SISTEM HUKUM PEMBUKTIAN PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM
PERSPEKTIF PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Abstrak
Kasus tindak pidana korupsi
(tipikor) yang banyak terjadi di daerah sejak era reformasi ini mayoritas
bersumber dari persoalan pengelolaan keuangan daerah. Padahal dalam perspektif
hukum, tindak pidana korupsi tidak hanya masalah yang menyangkut kerugian keuangan
daerah tetapi lebih banyak di luar hal-hal tersebut. Dengan kata lain,
perbuatan yang dikatagorikan sebagai tindak pidana korupsi sesungguhnya
bersumber dari hal-hal yang multikompleks, termasuk juga korupsi nilai-nilai
moral, politik, jabatan yang berkaitan dengan persoalan birokrasi atau
administrasi pemerintahan. Hanya saja, kalau kalimat ‘sistem hukum pembuktian
tindak pidana korupsi’ dimaksudkan sebagai suatu regulasi tentang proses
bekerjanya alat bukti untuk menyimpulkan terbukti atau tidaknya terdakwa
melakukan tindak pidana, maka hal ini memisahkan sama sekali atau setidaknya
membandingkan saja keterkaitan hukum administrasi negara dengan hukum pidana
positif yang mengatur tindak pidana korupsi.
Kata Kunci: sistem hukum pembuktian, tindak
pidana korupsi, pengelolaan keuangan daerah.
Abstract
Cases of corruption (Corruption)
is a lot happening
in this area
since the reform era the majority
sourced from local
financial management problems. Whereas
in the perspective of law,
corruption is not just a matter involving financial loss but more areas outside of those
things. In other words, be
categorized as an act of corruption actually comes
from the things that multicomplex,
including the corruption of moral values, political positions related to the problem of bureaucracy or
administration. Only if the phrase 'system of rules of evidence of corruption' is intended as a
regulation of the
workings of proven evidence to conclude whether
or not the defendant committing a
crime, then it separates at all or at least compare
any legal relationship
with the state administration
of criminal law positively
governing corruption.
Keyword: the legal system of proof, corruption,
legal financial management.
Pendahuluan
Berbagai
kasus tindak pidana korupsi (tipikor) yang banyak terjadi dan melibatkan
pejabat pemerintahan di daerah sejak era reformasi ini mayoritas berawal dan
bersumber dari persoalan pengelolaan keuangan daerah. Padahal dalam perspektif
hukum, ‘tipikor’ tidak hanya masalah yang menyangkut kerugian keuangan daerah
tetapi lebih banyak di luar hal-hal tersebut.[2]
Dengan kata lain, perbuatan yang dikatagorikan sebagai tindak pidana korupsi sesungguhnya
bersumber dari hal-hal yang multikompleks, termasuk juga korupsi nilai-nilai
moral, politik, jabatan yang berkaitan dengan persoalan birokrasi atau
administrasi pemerintahan.[3]
Tepat sekali bila panitia seminar terbatas ini menetapkan
sub-tema yang ingin melihat sistem hukum pembuktian tipikor dari sudut pandang
pengelolaan keuangan daerah yang merupakan bagian persoalan hukum administrasi
negara. Hanya saja, kalau kalimat ‘sistem hukum pembuktian tindak pidana
korupsi’ dimaksudkan sebagai suatu regulasi tentang proses terjadinya dan
bekerjanya alat bukti untuk menyimpulkan terbukti atau tidaknya terdakwa
melakukan tindak pidana, maka sub-tema ini memisahkan sama sekali—setidaknya
membandingkan saja—keterkaitan hukum administrasi negara dengan hukum pidana
positif yang mengatur tipikor. Tapi kalau mengacu pada latar belakang pemikiran
yang diajukan panitia kepada saya, sub-tema ini hendak mendiskusikan
tumpang-tindihnya (overlapping) dan
ketidakkonsistenan (inconsistency)
substansi normatif antara peraturan perundang-undangan pidana korupsi dan
peraturan perundang-undangan administratif, yang berkaitan dengan pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan negara.
Masalah ‘overlapping’ dan ‘inconsistency’ dalam peraturan perundang-undangan
kita, sejak era reformasi menjadi salah satu isu nasional yang cukup mengganggu
praktik dan proses penegakan hukum pidana korupsi selama ini. Karena itu,
pemahaman dan penguasaan yang baik dan benar terhadap asas-asas hukum (general principles of law) bagi
pelaksana undang-undang, terutama penegak hukum (pidana) sangat dibutuhkan agar
tidak terjadi distorsi dalam penerapan norma-norma yang telah dituangkan pada
suatu peraturan perundang-undangan.
