dinas medis tersebut (Pasal 19 Konvensi I).
- Tindakan organisatoris yang diambil pada waktu pertikaian bersenjata, tetapi yang harus disiapkan di masa damai
Negara peserta dapat mengadakan persetujuan khusus tentang semua hal yang dianggap sesuai untuk diatur sendiri (Pasal 6, 6, 6, 7 masing-masing konvensi). Jadi, sebelumnya perlu diadakan penelitian tentang aspek-aspek yang mungkin diatur dalam persetujuan khusus tersebut. Negara-negara yang mungkin menjadi negara pelindung, serta pihak yang akan menjadi wakil dan utusannya harus ditentukan sebagaimana diatur didalam pasal 8, 10.
Nama : dili febri prasetyo
BalasHapusNim : 13010136
Nomor 1 . Perbedaan konflik bersenjata internasional ( internasional armed conflict) dan konflik bersenjata non internasional ( non international armed conflict ) yaitu non internasional dapat disebut juga konflik internal karena didalam kedua konflik bersenjata tersebut yang membedakan yaitu status hukum para pihak yang bersengketa,status hukum inilah bermakna sangat penting karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional hanya subyek2 hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai " pelaku " dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek2 hukum internasional, sehingga ia merupakan pelaku dan tunduk serta terikat kepada peraturan2 hukum intrnasional.dalam konflik bersenjata non internasional ( non international armed conflict ) status keduanya tidaklah sama: pihak yang satu berstatus sebagai negara sedangkan yang lainnya bukan negara.pertama,non international armed conflict dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan dimana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok2 bersenjata yang terorganisir
(Organized armed grups ) yang berada didalam wilayah negara yang bersangkutan. jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara,pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok2 bersenjata yng terorganisir,kelompok yang demikian lebih dikenal sebagai kolompok "pemberontak "(insurgent ) oleh karena itu peperangan yng demikian lebih dikenal dengan perang pemberontakan.kedua,dalam non international armed conflict pihak bukan negara atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yng terorganisir atau pasukan pemberontak memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka,mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru, ketiga oleh karena itu maka non international armed conflict merupakan konflik yang hanya terjadi didalam wilayah suatu negara saja contoh provinsi aceh yang ingin lepas dan merdeka sendiri dari negara kesatuan republik indonesia .
Sedangkan konflik bersenjata internasional ( international armed conlict ) yaitu pertikaian antar negara yang satu dengan negara yang lainnya atau lebih dari dua negara contoh negar suriah,rusia,dan usa
No 2.menurut pemahaman saya tentang mekanisme penegakan hukum humaniter yaitu bahwa di dunia ini perang merupakan salah satu cara penyelesaian dalam menyelesaikan sengketa. Namun dalam hukum humaniter tidak melarang perang juga tidak membenarkan adanya perang tetapi hukum humaniter memanusiawikan perang agar korban akibat perang ini seminimal mungkin namun dalam perang sering terjadi pelanggaran dan kejahatan humaniter.sehingga disinilah perlu diaturnya mekanisme penegakan hukum humaniter.suatu perangkat hukum dikatakan efektif apabila ia dapat di implementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan apabila ada yang melanggarnya .untuk itu maka didalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma -norma tersebut dapat ditegakkan.meknisme tersebut dapat ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang,baik yang bersifat ad-hoe maupun yang bersifat permanen.makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan proses pengadilan hukum pidana. Namun dalam konvensi -konvensi janewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti yang dikenal dalam sistem hukum internasional lainnya.pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam konvensi janewa 1949 adalah mekanisme nasional yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh pengadilan nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
Nama : dili febri prasetyo
BalasHapusNim : 13010136
Kelas : 5e
No 3 .proses implementasi hukum humaniter di indonesia dimulai dari program yang di buat oleh pemerintahan indonesia antara lain yang pertama yaitu pembentukan lembaga komnas HAM Yaitu perlindungan hak asasi manusia hal ini sangatlah penting apabila terjadi pelanggaran kejahatan dalam berperang karena setiap manusia berhak mendapatkan hak yang sama dengan yang lainnya, kedua di bentuknya organisasi perhimpunan nasional yang bergerak dibidang sosial kemanusiaan ( PMI ). Selain itu negara kesatuan republik indonesia juga ikut serta dalam meratifikasi konvensi - konvensi janewa 1949 yaitu terbukti dalam uu no 59 tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh konvensi janewa1949. Dan bukti berikutnya bahwa indonesia ikut serta daam mengimplementasikan hukum humaniter yakni tertulus dalam keputusan menteri pertahanan no : kep/02/M/II/2002 tentang pemerapan hukum humaniter dalm hak asasi manusia.
1.konflik bersenjata internasional ada dua jenis, yaitu murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir. Konflik bersenjata internasional murni adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional semu adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalamhal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
BalasHapusSengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dlm suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan slalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
2.Mekanisme penegakan hukum humaniter dpt ditemukan dalam ketentuan-ketentuan huku itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tdk dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjdi opsi berikutnya.
nama : M FADIL FIRDAUS
BalasHapusNIM : 13010177
KLS :5 F
1.konflik bersenjata internasional ada dua jenis, yaitu murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir. Konflik bersenjata internasional murni adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional semu adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalamhal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dlm suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan slalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
2.Mekanisme penegakan hukum humaniter dpt ditemukan dalam ketentuan-ketentuan huku itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tdk dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjdi opsi berikutnya.
NAMA : M fadil firdaus
BalasHapusNIM : 13010177
KLS : 5F
2.Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter internasional:
a.)Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977
Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal dalam Konvensi Jenewa maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
b.)Mekanisme Internasional
Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal sampai saat ini, yaitu mahkamah bersifat ad-hoc dan mahkamah bersifat tetap. bersiafat ad-hoc atau sementara yang berarti bahwa mahkamah ini dibentuk untuk jangka waktu dan kasus tertentu saja.
c.)Statuta Roma : Mahkamah Pidana Internasional
Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mengisi kekosongan lembaga pidana kejahatan hak asasi manusia dan memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum) Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, suatu pengadilan pidana yang permanen merupakan langkah untuk mengisi kekosongan lembaga pidana di tingkat internasional pelanggaran berat hak asasi manusia. Ini jelas merupakan langkah maju untuk memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum) yang terjadi di banyak negara yang penegakan hukumnya masih sangat rendah. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mengisi kekosongan lembaga pidana kejahatan hak asasi manusia dan memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum).
NAMA :M FADIL FIRDAUS
BalasHapusNIM: 13010177
KLS : 5F
3. implementasi hukum humaniter di Indonesia merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. program yg telah dilakukan pemerintah Indonesia antara lain adanya komnas ham sebagai sarana untuk memproses apabila ada pelanggaran dalam peperangan dan dibentuknya organisasi perhimpunan nasional yang bergerak dibidang sosial kemanusiaan(PMI). Indonesia menyatakan dukunganya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
NAMA : FIRMANSYAH AGUNG PRADHIPTA
BalasHapusNIM : 13010043
KELAS : E (MALAM)
1. Konflik bersenjata internasional merupakan Istilah sengketa bersenjata internasional, antar Negara, atau konflik antar negara merupakan suatu sengketa bersenjata yang terjadi antar dua atau lebih Negara yang lebih populer disebut dengan “perang” (war). Walaupun dalam penyebutan istilah tersebut terdapat kata-kata “negara”, apakah sengketa bersenjata antar negara memang hanya dapat dilakukan oleh negara saja sebagai pihak-pihaknya ? Mari kita lihat penjelasan berdasarkan Hukum Humaniter, khususnya berdasarkan Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Sedangkan konflik bersenjata non- internaisonal status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara. Contohnya, konflik bersenjata dapat dilihat dalam perang dunia ke-2 yg melibatkan dua blok yang masing – masing dipimpin Amerika serikat dan Uni soviet. Sedangkan yg non- internasional seperti yang terjadi di Suriah yg melawan kelompok pemberontak seperti ISIS.
2. hukum humaniter berlaku dan diterapkan hanya dalam situasi perang. Dalam konteks ini perang diartikan sama dengan sengketa bersenjata di mana ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam suatu situasi saling bertentangan atau konfrontatif, dan masing-masing pihak telah menggunakan kekuatan angkatan bersenjatanya. Selama berlangsungnya konflik, hukuman atas pelanggaran Hukum Perang bisa berupa dilakukannya pelanggaran tertentu atas Hukum Perang dengan sengaja dan secara terbatas sebagai pembalasan (reprisal). Prajurit yang melanggar ketentuan tertentu dari Hukum Perang kehilangan perlindungan dan status sebagai tawanan perang tetapi hanya setelah menghadapi “mahkamah yang berkompeten” (Konvensi Jenewa III Pasal 5).
3. Indonesia juga telah lama memulai focus dan perhatian terahadap hukum humaniter karena di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga muncul pemberontakan dari kelompokelompok tertentu. Pemerintah telah melakukan berbagi program agar hukum humaniter ini dapat di terapkan di Indonesia misalnya : ada Komanas HAM sebagai sarana untuk memproseskan apabila ada pelanggaran dalam peperangan, ada juga aturan yang materil yang tertuang dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tidak hanya itu. Pemerintah juga membuat aturan formilnya agar aturan yang materil dapat di implementasikan hal ini dengan adanya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
BalasHapusNAMA:ABDUL KHOLIQ
BalasHapusNIM:13010013
SEMESTER:5E
1.Perbedaan mendasar konflik bersenjata internasional dengan konflik bersenjata non-internasional:
- konflik bersenjata internasional
Merupakan konflik eksternal dimana telah terjadi sengketa antara negara dengan negara,negara dengan bukan entitas negara. Contoh: perang Suriah yang melibatkan banyak negara besar seperti Rusia dan AS.
-konflik bersenjata non-internasional
Merupakan konflik internal atau biasa disebut dengan perang pemberontakan yang dicirikan dengan adanya pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan sekelompok pasukan pemberontak yang melakukan perlawanan,bertujuan menggantikan Rezim berkuasa,melawan pemerintah yang berkuasa,ingin memisahkan diri dengan negara yang berdaulat. Konflik tsb terjadi di wilayah suatu negara. Contoh: konflik suriah antara rakyat suriah melakukan perlawanan terhadap rezim Bhasar Asaad.
2. Menurut saya mekanisme penegakan hukum humaniter internasional dalam sejarahnya dapat ditempuh melalui pembentukan pengadilan pidana nasional maupun mahkamah pidana internasional yang bersifat ad hoc. Karena perkembangan tindak pidana internasional yang telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat internasional, diperlukan adanya suatu mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen. Maka dari itu pada bulan juli di Roma tahun 1998, lahir sebuah statuta yang membentuk mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen, atau dikenal juga dengan Statuta Roma 1998. International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap bagi pengadilan pidana nasional dalam menuntut dan mengadili kejahatan internasional paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Oleh karena itu ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas yaitu Penegakan Hukum Humaniter Internasional Melalui Mekanisme International Criminal Court (ICC) Menurut Statuta Roma 1998 dan Kendala-Kendala Yang Dihadapi dalam penegakan Hukum Humaniter Internasional melalalui mekanisme International Criminal Court menurut Statuta Roma 1998. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat diketahui Dalam pelaksanaan mekanisme penegakan hukum humaniter internasional melalui mekanisme International Criminal Court (ICC), sebelum dapat melaksanakan kewenangannya untuk mengadili kejahatan serius yang merupakan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional, haruslah ditemukan adanya unsur ketidakinginan (unwillingness) dan ketidakmampuan (unable) dari pengadilan pidana nasional dalam mengadili kejahatan tersebut di negara yang bersangkutan. Selain itu diperlukan adanya kerjasama internasional antara ICC dengan negara-negara untuk menangani dan mengadili kasus pelanggaran serius yang terjadi di suatu negara. Kendala yang dihadapi dalam penegakan Hukum humaniter Internasional melalui mekanisme International Criminal Court menurut Statuta Roma 1998 adalah intervensi dari Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Cina dalam memanfaatkan ICC sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan menunjukkan hegemoni dalam menyelesaikan konflik di suatu Negara yang terlibat, sehingga penyelesaian masalah demi tercapainya penegakan hukum humaniter internasional seringkali menemui jalan buntu. Dalam penulisan ini disarankan bahwa dalam upaya penegakan hukum humaniter internasional melalui mekanisme ICC haruslah mendapat dukungan dari semua pihak negara-negara di dunia dengan mengenyampingkan kepentingan masing-masing Negara demi terciptanya perdamaian dan keadilan dalam masyarakat internasional.
3. pelaksanaan dari hukum humaniter yang dilaksanakan di Indonesia dengan terbentuknya sebuah komisi nasional, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terbentuknya Komnas HAM adalah bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB.
BalasHapusSaat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi jenewa 1949, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di mata dunia yang masih sangat rendah
kala itu dapat diamankan dengan ratifikasi yang dilakukan Indonesia dalam hal ini agar Negara-negara kolonial dapat lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negerinya yang dapat memicu konflik dengan Indonesia.
Dalam meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
NAMA : ARLIK EVI WIJAYANTI
BalasHapusNIM : 13010062
KELAS : F
1. Perbedaan utama antara konflik bersenjata non internasional dan konflik bersenjata internasional dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa.
- Dalam konflik bersenjata internasional ke dua pihak memiliki status hukum yang sama,karena keduanya adalah negara.
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional :
• Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain.
Misalnya : Negara A berperang melawan Negara B
- Dalam konflik bersenjata non internasional status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war)
Misalnya : Perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk
2. Mekanisme penegakan Hukum Humaniter Internasional (HHI) dapat ditemukan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat pada :
- Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protocol Tambahan 1977 serta pada aturan-aturan lain yang mengatur mengenai mahkamah kejahatan perang baik yang bersifat ad hoc maupun permanen.
Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti yang dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.Seperti diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131Konvensi III dan Pasal 148 .
3. Implementasi Hukum Humaniter Di Indonesia :
a.Tindakan Legalisasi
Setiap negara peserta harus mengeluarkan undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya, sebagaimana yang diatur pada Pasal 48, 49, 128, 145 masing-masing konvensi dan Pasal 84 Protokol I.Setiap negara peserta harus menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk member sanksi pidana efektif, jika terjadi pelanggaran. Orang yang harus diadili adalah orang yang melakukan dan orang yang memerintahkan untuk melakukan pelanggaran.
Tindakan Indonesia dalam melegalisasi Humaniter Internasional di Indonesia
antara lain :
1. Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 1982
2. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
4. Undang-Undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
5. Kep.Menteri Pertahanan KEP/02/M/II/2002
- Tindakan organisatoris yang harus diambil di masa damai
Perhimpunan Palang Merah Nasional harus diakui secara resmi oleh pemerintah dan memperoleh ijin, agar dapat bertindak di bawah perlindungan Konvensi-konvensi Jenewa (pasal 26)
- Tindakan organisatoris yang diambil pada waktu pertikaian bersenjata, tetapi yang harus disiapkan di masa damai
Negara peserta dapat mengadakan persetujuan khusus tentang semua hal yang dianggap sesuai untuk diatur sendiri (Pasal 6, 6, 6, 7 masing-masing konvensi). Jadi perlu diadakan penelitian tentang aspek-aspek yang mungkin diatur dalam persetujuan khusus tersebut.
Nama : Teguh Arifianto
BalasHapusKlas : V F (sore)
Nim : 13010076
1.Perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat daristatus hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4)junctoPasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
Ada beberapa bentuk konflik bersenjata yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana ada dalam konvensi-konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu :
1). “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional”(international armed conflict); yaitu murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir. Konflik bersenjata internasional murni adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional semu adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniterdalamhal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.Sengketa bersenjata yang bersifat internasionaldisebut juga sebagai sengketa bersenjata antarnegara . (misalnya negara A berperang melawannegara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.- Contoh: Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda.
2.)“sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional”(non-international armed conflict) : Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perangpemberontakan” yang terjadi di dlm suatu negara; juga dapat perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan slalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkansatu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Contoh: pemberontakan GAM( Gerakan Aceh Merdeka ) , konflik suriah antara rakyat suriah melakukan perlawanan terhadap rezim Bhasar Asaad
2). Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter
BalasHapusMenurut pedapat saya mekanisme penegakan Suatu perangkat hukum dapat dikatakan efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakan terhadap yg melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu ditegakkan. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi ataukompensasi dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnyamekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tdk dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjdi opsi berikutnya.
Jika terjadi pelanggaran terhadap hukum humaniter ada tiga alternatif mekanisme penegakan yang dapat ditempuh, untuk menghukum para pelaku kejahatan perang, yaitu:
a.Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 Berdasarkan pasal 49 ayat 1 Konvensi Jenewa 1949 maka Negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa harus menerbitkan undang-undang nasional yang dapat memberi sanksi pidana yang efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
b.Melalui Mahkamah ad hoc kejahatan perang Dalam sejarah dikenal ada dua Mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia II yaitu, Mahkamah Tokyo untuk mengadili para penjahat perang Jepang, mahkamah Nuremberg untuk mengadili penjahat perang Nazi, Jerman. Setelah Perang Dunia II, telah dibentuk Mahkamah Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia (international crimi-nal Tribunal forthe Former Yugoslavia/ICTY) dan untuk Rwanda ( International Criminal Tribunal for Rwanda).
c. Melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)ICC didirikan dengan Statuta Roma 1998. Mahkamah ini bersifat permanen untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang sangat serius(the most seriouscrimes).ICC berwenang mengadili atas empat macam kejahatan, yaitu: genocide, Crimesagainst humanity, Crimes of War dan Crimes of agression. ICC ini bersifat sebagai pelengkap dari pengadilan nasional, artinya jika suatu negara tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) mengadili pelaku kejahatan perang maka ICC baru dapat melaksanakan jurisdiksinya.
3. implementasi terkait dengan pelaksanaan dari hukum humaniter yang dilaksanakan di Indonesia adalah dengan terbentuknya sebuah komisi nasional, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terbentuknya Komnas HAM adalah bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB.Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi jenewa 1949, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di mata dunia yang masih sangat rendahkala itu dapat diamankan dengan ratifikasi yang dilakukan Indonesia dalam hal ini agar Negara-negara kolonial dapat lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negerinya yang dapat memicu konflik dengan Indonesia.Dalam meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalammelaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
BalasHapusNama : Firgiansyah pratidina
BalasHapusKelas : V F (sore)
Nim : 13010099
1. Konflik bersenjata internasional
- Ada 2 macam konflik bersenjata internasional murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Konflik bersenjata internasional murni adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional semu adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Konflik senjata non internasional
- Konflik senjata non internasinal dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah pemberontak (insurgent). Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama perang pemberontakan. misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk dan ingin membuat suatu wilayah atau negara sendiri. Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yaitu Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apablia mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya dan Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan. Jika hukum nasional dirasa tidak mampu maka dapat diseleaikan dengan menggunakan mekanisme internasional yaitu melalui mahkamah ad hoc atau mahkamah internasional yg bersifat permanen ICC .
lanjutan .
BalasHapus3. Indonesia, sebagai sebuah entitas yang juga menghargai perlindungan mengenai kemanusiaan, juga tentu saja menerapkan atau implementasi hukum humaniter itu sendiri. Bahkan sejak zaman kuno, Indonesia, sama juga dengan negara-negara lain menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. Pada masa modern Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan. Kepedulian negara mengenai nilai-nilai kemanusiaan bahkan telah dimulai ketika masa perang dulu. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan akibat perang dan penderitaan warga sipil yang tidak terlibat sangat memprihatinkan sehingga tentu negara menyadari pentingnya pembuatan peraturan mengenai perang itu sendiri. Hukum humaniter memang bermula dari hukum perang, namun kemudian berkembang secara maju hingga saat ini bersamaan dengan meningkatnya kepedulian masyarakat internasional dalam memajukan hak asasi manusia yang juga memuat unsur-unsur kemanusiaan sehingga merupakan bagian dari hukum humaniter internasional.
Nama :Nur aji
BalasHapusKelas :F
Nim :13010151
1.-Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada 2 macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir.Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977. (Contohnya: negara Y berperang melawan negara Z).
-Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war).Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977. (Contohnya:terjadi perang pemberontakan di negara X antara pasukan pemberontak melawan pasukan regular X.
2.Mekanisme penegak hukum humaniter
BalasHapusMenurut pendapat saya mekanisme penegak hokum humaniter ialah perangkat hukum akan dapat efektif apabila ia dapat diterapkan (diimplementasikan) dan sanksinya dapat ditegakan apabila ada yang melanggarnya. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut dapat di tempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana.Dasar hukumnya ialah Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya.
3.Implementasi hukum humaniter di indonesia
Suatu penerapan hukum internasional, Implementasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai upaya penerapan suatu perjanjian internasional melalui suatu peraturan hukum nasional dengan ketentuan yang bersifat lebih lanjut. Terkadang perjanjian internasional yang telah diratifikasi kemudian menjadi hukum nasional belumlah cukup memadai untuk dilaksanakan. Karena itu dibutuhkan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya sesuai dengan pasal-pasal perjanjian internasional tersebut. Hukum internasional mewajibkan dan memberi wewenang kepada negara-negara. Ia mewajibkan negara-negara untuk berperilaku dengan cara tertentu dengan melekatkan “sanksi” (tindakan pembalasan atau perang) kepada perilaku yang sebaliknya; dengan cara ini hukum internasional melarang perilaku ini sebagai pelanggaran dan menganjurkan perilaku yang sebaliknya.
Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864
Konvensi Jenewa Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906
Konvensi Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai PerlakuanTawanan Perang, 1929
Konvensi Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan Orang Sipil pada Masa Perang, 1949
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 telah dimodifikasi dengan tiga protokol amandemen, yaitu:
Protokol I (1977), mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional
Protokol II (1977), mengenai Perlindungan Konflik Bersenjata Non-internasional
Protokol III (2005), mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan
Nama : Reiza Linda Lupita
BalasHapusNim : 13010003
Semester : v
Kelas : E / Sore
1.) Secara garis besar, hanya ada dua tipe konflik saja yang diatur dalam Hukum Humaniter, yaitu : “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict); serta “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict).
a.) Sengketa atau konflik bersenjata internasional Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
b.) Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional,Sedangkan sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
2.) Menurut pehaman saya mekanisme penegakan hukum humaniter internasional dalam sejarahnya dapat ditempuh melalui pembentukan pengadilan pidana nasional maupun mahkamah pidana internasional yang bersifat ad hoc. Karena perkembangan tindak pidana internasional yang telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat internasional, diperlukan adanya suatu mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen. Maka dari itu pada bulan juli di Roma tahun 1998, lahir sebuah statuta yang membentuk mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen, atau dikenal juga dengan Statuta Roma 1998. International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap bagi pengadilan pidana nasional dalam menuntut dan mengadili kejahatan internasional paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Oleh karena itu ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas yaitu Penegakan Hukum Humaniter Internasional Melalui Mekanisme International Criminal Court (ICC) Menurut Statuta Roma 1998 dan Kendala-Kendala Yang Dihadapi dalam penegakan Hukum Humaniter Internasional melalalui mekanisme International Criminal Court menurut Statuta Roma 1998. Dalam pelaksanaan mekanisme penegakan hukum humaniter internasional melalui mekanisme International Criminal Court (ICC), sebelum dapat melaksanakan kewenangannya untuk mengadili kejahatan serius yang merupakan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional, haruslah ditemukan adanya unsur ketidakinginan (unwillingness) dan ketidakmampuan (unable) dari pengadilan pidana nasional dalam mengadili kejahatan tersebut di negara yang bersangkutan. Selain itu diperlukan adanya kerjasama internasional antara ICC dengan negara-negara untuk menangani dan mengadili kasus pelanggaran serius yang terjadi di suatu negara. Kendala yang dihadapi dalam penegakan Hukum humaniter Internasional melalui mekanisme International Criminal Court menurut Statuta Roma 1998 adalah intervensi dari Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Cina dalam memanfaatkan ICC sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan menunjukkan hegemoni dalam menyelesaikan konflik di suatu Negara yang terlibat, sehingga penyelesaian masalah demi tercapainya penegakan hukum humaniter internasional seringkali menemui jalan buntu. Dalam penulisan ini disarankan bahwa dalam upaya penegakan hukum humaniter internasional melalui mekanisme ICC haruslah mendapat dukungan dari semua pihak negara-negara di dunia dengan mengenyampingkan kepentingan masing-masing Negara demi terciptanya perdamaian dan keadilan dalam masyarakat internasional
Nama : Reiza Linda Lupita
BalasHapusNim : 13010003
Semester : v
Kelas : E / Sore
3.) Implementasi hukum humaniter di Indonesia dimulai sejak zaman kuno, Indonesia, sama juga dengan negara-negara lain, menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak (Wagiman, 2005: 2). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. pada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama: Dwijeny asti fauziana
BalasHapusKelas: 5-F
NIM: 13010126
1. Perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
• A. Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict). Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
• B. Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuanhukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamahkejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perangtersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalamKonvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajibanmembayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasionalumumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949.Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwakewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yangmelakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalamKonvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniterdilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional.
Nama: Dwijeny asti fauziana
BalasHapuskelas: 5-F
NIM: 13010126
3. Implementasi hukum humaniter di Indonesia merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.Indonesia, sebagai sebuah entitas yang juga menghargai perlindungan mengenai kemanusiaan, juga tentu saja menerapkan hukum humaniter itu sendiri. Bahkan sejak zaman kuno, Indonesia, sama juga dengan negara-negara lain, menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak (Wagiman, 2005: 2). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. Pada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan.
Nama: Nurul Hudah
BalasHapusNIM: 13010140
Kelas: VF
1. ● Perbedaan mendasar antara konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional adalah status hukum dari para pihak yang bersengketa. Dalam konflik bersenjata internasional, terdapat status hukum yang sama antar dua pihak. karena keduanya adalah negara (sebagaimana dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan dalam Pasal 1 ayat (4)juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
Sedangkan konflik bersenjata non-internasional, status kedua pihak tidak sama yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara.
● * Contoh konflik bersenjata internasional:
Konflik antara Kamboja dan Thailand mengenai perebutan wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar Kuil Preah Vihear yang terletak antara Khsant Choam, Kabupaten di Preah, Provinsi Kamboja utara dan Kantharalak kabupaten ( Amphoe) di Sisaket Provinsi Northeastern Thailand, dimana klaim masing-masing pihak akan kepemilikan kuil Preah Vihear di perbatasan kedua negara.
* Contoh konflik bersenjata non-internasional:
Konflik bersenjata di Ukraina timur yang membuat sekitar 878 ribu orang penduduk Ukraina terpaksa mencari suaka dan izin tinggal di negara lain dan lebih dari 1,3 juta orang di Ukraina terpaksa meninggalkan rumah mereka serta menjadi pengungsi lokal di negara tersebut.
● * Karakteristik konflik bersenjata internasional:
Sengketa bersenjata antar negara yang terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
* Karakteristik konflik bersenjata non-internasional:
Dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat juga dapat berbentuk perang saudara (civil war). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
2. ● Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan maka pilihan selanjutnya adalah mekanisme internasional.
● Dasar hukum: Dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 konvensi III dan Pasal 148 konvensi IV Jenewa 1949.
3. ● Indonesia menerapkan hukum humaniter sejak zaman kuno, Indonesia. Sama halnya dengan negara-negara lain, menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak.Indonesia menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional.
● Peraturan perundang-undangan hasil ratifikasi dari konvensi international dibidang hukum humaniter yang salah satunya dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang dituangkan dalam UU No. 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang ada dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. KepMen tersebut tertuang mengenai Indonesia ikut serta menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara.
NAMA : BAGUS ANDREAS
BalasHapusNIM : 13010091
KELAS : 5 F
1. ** perbedaan mendasar konflik bersenjata internasional & konflik bersenjata non internasional :
----- Pertama, ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan.
----- Kedua, dalam ‘non-international armed conflict’, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan “pihak bukan negara” atau “peoples” yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu “bangsa” yang masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.
----- Ketiga, “non-international armed conflict” merupakan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.
** contoh :
----- konflik internasional : Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan (“war of national liberation“). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut.
----- konflik non internasional : gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja. Inilah yang disebut dengan istilah ‘non-international armed conflict’ atau konflik internal, atau juga disebut sebagai “perang pemberontakan”.
** karakteristik :
----- Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B).
----- Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C.
NAMA : BAGUS ANDREAS
BalasHapusNIM : 13010091
KELAS : 5 F
2. Dalam konvensi Jenewa 1949 pada dasarnya yg didahulukan adalah mekanisme penegakan nasional, negara yang telah meratifikasi konvensi jenewa dapat memberi sanksi kepada pelaku pelanggaran Hukum humaniter melalui pengadilan nasional. Apabila mekanisme penegakan nasional tidak dapat menyelesaikan, maka dapat menggunakan mekanisme penegakan internasional. Mekanisme Internasional dalam penegakan hukum humaniter mencakup melalui Mahkamah Internasional Ad Hoc tentang Kejahatan Perang, Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo, International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Statuta Roma : Mahkamah Pidana Internasional. Dasar hukumnya yaitu Konvensi Jenewa 1949.
3. implementasi hukum humaniter di Indonesia merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. program yg telah dilakukan pemerintah Indonesia antara lain adanya komnas ham sebagai sarana untuk memproses apabila ada pelanggaran dalam peperangan dan dibentuknya organisasi perhimpunan nasional yang bergerak dibidang sosial kemanusiaan(PMI). Indonesia menyatakan dukunganya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
NAMA: INDRI SAFIRDA S. RACHMA
BalasHapusNIM: 13010100
KELAS: V-F
1. a. Sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional : Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflictyang di internasionalisir.
Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
Contoh: Afganistan dengan Irak
b. Sengketa atau Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional : Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.
Contoh: GAM dengan Tentara Indonesia
NAMA: INDRI SAFIRDA S. RACHMA
BalasHapusNIM: 13010100
KELAS: V-F
LANJUTAN...
2. Dalam konvensi Jenewa 1949 pada dasarnya yg didahulukan adalah mekanisme penegakan nasional, negara yang telah meratifikasi konvensi jenewa dapat memberi sanksi kepada pelaku pelanggaran Hukum humaniter melalui pengadilan nasional. Apabila mekanisme penegakan nasional tidak dapat menyelesaikan, maka dapat menggunakan mekanisme penegakan internasional. Mekanisme Internasional dalam penegakan hukum humaniter mencakup melalui Mahkamah Internasional Ad Hoc tentang Kejahatan Perang, Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo, International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Statuta Roma : Mahkamah Pidana Internasional. Dasar hukumnya yaitu Konvensi Jenewa 1949.
3. Implementasi hukum humaniter di Indonesia merupakan suatu proses yang dinamis, yang pelaksanaan kebijakannya melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. program yg telah dilakukan pemerintah Indonesia antara lain adanya Komnas HAM sebagai sarana untuk memproses apabila ada pelanggaran dalam peperangan dan dibentuknya organisasi perhimpunan nasional yang bergerak dibidang sosial kemanusiaan(PMI). Indonesia menyatakan dukunganya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
Nama: Tiara Dwi Aristyanti
BalasHapusNIM : 13010176
Kelas : V-F
1.a) Konflik bersenjata internasional ada dua jenis, yaitu murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir. Konflik bersenjata internasional murni adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional semu adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalamhal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan Negara. Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Contoh : konflik antara Israel dan Lebanon Akar-akar konflik Arab-Israel sudah terjadi sejak awal datangnya Islam. Konflik antara kedua belah pihak kadang-kadang mereda, tetapi jelas tidak pernah usai sampai dunia memasuki abad ke-21 sekarang ini. Pada tahun 1967 pernah terjadi perang Arab-Israel yang berakhir dengan kekalahan pihak Arab, walaupun pihak Arab pada waktu itu melibatkan Palestina, Syria, Yordania, dan Mesir. Dataran Tinggi Golan, milik sah Syria, masih dikuasai oleh Israel sampai saat ini.
b) Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dlm suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan slalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Contoh: konflik RI- Organisasi papua merdeka konflik muncul ketika adanya beberapa pemicu (triggers) dalam situasi yang tengah rentan terjadinya pertikaian.Konflik ditimbulkan oleh adanya perbedaan politik dan ekonomi yang cukup mencolok antar dua kelompok. Sumber utama terjadinya kekerasan dalam konflik yang disebabkan oleh politik, etnis, dan budaya adalah tidak adanya pembangunan ekonomi yang bisa mengeleminasi kemiskinan.
2. Menurut saya mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tdk dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
Nama: Tiara Dwi Aristyanti
BalasHapusNIM : 13010176
Kelas : V-F
3.Implementasi hukum humaniter Setiap negara peserta harus mengeluarkan undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya, sebagaimana yang diatur pada Pasal 48, 49, 128, 145 masing-masing konvensi dan Pasal 84 Protokol I.Setiap negara peserta harus menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk member sanksi pidana efektif, jika terjadi pelanggaran. Orang yang harus diadili adalah orang yang melakukan dan orang yang memerintahkan untuk melakukan pelanggaran.
Tindakan Indonesia dalam melegalisasi Humaniter Internasional di Indonesia antara lain:
1. Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 1982
2. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
4. Undang-Undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
5. Kep.Menteri Pertahanan KEP/02/M/II/2002
>Tindakan organisatoris yang harus diambil di masa damai
Perhimpunan Palang Merah Nasional harus diakui secara resmi oleh pemerintah dan memperoleh ijin, agar dapat bertindak di bawah perlindungan Konvensi-konvensi Jenewa (pasal 26 Konvensi I).
Bangunan-bangunan tetap dan unit-unit kesehatan bergerak dari Dinas Kesehatan sedapat mungkin ditempatkan dengan cara sedemikian rupa agak jauh dari objek militer, sehingga serangan yang dilakukan musuh terhadap sasaran-sasaran militer tidak membahayakan keselamatan dari dinas medis tersebut (Pasal 19 Konvensi I).
>Tindakan organisatoris yang diambil pada waktu pertikaian bersenjata, tetapi yang harus disiapkan di masa damai
Negara peserta dapat mengadakan persetujuan khusus tentang semua hal yang dianggap sesuai untuk diatur sendiri (Pasal 6, 6, 6, 7 masing-masing konvensi). Jadi, sebelumnya perlu diadakan penelitian tentang aspek-aspek yang mungkin diatur dalam persetujuan khusus tersebut. Negara-negara yang mungkin menjadi negara pelindung, serta pihak yang akan menjadi wakil dan utusannya harus ditentukan sebagaimana diatur didalam pasal 8, 10.
Nama :M.nizar ramadhany
BalasHapusKelas :E
Nim :13010006
1.)hanya ada dua tipe konflik saja yang diatur dalam Hukum Humaniter, yaitu : “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict); serta “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict).
a.) Sengketa atau konflik bersenjata internasional Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
b.) Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional,Sedangkan sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
2.Mekanisme hukum humaniter ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen.
Ketentuan ini kemudian diperkuat dengan Pasal yang mengatur tentang penghukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat hukum humaniter, yaitu Pasal-pasal yang terdapat pada• Pasal 49 ayat (1) Konvensi I, Pasal 50 (1) Konvensi II, Pasal 129 (1) Konvensi III dan Pasal 146 (1) Konvensi IV, yang merupakan ketentuan yang bersamaan
Mahkamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan,maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
3.Indonesia, sebagai sebuah entitas yang juga menghargai perlindungan mengenai kemanusiaan, juga tentu saja menerapkan atau implementasi hukum humaniter itu sendiri. Bahkan sejak zaman kuno, Indonesia, sama juga dengan negara-negara lain menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. Pada masa modern Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan. Kepedulian negara mengenai nilai-nilai kemanusiaan bahkan telah dimulai ketika masa perang dulu. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan akibat perang dan penderitaan warga sipil yang tidak terlibat sangat memprihatinkan sehingga tentu negara menyadari pentingnya pembuatan peraturan mengenai perang itu sendiri. Hukum humaniter memang bermula dari hukum perang, namun kemudian berkembang secara maju hingga saat ini bersamaan dengan meningkatnya kepedulian masyarakat internasional dalam memajukan hak asasi manusia yang juga memuat unsur-unsur kemanusiaan sehingga merupakan bagian dari hukum humaniter internasional.
BalasHapusNama :Muh.Giras Sanjaya F
BalasHapusKelas :F
Nim :1511122340
1.)hanya ada dua tipe konflik saja yang diatur dalam Hukum Humaniter, yaitu : “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict); serta “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict).
a.) Sengketa atau konflik bersenjata internasional Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
b.) Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional,Sedangkan sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apablia mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya dan Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan. Jika hukum nasional dirasa tidak mampu maka dapat diseleaikan dengan menggunakan mekanisme internasional yaitu melalui mahkamah ad hoc atau mahkamah internasional yg bersifat permanen ICC
3. Implementasi Hukum Humaniter Di Indonesia :
BalasHapusa.Tindakan Legalisasi
Setiap negara peserta harus mengeluarkan undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya, sebagaimana yang diatur pada Pasal 48, 49, 128, 145 masing-masing konvensi dan Pasal 84 Protokol I.Setiap negara peserta harus menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk member sanksi pidana efektif, jika terjadi pelanggaran. Orang yang harus diadili adalah orang yang melakukan dan orang yang memerintahkan untuk melakukan pelanggaran.
Tindakan Indonesia dalam melegalisasi Humaniter Internasional di Indonesia
antara lain :
1. Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 1982
2. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
4. Undang-Undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
5. Kep.Menteri Pertahanan KEP/02/M/II/2002
- Tindakan organisatoris yang harus diambil di masa damai
Perhimpunan Palang Merah Nasional harus diakui secara resmi oleh pemerintah dan memperoleh ijin, agar dapat bertindak di bawah perlindungan Konvensi-konvensi Jenewa (pasal 26 Konvensi I).
Bangunan-bangunan tetap dan unit-unit kesehatan bergerak dari Dinas Kesehatan sedapat mungkin ditempatkan dengan cara sedemikian rupa agak jauh dari objek militer, sehingga serangan yang dilakukan musuh terhadap sasaran-sasaran militer tidak membahayakan keselamatan dari dinas medis tersebut (Pasal 19 Konvensi I).
- Tindakan organisatoris yang diambil pada waktu pertikaian bersenjata, tetapi yang harus disiapkan di masa damai
Negara peserta dapat mengadakan persetujuan khusus tentang semua hal yang dianggap sesuai untuk diatur sendiri (Pasal 6, 6, 6, 7 masing-masing konvensi). Jadi, sebelumnya perlu diadakan penelitian tentang aspek-aspek yang mungkin diatur dalam persetujuan khusus tersebut. Negara-negara yang mungkin menjadi negara pelindung, serta pihak yang akan menjadi wakil dan utusannya harus ditentukan sebagaimana diatur didalam pasal 8, 10.
Nama : Yulia roifatul
BalasHapusKelas : VE
Nim : 13010125
1. Perbedaan antara konflik bersenjata internasional ( international armed conflict) dengan konflik bersenjata non internasional
(non international armed conlict ) dapat dilihat pada status hukumnya para pihak yang bersengketa.dalam “international armed conflict” kedua pihak memiliki kedua pihak memiliki status hukum yang sama,karena keduanya sama-sama Negara (sebagaimana dilihat dalam ketentuan pasal 2 konvensi janewa 1949) atau paling tidak,salah satu dari pihak tersebut adalah suatu entitas yang dianggap setara dengan Negara sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam pasal 1 ayat 4 juncto pasal 96 ayat 3 protokol tambahan 1977 .status hukum dianggap penting karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional,hanya subyek2 hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai pelaku.dalam hal ini Negara merupakan salah satu subyek hukum internasional,sehingga ia merupakan pelaku yang tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional.sedangkan pelaku lain yang tidak termasuk subyek2 hukum internasional tidak berperan langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional,akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rezim hukum nasional diaman ia berada.oleh karena itu dalam non international armed conlict status kedua pihak tidaklah sama yakni yang satu berstatus sebagai Negara (subyek hukum internasional) dan yang satu bukan Negara (non state entity) yang membedakan antara international armed conflict dengan non international armed conflict yaitu pertama non armed conflict dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan dimana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu Negara melawan kelompok2 bersenjata yang terorganisir (organized armed grups) yang berada dalam wilayah Negara yang bersangkutan.jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ Negara,pemerintah ) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok2 bersenjata yang terorganisir,kelompok yang demikian lebih dikenal dengan istilah pemberontak oleh karena itu peperangan yang demikian tersebut dapat disebut dengan perang pemberontak. Kedua dalam non international armed conclict pihak bukan Negara atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari Negara induk dan berdiri sendiri seebagai Negara yang merdeka. Ketiga,oleh kerana hal2 tersebutkah maka non international armed conflict merupakan konflik yang hanya terjadi didalam wilayah suatu Negara saja,sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu Negara tapi juga dapat terjadi didalam wilayah internasional.
nama : yulia roifatul
BalasHapuskelas : 5e
nim : 13010125
2.Mengenai mekanisme penegakan hukum humaniter menurut saya yaitu didalm suatu hukum humaniter tidak melarang adanya perang namun juga tidak membenarkan akibat2 yang ditimbulkan pada saat berperang untuk itu didalam hukum humaniter itu mengatur aturan2 agar dapat meminimallisir akibat terjadinya suatu perang.untuk itu mekanisme penegakan dalam hukum humaniter ini dapat mencegah kejahatan-kejahatan akibat perang yang terjadi.suatu perangkat hukum dapat dikatakan efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan apabila ada yang melanggarnya.untuk dapat ditegakkan untuk itu harus ada meknismme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu dapat ditegakkan.mekanisme itu ditempuh melalui pembutukan sejumlah makamah kejahatan perang.makamah kejahatan perang tersebut memsng bentuk dari proses pengadilan hukum pidana.namun demikian, dalam dalam konvensi –konvensi janewa 1949 ditegaskan bahwa Negara juga dapat dikenakan kewajuban membayar ganti rugi atau kompensasi sepertyin dikenal dengan system hukum inetransional umumnya yang diatur dalam pasal 51 konvensi 1,pasal 52 konvensi II,pasal 131 konvensi IIIdan pasal 148 konvensi IVjanewa 1949.dari konvensi-konvensi janewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban pihak peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada meraka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter.pada dasarnya mekanisme didahukukan dalam konvensi janewa 1949 adalah mekanisme nasional.yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh pengadilan nasional dan menggunakan instrument hukum nasional.apabila meknisme nasional tidak dapat memenuhi keadilan,maka mekanisme internasional dapat digunakan dalam opsi berikutnya.
3.Proses implementasi hukum humaniter di Indonesia prosesnya sangatlah dinamis.dimana di nengara Indonesia telah dibentuknya lembaga komnas HAM yang lembaga tersebut memberikan perlindungan kepada setiap manusia yang berhak mendapatkan hak2 yang sama.dan setelah dibentuknya komnas HAM juga dibentuknya lembaga PMI,selan itu juga Negara kesatuan Republik Indonesia juga ikut meratifikasi konvensi2 janewa 1949 hal ini terbukti dengan uu no 59 tahunm 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh konvensi janewa 1949.dan hal ini terbukti dengan adanya keputusan menteri pertahanan no : kep/02/M/II/2002 tentang pemerapan hukum humaniter dalam hak asasi manusia
Nama : KHRISNU WAHYUONO
BalasHapusNim : 13010010
Kelas : E ilmu hukum (sore)
1.) Perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
Mengapa status hukum tersebut demikian penting ? Karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai “pelaku”. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, sehingga ia merupakan “pelaku” dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan “pelaku lain” yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada. Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter).
Oleh karena itu dalam ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara. Ada beberapa perbedaan mendasar mengenai hal ini :
Pertama, ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” (“insurgent“). Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama “perang pemberontakan“. Bandingkan dengan “pihak bukan negara” yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol, di mana “pihak bukan negara” yang dimaksud adalah suatu “bangsa” (peoples) yang belum merdeka dan berjuang melawan penjajahan.
Kedua, dalam ‘non-international armed conflict’, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan “pihak bukan negara” atau “peoples” yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu “bangsa” yang masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.
Ketiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka “non-international armed conflict” merupakjan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.
Nama : Noviane Tri Wijaya
BalasHapusKelas : V E (Sore)
NIM : 13010017
JAWAB :
1. Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
CONTOHNYA : contoh ke dua jenis konflik bersenjata tersebut pada negeri kita sendiri, Indonesia. [1] Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan (“war of national liberation“). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut. Adapun contoh dari perang pemberontakan, dapat mengacu pada beberapa gerakan pemberontakan yang pernah lahir di negeri ini, termasuk pada intensitas tertentu, gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja. Inilah yang disebut dengan istilah ‘non-international armed conflict’ atau konflik internal, atau juga disebut sebagai “perang pemberontakan”.
Nama : Noviane Tri Wijaya
BalasHapusKelas : V E (Sore)
NIM : 13010017
1. LANJUTAN :
-Karakteristik tentang sengketa bersenjata non internasional di muat dalam protokol tambahan II / 1977 tentang perlindungan korban sengketa bersenjata non internasional yaitu sengketa bersenjata yang terjadi dalam suatu negara antara pasukan bersenjata negara tersebut dengan pasukan bersenjata pemberontak atau dengan kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang terorganisasi dibawah komando yang bertanggung jawab melaksanakan kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan kelompok tersebut melakukan opersai militer yang berkelanjutan dan berkesatuan serta menerapkan aturan HHI yang termuat dalam protokol tambahan II/1977
-Karakteristik sengketa bersenjata internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara. (misalnya snegketa negara satu bersengketa dengan negara dua)
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan – ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional. umumnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949.Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Mekanisme penegakan Hukum Humaniter Internasional (HHI) dapat ditemukan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977 serta pada aturan-aturan lain yang mengatur mengenai mahkamah kejahatan perang baik yang bersifat ad hoc maupun permanen. dalam Pasal 149 Konvensi IV yang mengatur mengenai prosedur penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter atau terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa. Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal sampai saat ini, yaitu mahkamah bersifat ad-hoc dan mahkamah bersifat tetap.
1.Mahkamah internasional ad hoc tentang kejahatan perang
2.Mahkamah nuremberg
3.Mahkamah Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Berbeda dengan mahkamah
4.International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)
Nama : Noviane Tri Wijaya
BalasHapusKelas : V E (Sore)
NIM : 13010017
LANJUTAN
3. Pelaksanaan hukum humaniter diindonesia saat ini hanya mengembangkan Hak Asi Manusia sesuai dengan pancasila UUD 19945. Di indonesia menyatakan dukungan dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi konvensi jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1985 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh konvensi jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan konvensi jenewa 1949 yang dibuktikan dalam keputusan menteri pertahanan No. Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam penyelenggaraan pertahanan negara dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materialnya dapat diimplementasikan dengan di terbitkannya UU No. 26 Tahun 2002 Tentang Hak Asasi Manusia.
Nama :KHRISNU WAHYUONO
BalasHapusNIM :13010010
KELAS :E ILMU HUKUM (SORE)
2.) Mekanisme Penegak Hukum Humaniter
Suatu perangkat hukum akan dapat efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakan apabila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu ditegakkan.
Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya.[13]
Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977
Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal dalam Konvensi Jenewa maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelakuk akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan.
Dilingkungan TNI, apabila ada seorang prajuit yang melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter maka Komandan atau atasan yang berwenang untuk menghukum berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan. Apabila Komandan atau atasan langsung dari prajurit yang bersalah tidak mengambil tindakan, maka Komandan yang diatasnya berkewajiban untuk mengambil tindakan yang dimaksud. Begitu seterusnya sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, disamping menggunakan sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer dan/atau sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum humaniter.
Nama :KHRISNU WAHYUONO
BalasHapusNIM :13010010
KELAS :E ILMU HUKUM (SORE)
3.) Implementasi Hukum Humaniter
Implementasi Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan RI (Sekjen Dephan) Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai keynote speaker pada acara Lokakarya Implementasi HHI di lingkungan Departemen Pertahanan RI, Selasa (20/11) di Kantor Dephan, Jakarta.
Sekjen Dephan menambahkan, bahwa sistem pertahanan negara maupun implementasi pelaksanaan pertahanan negara yang dilaksanakan oleh TNI seperti kebijakan, keputusan dan landasan operasional, selalu berdasarkan kepada hukum. Hal ini adalah bagian dari reformasi internal di lingkungan TNI dalam kaitan meningkatkan sistem pertahanan negara di Indonesia.
Lebih lanjut Sekjen Dephan mengatakan lokakarya ini merupakan suatu awal permulaan dalam suatu upaya kita bersama-sama dengan International Committee of the Red Cross (ICRC) didalam memberikan pemahaman tentang HHI yang lebih mendalam baik kepada aparat hukum di lingkungan Dephan maupun kepada seluruh personel TNI. Langkah ini sudah dimulai secara signifikan, pada saat operasi militer di Aceh pada tahun 2002. Persiapan-persiapan operasi yang dimulai dari manajemen operasi sampai dengan petunjuk teknis operasi, selalu berdasarkan ketaatan dan kepatuhan hukum dan hak asasi manusia.
Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa pemahaman mengenai HHI wajib dimiliki seluruh personel TNI dan hal ini diatur didalam UUD sampai dengan UU TNI No 34 tahun 2004 dan Ketetapan MPR No 7 tentang bagaimana TNI melaksanakan tugas atas dasar keputusan kebijakan pemerintah tetapi berlandaskan hukum dan taat kepada asas.
Sementara itu Kepala Biro Hukum (Karo Kum) Setjen Dephan M. Fachruddien, SH, MH dalam sambutannya saat membuka lokakarya mengatakan bahwa tujuan lokakarya ini untuk meninjau sinkronisasi peraturan perundang-undangan nasional dengan perjanjian-perjanjian di bidang HHI. Hal itu, katanya, yaitu yang menyangkut beberapa hal yang telah diratifikasi maupun yang akan diratifikasi dan mengidentifikasi program legislasi serta ratifikasi HHI yang sesuai dengan tujuan pembangunan nasional di bidang pertahanan.
Lokakarya itu, menurut Biro Humas Setjen Dephan terselenggara atas kerjasama Dephan RI dan ICRC yang dilaksanakan tanggal 20-21 November 2007. Jumlah peserta yang mengikuti lokakarya sebanyak 50 orang, merupakan perwakilan dari Satker di lingkungan Dephan, Mabes TNI dan Angkatan yang terdiri dari pejabat eselon III dan IV.
NAMA : ANDREAS FERDANA C
BalasHapusKELAS: V / E ( SORE )
NIM :13010008
JAWABAN :
1. Dan meurut saya Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : - murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir . Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional. Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977. maka konflik bersenjata internasional atau perang antar negara terdiri dari tiga jenis situasi, yakni : 1) Perang yang dilakukan dengan cara-cara yang sah, dalam hal ini perang yang didahului dengan pernyataan perang (declaration of war) maupun peperangan yang tidak dilakukan dengan cara-cara tersebut (declared/undeclared war). 2) Peperangan yang diikuti dengan adanya invasi atau pendudukan dari pihak musuh (occupation); baik yang di dalamnya menemui perlawanan maupun yang tidak; serta 3) Situasi yang menegaskan bahwa dalam situasi peperangan di mana para pihak yang bersengketa adalah para pihak atau bukan pihak pada Konvensi Jenewa 1949, maka hal tersebut tidak menyebabkan tidak berlakunya Konvensi Jenewa 1949 itu sendiri.
Secara harfiah pengertian sengketa bersenjata non-internasional adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam negeri antara sesama anak bangsa di mana tidak ada keterlibatan negara atau bangsa lain, dengan kata lain sengketa yang terjadi di wilayah salah satu negara antara pemberontak dengan pasukan Pemerintah. sengketa bersenjata non-internasional adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam teritorial suatu negara, antara pemerintah di satu sisi dan pasukan pengacau di sisi lain. Yang termasuk pasukan pengacau adalah baik yang disebut pengacau, pemberontak, revolusioner, gerakan separatis, pejuang kebebasan, teroris, dan atau nama lain semacam yang bermaksud menggulingkan pemerintahan, atau memperoleh keuntungan ekonomi dalam suatu negara, atau dalam rangka membentuk negara sendiri.Syarat dan kriteria-kriteria untuk suatu sengketa bersenjata non-internasional adalah: 1. Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung. 2. Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident). 3. Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab. 4. Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut. 5. Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol.
Nama : Mohammad Rizky Cahya
BalasHapusNIM : 13010016
Kelas : V E Fakultas Hukum (malam)
1. Perbedaan mendasar mengenai konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional yaitu :
• Konflik Bersenjata Internasional adalah konflik bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). konflik bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
Contohnya : Terjadinya Perang Dunia I, II dan III.
Karakteristik dari konflik bersenjata internasional antara lain :
- Yang menjadi objek dari konflik bersenjata internasional antara negara dengan negara.
- Selain negara dengan negara objek lain dari konflik bersenjata adalah negara dengan bukan entites negara/internasionalisasi.
• Konflik Bersenjata Non-Internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Contohnya : pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM).
Karakteristik dari konflik bersenjata non-internasional antara lain :
- Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung.
- Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident).
- Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab.
- Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut.
- Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol.
2. Menurut pemahaman saya mengenai Mekanisme penegakan Hukum Humaniter Internasional pada dasarnya Mekanisme yang Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahan 1977 adalah suatu mekanisme yang dimana penegakan HHI yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, bila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan.
BalasHapus Dasar Hukumnya : Terdapat dalam pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 konvensi III dan Pasal 148 konvensi IV Jenewa 1949.
3. Implementasi hukum humaniter diindonesia pada dasarnya merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum. bahwa sistem pertahanan negara maupun implementasi pelaksanaan pertahanan negara yang dilaksanakan oleh TNI seperti kebijakan, keputusan dan landasan operasional, selalu berdasarkan kepada hukum. Hal ini adalah bagian dari reformasi internal di lingkungan TNI dalam kaitan meningkatkan sistem pertahanan negara di Indonesia.
Penerapan Hukum Humaniter sendiri harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip:
a. kemanusiaan (Humanity);
b. kepentingan Militer (Military Necessity);
c. penderitaan yang tidak perlu (Unnecessary Suffering);
d. keseimbangan (Proporsionality); dan
e. pembedaan (Distinction).
Indonesia menyatakan dukunganya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
NAMA : ANDREAS FERDANA C
BalasHapusKELAS :V / E (SORE)
NIM :13010008
2.Dan Menurut pemahaman priadi saya sendiri Suatu perangkat hukum akan dapat efektif apabila ia dapat di'implementasikan dan sanksinya dapat ditegakan terhadap yg melanggarnya(wajib di patuhi ). Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu ditegakkan. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya. a) Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal dalam Konvensi Jenewa maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelakuk akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan.
b) Mekanisme Internasiona. Disamping mekasinme nasional penegakan hukum humaniter juga dapat dilaksanakan melalui mekanisme internasional. Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal sampai saat ini, yaitu mahkamah bersifat "ad-hoc dan mahkamah bersifat tetap(tidak berubah dala betuk apapu n) ".
NAMA : ANDREAS FERDANA C
BalasHapusKELAS: V / E (SORE)
NIM :13010008
3.Dan Konvensi Jenewa tahun 1949 mencakup empat buah konvensi yang masing-masing bernama:
1) Konvensi Jenewa I untuk Perbaikan kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medan Perang.
Konvensi Jenewa pertama ditandatangani pada tahun 1864 oleh 12 Negara yang pada waktu itu, mempunyai posisi penting di bidang politik internasional. Pada tahun 1864, Konvensi Jenewa terdiri dari 10 pasal yang mengatur tentang perbaikan kondisi Prajurit yang cedera dan sakit dimedan perang. Konvensi ini menetapkan bahwa:
-a. Prajurit yang cedera dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat, tampa mempedulikan kebangsaannya;
- b. Petugas kesehatan dan sarana serta prasarana yang digunakan untuk merawat prajurit yang cedera dan sakit di medan perang harus diberikan status netral;
- c. Lambang Palang merah di atas dasar putih disetujui sebagai tanda pelindung Setelah itu, Konvensi Jenewa tersebut direvisi dan dikembangkan pada tahun 1906 dan 1929, menjadi Konvensi Jenewa I tahun 1949. 2) Konvensi Jenewa II untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, Korban Kapal Karam dalam Peperangan di Laut. Pada Konvensi Den Haag yang diadakan tahun 1899, perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa pertama diperluas mencakup korban kapal karam pada waktu terjadi peperangan dilaut. Ketentuan-ketentuan ini dikembangkan kembali pada Konvensi Den Haag tahun 1907. 3) Konvensi Jenewa III tentang perlakuan Tawanan Perang Konvensi Den Haag yang diselenggaran pada tahun 1899 dan 1907, menyinggung pula soal tawanan perang. Namun demikian, pada waktu Perang Dunia I, ketentuan-ketentuan yang mengatur persyaratan penahanan dan perlakuan tawanan perang masih kurang oleh karena itu, pada tahun 1929, disusun Konvensi Jenewa tentang perlakuan tawanan perang yang terdiri dari 97 pasal. Konvensi ini menegaskan bahwa:
- a. Tawanan perang bukanlah seorang Kriminal, tetapi pihak musuh yang tidak dapat lagi turut serta dalam pertempuran.
- b. Oleh karena itu, tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi selama ditahan. -c. Tawanan perang harus dibebaskan pada waktu permusuhan sudah berakhir. Konvensi Jenewa ini dikembangkan kembali pada tahun 1949, menjadi Konvensi Jenewa III. 4) Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan Sebelum tahun 1949, HHI belum dapat diterapkan untuk melindungi masyarakat sipil. Pada waktu Perang Dunia II, ribuan orang sipil menjadi korban. Hal ini sangat menggemparkan opini masyarakat internasional, sehingga pada tahun 1949 disetujui Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan. Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 sudah ditandatangani oleh 188 Negara (31 Maret 1997). Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi-Konvensi Jenewa pada tahun 1958. Dengan menandatangani Konvensi-konvensi Jenewa, setiap negara diwajibkan pada waktu pertikaian bersenjata untuk:
-a. Merawat orang yang cedera dan sakit, tanpa mempedulikan kebangsaannya.
-b. Menghormati manusia dalam integritas fisik, martabat, hak keluarga, keyakinan moral dan agamanya.
-c. Melarang penyiksaan, perlakuan kejam, hukuman mati tanpa didahului proses pengadilan yang sah, pembasmian, deportasi, penyanderaan, perampokan dan perusakan harta benda sipil. d. Mengizinkan delegasi ICRC (Palang Merah Internasional) untuk mengunjungi para tawanan perang dan interniran sipil (orang yang ditempatkan di suatu lokasi dan kebebasannya dibatasi) dan untuk berbicara dengan mereka tanpa saksi tertetu.
Nama : Diego Syam Putra Kushadi
BalasHapusNIM : 15010363
Kelas : V F
1.a) Konflik bersenjata internasional ada dua jenis, yaitu murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir. Konflik bersenjata internasional murni adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional semu adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalamhal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan Negara. Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Contoh : konflik antara Israel dan Lebanon Akar-akar konflik Arab-Israel sudah terjadi sejak awal datangnya Islam. Konflik antara kedua belah pihak kadang-kadang mereda, tetapi jelas tidak pernah usai sampai dunia memasuki abad ke-21 sekarang ini. Pada tahun 1967 pernah terjadi perang Arab-Israel yang berakhir dengan kekalahan pihak Arab, walaupun pihak Arab pada waktu itu melibatkan Palestina, Syria, Yordania, dan Mesir. Dataran Tinggi Golan, milik sah Syria, masih dikuasai oleh Israel sampai saat ini.
b) Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dlm suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan slalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Contoh: konflik RI- Organisasi papua merdeka konflik muncul ketika adanya beberapa pemicu (triggers) dalam situasi yang tengah rentan terjadinya pertikaian.Konflik ditimbulkan oleh adanya perbedaan politik dan ekonomi yang cukup mencolok antar dua kelompok. Sumber utama terjadinya kekerasan dalam konflik yang disebabkan oleh politik, etnis, dan budaya adalah tidak adanya pembangunan ekonomi yang bisa mengeleminasi kemiskinan.
Nama : Diego Syam Putra Kushadi
BalasHapusNIM : 15010363
Kelas : V F
2.) Menurut pemahaman saya tentang mekanisme penegakan hukum humaniter yaitu bahwa di dunia ini perang merupakan salah satu cara penyelesaian dalam menyelesaikan sengketa. Namun dalam hukum humaniter tidak melarang perang juga tidak membenarkan adanya perang tetapi hukum humaniter memanusiawikan perang agar korban akibat perang ini seminimal mungkin namun dalam perang sering terjadi pelanggaran dan kejahatan humaniter.sehingga disinilah perlu diaturnya mekanisme penegakan hukum humaniter.suatu perangkat hukum dikatakan efektif apabila ia dapat di implementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan apabila ada yang melanggarnya .untuk itu maka didalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma -norma tersebut dapat ditegakkan.meknisme tersebut dapat ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang,baik yang bersifat ad-hoe maupun yang bersifat permanen.makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan proses pengadilan hukum pidana. Namun dalam konvensi -konvensi janewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti yang dikenal dalam sistem hukum internasional lainnya.pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam konvensi janewa 1949 adalah mekanisme nasional yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh pengadilan nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
3.) Implementasi hukum humaniter di Indonesia merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.Indonesia, sebagai sebuah entitas yang juga menghargai perlindungan mengenai kemanusiaan, juga tentu saja menerapkan hukum humaniter itu sendiri. Bahkan sejak zaman kuno, Indonesia, sama juga dengan negara-negara lain, menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak (Wagiman, 2005: 2). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. Pada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan.
Nama : Adebora Ferdian Hadi
BalasHapusNIM : 13010139
Kelas : V E (malam)
1.a) Konflik bersenjata internasional ada dua jenis, yaitu Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir. Konflik bersenjata internasional murni adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional semu adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan Negara. Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Contoh : konflik antara Israel dan Lebanon Akar-akar konflik sudah terjadi sejak awal datangnya Islam. Konflik antara kedua belah pihak kadang-kadang mereda, tetapi jelas tidak pernah usai sampai dunia memasuki abad ke-21 sekarang ini. Pada tahun 1967 pernah terjadi perang Arab-Israel yang berakhir dengan kekalahan pihak Arab, walaupun pihak Arab pada waktu itu melibatkan Palestina, Syria, Yordania, dan Mesir. Dataran Tinggi Golan, milik sah Syria, masih dikuasai oleh Israel sampai saat ini.
b) Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dlm suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan slalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Contoh: konflik RI- Organisasi papua merdeka konflik muncul ketika adanya beberapa pemicu (triggers) dalam situasi yang tengah rentan terjadinya pertikaian.Konflik ditimbulkan oleh adanya perbedaan politik dan ekonomi yang cukup mencolok antar dua kelompok. Sumber utama terjadinya kekerasan dalam konflik yang disebabkan oleh politik, etnis, dan budaya adalah tidak adanya pembangunan ekonomi yang bisa mengeleminasi kemiskinan.
Karakteristik tentang sengketa bersenjata non internasional di muat dalam protokol tambahan II / 1977 tentang perlindungan korban sengketa bersenjata non internasional yaitu sengketa bersenjata yang terjadi dalam suatu negara antara pasukan bersenjata negara tersebut dengan pasukan bersenjata pemberontak atau dengan kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang terorganisasi dibawah komando yang bertanggung jawab melaksanakan kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan kelompok tersebut melakukan opersai militer yang berkelanjutan dan berkesatuan serta menerapkan aturan HHI yang termuat dalam protokol tambahan II/1977
-Karakteristik sengketa bersenjata internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara. (misalnya snegketa negara satu bersengketa dengan negara dua)
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuan
BalasHapushukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah
kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang
tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam
Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban
membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949
Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal
sampai saat ini yaitu :
Mahkamah atau tribunal yang bersifat ad hoc dan mahkamah yang bersifat permanen.
(a) Mahkamah Internasional Ad Hoc Tentang Kejahatan Perang
Dalam sejarah dikenal ada dua mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia II,
yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk
mengadili para penjahat perang Nazi Jerman, sedangkan Mahkamah Tokyo dibentuk untuk
mengadili para penjahat perang Jepang. Kedua mahkamah ini bersifat ad hoc atau sementara
yang berarti bahwa mahkamah ini dibentuk untuk jangka waktu dan kasus tertentu saja.
(b) Mahkamah Nuremberg
Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter)
atau biasa juga disebut Piagam London (London Charter). Sejak terbentuknya, mahkamah ini
telah menjatuhkan hukumannya kepada 24 orang tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau
kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Nuremberg, yaitu; kejahatan terhadap perdamaian,
, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
3. Implementasi hukum humaniter diindonesia pada dasarnya merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum. bahwa sistem pertahanan negara maupun implementasi pelaksanaan pertahanan negara yang dilaksanakan oleh TNI seperti kebijakan, keputusan dan landasan operasional, selalu berdasarkan kepada hukum. Hal ini adalah bagian dari reformasi internal di lingkungan TNI dalam kaitan meningkatkan sistem pertahanan negara di Indonesia.
Penerapan Hukum Humaniter sendiri harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip:
a. kemanusiaan
b. kepentingan Militer
c. penderitaan yang tidak perlu
d. keseimbangan dan
e. pembedaan .
Indonesia menyatakan dukunganya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia
NAMA : Uti Abdulloh
BalasHapusNIM : 14010020
KELAS : F
1. Perbedaan yang paling mendasar antara konflik non internasional dengan konflik internasional dapaat dilihat dari bentuk konflik tersebut. dalam konflik non internasional merupakan sebuah komflik yang timbul dari dalam negri itu sendiri, dimana dalam konflik ini merupakan sebuah konflik yaang terjadi antara masyarakat sipil yang ada dalam negeri, dengan msyarakat combatan yng ada pada negara tersebut, seperti contoh konflik aceh yang terjadi di negara indonesia, merupakan sebuah konflik yang terjadi dalam negri, dimana konflik aceh yang terjadi pada beberapa tahun silam merupakan konflik non intrnasional, hal ini diperjelas dengan tidak adanya campur tangan negara lain yang ikut masuk dalam konflik tersebut. sedangkan konflik internasional merupakan sebuah konflik yang terjdi dan melibatkan dua negara atau lebih, dimana konflik ini timbul karna adanya permasalahan yang timbul baik dari negara luar maupun dari negara itu sendiri yng menyebabkan konflik dengan negara lain, seperti contoh, konflik yang terjadi di negara suriah, dimana dalam konflik tersebut tidak hanya melibatkan pada suatu negara, melainkan juga ada beberapa negara yang ikut serta dalam terjadinya konflik tersebut, seperti halnya amerika,suriah dan juga irak pun turut sert dalam terjadinya perang internasionl tersebut, sehingga konflik internasionl selalu di indentik dengan suatu permasalahan yang timbul antara dua negara atau lebih.
2. Penegakan hukum terhadap penduduk sipil yang ditinjau dari hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia mengaku pada konvensi-konvensi Internasional untuk menjamin penduduk-penduduk sipil. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang hak penduduk sipil, keterkaitan konvensi-konvensi Internasional dengan Hak Asasi Manusia. Kepastian hukum tentang pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap perlindungan penduduk sipil dan masalah-masalah kemanusiaan yang sering muncul di dunia Internasional mengakibatkan adanya hubungan-hubungan Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia. Penelitian ini merupakan penelitian deskripsi ; yaitu menggambarkan secara tepat tentang ketentuan Hak Asasi Manusia dalam konflik-konflik kemanusiaan yang sering terjadi, pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap penduduk sipil berdasarkan hukum humaniter. Pengumpulan data secara studi kepustakaan atau data-data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang terkait hukum humaniter internasional. Hasil penelitian menunjukan pengaturan Hak Asasi Manusia sesuai dengan konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan korban perang dan azas prikemanusiaan ini menyebabkan mengapa konvensi-konvensi ini disebut juga konvensi-konvensi humaniter. Eksistensi konvensi Jenewa 1949, serta perlindungan yang ada terhadap penduduk sipil dalam perang mencuatnya kepermukaan hak-Hak Asasi Manusia selama beberapa dekade belakangan ini merupakan salah satu isu global yang dihadapi banyak negara merupakan bahasan dalam kerangka Internasional. Dalam dunia Internasional yang menyangkut perlindungan penduduk sipil dan kaitannya dengan Hak Asasi Manusia, pada mulanya dicantumkan dalam Pasal 1 konvensi mengenai penyelesaian sengketa-sengketa secara damai yang ditandai di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907. Perlindungan Hak Asasi Manusia telah diatur dalam berbagai Instrumen Hukum Internasional pada prinsip-prinsip kemanusiaan, kedua system hukum tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia secara maksimal untuk melindungi individu-individu dari kesewenang-wenangan negara. Disarankan agar pelaksanaan Hak Asasi Manusia dapat efektif, perlu adanya peninjauan kembali terhadap komponen subtansi kultur dengan mengadakan sinkromisasi dan interprestasi substansi kultur dengan mengadakan sinkronisasi dan interprestasi terhadap dokumen universal dan nasional sehingga ditemukan harmonisasi dari keduanya.
lanjutan
BalasHapus3. indonesia sendiri telah lama fokus terhadap hukum humniter, karna dalam hal ini tidak bisa di pungkiri, di indonesia sendiri banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang tejadi seperti terjadinya bentrok di aceh, papua dll, sehingga indonesia sendiri telah lama fokus pada penerapan sistem hukum humaniter tersebut,seperti di terapkan nya undang-undang tentang hak asasi manusia undang-undang nomor 29 tahun 2000 twntang hak asasi manusia. indonesia telah lama fokus terhadap hukum humaniter, hal di perjelas dalam sebuah keputusan mentri pertahanan nomor 02 tahun 2002, tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam penyelenggaraan pertahanan negara.
Nama : Nafiul Anam
BalasHapusNIM : 13010047
Kelas: V E
1. Pada konflik internasional terjadi antara negara dengan negara yang disebabkan antara salah satu pihak yang menhendaki ataupun dari antara negara tersebut (negara yang mendapat intervensi dari negara lain) karena mmpunyai status hukum yang sama dengan dasr hukum konvensi jenewa 1949 Sengketa internasional yang melibatkan subjek Hukum internasional Sengketa ini diawali karena bukan merupakan sengketa internasional, tetapi sifat dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional
Contoh : Irak dan Kuwait
Konflik bersenjata non internasional adalah sebuah konflik antar pemerintah kelompok bersenjata yang menentang rezim pemerintah atau tidak mau mengakui pemerintahannya dan melakukan pembrontakkan dengan tujuan melepaskan diri dari negara asal Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara,sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut.
Contoh : Filipina dan kelompok Sukartimuno, Indonesia dan GAM
2. Menurut pendapat saya Mekanisme hukum humaniter internasional diawali dengan pembentukan pengadilan terhadap kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan oleh berbagai negara dimana diatur dalam konvensi jenewa 1949. Apabila terjadi konflik pada suatu negara maka diadili pada negara tersebut, dan jika konflik tersebut tidak bisa diselesaikan secara peradilan nasional maka konflik tersebut akan dibawa kepada Mahkamah Internasional dan didalam perkembangannya kejahatan internasional memiliki 4 pengadilan Ad-Hoc antara lain :
a) Mahkamah Militer Internasional bertempat di Nuremberg
b) Mahkamah Militer Internasional untuk Timur terletak di Tokyo
c) Mahkamah Militer Internasional bekas jajahan Yugoslavia bertempat di Hague
d) Mahkamah Militer Internasional untuk Rwanda terletak di Arusha.
3. Indonesia, sebagai sebuah entitas yang juga menghargai perlindungan mengenai kemanusiaan, juga tentu saja menerapkan hukum humaniter itu sendiri. Bahkan sejak zaman kuno, Indonesia, sama juga dengan negara-negara lain, menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak (Wagiman, 2005:2). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. Pada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan.
Nama : Anik Maf'ula
BalasHapusNIM :13010212
Kelas : V-E (malam)
Jawaban
1. Perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa.
a). Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.Karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai “pelaku”. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, sehingga ia merupakan “pelaku” dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan “pelaku lain” yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada. Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter).
b) Dalam ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara. Ada beberapa perbedaan mendasar mengenai hal ini :
BalasHapus* Pertama, ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” (“insurgent“). Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama “perang pemberontakan“. Bandingkan dengan “pihak bukan negara” yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol, di mana “pihak bukan negara” yang dimaksud adalah suatu “bangsa” (peoples) yang belum merdeka dan berjuang melawan penjajahan.
Kedua, dalam ‘non-international armed conflict’, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan “pihak bukan negara” atau “peoples” yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu “bangsa” yang masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.
* Ketiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka “non-international armed conflict” merupakjan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.contoh : Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung.
2. Menurut saya,Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter adalah, Suatu perangkat hukum akan dapat dikatakan efektif apabila ia dapat
BalasHapusdiimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan apabila ada yang melanggarnya.
Untuk dapat ditegakkan maka didalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme
yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu dapat ditegakkan.
Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuanketentuan
hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan
sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang
permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses
pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949
ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau
kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.537 Hal tersebut
diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan
Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949.
Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan
bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada
mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanismew
yang didahulukan dalam Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang
artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan
menggunakan instrumen hukum nasional. Apablia mekanisme nasional tidak dapat
dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional
menjadi opsi berikutnya.
3. HHI seperti yang dikenal masa ini terdiri dari Hukum Jenewa (Perlindungan terhadap Korban Perang) dan Hukum Den Haag(Sarana dan (cara berperang). Pada makalah ini akan difokuskan pada Hukum Jenewa. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang yang disebut juga Konvensi Palang Merah, mencakup empat buah konvensi yang masing-masing bernama:
BalasHapus1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medang Perang.
2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, dan Korban Kapal Karam dalam Peperangan di Laut.
3. Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan Perang.
4. Konvensi Jenewa tentang Perlindungan kepada para Penduduk Sipil dalam Peperangan.
ad.1 Konvensi Jenewa I untuk Perbaikan kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medan Perang.
Konvensi Jenewa pertama ditandatangani pada tahun 1864 oleh 12 Negara yang pada waktu itu, mempunyai posisi penting di bidang politik internasional. Pada tahun 1864, Konvensi Jenewa terdiri dari 10 pasal yang mengatur tentang perbaikan kondisi Prajurit yang cedera dan sakit dimedan perang. Konvensi ini menetapkan bahwa:
a. Prajurit yang cedera dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat, tampa mempedulikan kebangsaannya;
b. Petugas kesehatan dan sarana serta prasarana yang digunakan untuk merawat prajurit yang cedera dan sakit di medan perang harus diberikan status netral;
c. Lambang Palang merah di atas dasar putih disetujui sebagai tanda pelindung;
Setelah itu, Konvensi Jenewa tersebut direvisi dan dikembangkan pada tahun 1906 dan 1929, menjadi Konvensi Jenewa I tahun 1949.
ad.2 Konvensi Jenewa II untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, Korban Kapal Karam dalam Peperangan di Laut.
Pada Konvensi Den Haag yang diadakan tahun 1899, perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa pertama diperluas mencakup korban kapal karam pada waktu terjadi peperangan dilaut. Ketentuan-ketentuan ini dikembangkan kembali pada Konvensi Den Haag tahun 1907. Berdasarkan kedua Konvensi Den Haag, disusun pada tahun 1949 Konvensi Jenewa II tentang perbaikan kondisi tentara yang cedera, sakit dan korban kapal karam dalam peperangan dilaut. Isi dan konvensi tersebut adalah penyesuaian ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa I untuk situasi perang di laut.
ad.3 Konvensi Jenewa III tentang perlakuan Tawanan Perang
Konvensi Den Haag yang diselenggaran pada tahun 1899 dan 1907, menyinggung pula soal tawanan perang. Namun demikian, pada waktu Perang Dunia I, ketentuan-ketentuan yang mengatur persyaratan penahanan dan perlakuan tawanan perang masih kurang oleh karena itu, pada tahun 1929, disusun Konvensi Jenewa tentang perlakuan tawanan perang yang terdiri dari 97 pasal.
ad.4 Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan
Sebelum tahun 1949, HHI belum dapat diterapkan untuk melindungi masyarakat sipil. Pada waktu Perang Dunia II, ribuan orang sipil menjadi korban. Hal ini sangat menggemparkan opini masyarakat internasional, sehingga pada tahun 1949 disetujui Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : Jassi Novita
BalasHapusNIM :13010049
Kelas : V-E (malam)
1.Perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977. Oleh karena itu dalam ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity).
a.Karakteristik Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional
b.Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.
2.Menurut saya Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
a.Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal dalam Konvensi Jenewa maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelakuk akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan.
b.Mekanisme Internasiona. Disamping mekasinme nasional penegakan hukum humaniter juga dapat dilaksanakan melalui mekanisme internasional. Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal sampai saat ini, yaitu mahkamah bersifat ad-hoc dan mahkamah bersifat tetap.
Nama : Jassi Novita
BalasHapusNIM :13010049
Kelas : V-E (malam)
3.Indonesia sebagai sebuah entitas yang juga menghargai perlindungan mengenai kemanusiaan, juga tentu saja menerapkan atau implementasi hukum humaniter itu sendiri. Bahkan sejak zaman kuno, Indonesia, sama juga dengan negara-negara lain menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. Pada masa modern Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan. Kepedulian negara mengenai nilai-nilai kemanusiaan bahkan telah dimulai ketika masa perang dulu. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan akibat perang dan penderitaan warga sipil yang tidak terlibat sangat memprihatinkan sehingga tentu negara menyadari pentingnya pembuatan peraturan mengenai perang itu sendiri. Hukum humaniter memang bermula dari hukum perang, namun kemudian berkembang secara maju hingga saat ini bersamaan dengan meningkatnya kepedulian masyarakat internasional dalam memajukan hak asasi manusia yang juga memuat unsur-unsur kemanusiaan sehingga merupakan bagian dari hukum humaniter internasional.
BalasHapus2.
Menurut pehaman saya mekanisme penegakan hukum humaniter internasional dalam sejarahnya dapat ditempuh melalui pembentukan pengadilan pidana nasional maupun mahkamah pidana internasional yang bersifat ad hoc. Karena perkembangan tindak pidana internasional yang telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat internasional, diperlukan adanya suatu mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen. Maka dari itu pada bulan juli di Roma tahun 1998, lahir sebuah statuta yang membentuk mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen, atau dikenal juga dengan Statuta Roma 1998. International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap bagi pengadilan pidana nasional dalam menuntut dan mengadili kejahatan internasional paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Oleh karena itu ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas yaitu Penegakan Hukum Humaniter Internasional Melalui Mekanisme International Criminal Court (ICC) Menurut Statuta Roma 1998 dan Kendala-Kendala Yang Dihadapi dalam penegakan Hukum Humaniter Internasional melalalui mekanisme International Criminal Court menurut Statuta Roma 1998. Dalam pelaksanaan mekanisme penegakan hukum humaniter internasional melalui mekanisme International Criminal Court (ICC), sebelum dapat melaksanakan kewenangannya untuk mengadili kejahatan serius yang merupakan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional, haruslah ditemukan adanya unsur ketidakinginan (unwillingness) dan ketidakmampuan (unable) dari pengadilan pidana nasional dalam mengadili kejahatan tersebut di negara yang bersangkutan. Selain itu diperlukan adanya kerjasama internasional antara ICC dengan negara-negara untuk menangani dan mengadili kasus pelanggaran serius yang terjadi di suatu negara. Kendala yang dihadapi dalam penegakan Hukum humaniter Internasional melalui mekanisme International Criminal Court menurut Statuta Roma 1998 adalah intervensi dari Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Cina dalam memanfaatkan ICC sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan menunjukkan hegemoni dalam menyelesaikan konflik di suatu Negara yang terlibat, sehingga penyelesaian masalah demi tercapainya penegakan hukum humaniter internasional seringkali menemui jalan buntu. Dalam penulisan ini disarankan bahwa dalam upaya penegakan hukum humaniter internasional melalui mekanisme ICC haruslah mendapat dukungan dari semua pihak negara-negara di dunia dengan mengenyampingkan kepentingan masing-masing Negara demi terciptanya perdamaian dan keadilan dalam masyarakat internasional.
3.
Implementasi Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan RI (Sekjen Dephan) Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai keynote speaker pada acara Lokakarya Implementasi HHI di lingkungan Departemen Pertahanan RI, Selasa (20/11) di Kantor Dephan,
Nama: Rios Imas Sendy Yan Putra
BalasHapusNIM : 13010044
Kelas : 5 E.
1.-Konflik bersenjata non international:
‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” . Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama “perang pemberontakan“. Bandingkan dengan “pihak bukan negara” yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol, di mana “pihak bukan negara” yang dimaksud adalah suatu “bangsa” yang belum merdeka dan berjuang melawan penjajahan.
-Konflik Bersentaja Internasional:
murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir . Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional. Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977. maka konflik bersenjata internasional atau perang antar negara terdiri dari satu jenis, yakni : Perang yang dilakukan dengan cara-cara yang sah, dalam hal ini perang yang didahului dengan pernyataan perang maupun peperangan yang tidak dilakukan dengan cara-cara tersebut .
2.Menurut pehaman saya mekanisme penegakan hukum humaniter internasional dalam sejarahnya dapat ditempuh melalui pembentukan pengadilan pidana nasional maupun mahkamah pidana internasional yang bersifat ad hoc. Karena perkembangan tindak pidana internasional yang telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat internasional, diperlukan adanya suatu mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen. Maka dari itu pada bulan juli di Roma tahun 1998, lahir sebuah statuta yang membentuk mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen, atau dikenal juga dengan Statuta Roma 1998. International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap bagi pengadilan pidana nasional dalam menuntut dan mengadili kejahatan internasional paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Oleh karena itu ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas yaitu Penegakan Hukum Humaniter Internasional Melalui Mekanisme International Criminal Court (ICC) Menurut Statuta Roma 1998 dan Kendala-Kendala Yang Dihadapi dalam penegakan Hukum Humaniter Internasional melalalui mekanisme International Criminal Court menurut Statuta Roma 1998. Dalam pelaksanaan mekanisme penegakan hukum humaniter internasional melalui mekanisme International Criminal Court (ICC), sebelum dapat melaksanakan kewenangannya untuk mengadili kejahatan serius yang merupakan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional, haruslah ditemukan adanya unsur ketidakinginan (unwillingness) dan ketidakmampuan (unable) dari pengadilan pidana nasional dalam mengadili kejahatan tersebut di negara yang bersangkutan. Selain itu diperlukan adanya kerjasama internasional antara ICC dengan negara-negara untuk menangani dan mengadili kasus pelanggaran serius yang terjadi di suatu negara. Kendala yang dihadapi dalam penegakan Hukum humaniter Internasional melalui mekanisme International Criminal Court menurut Statuta Roma 1998 adalah intervensi dari Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Cina dalam memanfaatkan ICC sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan menunjukkan hegemoni dalam menyelesaikan konflik di suatu Negara yang terlibat, sehingga penyelesaian masalah demi tercapainya penegakan hukum humaniter internasional seringkali menemui jalan buntu. Dalam penulisan ini disarankan bahwa dalam upaya penegakan hukum humaniter internasional melalui mekanisme ICC haruslah mendapat dukungan dari semua pihak negara-negara di dunia dengan mengenyampingkan kepentingan masing-masing Negara demi terciptanya perdamaian dan keadilan dalam masyarakat internasional.
BalasHapus3.Implementasi Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan RI (Sekjen Dephan) Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai keynote speaker pada acara Lokakarya Implementasi HHI di lingkungan Departemen Pertahanan RI, Selasa (20/11) di Kantor Dephan, Jakarta.
Sekjen Dephan menambahkan, bahwa sistem pertahanan negara maupun implementasi pelaksanaan pertahanan negara yang dilaksanakan oleh TNI seperti kebijakan, keputusan dan landasan operasional, selalu berdasarkan kepada hukum.
NAMA : ABU DZAR THUFEIL
BalasHapusKELAS : F
NIM : 13010211
1. - konflik bersenjata internasional ada dua jenis, yaitu murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir. Konflik bersenjata internasional murni adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional semu adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalamhal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara unisoviet berperang melawan negara amerika). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
sementara non-internasional lebih pada pemberontakan melawan pasukan reguler dan bertujuan untuk memisahkan diri pada negara induk.
2. Menurut saya suatu mekanisme hukum dapat menjadi lebih baik jika tidak hanya pada peraturan tertulis tetapi juga dalam dunia perakteknya didalam ini khususnya pada hukum humaneter internasional karena masih banyaknya pemberontakan terhadap negara berkembang namun, Mekanisme penegakan hukum humaniter dpt ditemukan dalam ketentuan-ketentuan huku itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tdk dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjdi opsi berikutnya.
3. Implementasi Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan RI (Sekjen Dephan) Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai keynote speaker pada acara Lokakarya Implementasi HHI di lingkungan Departemen Pertahanan RI, Selasa (20/11) di Kantor Dephan, Jakarta.
Sekjen Dephan menambahkan, bahwa sistem pertahanan negara maupun implementasi pelaksanaan pertahanan negara yang dilaksanakan oleh TNI seperti kebijakan, keputusan dan landasan operasional, selalu berdasarkan kepada hukum.
NAMA :LAMBANG AJI PRADANA
BalasHapusKELAS :E
NIM :13010058
1 . Perbedaan mendasar konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional yaitu:
a . Konflik bersenjata internasional
konflik bersenjata innternasional merupakan konflik bersenjata yang terjadi antara 2 atau lebih negara selain itu juga konflik bersenjata antara negara dengan entitas bukan negara (konflik internasionnal semu).
contoh konflik bersenjata internasional yaitu konflik sengketa kuil preah vihear antara Thailand dengan Kamboja.
b. Konflik bersenjata non intternasional
konflik bersenjatta non internasional merupakan konflik yang terjadi karena pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata dalam sebuah negara, pemberontak ini tidak mengakui rezim yang berkuasa dan bermaksud untuk memisahkan diri dari negara atau merebut kekuasaan negara tersebut.
contoh konflik bersenjata non internasional adalah konflik bersenjata di Filiphina tepatnya dikawasan MindanaoSulu, Filipina selatan. konflik dipicu karena adanya perbedaan segi budaya dan agama. perbedaan ini membuat bangsa muro ingin memisahkan diri dari Filiphina.
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter yaitu berdasarkan ketentuan pasal-pasal jenewa 1949 dan protokol tambahan 1977 negara yang telah meratifikasi konvensi jenewa diwajibkan untuk menerbitkan undang-undang nasional. jadi negara tersebut dapat mengadili sendiri kejahatan perang yang terjadi dalam negaranya. apabila mahkamah nasional tidak mau dan tidak mampu untuk mengadili kejahatan perang maka mahkamah pidana internasional (ICC) dapat mengadili perkara kejahatan perang tersebut. sedangkan Mahkamah Adhoc hanya mengadili kejahatan perang dalam kasus tertentu saja.
3. Imlementasi hukum hhumaniter di Indonesia yaitu pemerintah indonesia teelah melakukan program antara lain adanya komnas ham sebagai sarana untuk memproses apabila ada pelanggarann dalam peperangan dan dibentuknya organisasi perhimpunan nasional yang bergerak dibidang sosial kemanusiaan yaitu Palang Merah Indonesia.
indonesia menyatakan dukunganya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalahh dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituagkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konnvensi Jenewa 1949. selain itu, indonesia jjuga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Mentteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humanniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, hal ini dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
Nama : Dwi purba wisesa
BalasHapusKelas : V f
NIM : 13010171
1.konflik non-internasional(non-international armed conflict)Merupakan konflik internal atau biasa disebut dengan perang pemberontakan yang dicirikan dengan adanya pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan kelompok terorganisir/pasukan pemberontak yang melakukan perlawanan. Konflik tsb terjadi di wilayah suatu negara. #Contoh: konflik makasar yang terjadi di negara indonesia, merupakan sebuah konflik yang terjadi dalam negri, dimana konflik makasar yang terjadi pada beberapa tahun silam merupakan konflik non intrnasional, hal ini diperjelas dengan tidak adanya campur tangan negara lain yang ikut masuk dalam konflik tersebut yang berada di daerah indonesia itu sendiri, Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
•konflik internasional (international armed conflict)
Merupakan konflik eksternal dimana telah terjadi dicirikan dengan sengketa antara 2 negara atau lebih dan bisa terjadi antara negara dengan bukan negara. # Contoh: konflik yang terjadi di negara suriah, dimana dalam konflik tersebut tidak hanya melibatkan pada suatu negara, melainkan juga ada beberapa negara yang ikut serta dalam terjadinya konflik tersebut, seperti halnya amerika,suriah dan juga irak pun turut sert dalam terjadinya perang internasionl tersebut, sehingga konflik internasionl selalu di indentik dengan suatu permasalahan yang timbul antara dua negara atau lebih, Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
Jadi karakteristik dari konflik bersenjata internasional ” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional sedangkan karakteristik Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut.
2. Didalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu dapat ditegakkan. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuanketentuan hukum itu sendiri, mekanisme hukum humaniter ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Ketentuan ini kemudian diperkuat dengan Pasal yang mengatur tentang penghukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat hukum humaniter, yaitu Pasal-pasal yang terdapat pada# Pasal 49 ayat (1)Konvensi I, Pasal 50 (1) Konvensi II, Pasal 129 (1) Konvensi III dan Pasal 146 (1) Konvensi IV, yang merupakan ketentuan yang bersamaan Mahkamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional, Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal sampai saat ini yaitu :
BalasHapusMahkamah atau tribunal yang bersifat ad hoc dan mahkamah yang bersifat permanen.
(a) Mahkamah Internasional Ad Hoc Tentang Kejahatan Perang
Dalam sejarah dikenal ada dua mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia II,
yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk
mengadili para penjahat perang Nazi Jerman, sedangkan Mahkamah Tokyo dibentuk untuk
mengadili para penjahat perang Jepang. Kedua mahkamah ini bersifat ad hoc atau sementara yang berarti bahwa mahkamah ini dibentuk untuk jangka waktu dan kasus tertentu saja.
(b) Mahkamah Nuremberg
Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter)
atau biasa juga disebut Piagam London (London Charter). Sejak terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada 24 orang tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Nuremberg, yaitu; kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan
3.implementasi dari hukum humaniter yang dilaksanakan di Indonesia adalah terbentuknya sebuah komisi nasional, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), Terbentuknya Komnas HAM adalah bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB.Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi jenewa 1949, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di mata dunia yang masih sangat rendahkala itu dapat diamankan dengan ratifikasi yang dilakukan Indonesia dalam hal ini agar Negara-negara kolonial dapat lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negerinya yang dapat memicu konflik dengan Indonesia.Dalam meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalammelaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : Risda Bayu Aditya
BalasHapusNim : 13010070
Kelas : V-F ( malam )
1. Perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
Karakteristik :
Karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai “pelaku”. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, sehingga ia merupakan “pelaku” dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan “pelaku lain” yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada. Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter).
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan – ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949
Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal sampai saat ini yaitu : Mahkamah atau tribunal yang bersifat ad hoc dan mahkamah yang bersifat permanen.
3. Implementasi Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan RI (Sekjen Dephan) Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai keynote speaker pada acara Lokakarya Implementasi HHI di lingkungan Departemen Pertahanan RI, Selasa (20/11) di Kantor Dephan, Jakarta.
Sekjen Dephan menambahkan, bahwa sistem pertahanan negara maupun implementasi pelaksanaan pertahanan negara yang dilaksanakan oleh TNI seperti kebijakan, keputusan dan landasan operasional, selalu berdasarkan kepada hukum.
Agustinus tofan firdaus
BalasHapus13010111
V F
1) Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir . Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional. Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977. maka konflik bersenjata internasional atau perang antar negara terdiri dari tiga jenis situasi, yakni : 1) Perang yang dilakukan dengan cara-cara yang sah, dalam hal ini perang yang didahului dengan pernyataan perang (declaration of war) maupun peperangan yang tidak dilakukan dengan cara-cara tersebut (declared/undeclared war). 2) Peperangan yang diikuti dengan adanya invasi atau pendudukan dari pihak musuh (occupation); baik yang di dalamnya menemui perlawanan maupun yang tidak; serta 3) Situasi yang menegaskan bahwa dalam situasi peperangan di mana para pihak yang bersengketa adalah para pihak atau bukan pihak pada Konvensi Jenewa 1949, maka hal tersebut tidak menyebabkan tidak berlakunya Konvensi Jenewa 1949 itu sendiri.
Secara harfiah pengertian sengketa bersenjata non-internasional adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam negeri antara sesama anak bangsa di mana tidak ada keterlibatan negara atau bangsa lain, dengan kata lain sengketa yang terjadi di wilayah salah satu negara antara pemberontak dengan pasukan Pemerintah. sengketa bersenjata non-internasional adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam teritorial suatu negara, antara pemerintah di satu sisi dan pasukan pengacau di sisi lain. Yang termasuk pasukan pengacau adalah baik yang disebut pengacau, pemberontak, revolusioner, gerakan separatis, pejuang kebebasan, teroris, dan atau nama lain semacam yang bermaksud menggulingkan pemerintahan, atau memperoleh keuntungan ekonomi dalam suatu negara, atau dalam rangka membentuk negara sendiri.Syarat dan kriteria-kriteria untuk suatu sengketa bersenjata non-internasional adalah: 1. Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung. 2. Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident). 3. Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab
Agustinus Tofan Firdaus
BalasHapus13010111
V F
2 ) Penegakan hukum terhadap sengketa hukum humaniter dalam common articles dari Konvensi-
konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan
sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter mekanisme
nasional jika tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan
dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum
humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum
nasional apabila penggunaan hukum nasional dianggap kurangnya rasa keadilan maka diajukan mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan
dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum
humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum
nasional apabila penggunaan hukum nasional dianggap kurangnya rasa keadilan maka diajukan ke mahkamah international yang bersifat permanen.
Agustinus Tofan Firdaus
BalasHapus13010111
V F
3) Konvensi Jenewa tahun 1949 mencakup empat buah konvensi yang masing-masing bernama:
1) Konvensi Jenewa I untuk Perbaikan kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medan Perang.
Konvensi Jenewa pertama ditandatangani pada tahun 1864 oleh 12 Negara yang pada waktu itu, mempunyai posisi penting di bidang politik internasional. Pada tahun 1864, Konvensi Jenewa terdiri dari 10 pasal yang mengatur tentang perbaikan kondisi Prajurit yang cedera dan sakit dimedan perang. Konvensi ini menetapkan bahwa: a. Prajurit yang cedera dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat, tampa mempedulikan kebangsaannya; b. Petugas kesehatan dan sarana serta prasarana yang digunakan untuk merawat prajurit yang cedera dan sakit di medan perang harus diberikan status netral; c. Lambang Palang merah di atas dasar putih disetujui sebagai tanda pelindung Setelah itu, Konvensi Jenewa tersebut direvisi dan dikembangkan pada tahun 1906 dan 1929, menjadi Konvensi Jenewa I tahun 1949. 2) Konvensi Jenewa II untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, Korban Kapal Karam dalam Peperangan di Laut. Pada Konvensi Den Haag yang diadakan tahun 1899, perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa pertama diperluas mencakup korban kapal karam pada waktu terjadi peperangan dilaut. Ketentuan-ketentuan ini dikembangkan kembali pada Konvensi Den Haag tahun 1907. 3) Konvensi Jenewa III tentang perlakuan Tawanan Perang Konvensi Den Haag yang diselenggaran pada tahun 1899 dan 1907, menyinggung pula soal tawanan perang. Namun demikian, pada waktu Perang Dunia I, ketentuan-ketentuan yang mengatur persyaratan penahanan dan perlakuan tawanan perang masih kurang oleh karena itu, pada tahun 1929, disusun Konvensi Jenewa tentang perlakuan tawanan perang yang terdiri dari 97 pasal. Konvensi ini menegaskan bahwa: a. Tawanan perang bukanlah seorang Kriminal, tetapi pihak musuh yang tidak dapat lagi turut serta dalam pertempuran. b. Oleh karena itu, tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi selama ditahan. c. Tawanan perang harus dibebaskan pada waktu permusuhan sudah berakhir. Konvensi Jenewa ini dikembangkan kembali pada tahun 1949, menjadi Konvensi Jenewa III. 4) Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan Sebelum tahun 1949, HHI belum dapat diterapkan untuk melindungi masyarakat sipil. Pada waktu Perang Dunia II, ribuan orang sipil menjadi korban. Hal ini sangat menggemparkan opini masyarakat internasional, sehingga pada tahun 1949 disetujui Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan. Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 sudah ditandatangani oleh 188 Negara (31 Maret 1997). Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi-Konvensi Jenewa pada tahun 1958. Dengan menandatangani Konvensi-konvensi Jenewa, setiap negara diwajibkan pada waktu pertikaian bersenjata untuk: a. Merawat orang yang cedera dan sakit, tanpa mempedulikan kebangsaannya. b. Menghormati manusia dalam integritas fisik, martabat, hak keluarga, keyakinan moral dan agamanya. c. Melarang penyiksaan, perlakuan kejam, hukuman mati tanpa didahului proses pengadilan yang sah, pembasmian, deportasi, penyanderaan, perampokan dan perusakan harta benda sipil. d. Mengizinkan delegasi ICRC (Palang Merah Internasional) untuk mengunjungi para tawanan perang dan interniran sipil (orang yang ditempatkan di suatu lokasi dan kebebasannya dibatasi) dan untuk berbicara dengan mereka tanpa saksi.
Nama : Sakinah Mandra Ningrum
BalasHapusNIM : 13010197
Kelas : VF/Hukum
1). Perbedaan mendasar konflik bersenjata Internasional dan konflik bersenjata Non Internasional,
pada dasarnya terdapat dua konflik yang diatur dalam Hukum Humanier Internasional, yaitu :
a. Konflik bersenjata Internasional yang terdiri dari konflik bersenjata murni yaitu konflik bersenjata yang terjadi anatara dua atau lebih negara. sedangkan konflik bersenjata internasional semu ialah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain.
contohnya: Konflik Bersenjata Thailand dan Kamboja, Sebuah Pembuktian Realismedalam Hubungan Internasional. Thailand dan Kamboja. Kedua negara ini awalnya merupakan dua negara AsiaTenggara yang memiliki hubungan yang baik. Keduanya sangat jarang terlibat pertikaian. Halini mungkin dikarenakan kedua negara tersebut memiliki banyak persamaan. Salah satupersamaan tersebut adalah persamaan agama, yaitu agama Buddha yang merupakan agamamayoritas di kedua negara tersebut
- Persamaan kedua adalah dari sistem pemerintahanmereka, yang sama-sama mengadopsi sistem monarki absolut. Namun hubungan yang baik itu lantas menjadi merenggang selepas konflik Perang Indochina pada 1975, selepas PerangIndochina tersebut hubungan kedua negara terus-menerus merenggang. Memburuknyahubungan Thailand dan Kamboja diperparah dengan konflik antara keduanya yang semakinmemanas belakangan ini. Permasalahannya terletak pada satu tempat : Kuil Preah Vihear.Sebuah kuil berusia kurang-lebih 900 tahun tersebut kini sedang ramai-ramainyadiperbincangkan. Penyebabnya adalah karena wilayah seluas 4,6 km
- di sekitar kuil tersebutkini sedang diperebutkan dua negara ASEAN, Thailand dan Kamboja. Kedua negara itusama-sama mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayahnya
b. konflik bersenjata non internasional secara harfiah sengketa bersenjata non internasional ialah sengket yang terjadi di dalam negeri antara sesama anak bangsa dimana tidak ada keterlibatan negara atau bangs yang lain. konflik sengketa bersenjata juga memiliki status kedua belah pihak yang tidak sama, yakni pihak satu yang berstatus sebagai negara (subjek hukum internasional), di lain sisi pihak lain bukan negara (non-state entity). konflik non-internasional juga bisa disebut dengan perang pemberontakan yang dicirikan dengan adanya pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan sekelompok pasukan pemberontak yang melakukan perlawanan, yang bertujuan untuk bisa menggantikan Rezim berkuasa serta melawan pemerintah yang berkuasa, dan ingin memisahkan diri dengan negara yang berdaulat.
Contoh : perang pemberontakan di negara lain antar pasukan pemberontak melawan pasukan reguler dari negarayang berbeda yang tujuanya untuk memisahkan diri dari negara induk.
Nama : Sakinah Mandra Ningrum
BalasHapusNIM : 13010197
Kelas : VF/Hukum
2). Mekanisme penegakan Hukum Humaniter internasional ialah suatu susunan hukum yang dapat di implementasikan serta sanksinya dapat pula ditegakkan apabila ada yang melanggarnya. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah Mahkamah kejahatan perang yang bersifat ad-hoc ataupun yang permanen. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenew 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dekenakan kewajiban membayar ganti rugi atau uang kompensasi seperti dalam sistem hukum Internasioanal. Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 Konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan juga pasal 148 Konvensi ke IV Jenewa 1949. Karena pada intinya Mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah Mekanisme Nasional yang penegak hukum Humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan juga dengan menggunakan instrumen hukum Nasional.
Nama : Riyandani Alfiatul Syahrillya
BalasHapusKelas : VF
Nim : 13010021
jawaban No.1 :
-Perbedaan Mendasar konflik bersenjata Internasional dan konflik bersenjata non internasional adalah :
1.Yang termasuk dalam jenis konflik bersenjata internasional adalah :
a)Peristiwa perang antara dua negara atau lebih; termasuk:
• Peristiwa perang antara dua negara atau lebih yang diumumkan
• Peristiwa perang antara dua negara atau lebih yang keadaan perangnya tidak diakui oleh salah satu antara mereka.
b)Peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari wilayah suatu negara, sekalipun pendudukan tersbut tidak menemui perlawanan senjata.
c)Sengketa bersenjata yang situasinya disamakan dengan situasi sengketa bersenjata internasional dan sering disebut dengan istilah perang pembebasan nasional.
Contoh : Perang dunia ke-1 dan perang dunia ke-2 merupakan alah satu contoh dari konflik bersenjata Internasional
2. Yang termasuk dalam jenis konflik bersenjata non internasional adalah :
a)Sengketa bersenjata yang bukan antara dua negara;
b)Sengketa bersenjata non internasional, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi dalam wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata negara tersebut dengan pasukan bersenjata pemberontak atau dengan kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang berada di bawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan kelompok tersebut melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan serta menerapkan aturan-aturan HHI.
Contoh : terjadinya perang pemberontakan di negara A antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara A. Maka dapat diperhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk.
- karakteristik dari masing-masing konflik antara lain:
1.konflik bersenjata Internasional yaitu memliki 2 (dua) jenis antara lain:
A.Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara, Sedangkan
B.Konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
2.Krakteristik Konflik bersenjata non-internasional yaitu memeliki beberapa syarat antara lain :
A.Bahwa pihak pemberontak memiliki kekuatan militer yang terorganisir, di pimpin oleh seorang Komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, melakukan aksi dalam wilayah tertentu dan memiliki sarana untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi Jenewa.
B.Bahwa Pemerintah yang sah dipaksa untuk menggerakkan pasukan reguler (angkatan bersenjata) untuk menghadapi pemberontak yang terorganisir secara militer dan yang telah menguasai sebagian wilayah nasional.
C.Bahwa penguasa sipil dari pihak pemberontak setuju untuk terikat pada ketentuan Konvensi.
Nama : Sakinah Mandra Ningrum
BalasHapusNIM : 13010197
Kelas : VF/Hukum
3). Implementasi yang terkait dengan pelaksanaan Hukum Humaniter yang sudah dilaksanakan di Indonesia dengan terbentuknya seuah komisi Nasional, artinya komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pada saat Indonesia melakukan ratifikasi untuk hasil Konvensi Jenewa 1949, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru Merdeka. kenapa dikatakan seperti itu, karena sudah jelas fakta yang menyebutkan atau sudah mengindikasikan kepentingan Nasional Indonesia dalam isu yang diangkat dan disepakati delam perjanjian tersebut. Indonesia yang nitabenya masih merupakan negara yang kecil dan baru memulai transisi pasca penjajahan, sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Dalam meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 tahun 1958 yang isinya tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikut sertaanya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No:Kep/02/M/II/2000 tentang penerapan Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia dala penyelenggaraan pertahanan neara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan dengan diterbitkanya UU No. 26 Tahun 2000 yang berisi tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Mereka selanjutya terikat oleh konvensi ini akan sama terikatnya dengan Negara bukan peserta, apabila Negara yang tersebut kemudian ini menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan Konvensi ini. Dengan pernyataan itu, maka Indonesia dapat meloloskan kepentingan nasionalnya dalam hal keamanan karena kondisi dunia pada masa tersebut yang relativ belum stabil dan kemungkinan akan pecahnya konflik bersenjata yang berdampak buruk terhadap Indonesia. Perjanjian tersebut sedikit banyak dapat dimasukkan ke dalam ratifikasi Hak Asasi Manusia Indonesia dalam bidang Politik. Karena di dalamnya termuat Hak Asasi Manusia Indonesia sebagai negara, serta hak-hak yang dimiliki setiap warga masyarakat yang bernaung di dalamnya. Jadi terbentuknya Komnas Hak Asasi Manusia bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan juga piagam PBB.
Nama : Sakinah Mandra Ningrum
BalasHapusNIM : 13010197
Kelas : VF/Hukum
3). Implementasi yang terkait dengan pelaksanaan Hukum Humaniter yang sudah dilaksanakan di Indonesia dengan terbentuknya seuah komisi Nasional, artinya komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pada saat Indonesia melakukan ratifikasi untuk hasil Konvensi Jenewa 1949, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru Merdeka. kenapa dikatakan seperti itu, karena sudah jelas fakta yang menyebutkan atau sudah mengindikasikan kepentingan Nasional Indonesia dalam isu yang diangkat dan disepakati delam perjanjian tersebut. Indonesia yang nitabenya masih merupakan negara yang kecil dan baru memulai transisi pasca penjajahan, sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Dalam meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 tahun 1958 yang isinya tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikut sertaanya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No:Kep/02/M/II/2000 tentang penerapan Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia dala penyelenggaraan pertahanan neara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan dengan diterbitkanya UU No. 26 Tahun 2000 yang berisi tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Mereka selanjutya terikat oleh konvensi ini akan sama terikatnya dengan Negara bukan peserta, apabila Negara yang tersebut kemudian ini menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan Konvensi ini. Dengan pernyataan itu, maka Indonesia dapat meloloskan kepentingan nasionalnya dalam hal keamanan karena kondisi dunia pada masa tersebut yang relativ belum stabil dan kemungkinan akan pecahnya konflik bersenjata yang berdampak buruk terhadap Indonesia. Perjanjian tersebut sedikit banyak dapat dimasukkan ke dalam ratifikasi Hak Asasi Manusia Indonesia dalam bidang Politik. Karena di dalamnya termuat Hak Asasi Manusia Indonesia sebagai negara, serta hak-hak yang dimiliki setiap warga masyarakat yang bernaung di dalamnya. Jadi terbentuknya Komnas Hak Asasi Manusia bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan juga piagam PBB.
Nama : Rifki Wijayanto
BalasHapusNIM : 13010102
Semester : VF
1. Perbedaan Karakteristik :
• Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional
• Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara
Nama : Riyandani Alfiatul Syahrillya
BalasHapusKelas : VF
Nim : 13010021
Jawaban No.2
2.Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahkamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apablia mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang hak penduduk sipil, keterkaitan konvensi-konvensi Internasional dengan Hak Asasi Manusia. Eksistensi konvensi Jenewa 1949, serta perlindungan yang ada terhadap penduduk sipil dalam perang mencuatnya kepermukaan hak-Hak Asasi Manusia selama beberapa dekade belakangan ini merupakan salah satu isu global yang dihadapi banyak negara merupakan bahasan dalam kerangka Internasional. Dalam dunia Internasional yang menyangkut perlindungan penduduk sipil dan kaitannya dengan Hak Asasi Manusia, pada mulanya dicantumkan dalam Pasal 1 konvensi mengenai penyelesaian sengketa-sengketa secara damai yang ditandai di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907.Perlindungan Hak Asasi Manusia telah diatur dalam berbagai Instrumen Hukum Internasional pada prinsip-prinsip kemanusiaan, kedua system hukum tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia secara maksimal untuk melindungi individu-individu dari kesewenang-wenangan negara.
2. Menurut saya Suatu perangkat hukum akan dapat efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakan terhadap yg melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu ditegakkan. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya. a) Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal dalam Konvensi Jenewa maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelakuk akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan. b) Mekanisme Internasiona. Disamping mekasinme nasional penegakan hukum humaniter juga dapat dilaksanakan melalui mekanisme internasional. Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal sampai saat ini, yaitu mahkamah bersifat ad-hoc dan mahkamah bersifat tetap.
BalasHapus3. Implementasi Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan RI (Sekjen Dephan) Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai keynote speaker pada acara Lokakarya Implementasi HHI di lingkungan Departemen Pertahanan RI, Selasa (20/11) di Kantor Dephan, Jakarta.
Sekjen Dephan menambahkan, bahwa sistem pertahanan negara maupun implementasi pelaksanaan pertahanan negara yang dilaksanakan oleh TNI seperti kebijakan, keputusan dan landasan operasional, selalu berdasarkan kepada hukum.
Nama : Riyandani Alfiatul Syahrillya
BalasHapuskelas; VF
Nim : 13010021
Jawaban no.3
3.Dalam hukum humaniter yang terpenting adalah prinsip penghormatan jiwa manusia, kebebasan dan keamanan pribadi yang dirumuskan sekaligus dalam pengertian perlindungan, perawatan dan bantuan yang diberikan kepada para korban sengketa bersenjata. Prinsip kemanusiaan, penghormatan jiwa, kebebasan dan keamanan pribadi dan prinsip perlindungan para korban kejahatan dan atau penyalahgunaan kekuasaan, serta ketentuan khusus bagi perlindungan kelompok-kelompok rentan dapat ditemukan dalam hukum hak asasi manusia dan dalam hukum humaniter.Selama ini hukum humaniter terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, sedangkan hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum humaniter yang utama, selain konvensi-konvensi lain yang telah disebutkan terdahulu.Untuk mengetahui sumber-sumber hukum internasional, kita dapat mengacu pada Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yang menyebutkan mengenai sumber hukum yang dapat diterapkan, yaitu:
1.International Convention, whether general of particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states
2.International custom, as evidence of a general practice accepted as law
3.The general principles of law recognized by civilized nations
4.d. Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teaching of the most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary means for the determinations of rules of law”.
1. ● Perbedaan mendasar antara konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional adalah status hukum dari para pihak yang bersengketa. Dalam konflik bersenjata internasional, terdapat status hukum yang sama antar dua pihak. karena keduanya adalah negara (sebagaimana dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan dalam Pasal 1 ayat (4)juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
BalasHapusSedangkan konflik bersenjata non-internasional, status kedua pihak tidak sama yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara.
● * Contoh konflik bersenjata internasional:
Konflik antara Kamboja dan Thailand mengenai perebutan wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar Kuil Preah Vihear yang terletak antara Khsant Choam, Kabupaten di Preah, Provinsi Kamboja utara dan Kantharalak kabupaten ( Amphoe) di Sisaket Provinsi Northeastern Thailand, dimana klaim masing-masing pihak akan kepemilikan kuil Preah Vihear di perbatasan kedua negara.
* Contoh konflik bersenjata non-internasional:
Konflik bersenjata di Ukraina timur yang membuat sekitar 878 ribu orang penduduk Ukraina terpaksa mencari suaka dan izin tinggal di negara lain dan lebih dari 1,3 juta orang di Ukraina terpaksa meninggalkan rumah mereka serta menjadi pengungsi lokal di negara tersebut.
● * Karakteristik konflik bersenjata internasional:
Sengketa bersenjata antar negara yang terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
* Karakteristik konflik bersenjata non-internasional:
Dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat juga dapat berbentuk perang saudara (civil war). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
2. ● Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan maka pilihan selanjutnya adalah mekanisme internasional.
● Dasar hukum: Dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 konvensi III dan Pasal 148 konvensi IV Jenewa 1949.
3. ● Indonesia menerapkan hukum humaniter sejak zaman kuno, Indonesia. Sama halnya dengan negara-negara lain, menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak.Indonesia menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional.
● Peraturan perundang-undangan hasil ratifikasi dari konvensi international dibidang hukum humaniter yang salah satunya dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang dituangkan dalam UU No. 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang ada dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. KepMen tersebut tertuang mengenai Indonesia ikut serta menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara.
NAMA : NUGROHO MARSISWANTO
BalasHapusNIM : 13010110
KELAS : VF (SORE)
1. ● Perbedaan mendasar antara konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional adalah status hukum dari para pihak yang bersengketa. Dalam konflik bersenjata internasional, terdapat status hukum yang sama antar dua pihak. karena keduanya adalah negara (sebagaimana dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan dalam Pasal 1 ayat (4)juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
Sedangkan konflik bersenjata non-internasional, status kedua pihak tidak sama yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara.
● * Contoh konflik bersenjata internasional:
Konflik antara Kamboja dan Thailand mengenai perebutan wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar Kuil Preah Vihear yang terletak antara Khsant Choam, Kabupaten di Preah, Provinsi Kamboja utara dan Kantharalak kabupaten ( Amphoe) di Sisaket Provinsi Northeastern Thailand, dimana klaim masing-masing pihak akan kepemilikan kuil Preah Vihear di perbatasan kedua negara.
* Contoh konflik bersenjata non-internasional:
Konflik bersenjata di Ukraina timur yang membuat sekitar 878 ribu orang penduduk Ukraina terpaksa mencari suaka dan izin tinggal di negara lain dan lebih dari 1,3 juta orang di Ukraina terpaksa meninggalkan rumah mereka serta menjadi pengungsi lokal di negara tersebut.
● * Karakteristik konflik bersenjata internasional:
Sengketa bersenjata antar negara yang terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
* Karakteristik konflik bersenjata non-internasional:
Dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat juga dapat berbentuk perang saudara (civil war). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
2. ● Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan maka pilihan selanjutnya adalah mekanisme internasional.
● Dasar hukum: Dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 konvensi III dan Pasal 148 konvensi IV Jenewa 1949.
3. ● Indonesia menerapkan hukum humaniter sejak zaman kuno, Indonesia. Sama halnya dengan negara-negara lain, menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak.Indonesia menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional.
● Peraturan perundang-undangan hasil ratifikasi dari konvensi international dibidang hukum humaniter yang salah satunya dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang dituangkan dalam UU No. 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang ada dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara.
Nama : meita nila permatasari
BalasHapusnim : 13010057
kelas : V F
1) Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflictyang di internasionalisir.
Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
2) Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.
Nama : meita nila permatasari
BalasHapusnim : 13010057
kelas : V F
2.Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, Di
lingkungan militer, apabila ada seorang prajurit yang melakukan pelanggaran terhadap hukum
humaniter maka Komandan atau Atasan yang berwenang untuk menghukum (Ankum)
berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan
Pasal 87 di atas. Apabila Komandan atau atasan langsung dari prajurit yang bersalah tidak
mengambil tindakan, maka Komandan yang diatasnya berkewajiban untuk mengambil tindakan
yang dimaksud. Begitu seterusnya sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, di
samping menggunakan sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer
dan/atau sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap
ketentuan - ketentuan hukum humaniter. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak
berfungsi atau tidak difungsikan dengan baik, maka pada tahapan berikutnya kasus yang berasangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional (baik melalui pengadilan
yang bersifat ad hoc atau yang permanen).
Nama : meita nila permatasari
BalasHapusnim : 13010057
kelas : V F
3.Hukum humaniter merupakan salah satu bagian dari hukum internasional yang memuat seperangkat aturan yang bertujian untuk membatasi akibat yang ditimbulkan oleh konflik bersenjata dan bertujuan untuk melindungi pihak-pihak yang tidak terlibat perang itu sendiri secara langsung (Wagiman, 2005: 5). Dengan kata lain, hukum hukaniter ini membatasi perang supaya kemudian tidak terlalu destruktif dan mengganggu kepentingan masyarakat sipil. Hukum humaniter internasional sebenarnya telah memulai perkembangannya sejak zaman kuno, mulai ketika aturan-aturan tertentu diberlakukan saat terjadi perang internal dalam entitas nasional tertentu dan peperangan antar kerajaan kuno hingga ketika agama dijadikan dasar hukum humaniter itu sendiri (Kalshoven, 1991: 7). Namun, hukum humaniter internasional barulah mengalami perkembangan yang cukup pesat pada abad ke-19, ketika peperangan telah dilakukan dengan menggunakan senjata-senjata modern yang efek merusaknya semakin besar (Wagiman, 2005: 3). Bersamaan dengan semakin modernnya praktik penggunaan senjata, ternyata kepeduliaan akan kemanusiaan juga semakin besar. Karena itu kemudian didirikanlah Palang Merah Internasional dan dirumuskannya Konvensi Jenewa 1864 yang mengatur mengenai perawatan korban-korban atas perang itu sendiri.
NAMA : M NUR DHIKRULLOH ABIDIN
BalasHapusKELAS : SEMESTER V(F)
NIM : 13010101
1. Perbedaan mendasar konflik bersenjata internasional dan non internasional adalah :
• konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C.
Karakteristik :
• Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional
• konflik bersenjata non internasional : .Syarat dan kriteria-kriteria untuk suatu sengketa bersenjata non-internasional adalah: 1. Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung. 2. Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident). 3. Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab. 4. Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut. 5. Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan .
2. 2. Menurut saya Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri.Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang.Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana.Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter.Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional,yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional
BalasHapus3. 3. pelaksanaan dari hukum humaniter yang dilaksanakan di Indonesia dengan terbentuknya sebuah komisi nasional, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terbentuknya Komnas HAM adalah bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB.
Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi jenewa 1949, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di mata dunia yang masi
Maaf pak sebelum sudah nya ke kirim di soal nya anak c dan d pada tanggal 5
2. 2. Menurut saya Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri.Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang.Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana.Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter.Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional,yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional
BalasHapus3. 3. pelaksanaan dari hukum humaniter yang dilaksanakan di Indonesia dengan terbentuknya sebuah komisi nasional, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terbentuknya Komnas HAM adalah bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB.
Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi jenewa 1949, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di mata dunia yang masi
Maaf pak sebelum sudah nya ke kirim di soal nya anak c dan d pada tanggal 5
2. 2. Menurut saya Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri.Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang.Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana.Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter.Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional,yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional
BalasHapus3. 3. pelaksanaan dari hukum humaniter yang dilaksanakan di Indonesia dengan terbentuknya sebuah komisi nasional, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terbentuknya Komnas HAM adalah bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB.
Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi jenewa 1949, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut.
Maaf pak sebelum sudah nya ke kirim di soal nya anak c dan d pada tanggal 5
NAMA : FARID ARTHA MAHARID
BalasHapusNIM : 13010146
KELAS : E (sore)
1.Perbedaan utama antara non-international armed conflict dan international armed conflict dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam international armed conflict ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 atau paling tidak,salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.status ke dua pihak tidak sama yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara.
konflik non-internasional
Merupakan konflik internal atau biasa disebut dengan perang pemberontakan yang dicirikan dengan adanya pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan kelompok terorganisir / pasukan pemberontak yang melakukan perlawanan. Konflik tsb terjadi di wilayah suatu negara. Contoh: pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka, konflik suriah antara rakyat suriah melakukan perlawanan terhadap rezim Bhasar Asaad.
konflik internasional
Merupakan konflik eksternal dimana telah terjadi dicirikan dengan sengketa antara 2 negara atau lebih dan bisa terjadi antara negara dengan bukan negara. Contoh: perang Israel dan Palestina, perang Suriah yang melibatkan banyak negara besar seperti AS & Rusia.
Nama: One Dika P.
BalasHapusKelas: 5E
NIM: 13010134
1.Konflik bersenjata internasional merupakan Istilah sengketa bersenjata internasional, antar Negara, atau konflik antar negara merupakan suatu sengketa bersenjata yang terjadi antar dua atau lebih Negara yang lebih populer disebut dengan “perang” (war). Walaupun dalam penyebutan istilah tersebut terdapat kata-kata “negara”, apakah sengketa bersenjata antar negara memang hanya dapat dilakukan oleh negara saja sebagai pihak-pihaknya ? Mari kita lihat penjelasan berdasarkan Hukum Humaniter, khususnya berdasarkan Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Sedangkan konflik bersenjata non- internaisonal status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara. Contohnya, konflik bersenjata dapat dilihat dalam perang dunia ke-2 yg melibatkan dua blok yang masing – masing dipimpin Amerika serikat dan Uni soviet. Sedangkan yg non- internasional seperti yang terjadi di Suriah yg melawan kelompok pemberontak seperti ISIS.
2.Pengaplikasian penegakan hukum humaniter hanya dapat ditegakkan pada saat situasi konflik perang. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya. a) Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal dalam Konvensi Jenewa maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
2.Hukum dapat menjadi lebih baik jika tidak hanya pada peraturan tertulis tetapi juga dalam dunia perakteknya didalam ini khususnya pada hukum humaneter internasional karena. masih banyaknya pemberontakan terhadap negara berkembang namun, Mekanisme penegakan hukum humaniter dpt ditemukan dalam ketentuan-ketentuan huku itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. dalam konvensi Jenewa 1949 pada dasarnya yg didahulukan adalah mekanisme penegakan nasional, negara yang telah meratifikasi konvensi jenewa dapat memberi sanksi kepada pelaku pelanggaran Hukum humaniter melalui pengadilan nasional. Apabila mekanisme penegakan nasional tidak dapat menyelesaikan, maka dapat menggunakan mekanisme penegakan internasional. Mekanisme Internasional dalam penegakan hukum humaniter mencakup melalui Mahkamah Internasional Ad Hoc tentang Kejahatan Perang, Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo, International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR),
BalasHapusStatus Roma : Mahkamah Pidana Internasional. Dasar hukumnya yaitu Konvensi Jenewa 1949.
Nama: One Dika P.
BalasHapusKelas: 5E
NIM: 13010134
3.Indonesia merupakan salah satu negara yang mengimplemenasikan hukum humaniter secara dinamis, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. program yg telah dilakukan pemerintah Indonesia antara lain adanya komnas ham sebagai sarana untuk memproses apabila ada pelanggaran dalam peperangan dan dibentuknya organisasi perhimpunan nasional yang bergerak dibidang sosial kemanusiaan(PMI). Indonesia menyatakan dukunganya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
3.implementasi terkait dengan pelaksanaan dari hukum humaniter yang dilaksanakan di Indonesia adalah dengan terbentuknya sebuah komisi nasional, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terbentuknya Komnas HAM adalah bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB.Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi jenewa 1949, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di mata dunia yang masih sangat rendahkala itu dapat diamankan dengan ratifikasi yang dilakukan Indonesia dalam hal ini agar Negara-negara kolonial dapat lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negerinya yang dapat memicu konflik dengan Indonesia.Dalam meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalammelaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
BalasHapusNAMA : AFFAD ZAWAWI
BalasHapusNIM : 13010149
KELAS: Semester V F(SORE)
1.Perbedaan konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Contoh: konflik bersenjata internasioal yang pernah dialami oleh negara Irak ketika diserang oleh pasukan militer Amerika Serikat pada tahun 2000an.
Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Contoh: konflik bersenjata negara Sudan dimana konflik antara negara Sudan dengan milisi Sudan yang ingin memisahkan diri dari negara resminya dan sekarang telah menjadi dua negara yaitu negara Sudan dan negara Sudan Selatan.
Karakteristik: -konflik bersenjata internasional pertempuran antar dua negara dengan melibatkan angkatan bersenjata untuk menjatuhkan atau menguasai negara lawannya.
-Konflik bersenjata non internasional perlawanan warga sipil yang dipersenjatai atau milisi untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah bertujuan untuk mereformasi atau memisahkan diri dari negara tersebut.
2. 2. Dalam mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri, mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang.baik yang bersifat adhoc maupun permanen, mahkamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana, namun demikian dalam konvensi-konvensi jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kwajiban membayar atau kompensasi hal tersebut diatur dalam pasal 51 konvensi 1. Konvensi II pasal 131 konvensi III dan pasal 148 konvensi IV jenewa 1949. Dalam salah satu common articles dari konvensi-konvensi jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban pihak peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam konvensi jenewa1949 adalah mekanisme nasional yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional, apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
3.Indonesia sebagai sebuah entitas yang juga menghargai perlindungan mengenai kemanusiaan juga tentu saja menerapkan hukum humaniter itu sendiri. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan perang, serta perlakuan wanita anak-anak(wagiman2005:2a). Hal ini membuktikan bahwa indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional, pada masa modern indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi konvensi jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang nomor 59 tahun1958 tentang keikutsertaan Republik Indonesia dalam seluruh konvensi jenewa 1949, selain itu indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaanya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam konvensi jenewa1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Dalam salah satu isi surat keputusan Menhan nomor: KEP/02/M/II/2002 memutuskan 1. Penerapan hukum humaniter mengenai konvensi jenewa tanggal 12 agustus 1949, kebiasaan internasional dan hukum hak asasi manusia berlaku dalam penyelenggaraan pertahanan negara. 2. Hukum mengenai konvensi jenewa meliputi: a.konvensi tentang perbaikan nasib anggoya-anggota yang luka dan sakit dalam angkatan perang didarat. b.konvensiII tentang perbaikan nasib anggota-anggoya yang luka dan sakit dalam angkatan perang dilaut. c.konvensiIII tentang tawanan. d.konvensiIV tentang perlindungan rakyat sipil dalam masa perang.
BalasHapus1. Perbedaan mendasar terletak pada status hukum para pihak yang bersengketa. Karena dalam hukum internasional yang dianggap sebagai subyek hukum internasional adalah Negara, oleh karena itu apabila konflik/perang yang terjadi melibatkan subyek-subyek hukum internasional maka yang demikian disebut sebagai koknflik bersenjata internasional. Sebaliknya, apabila didalam suatu konflik/peperangan yang terjadi merupakan konflik internal yang melibatkan angkatan bersenjata suatu Negara dengan subyek hukum pada suatu Negara itu sendiri, (warga negaranya/masyarakat yang seharusnya tunduk pada peraturan Negara tersebut) maka yang demikian disebut sebagai konflik bersenjata non internasional.
BalasHapusKarakteristik konflik bersenjata internasional :
a. Melibatkan subyek-subyek hukum internasional
b. Objek peperangan biasanya adalah suatu Negara/perebutan wilayah perbatasan suatu Negara/bias juga perebutan kekayaan alam yang dimiliki oleh suatu Negara yang bersengketa.
Karakteristik konflik bersenjata non internasional :
a. Melibatkan Angkatan bersenjata dengan anggota/kelompok pemberontak yang terorganisir.
b. Merupakan konflik internal suatu Negara
c. Objek peperangan biasanya adanya keinginan untuk melepaskan diri dan membentuk system pemerintahan sendiri, atau bias juga bertujuan menggulingkan rezim pemerintahan yang berkuasa di Negara tersebut.
2. Mekanisme penegakkan hukum humaniter internasional dapat ditemukan pada ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam hukum internasional itu sendiri, sebagai contoh dalam ketetapan pada perjanjian Konvensi Jenewa tahun 1949 yang menegaskan bahwa Negara juga dapat dikenakan kewajiban untuk membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 Konvensi II, Pasal 131 Konvensi III, dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949. Atau dapat juga ditempuh melalui pembentukan sejumlah Mahkamah Kejahatan Perang, baik yang bersifat Ad-hoc maupun yang permanen.
3. Undang-undang hasil ratifikasi dari konvensi internasional dibidang humaniter yaitu adanya Undang-undang nomor 39 tahun 1999 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Dan implementasinya yaitu tertuang dalam UU No. 26 Tahun 2000 hukum acara atas pelanggaran HAM berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang terdiri dari:
1. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan.
2. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan.
3. Komnas HAM sebagai penyelidik berwenang melakukan penyelidikan.
4. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penyidikan.
5. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penuntutan.
6. Pemeriksaan dilakukan dan diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM.
Nama : Anisa mardiana
BalasHapusKelas : Vf (Sore)
Nim :13010145
1. perbedaan konflik bersenjata internasional dan non internasional
a. konflik bersenjata internasonal terbagi jadi dua yakni :
1. murni adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih Negara
2. semu adalah konflik bersenjata antara Negara disatu pihak dengan bukan Negara (non-state entity) di pihak lain. Dan pengertian dari konflik bersenjata internasional adalah konflik yang terdapat didalam konvensi jenewa 1949 dan protocol tambahan I tahun 1977.
Contoh :pada kasus perang akhir” ini mengenai isis dgn Negara” lain
b.konflik bersenjata non internasonal adalah suatu konflik di kenal juga sebagai perang pemberontakan yang terjadi didalam suatu Negara, juga dapat berbentuk perang saudara. Ketentuan mengenai sengketa bersebjata non internasional ini di atur hanya berdasarkan satu pasal yakni pasal 3 common article konvensi-konvensi jenewa dan protocol tambahan II tahun 1977.
Contoh : kasus gerakan aceh merdeka (GAM)
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter.
3. Indonesia menyatakan ikut serta dalam Konvensi Jenewa sejak tahun 1949 sejak terbitnya Undang-undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang ikut serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. Berdasarkan pertimbangan bahwa atas nama Negara Republik Indonesia Menteri Luar Negeri dengan suratnya tertanggal 5 Pebruari 1951 No. 10341 telah menyatakan kesediaan Negara Republik Indonesia untuk ikut-serta dalam seluruh Konpensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, yaitu: a. Konpensasi tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka dan sakit dalam Angkatan Perang di darat; b. Konpensi tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka, sakit dan korban-korban karam dari Angkatan Perang di laut; c. Konpensi tentang perlakuan tawanan perang; d. Konpensi tentang perlidungan rakyat sipil dalam masa perang dan memang sudah sewajarnya Republik Indonesia menjadi peserta dalam Konpensi-konpensi tersebut; Dengan peraturan perundang-undangan hasil ratifikasi dari konvensi international dibidang hukum humaniter maka Indonesia mendapatkan hak dan kewajibannya dibidang militer di ranah internasional. Namun dalam penerapannya, baru diatur melalui keputusan menteri pertahanan nomor : kep/02/m/ii/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak azasi manusia dalam penyelenggaraan pertahanan negara
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNAMA: YOZA ALFISYHAR
BalasHapusNIM: 13010002
KELAS : 5-E
1. Perbedaan mendasar terletak pada status hukum para pihak yang bersengketa. Karena dalam hukum internasional yang dianggap sebagai subyek hukum internasional adalah Negara, oleh karena itu apabila konflik/perang yang terjadi melibatkan subyek-subyek hukum internasional maka yang demikian disebut sebagai koknflik bersenjata internasional. Sebaliknya, apabila didalam suatu konflik/peperangan yang terjadi merupakan konflik internal yang melibatkan angkatan bersenjata suatu Negara dengan subyek hukum pada suatu Negara itu sendiri, (warga negaranya/masyarakat yang seharusnya tunduk pada peraturan Negara tersebut) maka yang demikian disebut sebagai konflik bersenjata non internasional.
Karakteristik konflik bersenjata internasional :
a. Melibatkan subyek-subyek hukum internasional
b. Objek peperangan biasanya adalah suatu Negara/perebutan wilayah perbatasan suatu Negara/bias juga perebutan kekayaan alam yang dimiliki oleh suatu Negara yang bersengketa.
Karakteristik konflik bersenjata non internasional :
a. Melibatkan Angkatan bersenjata dengan anggota/kelompok pemberontak yang terorganisir.
b. Merupakan konflik internal suatu Negara
c. Objek peperangan biasanya adanya keinginan untuk melepaskan diri dan membentuk system pemerintahan sendiri, atau bias juga bertujuan menggulingkan rezim pemerintahan yang berkuasa di Negara tersebut.
2. Mekanisme penegakkan hukum humaniter internasional dapat ditemukan pada ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam hukum internasional itu sendiri, sebagai contoh dalam ketetapan pada perjanjian Konvensi Jenewa tahun 1949 yang menegaskan bahwa Negara juga dapat dikenakan kewajiban untuk membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 Konvensi II, Pasal 131 Konvensi III, dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949. Atau dapat juga ditempuh melalui pembentukan sejumlah Mahkamah Kejahatan Perang, baik yang bersifat Ad-hoc maupun yang permanen.
3. Undang-undang hasil ratifikasi dari konvensi internasional dibidang humaniter yaitu adanya Undang-undang nomor 39 tahun 1999 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Dan implementasinya yaitu tertuang dalam UU No. 26 Tahun 2000 hukum acara atas pelanggaran HAM berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang terdiri dari:
1. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan.
2. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan.
3. Komnas HAM sebagai penyelidik berwenang melakukan penyelidikan.
4. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penyidikan.
5. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penuntutan.
6. Pemeriksaan dilakukan dan diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM.
Nama : Aditya Maulana
BalasHapusNIM : 15010347
Kelas : V f
1. Secara garis besar hanya ada 2 jenis konflik bersenjata, karna dalam lingkup international perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
namun pada konflik bersenjata international terbagi 2 macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict). Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir. Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
Oleh karena itu dalam ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara. Ada beberapa perbedaan mendasar mengenai hal ini.
Sedangkan ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir.
Nama : Aditya Maulana
BalasHapusNIM : 15010347
Kelas : V f
2. Suatu perangkat hukum akan dapat efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakan apabila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu ditegakkan. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
Nama : Aditya Maulana
BalasHapusNIM : 15010347
Kelas : V f
3. Implementasi Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum. Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan RI (Sekjen Dephan) Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai keynote speaker pada acara Lokakarya Implementasi HHI di lingkungan Departemen Pertahanan RI, Selasa (20/11) di Kantor Dephan, Jakarta.
Sekjen Dephan menambahkan, bahwa sistem pertahanan negara maupun implementasi pelaksanaan pertahanan negara yang dilaksanakan oleh TNI seperti kebijakan, keputusan dan landasan operasional, selalu berdasarkan kepada hukum. Hal ini adalah bagian dari reformasi internal di lingkungan TNI dalam kaitan meningkatkan sistem pertahanan negara di Indonesia.
Lebih lanjut Sekjen Dephan mengatakan lokakarya ini merupakan suatu awal permulaan dalam suatu upaya kita bersama-sama dengan International Committee of the Red Cross (ICRC) didalam memberikan pemahaman tentang HHI yang lebih mendalam baik kepada aparat hukum di lingkungan Dephan maupun kepada seluruh personel TNI. Langkah ini sudah dimulai secara signifikan, pada saat operasi militer di Aceh pada tahun 2002. Persiapan-persiapan operasi yang dimulai dari manajemen operasi sampai dengan petunjuk teknis operasi, selalu berdasarkan ketaatan dan kepatuhan hukum dan hak asasi manusia. Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa pemahaman mengenai HHI wajib dimiliki seluruh personel TNI dan hal ini diatur didalam UUD sampai dengan UU TNI No 34 tahun 2004 dan Ketetapan MPR No 7 tentang bagaimana TNI melaksanakan tugas atas dasar keputusan kebijakan pemerintah tetapi berlandaskan hukum dan taat kepada asas. Sementara itu Kepala Biro Hukum (Karo Kum) Setjen Dephan M. Fachruddien, SH, MH dalam sambutannya saat membuka lokakarya mengatakan bahwa tujuan lokakarya ini untuk meninjau sinkronisasi peraturan perundang-undangan nasional dengan perjanjian-perjanjian di bidang HHI. Hal itu, katanya, yaitu yang menyangkut beberapa hal yang telah diratifikasi maupun yang akan diratifikasi dan mengidentifikasi program legislasi serta ratifikasi HHI yang sesuai dengan tujuan pembangunan nasional di bidang pertahanan. Lokakarya itu, menurut Biro Humas Setjen Dephan terselenggara atas kerjasama Dephan RI dan ICRC yang dilaksanakan tanggal 20-21 November 2007. Jumlah peserta yang mengikuti lokakarya sebanyak 50 orang, merupakan perwakilan dari Satker di lingkungan Dephan, Mabes TNI dan Angkatan yang terdiri dari pejabat eselon III dan IV.
Nama : Aprilendy Adi Kristanto
BalasHapusNim : 13010229
Kelas : VF
1 Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara.
Contohnya
Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan (“war of national liberation“). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut.
Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional adalah konflik bersenjata yang terjadi antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan.
Contohnya
Perang pemberontakan, dapat mengacu pada beberapa gerakan pemberontakan yang pernah lahir di negeri ini, termasuk pada intensitas tertentu, gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja
Nama : Metta Nila Komalasari
BalasHapusNIM : 13010089
Kelas : VF ( Hukum Sore )
1. -Konflik bersenjata internasional
Istilah sengketa bersenjata internasional, sengketa bersenjata antar Negara, atau konflik antar negara merupakan suatu sengketa bersenjata yang terjadi antar dua atau lebih Negara yang lebih populer disebut dengan “perang” (war).contoh perang suriah yang melibatkan banyak negara besar seperti Rusia dan AS.
-Konflik bersenjata non-internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara A antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara A. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977. Seperti yang ada di Filipina. Negara kepulauan yang berada di kawasan Asia Tenggara ini, sedang mengalami konflik bersenjata dengan salah satu wilayah yang berada di kawasannya. Lebih tepat nya lagi di kawasan Mindanao-Sulu, Filipina Selatan. Konflik ini dipicu oleh adanya perbedaan dari segi budaya dan agama, serta faktor sejarah bangsa Moro dengan pemerintah pusat Filipina. Perbedaan ini menimbulkan keinginan bangsa Moro yang berada di wilayah Mindanao-Sulu untuk melepaskan diri dari Filipina dan membentuk sebuah republik yang baru. Untuk mewakili bangsa Moro dalam memperjuangkan keinginan mereka, dibentuklah Moro National Liberation Front (MNLF) yang pada saat itu dipelopori oleh Nur Misuari. Konflik tersebut telah ada sejak tahun 1968. Namun MNLF baru dibentuk sejak tahun 1971.
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuan
hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah
kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apablia mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
3. implementasi hukum humaniter di indonesia yaitu pemerintah indonesia telah melakukan program antara lain adanya komnas ham sebagai sarana untuk memproses apabila ada pelanggaran dalam peperangan dan dibentuknya organisasi perhimpunan nasional yang bergerak di bidang sosial kemanusiaan yaitu Palang Merah Indonesia. Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi konvensi jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam penyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, hal ini dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
Nama : Aprilendy Adi Kristanto
BalasHapusNim : 13010229
Kelas : VF
2 Mekanisme penegakan hukum humaniter beserta dasar hukumnya
Suatu perangkat hukum akan dapat efektif apabila dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan apabila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu ditegakkan. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah, kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahkamah, kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya.
NAMA :DIO AKBAR RACHMADAN PURBA
BalasHapusNIM :13010172
KELAS :VF
1.-Konflik bersenjata non international:
‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” . Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama “perang pemberontakan“. Bandingkan dengan “pihak bukan negara” yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol, di mana “pihak bukan negara” yang dimaksud adalah suatu “bangsa” yang belum merdeka dan berjuang melawan penjajahan.
-Konflik Bersentaja Internasional:
murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir . Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional. Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977. maka konflik bersenjata internasional atau perang antar negara terdiri dari satu jenis, yakni : Perang yang dilakukan dengan cara-cara yang sah, dalam hal ini perang yang didahului dengan pernyataan perang maupun peperangan yang tidak dilakukan
2.Menurut pehaman saya mekanisme penegakan hukum humaniter internasional dalam sejarahnya dapat ditempuh melalui pembentukan pengadilan pidana nasional maupun mahkamah pidana internasional yang bersifat ad hoc. Karena perkembangan tindak pidana internasional yang telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat internasional, diperlukan adanya suatu mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen. Maka dari itu pada bulan juli di Roma tahun 1998, lahir sebuah statuta yang membentuk mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen, atau dikenal juga dengan Statuta Roma 1998. International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap bagi pengadilan pidana nasional dalam menuntut dan mengadili kejahatan internasional paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Oleh karena itu ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas yaitu Penegakan Hukum Humaniter Internasional Melalui Mekanisme International Criminal Court (ICC) Menurut Statuta Roma 1998 dan Kendala-Kendala Yang Dihadapi dalam penegakan Hukum Humaniter Internasional melalalui mekanisme International Criminal Court menurut Statuta Roma 1998. Dalam pelaksanaan mekanisme penegakan hukum humaniter internasional melalui mekanisme International Criminal Court (ICC), sebelum dapat melaksanakan kewenangannya untuk mengadili kejahatan serius yang merupakan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional, haruslah ditemukan adanya unsur ketidakinginan (unwillingness) dan ketidakmampuan (unable) dari pengadilan pidana nasional dalam mengadili kejahatan tersebut di negara yang bersangkutan. Selain itu diperlukan adanya kerjasama internasional antara ICC dengan negara-negara untuk menangani dan mengadili kasus pelanggaran serius yang terjadi di suatu negara. Kendala yang dihadapi dalam penegakan Hukum humaniter Internasional melalui mekanisme International Criminal Court menurut Statuta Roma 1998 adalah intervensi dari Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Cina dalam memanfaatkan ICC sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan menunjukkan hegemoni dalam menyelesaikan konflik di suatu Negara yang terlibat, sehingga penyelesaian masalah demi tercapainya penegakan hukum humaniter internasional seringkali menemui jalan buntu. Dalam penulisan ini disarankan bahwa dalam upaya penegakan hukum humaniter internasional melalui mekanisme ICC haruslah mendapat dukungan dari semua pihak negara-negara di dunia dengan mengenyampingkan kepentingan masing-masing Negara demi terciptanya perdamaian dan keadilan dalam masyarakat internasional.
BalasHapus3.Implementasi Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan RI (Sekjen Dephan) Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai keynote speaker pada acara Lokakarya Implementasi HHI di lingkungan Departemen Pertahanan RI, Selasa (20/11) di Kantor Dephan, Jakarta.
Sekjen Dephan menambahkan, bahwa sistem pertahanan negara maupun implementasi pelaksanaan pertahanan negara yang dilaksanakan oleh TNI seperti kebijakan, keputusan dan landasan operasional, selalu berdasarkan kepada hukum.
NAMA : AKBAR DWI PAMUNGKAS
BalasHapusNIM : 13010124
KELAS : V-F
1. “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional”(international armed conflict).
Sedangkan “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict).
Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga menurut konvensi-konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 serta diperkuat oleh Haryomataram.Dia membagi dan menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :
a) Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict). Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatunon-international armed conflictkemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir. Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armedconflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
b) Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNAMA : AKBAR DWI PAMUNGKAS
BalasHapusNIM : 13010124
KELAS : V-F
lanjutan....
2. Penegakan hukum Humaniter Internasional tak lepas dari Hak Asasi Manusia mengenai perlindungan terhadap rakyat sipil korban perang yang mengacu pada konvensi-konvensi Internasional untuk menjamin penduduk-penduduk sipil. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang hak penduduk sipil, keterkaitan konvensi-konvensi Internasional dengan Hak Asasi Manusia. Kepastian hukum tentang pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap perlindungan penduduk sipil dan masalah-masalah kemanusiaan yang sering muncul di dunia Internasional mengakibatkan adanya hubungan-hubungan Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia. Hal tersebut menggambarkan secara tepat tentang ketentuan Hak Asasi Manusia dalam konflik-konflik kemanusiaan yang sering terjadi, pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap penduduk sipil berdasarkan hukum humaniter. Dasar hukum prihal pengaturan Hak Asasi Manusia sesuai dengan konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan korban perang dan azas prikemanusiaan ini menyebabkan mengapa konvensi-konvensi ini disebut juga konvensi-konvensi humaniter. Eksistensi konvensi Jenewa 1949, serta perlindungan yang ada terhadap penduduk sipil dalam perang mencuatnya kepermukaan hak-Hak Asasi Manusia selama beberapa dekade belakangan ini merupakan salah satu isu global yang dihadapi banyak negara merupakan bahasan Internasional. Dalam dunia Internasional yang menyangkut perlindungan penduduk sipil dan kaitannya dengan Hak Asasi Manusia, pada mulanya dicantumkan dalam Pasal 1 konvensi mengenai penyelesaian sengketa-sengketa secara damai yang ditandai di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907. Perlindungan Hak Asasi Manusia telah diatur dalam berbagai Instrumen Hukum Internasional pada prinsip-prinsip kemanusiaan, kedua system hukum tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia secara maksimal untuk melindungi individu-individu dari kesewenang-wenangan negara. Disarankan agar pelaksanaan Hak Asasi Manusia dapat efektif, perlu adanya peninjauan kembali terhadap komponen subtansi kultur dengan mengadakan sinkromisasi dan interprestasi substansi kultur dengan mengadakan sinkronisasi dan interprestasi terhadap dokumen universal dan nasional sehingga ditemukan harmonisasi dari keduanya.
NAMA : AKBAR DWI PAMUNGKAS
BalasHapusNIM : 13010124
KELAS : V-F
lanjutan.......
3. Implementasi pelaksanaan dari hukum humaniter yang dilaksanakan di Indonesia dapat dilihat dengan terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terbentuknya Komnas HAM adalah bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB.
Berikut merupakan ratifikasi perundang-undangan dari konvensi internasional dibidang hukum humaniter:
*)Undang-undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang ikut serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949.
*)Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
*)Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
*)Undang-undang Nomor 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi
*)Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
*)Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 1983 tentang Pokok-pokok dan Susunan Organisasi Departemen Pertahanan Keamanan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1983 tentang Pokok-pokok dan Susunan Organisasi Departemen Pertahanan Keamanan
*)Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1983 tentang Pokok-pokok dan Susunan Organisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
*)Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia.
*)Keputusan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor Kep/19/M/XII/2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertahanan.
Yang Menetapkan beberapa penerapan antara lain
A.Penerapan Hukum Humaniter mengenai Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, Kebiasaan Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia berlaku dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara.
B.Hukum mengenai Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 meliputi :
*)Konvensi I tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka dan sakit dalam Angkatan Perang di darat.
*)Konvensi II tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka sakit dan korban-korban karam dari Angkatan Perang di laut.
*)Konvensi III tentang perlakuan tawanan.
*)Konvensi IV tentang perlindungan rakyat sipil dalam masa perang perang
C.Hukum Kebiasaan Internasional yaitu konvensi-konvensi internasional tentang Hukum Humaniter yang telah diterima dan diterapkan oleh masyarakat internasional
D.Hukum Hak Asasi Manusia diatur dalam berbagai perundang-undangan nasional termasuk konvensi atau covenan tentang Hak Asasi Manusia dan yang bersifat universal maupun internasional yang telah diratifikasi.
E.Keputusan ini dimaksudkan sebagai penegasan, agar dalam penyelenggaraan Pertahanan Negara
http://jonaediefendi.blogspot.co.id
BalasHapusNAMA : SUPRIYANTO
BalasHapusNIM : 13010122
KELAS : F (v)
1. Perbedaan utama antara non international armed conflict dan international armed conflict dapat
dilihat dari satus hukum para pihak yang bersengketa.Dalam international armed conflict kedua
pihak memiliki status hukum yang sama, karena keduanya adalah Negara (sebagaimana dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949) atau paling tidak salah satu pihak
dalamkonflik tersebut adalah suatu entitas yang dianggap setara dengan Negara sesuai dengan
persyaratan yang tercantum dalam pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan 1
1977.mengapa status hokum tersebut sangat penting, Karena dalam lingkup hukum international
yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional,
sehingga ia merupakan “pelaku” dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum
internasional (termasuk dalam hal ini hokum humaniter) sedangkan “pelaku lain” yang tidak
termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung
sebagai pelaku dalam hukum internasional,akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum
nasional dimana ia berada.inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum
internasional(humaniter).Oleh karena itu dalam non international armed conflict, status kedua pihak
tidak sama, yakni yang satu berstatus sebagai Negara(subyek hukum internasional), sedangkan
pihak lainnya adalah bukan Negara(non – state entity).Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat
disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud dalam ketentuan pasal 1 ayat (4)juncto pasal 96 ayat
(3) diatas.walaupun keduanya sama-sama bukan Negara ada beberapa perbedaan mendasar
mengenai hal ini:
1. Non international armed conflict dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan dimana terjadi
pertempuran antara angkatan bersenjata resmi suatu negara melawan kelompok-kelompok
bersenjata yang terorganisir(organized armed group) yang berada diwilayah Negara yang
resm bersangkutan, jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata adalah
aangkatan bersenjata resmi (organ Negara,pemerintah) melawan rakyatnya sendiri ayang
tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir.Kelompok bersenjata
demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” (insurgent).Oleh karena itu peperangan
dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama “perang pemberontakan” bandingkan
dengan “pihak bukan Negara” yang dimaksud dalam pasal 1 (4) Protokol, dimana “pihak bukan
Negara” yang dimaksud adalah suatu bangsa(peoples) yang belum merdeka melawan
Penjajahan.
2. Dalam non international armed conflict pihak bukan Negara atau dalam hal ini adalah kelompok
BalasHapusbersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk
melepaskan diri dari Negara induk dan berdiri sendiri sebagai Negara yang merdeka.Mereka
justru merupakan suatu bangsa yang masih terjajah dan ingin meraih kemerdekaan untuk
menentukan nasibnya sendiri, lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.
3. Oleh karena hal-hal tersebut maka non-international armed conflict merupakan konflik yang
hanya terjadi didalam wilayah suatu Negara saja, sementara konflik internasional dapat terjadi
tidak saja diwilayah suatu Negara tapi juga dapat terjadi diwilayah internasional
contoh ke dua jenis konflik bersenjata tersebut pada negeri kita sendiri, Indonesia. [1] Pada saat
kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu
kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita
ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh
para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari
penjajahan (“war of national liberation“). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim
hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut. Adapun contoh dari perang
pemberontakan, dapat mengacu pada beberapa gerakan pemberontakan yang pernah lahir di
negeri ini, termasuk pada intensitas tertentu, gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh
(Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap
sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim
hukum nasional saja. Inilah yang disebut dengan istilah ‘non-international armed conflict’ atau
konflik internal, atau juga disebut sebagai “perang pemberontakan
2. Suatu perangkat hukum akan dapat efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat
ditegakan apabila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hokum
itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu
ditegakkan. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-
ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah
mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah
kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun
demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan
kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional
umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa
kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang
melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam
Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter
dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila
mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka
mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
1) Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977
BalasHapusBerdasarkan ketentuan Pasal-Pasal dalam Konvensi Jenewa maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelakuk akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan.
Dilingkungan TNI, apabila ada seorang prajuit yang melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter maka Komandan atau atasan yang berwenang untuk menghukum berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan. Apabila Komandan atau atasan langsung dari prajurit yang bersalah tidak mengambil tindakan, maka Komandan yang diatasnya berkewajiban untuk mengambil tindakan yang dimaksud. Begitu seterusnya sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, disamping menggunakan sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer dan/atau sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum humaniter.
2) Mekanisme Internasional
Disamping mekasinme nasional penegakan hukum humaniter juga dapat dilaksanakan melalui mekanisme internasional. Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal sampai saat ini, yaitu mahkamah bersifat ad-hoc dan mahkamah bersifat tetap.
a) Mahkamah Internasional Ad Hoc tentang Kejahatan Perang
Dalam sejarah dikenal ada dua Mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia II, yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi Jerman, sedangkan Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Jepang. Kedua mahkamah ini bersiafat ad-hoc atau sementara yang berarti bahwa mahkamah ini dibentuk untuk jangka waktu dan kasus tertentu saja
b) Mahkamah Nuremberg
Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg atau biasa disebut Piagam London. Sejak terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada 24 tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Nuremberg yaitu ; kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
c) Mahkamah Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Berbeda dengan mahkamah Nuremberg yang dibentuk melalui Treaty yang disusun ileh beberapa negara, mahkamah Tokyo dibentuk berdasarkan pernyataan atau proklamasi dari Jenderal Douglas MacArthur sebagai Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh.Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk Mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahmakah Nuremberg.
d) International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)
Pembentukan dua tribunal ini juga bersifat ad hoc, artinya tribunal ini berlaku untuk mengadili kejahatan tertentu pada jangka waktu tertentu dan untuk daerah tertentu saja. Perbedaan kedua kategori mahkamah ad hoc tersebut yang dibentuk setelah Perang Dunia II disatu sisi dengan ICTY dan ICTR di sisi lain yaitu Mahkamah Tokyo dan Mahkamah Nuremberg dibentuk oleh pihak yang menang perang, sedangkan mahkamah Yugoslavia dan Rwanda dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB.
BalasHapusPasal 1 samapai Pasal 5 dari Statuta Mahkamah untuk bekas Yugoslavia mengatur mengenai kompetensi atau yurisdiksi mahkamah, yaitu :
1. Pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional
2. Pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949
3. Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang
4. Genosida
5. Kejahatan terhadap kemanusiaan
Sedangkan Mahkamah Ad Hoc Rwanda dibentuk untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahahatn genosida dan pelaggaran serupa lainnya yang terjadi di wilayah negara tetangga dan di Rwanda yang dilakukan antara tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan 31 Desember 1994. Mahkamah keduanya menetapkan tanggung jawab individu terhadap mereka yang melakukan kejahatan dan pelanggaran sebagaimana disebut dalam masing-masing Statuta. Adapun untuk hukum acaranya Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia menggunakan sistem Common Law, sedangkan Mahkamah Rwanda mengggunakan campuran anatara system Civil Law dan Common Law.
3) Statuta Roma : Mahkamah Pidana Internasional
Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mengisi kekosongan lembaga pidana kejahatan hak asasi manusia dan memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum).Statu Roma merupakan sebuah perjanjian multilateral untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court), yang dihasilkan dalam sebuah Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa di Roma (Italia) pada 17 Juli 1998. Disetujuinya Statuta Roma merupakan suatu langkah penting bagi penegakan hak asasi manusia di dunia. Dari 148 negara peserta konferensi, 120 mendukung, 7 menentang dan 21 abstain.
Nama : helen natalia samosir
BalasHapusNIM : 13010019
Kelas : V-E
1. -Konflik bersenjata internasional
Istilah sengketa bersenjata internasional, sengketa bersenjata antar Negara, atau konflik antar negara merupakan suatu sengketa bersenjata yang terjadi antar dua atau lebih Negara yang lebih populer disebut dengan “perang” (war).contoh perang suriah yang melibatkan banyak negara besar seperti Rusia dan AS.
-Konflik bersenjata non-internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara A antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara A. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977. Seperti yang ada di Filipina. Negara kepulauan yang berada di kawasan Asia Tenggara ini, sedang mengalami konflik bersenjata dengan salah satu wilayah yang berada di kawasannya. Lebih tepat nya lagi di kawasan Mindanao-Sulu, Filipina Selatan. Konflik ini dipicu oleh adanya perbedaan dari segi budaya dan agama, serta faktor sejarah bangsa Moro dengan pemerintah pusat Filipina. Perbedaan ini menimbulkan keinginan bangsa Moro yang berada di wilayah Mindanao-Sulu untuk melepaskan diri dari Filipina dan membentuk sebuah republik yang baru. Untuk mewakili bangsa Moro dalam memperjuangkan keinginan mereka, dibentuklah Moro National Liberation Front (MNLF) yang pada saat itu dipelopori oleh Nur Misuari. Konflik tersebut telah ada sejak tahun 1968. Namun MNLF baru dibentuk sejak tahun 1971.
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuan
hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah
kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apablia mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
3. implementasi hukum humaniter di indonesia yaitu pemerintah indonesia telah melakukan program antara lain adanya komnas ham sebagai sarana untuk memproses apabila ada pelanggaran dalam peperangan dan dibentuknya organisasi perhimpunan nasional yang bergerak di bidang sosial kemanusiaan yaitu Palang Merah Indonesia. Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi konvensi jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam penyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, hal ini dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
LANJUTAN
BalasHapusTindak pelanggaran serius hak asasi manusia yang diadopsi di dalam statuta ini adalah genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (aggression).
Sebelum munculnya Statuta Roma, PBB telah memiliki International Court of Justice (ICJ) yang bermarkas di Den Haag, Belanda. Tetapi ICJ hanya mengadili sengketa antara negara-negara, bukan mengadili tindak pidana. ICJ tidak memadai untuk mengadili kejahatan internasional, seperti kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, suatu pengadilan pidana yang permanen merupakan langkah untuk mengisi kekosongan lembaga pidana di tingkat internasional pelanggaran berat hak asasi manusia. Ini jelas merupakan langkah maju untuk memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum) yang terjadi di banyak negara yang penegakan hukumnya masih sangat rendah. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mengisi kekosongan lembaga pidana kejahatan hak asasi manusia dan memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum).
3. Implementasi terkait dengan pelaksanaan dari hukum humaniter yang dilaksanakan di Indonesia adalah dengan terbentuknya sebuah komisi nasional, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terbentuknya Komnas HAM adalah bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB.Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi jenewa 1949, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di mata dunia yang masih sangat rendahkala itu dapat diamankan dengan ratifikasi yang dilakukan Indonesia dalam hal ini agar Negara-negara kolonial dapat lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negerinya yang dapat memicu konflik dengan Indonesia.Dalam meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalammelaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
NAMA : SUPRIYANTO
NIM : 13010122
KELAS : F (v)
Nama : Aprilendy Adi Kristanto
BalasHapusNim : 13010229
Kelas : VF
3 Implementasi hukum humaniter di Indonesia
Indonesia juga telah lama memulai focus dan perhatian terahadap hukum humaniter karena di dalam wilayah NKRI juga muncul pemberontakan dari kelompokelompok tertentu, misalnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan kelompok pemberontakan yang ada di provinsi Papua. Pemerintah telah melakukan berbagi program agar hukum humaniter ini dapat di terapkan di Indonesia misalnya : ada Komanas HAM sebagai sarana untuk memproseskan apabila ada pelanggaran dalam peperangan, ada juga aturan yang materil yang tertuang dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tidak hanya itu. Pemerintah juga membuat aturan formilnya agar aturan yang materil dapat di implementasikan hal ini dengan adanya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pemerintah juga membentuk tim pemantau terhadap proses perdaiman di Aceh pasca perdamaian antara pemerinatah republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, (GAM).
Dan peraturan perundang-undangan hasil ratifikasi dari konvensi international dibidang hukum humaniter.
Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 sudah ditandatangani oleh 188 Negara (31 Maret 1997). Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi-Konvensi Jenewa pada tahun 1958. Dengan menandatangani Konvensi-konvensi Jenewa, setiap “NEGARA” diwajibkan pada waktu pertikaian bersenjata untuk:
a. Merawat orang yang cedera dan sakit, tanpa mempedulikan kebangsaannya.
b. Menghormati manusia dalam integritas fisik, martabat, hak keluarga, keyakinan moral dan agamanya.
c. Melarang penyiksaan, perlakuan kejam, hukuman mati tanpa didahului proses pengadilan yang sah, pembasmian, deportasi, penyanderaan, perampokan dan perusakan harta benda sipil.
d. Mengizinkan delegasi ICRC (Palang Merah Internasional) untuk mengunjungi para tawanan perang dan interniran sipil (orang yang ditempatkan di suatu lokasi dan kebebasannya dibatasi) dan untuk berbicara dengan mereka tanpa saksi.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : DRAJAD MOCHMAD SUARDI
BalasHapusNirm : 13010215/V
Kelas : Sore/E (Fakultas Hukum)
1.Perbedaan utama antara non-international armed conflict dan international armed conflict dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam international armed conflict, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
Bagaimana membedakan ke dua jenis konflik tersebut ? Perbedaan utama antara non-international armed conflict dan international armed conflict dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam international armed conflict, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah
Mengapa status hukum tersebut demikian penting ? Karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai “pelaku”. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, sehingga ia merupakan “pelaku” dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan “pelaku lain” yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada. Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter).
Oleh karena itu dalam non-international armed conflict, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara. Ada beberapa perbedaan mendasar mengenai hal ini :
Pertama, non-international armed conflict dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” (“insurgent“). Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama “perang pemberontakan“. Bandingkan dengan “pihak bukan negara” yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol, di mana “pihak bukan negara” yang dimaksud adalah suatu “bangsa” (peoples) yang belum merdeka dan berjuang melawan penjajahan.
Kedua, dalam non-international armed conflict, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan “pihak bukan negara” atau “peoples” yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu bangsa yang masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.
BalasHapusKetiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka non-international armed conflict merupakan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.
Kalau masih bingung, kita dapat melihat contoh ke dua jenis konflik bersenjata tersebut pada negeri kita sendiri, Indonesia. Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan (“war of national liberation“). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut. Adapun contoh dari perang pemberontakan, dapat mengacu pada beberapa gerakan pemberontakan yang pernah lahir di negeri ini, termasuk pada intensitas tertentu, gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja. Inilah yang disebut dengan istilah non-international armed conflict atau konflik internal, atau juga disebut sebagai “perang pemberontakan”.
Apakah konflik bersenjata non-internasional atau konflik internal itu hanyalah perang pemberontakan saja ? Ternyata terdapat konflik lain yang dapat juga termasuk konflik internal, yakni konflik bersenjata di mana terdapat kelompok atau faksi-faksi bersenjata yang saling bertempur satu sama lain tanpa melibatkan intervensi dari angkatan bersenjata resmi dari Negara yang bersangkutan sebagaimana yang terjadi di Somalia. Konflik demikian termasuk ke dalam kategori jenis konflik internal
2. Mekanisme penegakan Hukum Humaniter
Belakang Di dalam dunia dewasa ini perang menjadi salah satu cara penyelesaian dalam menyelesaikan sengketa, namun dalam perang tersebut bukan hanya kedua pihak yang bersengketa saja yang menjadi korban tetapi non-combatan yang dilindungi pun dapat menjadi korban. Karena hukum humaniter tidak melarang perang dan juga tidak membenarkan adanya perang, hukum humaniter ini hanya memanusiawikan perang agar korban akibat perang ini seminimal mungkin. Namun dalam peperangan sering terjadi pelanggaran dan kejahatan humaniter, sehingga perlu diaturnya suatu mekanisme penegakan hukum agar kejahatan – kejahatan ini semaksimal mungkin tidak terjadi. Suatu perangkat hukum akan dapat dikatakan efektif apabila ia dapat di implementasikan dan sanksinya dapat
ditegakkan apabila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka didalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu dapat ditegakkan. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apablia mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
BalasHapus3. Ketika saat hukum internasional telah maju tulisan-tulisan mengenai hukum perang juga telah banyak di tulis oleh ahli hukum. Sebagai salah satu contoh adalah adanya “azas dasar dari pada hukum perang” atau “azas perikemanusiaan” yang di nyatakan dalam “ contract social”. Azas ini dirumuskan oleh J.J. Rousean. Kemudian contoh lainnya dapat juga di lihat dengan adanya peraturan-peraturan mengenai hukum perang di India yang di kenal dengan “Ceritera Mahabharata dan Manu”.
Mochtar Kusumaatmadja, juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apa bila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri di mulai dengan tulisan-tulisan mengenai hukum perang.
Menurut sejarah hukum humaniter internasional juga dapat di temukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan hukum humaniter baru di mulai pada abad ke-19. Sejak itulah Negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis yang berdasarkan pengalaman-pengalaman atas peperangan modern. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional. Sejumlah Negara di dunia juga telah memberikan berbagai sumbangan dan juga telah menyetujuinya antara lain, Indonesia, Malaysia dan Singapore.
Indonesia juga telah lama memulai focus dan perhatian terahadap hukum humaniter karena di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga muncul pemberontakan dari kelompok kelompok tertentu, misalnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan kelompok pemberontakan yang ada di provinsi Papua. Pemerintah telah melakukan berbagi program agar hukum humaniter ini dapat di terapkan di Indonesia misalnya : ada Komanas HAM sebagai sarana untuk memproseskan apabila ada pelanggaran dalam peperangan, ada juga aturan yang materil yang tertuang dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tidak hanya itu. Pemerintah juga membuat aturan formilnya agar aturan yang materil dapat di implementasikan hal ini dengan adanya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pemerintah juga membentuk tim pemantau terhadap proses
perdaiman di Aceh pasca perdamaian antara pemerinatah republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka.
BalasHapusNamun terlepas dari itu, Indonesia tergolong Negara yang banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusai atau hukum humaniter pada saat mempertahankan Negara kesatuan dari para pemerontak khususnya di provinsi Aceh. Menurut, Tim Ad Hoc Pemantau Perdamaian di Aceh (PPA) yang dibentuk oleh Komnas HAM mengatakan bahwa : Tim menemukan indikasi adanya pelanggaran HAM, yaitu pembunuhan di luar kewajaran dan pelecehan seksual. Kasus pembunuhan di luar kewajaran adalah kasus penembakan terhadap sekelompok pekerja tambak dan di antara korbannya ada anak-anak. Sedangkan kasus pelecehan seksual, pelakunya di indikasikan sebagai anggota Brimob yang terjadi pada 23-25 Mei 2003. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak diberlakukannya darurat militer di Aceh, telah menimbulkan korban jiwa, tidak terkecuali TNI dan masyarakat sipil. Namun demikian adalah fakta bahwa TNI sudah berusaha semaksimal mungkin menghindari jatuhnya korban jiwa masyarakat sipil antara lain dengan cara melokalisir dan memisahkannya dengan GAM, tetapi jatuhnya korban tetap tidak bisa dihindari. Disamping itu, tidak sedikit pula jatuhnya korban masyarakat sipil, fakta sebenarnya hal tersebut dilakukan oleh GAM adan aparat keamanan TNI/Polri.
Pelanggaran juga terjadi di desa Beutong Ateuh Kecamatan Beutong kabupaten Aceh Barat yang sekarang sudah masuk dalam wilayah hukum kabupaten Nagan Raya setelah terjdi pemekaran dengan kabupaten Aceh Barat. Tragedi terjadi pada hari minggu tanggal 22 juli tahun 1999 yang di kenal dengan tragedi “Teungku Bantakiyah”. Jumlah korban yang di temukan di kuburan sebanyak 30 orang, di Krueng Beutong 8 orang, dan di 7 kilometer jalan arah Takengon sebanyak 20 orang. Total korban yang tewas sebanyak 59 orang.
Dari beberapa kasus di atas bahwa terjadinya pelanggaran tersebut disebabkan kurangnya implementasi hukum humaniter atau kode etik dalam berperang dan menghadapi musuh dalam berperang atau pada saat akan berperang dan setelah perang terjadi.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : KHUNTA YUDHASWARA
BalasHapusNirm : 13010210
Kelas : V/5 E SORE
1.Perbedaan mendasar konflik bersenjata internasional dengan konflik bersenjata non-internasional:
- konflik bersenjata internasional
Merupakan konflik eksternal dimana telah terjadi sengketa antara negara dengan negara,negara dengan bukan entitas negara. Contoh: perang Suriah yang melibatkan banyak negara besar seperti Rusia dan AS.
-konflik bersenjata non-internasional
Merupakan konflik internal atau biasa disebut dengan perang pemberontakan yang dicirikan dengan adanya pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan sekelompok pasukan pemberontak yang melakukan perlawanan,bertujuan menggantikan Rezim berkuasa,melawan pemerintah yang berkuasa,ingin memisahkan diri dengan negara yang berdaulat. Konflik tsb terjadi di wilayah suatu negara. Contoh: konflik suriah antara rakyat suriah melakukan perlawanan terhadap rezim Bhasar Asaad.
2. Menurut saya mekanisme penegakan hukum humaniter internasional dalam sejarahnya dapat ditempuh melalui pembentukan pengadilan pidana nasional maupun mahkamah pidana internasional yang bersifat ad hoc. Karena perkembangan tindak pidana internasional yang telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat internasional, diperlukan adanya suatu mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen. Maka dari itu pada bulan juli di Roma tahun 1998, lahir sebuah statuta yang membentuk mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen, atau dikenal juga dengan Statuta Roma 1998. International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap bagi pengadilan pidana nasional dalam menuntut dan mengadili kejahatan internasional paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Oleh karena itu ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas yaitu Penegakan Hukum Humaniter Internasional Melalui Mekanisme International Criminal Court (ICC) Menurut Statuta Roma 1998 dan Kendala-Kendala Yang Dihadapi dalam penegakan Hukum Humaniter Internasional melalalui mekanisme International Criminal Court menurut Statuta Roma 1998. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat diketahui Dalam pelaksanaan mekanisme penegakan hukum humaniter internasional melalui mekanisme International Criminal Court (ICC), sebelum dapat melaksanakan kewenangannya untuk mengadili kejahatan serius yang merupakan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional, haruslah ditemukan adanya unsur ketidakinginan (unwillingness) dan ketidakmampuan (unable) dari pengadilan pidana nasional dalam mengadili kejahatan tersebut di negara yang bersangkutan. Selain itu diperlukan adanya kerjasama internasional antara ICC dengan negara-negara untuk menangani dan mengadili kasus pelanggaran serius yang terjadi di suatu negara. Kendala yang dihadapi dalam penegakan Hukum humaniter Internasional melalui mekanisme International Criminal Court menurut Statuta Roma 1998 adalah intervensi dari Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Cina dalam memanfaatkan ICC sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan menunjukkan hegemoni dalam menyelesaikan konflik di suatu Negara yang terlibat, sehingga penyelesaian masalah demi tercapainya penegakan hukum humaniter internasional seringkali menemui jalan buntu. Dalam penulisan ini disarankan bahwa dalam upaya penegakan hukum humaniter internasional melalui mekanisme ICC haruslah mendapat dukungan dari semua pihak negara-negara di dunia dengan mengenyampingkan kepentingan masing-masing Negara demi terciptanya perdamaian dan keadilan dalam masyarakat internasional.
3. Implementasi hukum humaniter diindonesia pada dasarnya merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum. bahwa sistem pertahanan negara maupun implementasi pelaksanaan pertahanan negara yang dilaksanakan oleh TNI seperti kebijakan, keputusan dan landasan operasional, selalu berdasarkan kepada hukum. Hal ini adalah bagian dari reformasi internal di lingkungan TNI dalam kaitan meningkatkan sistem pertahanan negara di Indonesia.
BalasHapusPenerapan Hukum Humaniter sendiri harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip:
a. kemanusiaan (Humanity);
b. kepentingan Militer (Military Necessity);
c. penderitaan yang tidak perlu (Unnecessary Suffering);
d. keseimbangan (Proporsionality); dan
e. pembedaan (Distinction).
Indonesia menyatakan dukunganya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusnama : jefta leonardo lavandiano
BalasHapuskelas:F
NIM : 13010025
jawabanya:
1. Pada konflik internasional terjadi antara negara dengan negara yang disebabkan antara salah satu pihak yang menhendaki ataupun dari antara negara tersebut (negara yang mendapat intervensi dari negara lain) karena mmpunyai status hukum yang sama dengan dasr hukum konvensi jenewa 1949 Sengketa internasional yang melibatkan subjek Hukum internasional Sengketa ini diawali karena bukan merupakan sengketa internasional, tetapi sifat dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional
Contoh : Irak dan Kuwait
Konflik bersenjata non internasional adalah sebuah konflik antar pemerintah kelompok bersenjata yang menentang rezim pemerintah atau tidak mau mengakui pemerintahannya dan melakukan pembrontakkan dengan tujuan melepaskan diri dari negara asal Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara,sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut.
Contoh : Filipina dan kelompok Sukartimuno, Indonesia dan GAM
2. Menurut pendapat saya Mekanisme hukum humaniter internasional diawali dengan pembentukan pengadilan terhadap kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan oleh berbagai negara dimana diatur dalam konvensi jenewa 1949. Apabila terjadi konflik pada suatu negara maka diadili pada negara tersebut, dan jika konflik tersebut tidak bisa diselesaikan secara peradilan nasional maka konflik tersebut akan dibawa kepada Mahkamah Internasional dan didalam perkembangannya kejahatan internasional memiliki 4 pengadilan Ad-Hoc antara lain :
a) Mahkamah Militer Internasional bertempat di Nuremberg
b) Mahkamah Militer Internasional untuk Timur terletak di Tokyo
c) Mahkamah Militer Internasional bekas jajahan Yugoslavia bertempat di Hague
d) Mahkamah Militer Internasional untuk Rwanda terletak di Arusha.
3. Indonesia, sebagai sebuah entitas yang juga menghargai perlindungan mengenai kemanusiaan, juga tentu saja menerapkan hukum humaniter itu sendiri. Bahkan sejak zaman kuno, Indonesia, sama juga dengan negara-negara lain, menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak (Wagiman, 2005:2). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. Pada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan.
Nama : Muh. Miftachul Huda
BalasHapusNim : 13.010.026
Smt/Kelas : V/F
1. Konflik bersenjata internasional, sengketa bersenjata antar negara, atau konflik antar negara merupakan suatu sengketa bersenjata yang terjadi antar dua atau lebih Negara yang lebih populer disebut dengan “perang”.
Contohnya: konflik di suriah yang melibatkan banyak negara besar seperti inggris,AS,rusia
Konflik bersenjata non-internasional atau konflik internal atau perang pemberontakan yang tidak percaya dan tidak mengakui kepemimpinan negara yg berkonflik tersebut.
Contohnya : konflik antara Indonesia dengan gerakan aceh merdeka (GAM).
2. Menurut pendapat saya Mekanisme hukum humaniter internasional diawali dengan pembentukan pengadilan terhadap kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan oleh berbagai negara dimana diatur dalam konvensi jenewa 1949. Apabila terjadi konflik pada suatu negara maka diadili pada negara tersebut, dan jika konflik tersebut tidak bisa diselesaikan secara peradilan nasional maka konflik tersebut akan dibawa kepada Mahkamah Internasional dan didalam perkembangannya kejahatan internasional memiliki 4 pengadilan Ad-Hoc antara lain :
1) Mahkamah Militer Internasional bertempat di Nuremberg
2) Mahkamah Militer Internasional untuk Timur terletak di Tokyo
3) Mahkamah Militer Internasional bekas jajahan Yugoslavia bertempat di Hague
4) Mahkamah Militer Internasional untuk Rwanda terletak di Arusha.
3. Imlementasi hukum hhumaniter di Indonesia yaitu pemerintah indonesia teelah melakukan program antara lain adanya komnas ham sebagai sarana untuk memproses apabila ada pelanggarann dalam peperangan dan dibentuknya organisasi perhimpunan nasional yang bergerak dibidang sosial kemanusiaan yaitu Palang Merah Indonesia.
indonesia menyatakan dukunganya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalahh dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituagkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konnvensi Jenewa 1949. selain itu, indonesia jjuga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Mentteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humanniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, hal ini dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
Nama : Farih Amrullah Daeq Aszar
BalasHapusNIM : 13010040
Kelas : V E
1. Perbedaan antara konflik bersenjata internasional ( international armed conflict) dengan konflik bersenjata non internasional
(non international armed conlict ) dapat dilihat pada status hukumnya para pihak yang bersengketa.dalam “international armed conflict” kedua pihak memiliki kedua pihak memiliki status hukum yang sama,karena keduanya sama-sama Negara (sebagaimana dilihat dalam ketentuan pasal 2 konvensi janewa 1949) atau paling tidak,salah satu dari pihak tersebut adalah suatu entitas yang dianggap setara dengan Negara sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam pasal 1 ayat 4 juncto pasal 96 ayat 3 protokol tambahan 1977 .status hukum dianggap penting karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional,hanya subyek2 hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai pelaku.dalam hal ini Negara merupakan salah satu subyek hukum internasional,sehingga ia merupakan pelaku yang tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional.sedangkan pelaku lain yang tidak termasuk subyek2 hukum internasional tidak berperan langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional,akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rezim hukum nasional diaman ia berada.oleh karena itu dalam non international armed conlict status kedua pihak tidaklah sama yakni yang satu berstatus sebagai Negara (subyek hukum internasional) dan yang satu bukan Negara (non state entity) yang membedakan antara international armed conflict dengan non international armed conflict yaitu pertama non armed conflict dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan dimana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu Negara melawan kelompok2 bersenjata yang terorganisir (organized armed grups) yang berada dalam wilayah Negara yang bersangkutan.jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ Negara,pemerintah ) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok2 bersenjata yang terorganisir,kelompok yang demikian lebih dikenal dengan istilah pemberontak oleh karena itu peperangan yang demikian tersebut dapat disebut dengan perang pemberontak. Kedua dalam non international armed conclict pihak bukan Negara atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari Negara induk dan berdiri sendiri seebagai Negara yang merdeka. Ketiga,oleh kerana hal2 tersebutkah maka non international armed conflict merupakan konflik yang hanya terjadi didalam wilayah suatu Negara saja,sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu Negara tapi juga dapat terjadi didalam wilayah internasional.
Lanjutan..
Hapus2. Dalam konvensi Jenewa 1949 pada dasarnya yg didahulukan adalah mekanisme penegakan nasional, negara yang telah meratifikasi konvensi jenewa dapat memberi sanksi kepada pelaku pelanggaran Hukum humaniter melalui pengadilan nasional. Apabila mekanisme penegakan nasional tidak dapat menyelesaikan, maka dapat menggunakan mekanisme penegakan internasional. Mekanisme Internasional dalam penegakan hukum humaniter mencakup melalui Mahkamah Internasional Ad Hoc tentang Kejahatan Perang, Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo, International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Statuta Roma : Mahkamah Pidana Internasional. Dasar hukumnya yaitu Konvensi Jenewa 1949.
3. indonesia sendiri telah lama fokus terhadap hukum humniter, karna dalam hal ini tidak bisa di pungkiri, di indonesia sendiri banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang tejadi seperti terjadinya bentrok di aceh, papua dll, sehingga indonesia sendiri telah lama fokus pada penerapan sistem hukum humaniter tersebut,seperti di terapkan nya undang-undang tentang hak asasi manusia undang-undang nomor 29 tahun 2000 twntang hak asasi manusia. indonesia telah lama fokus terhadap hukum humaniter, hal di perjelas dalam sebuah keputusan mentri pertahanan nomor 02 tahun 2002, tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam penyelenggaraan pertahanan negara.
Nama :Bagus Andri Dwi Putra
BalasHapusNim :13010081
Kelas:F
1. Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu :
“sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional”(international armed conflict); serta
“sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict).
Pembagian dua bentuk konflik ini membagi dan menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :
*) Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict). Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional contohnya: perang dunia ke-2 yg melibatkan dua blok,Blok Barat dan Blok Timur yang masing – masing dipimpin Amerika serikat dan Uni soviet
*) Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977 contohnya:gerakan pemberontakan yang terjadi di Papua(Organisasi Papua Merdeka/OPM)
Nama :Bagus andri dwi putra
BalasHapusNim :13010081
Kelas :F
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuan
hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah
kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang
tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam
Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban
membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional
umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131
Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949.
3. Implementasi Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum. bahwa sistem pertahanan negara maupun implementasi pelaksanaan pertahanan negara yang dilaksanakan oleh TNI seperti kebijakan, keputusan dan landasan operasional, selalu berdasarkan kepada hukum. Hal ini adalah bagian dari reformasi internal di lingkungan TNI dalam kaitan meningkatkan sistem pertahanan negara di Indonesia Dan didalam keputusan menteri pertahanan nomor : KEP/02/M/II/2002 yang menyebutkan penerapan hukum humaniter dan Hukum hak azasi manusia Dalam penyelenggaraan pertahanan negara Peraturan perundang-undangan hasil ratifikasi dari konvensi international dibidang hukum humaniter yang salah satunya dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang dituangkan dalam UU No. 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan.
NAMA :WAKHIDA ROISA
BalasHapusNIM : 13010079
SMT : V- E
1. perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
contoh :
*konflik internasional : Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan (“war of national liberation“). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut.
*konflik non internasional : gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja. Inilah yang disebut dengan istilah ‘non-international armed conflict’ atau konflik internal, atau juga disebut sebagai “perang pemberontakan”.
2 dalam pemahaman saya mekanisme penegakan hukum humaniter internasional dalam sejarahnya dapat ditempuh melalui pembentukan pengadilan pidana nasional maupun mahkamah pidana internasional yang bersifat ad hoc. Karena perkembangan tindak pidana internasional yang telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat internasional, diperlukan adanya suatu mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen
BalasHapus.*Penegakan hukum terhadap sengketa hukum humaniter dalam common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikansanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter mekanismenasional jika tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, makamekanisme internasional menjadi opsi berikutnya. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukandalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukumhumaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukumnasional apabila penggunaan hukum nasional dianggap kurangnya rasa keadilan maka diajukanke mahkamah internasional yang bersifat permanen atau ad hoc.
3. uraian terkait implementasi terkait dengan pelaksanaan dari hukum humaniter yang dilaksanakan di Indonesia adalah dengan terbentuknya sebuah komisi nasional, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terbentuknya Komnas HAM adalah bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB.Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi jenewa 1949, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di mata dunia yang masih sangat rendahkala itu dapat diamankan dengan ratifikasi yang dilakukan Indonesia dalam hal ini agar Negara-negara kolonial dapat lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negerinya yang dapat memicu konflik dengan Indonesia.Dalam meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalammelaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
BalasHapusnama : ESTI LARASATI
BalasHapusNIM : 13010018
KLS :5 E
1. Berikut ini konflik bersenjata internasional ada dua jenis, yaitu murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir. Konflik bersenjata internasional murni adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional semu adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalamhal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dlm suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan slalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
2.Mekanisme penegakan hukum humaniter dpt ditemukan dalam ketentuan-ketentuan huku itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tdk dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjdi opsi berikutnya.
Nama : ESTI LARASATI
BalasHapusNim : 13010018
Kelas : v E
3.Berikut implementasi hukum humaniter di Indonesia merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. program yg telah dilakukan pemerintah Indonesia antara lain adanya komnas ham sebagai sarana untuk memproses apabila ada pelanggaran dalam peperangan dan dibentuknya organisasi perhimpunan nasional yang bergerak dibidang sosial kemanusiaan(PMI). Indonesia menyatakan dukunganya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
NAMA : SYAUKAH AZ-ZAHRO
BalasHapusKELAS : V F
NIM : 13010148
1. Perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977, dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai “pelaku”. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, sehingga ia merupakan “pelaku” dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan “pelaku lain” yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada. Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter).
Oleh karena itu dalam ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara. Ada beberapa perbedaan mendasar mengenai hal ini :
Pertama, ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” (“insurgent“). Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama “perang pemberontakan“. Bandingkan dengan “pihak bukan negara” yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol, di mana “pihak bukan negara” yang dimaksud adalah suatu “bangsa” (peoples) yang belum merdeka dan berjuang melawan penjajahan.
Kedua, dalam ‘non-international armed conflict’, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan “pihak bukan negara” atau “peoples” yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu “bangsa” yang masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.
Ketiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka “non-international armed conflict” merupakjan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.
NAMA : SYAUKAH AZ-ZAHRO
BalasHapusKELAS : V F
NIM : 13010148
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apablia mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
NAMA : SYAUKAH AZ-ZAHRO
BalasHapusKELAS : V F
NIM : 13010148
3. Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. Pada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan.
Konvensi Den Haag 1907, konferensi perdamaian yang kedua diadakan pada tahun 1907. Konferensi ini secara umum gagal dan hanya menghasilkan beberapa keputusan. Namun, bertemunya negara-negara besar dalam konferensi ini menjadi model bagi upaya-upaya kerja sama internasional yang dilakukan di kemudian hari di abad ke-20. Konferensi yang kedua ini sebenarnya telah diserukan akan diadakan pada tahun 1904, atas saran Presiden Theodore Roosevelt, tetapi ditunda karena terjadinya perang antara Rusia dan Jepang. Konferensi Perdamaian Kedua tersebut kemudian diadakan dari tanggal 15 Juni sampai dengan 18 Oktober 1907 untuk memperluas isi Konvensi Den Haag yang semula, dengan mengubah beberapa bagian dan menambahkan sejumlah bagian lain, dengan fokus yang lebih besar pada perang laut. Pihak Inggris mencoba mengegolkan ketentuan mengenai pembatasan persenjataan, tetapi usaha ini digagalkan oleh sejumlah negara lain, dengan dipimpin oleh Jerman, karena Jerman khawatir bahwa itu merupakan usaha Inggris untuk menghentikan pertumbuhan armada Jerman. Jerman juga menolak usulan tentang arbitrase wajib. Namun, konferensi tersebut berhasil memperbesar mekanisme untuk arbitrase sukarela dan menetapkan sejumlah konvensi yang mengatur penagihan utang, aturan perang, dan hak serta kewajiban negara netral.
Perjanjian Final ditandatangani pada tanggal 18 Oktober 1907 dan mulai berlaku pada tanggal 26 Januari 1910. Perjanjian ini terdiri dari tiga belas seksi, yang dua belas di antaranya diratifikasi dan berlaku:
I - Penyelesaian Damai atas Sengketa Internasional
II - Pembatasan Penggunaan Kekuatan untuk Penagihan Utang Kontrak
III - Pembukaan Permusuhan
IV - Hukum dan Kebiasaan Perang Darat
V - Hak dan Kewajiban Negara dan Orang Netral Bilamana Terjadi Perang Darat
VI - Status Kapal Dagang Musuh Ketika Pecah Permusuhan
VII - Konversi Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang
VIII - Penempatan Ranjau Kontak Bawah Laut Otomatis
IX - Pemboman oleh Pasukan Angkatan Laut di Masa Perang
X - Penyesuaian Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa terhadap Perang Laut
XI - Pembatasan Tertentu Menyangkut Pelaksanaan Hak Menangkap dalam Perang Laut
XII - Pendirian Pengadilan Hadiah Internasional (Tidak diratifikasi]
XIII - Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang Laut
Nama : Eliana Wulandari
BalasHapusNim : 13010069 / Vf
1. Sengketa Bersenjata Internasional (International Armed Conflict) Pengertian sengketa bersenjata internasional dapat ditemukan antara lain pada Commentary Konvensi Jenewa 1949, Perang atau pertikaian bersenjata internasional adalah perang yang terjadi antara dua atau lebih pihak Peserta Agung atau pihak Peserta Agung dengan yang bukan Peserta Agung asalkan yang terakhir ini juga berbentuk negara. Dengan kata lain, sengketa bersenjata internasional adalah persengketaan antara negara yang satu dengan beberapa negara lain, walaupun pada akhirnya yang berhadapan adalah manusia dengan manusia, dalam persengketaan ini negara menjadi subjek. Protokol Tambahan I Tahun 1977 juga mengatur sengketa bersenjata internasional. Pada Pasal 1 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977 disebut bahwa Protokol ini berlaku dalam situasi dimaksud dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949. Ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 .
Contoh : Konflik Bersenjata Thailand Dan Kamboja
konflik bersenjata non-internasional
dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949
Pasal 3 Konvensi Jenewa dijelaskan dengan menggunakan istilah ‘sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional’ (armed conflict not of an international character) untuk setiap jenis konflik yang bukan merupakan konflik bersenjata internasional.
Sayang sekali Pasal 3 Konvensi Jenewa sendiri tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan ‘armed conflict not of an international character’ tersebut, sehingga hal ini menimbulkan penafsiran yang sangat luas.
Oleh karena tidak terdapat suatu definisi baku secara yuridis, maka sebagai pedoman agar penafsiran kita terhadap maksud frasa tersebut tidak terlalu jauh menyimpang, kita harus melihat apa yang dimaksudkan dengan ‘konflik yang tidak bersifat internasional’ ini pada Commentary atau komentar Konvensi Jenewa. Komentar ini merupakan hasil rangkuman dari hasil-hasil persidangan dan pendapat para ahli yang terjadi pada saat pembentukan Konferensi Diplomatik yang menghasilkan Konvensi Jenewa 1949
Syarat dan kriteria-kriteria untuk suatu sengketa bersenjata non-internasional adalah: 1. Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung. 2. Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident). 3. Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab. 4. Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut. 5. Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol.
Contoh :
konflik bersenjata di mana terdapat kelompok atau faksi-faksi bersenjata yang saling bertempur satu sama lain tanpa melibatkan intervensi dari angkatan bersenjata resmi dari Negara yang bersangkutan sebagaimana yang terjadi di Somalia.
Nama : Eliana Wulandari
BalasHapusNim : 13010069 / Vf
2. Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1 Konvensi Jenewa memberikan kewajiban bagi
Pihak Peserta Agung untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi. Ketentuan ini kemudian diperkuat dengan Pasal yang
mengatur tentang penghukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat hukum
humaniter, yaitu Pasal-pasal yang terdapat pada
• Pasal 49 ayat (1) Konvensi I, Pasal 50 (1) Konvensi II, Pasal 129 (1) Konvensi III dan
• Pasal 146 (1) Konvensi IV, yang merupakan ketentuan yang bersamaan,
Sebagai contoh dalam kasus Pelanggaran HAM dan penyiksaan terhadap tahanan Iraq
kembali terkuak setelah pemerintah AS mengeluarkan dokumen Naval Criminal Investigation
Service (NCIS), dokumen setebal 11.000 halaman tersebut mengungkapkan belasan kasus
penyiksaan yang dilakukan pasukan Marinir AS terhadap tahanan Iraq. Dokumen itu meliputi
kasus-kasus yang terjadi di belasan tempat tahanan Iraq, kecuai Penjara Abu Ghraib. Keputusan
pemerintah untuk mengeluarkan dokumen NCIS terjadi karena tuntutan sejumlah lembaga,
termasuk American Civil Liberties Union (ACLU) dan The Center for Constitutional Rights.
Kasus paling menonjol dalam dokumen ini terjadi Juni 2003 di Diwaniyah, Kala itu
Marinir AS memerintahkan empat anak - anak Iraq pelaku penjarahan untuk berlutut mereka
dipaksa membuka mulut dan pasukan mengarahkan moncong pistol ke mulut mereka petugas
berpura-pura siap mengeksekusi tahanan. Kemudian dokumen bertanggal 13 April 2003
menunjukkan Marinir AS menyiramkan cairan berbahan alkohol ke tangan tahanan dan
membakarnya. Aksi pembakaran tangan tahanan Iraq juga terjadi di Kamp Dogwood,
Iskandariyah. Pelakunya Marinir AS dan kini yang bersangkutan telah mendapat hukuman
kurungan 90 hari.
Kekejian di penjara Abu Ghraib mencuat setelah beberapa media massa internasional
memuat gambar-gambar yang dipublikasikan, para tawanan tidak hanya dianiaya. Mereka,
ditelanjangi, disiksa, kepala mereka ditutup dengan kain, mereka juga dikencingi sambil berdiri.
Seorang tawanan mengaku, mereka disodomi dan di seret dengan menggunakan tali. Seperti
dikutip The Washington Post, ada juga foto-foto yang menunjukkan tiga sampai empat tahanan
telanjang diikat menjadi satu di lantai di luar sel mereka sambil ditonton serdadu-serdadu AS.
Dari contoh kasus diatas Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal Konvensi Jenewa 1949 dan
Protokol Tambahan 1977 di atas maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa
diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana
efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran
berat terhadap Konvensi.
Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan
hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, Di
lingkungan militer, apabila ada seorang prajurit yang melakukan pelanggaran terhadap hukum
humaniter maka Komandan atau Atasan yang berwenang untuk menghukum (Ankum)
berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan
Pasal 87 di atas. Apabila Komandan atau atasan langsung dari prajurit yang bersalah tidak
mengambil tindakan, maka Komandan yang diatasnya berkewajiban untuk mengambil tindakan
yang dimaksud. Begitu seterusnya sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, di
samping menggunakan sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer
dan/atau sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap
ketentuan - ketentuan hukum humaniter. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak
berfungsi atau tidak difungsikan dengan baik, maka pada tahapan berikutnya kasus yang berasangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional (baik melalui pengadilan
yang bersifat ad hoc atau yang permanen)
Nama : Eliana Wulandari
BalasHapusNim : 13010069 / Vf
3. implementasi hokum humaniter di Indonesia terdapat dalam KEPUTUSAN MENTERI PERTAHA AN NOMOR : KEP/02/M/II/2002
Yang menyatakan bahwa :
1.penyelenggaraan Pertahanan Negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri.
2.Dalam pelaksanaan penyelenggaraan Pertahanan Negara harus senantiasa berpedoman pada Hukum Humaniter, Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia Nasional serta Hukum Internasional Universal
3.berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dan 2, perlu menetapkan Keputusan Menteri Pertahanan tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan Pertahanan Negara.
peraturan perundang-undangan hasil ratifikasi dari konvensi international dibidang hukum humaniter.
1. Penerapan Hukum Humaniter mengenai Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, Kebiasaan Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia berlaku dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara.
2. Hukum mengenai Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 meliputi :
a. Konvensi I tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka dan sakit dalam Angkatan Perang di darat.
b. Konvensi II tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka sakit dan korban-korban karam dari Angkatan Perang di laut.
c. Konvensi III tentang perlakuan tawanan.
d. Konvensi IV tentang perlindungan rakyat sipil dalam masa perang perang
3. Hukum Kebiasaan Internasional yaitu konvensi-konvensi internasional tentang Hukum Humaniter yang telah diterima dan diterapkan oleh masyarakat internasional
4. Hukum Hak Asasi Manusia diatur dalam berbagai perundang-undangan nasional termasuk konvensi atau covenan tentang Hak Asasi Manusia dan yang bersifat universal maupun internasional yang telah diratifikasi.
5. Keputusan ini dimaksudkan sebagai penegasan, agar dalam penyelenggaraan Pertahanan Negara mempedomani kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 tersebut di atas.
6. Ketentuan-ketentuan pelaksanaan keputusan ini akan diatur lebih lanjut oleh Panglima TNI
7. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : IRSYATUS SYA'DIYAH;
BalasHapusNIM : 13010028;
Kelas : E.
1. Perbedaan:
-*- Konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara.
Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain.
Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
-*- Konflik bersenjata non Internasional sering disebut juga Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflictyang di internasionalisir.
Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.
-*- Karakteristik
bahwa bentuk konfrontasi yang melibatkan suatu Negara dengan suatu pemberontak di dalam negara tersebut lebih populer dikenal dengan istilah “sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional” (non-international armed conflict), yang sinonimnya adalah “perang saudara”.
Ciri-ciri sengketa bersenjata non-internasional adalah adanya peperangan antara Angkatan Bersenjata dari suatu Negara melawan pasukan pemberontak yang pada umumnya memiliki kemauan untuk memisahkan diri dari negara induknya. Berdasarkan hukum kebiasaan internasional, hal ini mutlak merupakan masalah dalam negeri suatu Negara.
Contoh
Perang Teluk, atau invasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap Irak ? Ataukah Anda juga mengingat peristiwa ‘Lubang Buaya’ atau Gerakan 30 September (PKI), atau operasi militer di Aceh ? Atau peristiwa-peristiwa lain seperti kasus Trisakti, peristiwa Semanggi, kasus Tanjung Priok juga terlintas dalam pikiran Anda, karena semua peristiwa yang telah disebutkan itu menggunakan senjata serta mengakibatkan banyak korban yang tewas.
Nama : IRSYATUS SYA'DIYAH;
BalasHapusNIM : 13010028;
Kelas : E.
2.hukum humaniter pada intinya menghormati manusia seutuhnya, terutama di kala perang. Secara filosofis, demi kepentingan sesama manusia dalam jangka panjang, diharapkan hubungan antarbangsa tetap harmonis. Pendekatan filosofis dengan hukum humaniter mempunyai hubungan yang kuat. Apakah umat manusia/antarnegara selamanya akan perang terus sepanjang masa, malah sampai akhir zaman. Akal sehat tidak dapat menerima, contoh terkait dengan kasus Palestina dan Israel yang suatu saat akan ada solusinya. Pertama, kunci utama pada Amerika Serikat; dan kedua, siapa penguasa di kedua kubu tersebut, apakah kelompok militarists (cinta perang) atau golongan pacifists(cinta damai). Kedua kelompok tersebut sulit bertemu, kata Austin Fagathey.
Konsep hukum humaniter internasional pada intinya bagaimana agar perang atau sengketa bersenjata yang memang harus ditempuh/dilakukan tetap memerhatikan prinsip-prinsip perikemanusiaan. Ketika prinsip-prinsip tersebut menjadi bagian dari kebijaksanaan umum suatu negara, maka nantinya setelah perang usai, antarlawan dapat berubah menjadi kawan. Dalam hukum humaniter dikenal tiga prinsip utama sebagai berikut :
1. Prinsip (asas) kepentingan militer (military necessity), yaitu pihak yang berperang dibenarkan menggunakan kekerasan dalam rangka menundukkan lawan, demi tercapainya tujuan dan kemenangan perang.
2. Prinsip Kesatriaan (chivalry), bahwa di dalam perang kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat yang tidak terhormat dan berbagai cara tipu muslihat dan atau bersifat khianat, tidak diperkenankan.
3. Prinsip kemanusiaan (humanity), yaitu para pihak dalam perang diharuskan memerhatikan asas perikemanusiaan. Mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan berlebihan yang dapat menimbulkan penderitaan yang tidak perlu.
Asas tersebut diformalkan di dalam Hukum Den Haag (the Hague Rules) dan Hukum Jenewa (the Geneva Rules). Dalam Hukum Den Haag berisi aturan perang dengan 3 prinsip, yaitu pertama, prinsip pembatasan sasaran lawan kedua, prinsip pembatasan sasaran wilayah ketiga, prinsip pembatasan sasaran keadaan. Sedangkan dalam Hukum Jenewa mengandung 2 prinsip, yaitu pertama, ketentuan umum yang terkait dengan kemanusiaan (hak untuk hidup/jaminan fisik dan moral, hak perlakuan sama, hak memperoleh jaminan keamanan) kedua, bantuan terhadap korban perang (netralitas, kewajaran, perlindungan).
Landasan hukum humaniter/perlindungan dalam perang sebagian besar bersumber dari nilai-nilai hak asasi manusia dan terdapat 3 prinsip, yaitu pertama, prinsip setiap manusia mempunyai hak hidup, perlindungan fisik, moral, dan pengembangan kepribadiankedua, prinsip tidak membeda-bedakan sesama manusia, baik dari aspek agama, jenis kelamin, kebangsaan, bahasa, kedudukan sosial, kekayaan, politik, suku dan pandangan hidup ketiga, prinsip keamanan.
Nama : IRSYATUS SYA'DIYAH;
BalasHapusNIM : 13010028;
Kelas : E.
3. Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik diratifikasi dengan penetapan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 Tahun 2005
Diantaranya memuat (a) hak untuk hidup (rights to life); (b) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (c) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (d) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (e) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (f) hak sebagai subjek hukum; (g) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama.
Kemudian hak yang dibatasi, yaitu: (a) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (b) hak atas kebebasan berserikat; termasuk membentuk dan menjadi anggota sarekat buruh; dan (c) hak atas menyatakan kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan maupun tulisan). Hak-hak ini hanya dapat dibatasi tanpa diskriminasi dengan alasan: (a) Menjaga ketertiban umum, moralitas umum, kesehatan atau keamanan nasional; dan (b) menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Konvensi Jenewa 1949 tentang peraturan atau norma-norma dalam kondisi perang, diratifiksi oleh Indonesia pada 30 September 1958.
Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi tersebut, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonnesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di mata dunia yang masih sangat rendah
kala itu dapat diamankan dengan ratifikasi yang dilakukan Indonesia dalam hal ini agar Negara-negara kolonial dapat lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negerinya yang dapat memicu konflik dengan Indonesia.
Moh. Mahrus
BalasHapus12010101
5 F
(1) konflik bersenjata internasional ada dua jenis, yang pertama adalah konflik bersenjata internasional murni dan konflik bersenjata internasional semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir.
Konflik bersenjata internasional murni adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara Sedangkan konflik bersenjata internasional semu adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalamhal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara contoh peperangan yang terjadi antara amerika dan irak sedangkan Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dlm suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan slalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
(2)Mengenai mekanisme penegakan hukum humaniter dpt ditemukan dalam ketentuan-ketentuan huku itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tdk dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjdi opsi berikutnya
(3)Negra Republik Indonesia telah lama memulai fokus dan perhatian terahadap hukum humaniter karena di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga muncul pemberontakan dari kelompo-kelompok tertentu contohnya pemberontakan oleh sekelompok warga diyang terjadi di papua pada berapa tahun yang lalu. Pemerintah telah melakukan berbagi program agar hukum humaniter ini dapat di terapkan di Indonesia sepertinya ada Komanas HAM sebagai sarana untuk memproseskan apabila ada pelanggaran dalam peperangan, ada juga aturan yang materil yang tertuang dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan pemerintah jg membuat aturan formilnya agar aturan yang materil dapat di implementasikan hal ini dengan adanya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun, Indonesia tergolong Negara yang masih sering melakukan pelanggaran hak asasi manusia atau hukum humaniter pada saat mempertahankan Negara kesatuan dari para pemerontak khususnya di provinsi Aceh. Dari kejadian ini ditemukan indikasi adanya pelanggaran HAM, yaitu pembunuhan di luar kewajaran dan pelecehan seksual. Kasus pembunuhan di luar kewajaran adalah kasus penembakan terhadap sekelompok pekerja tambak dan di antara korbannya adalah anak-anak. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak diberlakukannya darurat militer di Aceh, telah menimbulkan korban jiwa, tidak terkecuali TNI dan masyarakat sipil. Namun demikian adalah fakta bahwa TNI sudah berusaha semaksimal mungkin menghindari jatuhnya korban jiwa masyarakat sipil antara lain dengan cara melokalisir dan memisahkannya dengan GAM, tetapi jatuhnya korban tetap tidak bisa dihindari. Disamping itu, tidak sedikit pula jatuhnya korban masyarakat sipil, fakta sebenarnya hal tersebut dilakukan oleh GAM adan aparat keamanan TNI/Polri. Jadi terjadinya pelanggaran tersebut disebabkan kurangnya implementasi hukum humaniter atau kode etik dalam berperang dan menghadapi musuh dalam berperang atau pada saat akan berperang dan setelah perang terjadi.
BalasHapusVentius bernard S
BalasHapusV-E
13010072
1. ● Perbedaan mendasar antara konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional adalah status hukum dari para pihak yang bersengketa. Dalam konflik bersenjata internasional, terdapat status hukum yang sama antar dua pihak. karena keduanya adalah negara (sebagaimana dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan dalam Pasal 1 ayat (4)juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
Sedangkan konflik bersenjata non-internasional, status kedua pihak tidak sama yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara.
● * Contoh konflik bersenjata internasional:
Konflik antara Kamboja dan Thailand mengenai perebutan wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar Kuil Preah Vihear yang terletak antara Khsant Choam, Kabupaten di Preah, Provinsi Kamboja utara dan Kantharalak kabupaten ( Amphoe) di Sisaket Provinsi Northeastern Thailand, dimana klaim masing-masing pihak akan kepemilikan kuil Preah Vihear di perbatasan kedua negara.
* Contoh konflik bersenjata non-internasional:
Konflik bersenjata di Ukraina timur yang membuat sekitar 878 ribu orang penduduk Ukraina terpaksa mencari suaka dan izin tinggal di negara lain dan lebih dari 1,3 juta orang di Ukraina terpaksa meninggalkan rumah mereka serta menjadi pengungsi lokal di negara tersebut.
● * Karakteristik konflik bersenjata internasional:
Sengketa bersenjata antar negara yang terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.Karakteristik konflik bersenjata non-internasional:
Dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat juga dapat berbentuk perang saudara (civil war). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuan
hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah
kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang
tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam
Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban
membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional
umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131
Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949.
3. Indonesia, sebagai sebuah entitas yang juga menghargai perlindungan mengenai kemanusiaan, juga tentu saja menerapkan hukum humaniter itu sendiri. Bahkan sejak zaman kuno, Indonesia, sama juga dengan negara-negara lain, menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak (Wagiman, 2005:2). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. Pada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan.
BalasHapus1. Perbedaan mendasar mengenai konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional yaitu :
BalasHapusA. Konflik Bersenjata Internasional adalah konflik bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). konflik bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
Contohnya : Terjadinya Perang Dunia I, II dan III.
Karakteristik dari konflik bersenjata internasional antara lain :
- Yang menjadi objek dari konflik bersenjata internasional antara negara dengan negara.
- Selain negara dengan negara objek lain dari konflik bersenjata adalah negara dengan bukan entites negara/internasionalisasi.
B. Konflik Bersenjata Non-Internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Contohnya : pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM).
Karakteristik dari konflik bersenjata non-internasional antara lain :
- Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung.
- Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident).
- Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab.
- Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut.
- Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol.
6 Januari 2016 23.40
1. Perbedaan mendasar mengenai konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional yaitu :
BalasHapusA. Konflik Bersenjata Internasional adalah konflik bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). konflik bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
Contohnya : Terjadinya Perang Dunia I, II dan III.
Karakteristik dari konflik bersenjata internasional antara lain :
- Yang menjadi objek dari konflik bersenjata internasional antara negara dengan negara.
- Selain negara dengan negara objek lain dari konflik bersenjata adalah negara dengan bukan entites negara/internasionalisasi.
B. Konflik Bersenjata Non-Internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Contohnya : pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM).
Karakteristik dari konflik bersenjata non-internasional antara lain :
- Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung.
- Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident).
- Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab.
- Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut.
- Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol.
6 Januari 2016 23.40
2. Pemahaman saya mengenai Mekanisme penegakan Hukum Humaniter Internasional pada dasarnya Mekanisme yang Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahan 1977 adalah suatu mekanisme yang dimana penegakan HHI yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, bila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan.
BalasHapusDasar Hukumnya : Terdapat dalam pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 konvensi III dan Pasal 148 konvensi IV Jenewa 1949.
3. Implementasi hukum humaniter diindonesia pada dasarnya merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum. bahwa sistem pertahanan negara maupun implementasi pelaksanaan pertahanan negara yang dilaksanakan oleh TNI seperti kebijakan, keputusan dan landasan operasional, selalu berdasarkan kepada hukum. Hal ini adalah bagian dari reformasi internal di lingkungan TNI dalam kaitan meningkatkan sistem pertahanan negara di Indonesia.
BalasHapusPenerapan Hukum Humaniter sendiri harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip:
a. kemanusiaan (Humanity);
b. kepentingan Militer (Military Necessity);
c. penderitaan yang tidak perlu (Unnecessary Suffering);
d. keseimbangan (Proporsionality); dan
e. pembedaan (Distinction).
Indonesia menyatakan dukunganya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
Nama: Fahmi Yahya
BalasHapusN.I.M:13010073
Kelas:VF