Analisis Hukum
Keterkaitan Sistem Pembuktian Tipikor dengan Pengaturan
Norma tentang Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Daerah
Sistem pembuktian merupakan bagian
terpenting dalam hukum pidana formil karena berkaitan dengan proses yang
menentukan benar tidaknya seseorang melakukan suatu perbuatan yang dituduhkan
terhadapnya. Sistem pembuktian dalam hukum pidana formil di Indonesia tercantum
dalam Pasal 183 KUHAP yang menetapkan, bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dari
bunyi pasal tersebut dapat ditegaskan bahwa sistem pembuktian dalam hukum
pidana kita didasarkan pada alat bukti yang sah menurut undang-undang dan harus
disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti
tersebut. Sistem pembuktian
semacam ini dalam teori-teori pembuktian disebut “Negatief Wettelijk Overtuiging” atau “Pembuktian berdasarkan
undang-undang negatif”.
Beberapa alat bukti yang dapat
dikumpulkan oleh penyidik dan diajukan oleh penuntut umum serta diuji oleh
hakim dalam proses peradilan pidana, hanya ditetapkan 5 (lima) macam sesuai
ketentuan Pasal 184 KUHAP, yakni: Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat,
Petunjuk dan Keterangan Terdakwa. Untuk menentukan terdakwa bersalah atau
tidak, keyakinan hakim—sebagai unsur yang harus ada—didasarkan pada minimal 2
(dua) dari 5 (lima) alat bukti tersebut yang menurut istilah D. Simons “dubbel en grondslag” (pembuktian
berganda) yaitu pemidanaan didasarkan pada peraturan undang-undang dan
keyakinan hakim yang bersumber dari peraturan undang-undang tersebut.[4]
Melihat
dikripsi diatas, siapakah yang harus membuktikan bahwa terdakwa bersalah
atau tidak? Atau dengan kata
lain, kepada siapakah beban pembuktian
itu ditujukan?
Dalam asas hukum
pidana universal (baik sistem Anglo-saxon maupun Kontinental), beban pembuktian
merupakan kewajiban jaksa (penuntut umum), bukan pada diri terdakwa. Namun
dalam tindak pidana korupsi, ada pergeseran paradigma terhadap sistem beban
pembuktian ini. Saya sependapat dengan Indriyanto
Seno Adji yang mengutip pendapat ayahnya, Seno Adji. Menurut beliau, penerapan sistem beban pembuktian dalam
tindak pidana korupsi hanyalah sekadar “Shifting
of Burden Proof” dengan memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk
membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Pemberian kesempatan ini tidak bersifat
imperatif. Artinya, bila terdakwa tidak mempergunakannya, justru akan
memperkuat dakwaan penuntut umum bahwa terdakwa melakukan tindak pidana
korupsi. Sebaliknya, bila terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dapat dipergunakan sebagai hal
yang menguntungkan terdakwa.[5]
Dalam perkembangannya, ketika UU No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diamandemen dengan UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, barulah sistem “Pembalikan Beban
Pembuktian” atau “Reversal of Burden
Proof” atau “Omkering van Bewijslast”
ditetapkan dan diberlakukan secara ‘terbatas’ dan bersifat ‘khusus’ terhadap 2
(dua) hal yang berkaitan dengan masalah ‘penyuapan’ dan ‘perampasan harta benda
terdakwa’.
Pembatasan dan sifat khusus tentang
penerapan “pembalikan beban pembuktian” ini dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dapat disimak pada Pasal 12A yang memuat delik ‘Gratification’ (pemberian) yang berkaitan dengan ‘Bribery’ (penyuapan). Bagi mereka yang
melanggar Pasal 12A tersebut akan dikenai “pembalikan beban pembuktian”,
sedangkan pelanggaran terhadap delik-delik lainnya seperti yang tercantum dalam
Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 undang-undang tersebut, beban pembuktiannya
tetap berada pada penuntut umum.
Selain itu, pembalikan beban
pembuktian dicantumkan juga dalam Pasal 38A yang mengatur tentang hal-hal yang
berkaitan dengan perampasan harta benda terdakwa sebagai akibat dari
pelanggaran terhadap salah satu delik yang tercantum dalam Pasal 2 sampai
dengan Pasal 16 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terdakwa wajib
membuktikan bahwa harta bendanya yang dirampas itu tidak diperoleh dari hasil
korupsi. Jika sebaliknya,
maka harta benda tersebut dianggap diperoleh dari tindak pidana korupsi dan
hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas
untuk negara. Kewajiban ‘pembalikan beban pembuktian’ terhadap perolehan harta
benda terdakwa ini hanya dilakukan dalam tahapan proses persidangan, bukan pada
tahap penyidikan ataupun tahap penuntutan.
Penerapan sistem ‘pembalikan beban
pembuktian’ yang bersifat terbatas dan khusus dalam UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi ini karena sesungguhnya sistem tersebut berpotensi terhadap
pelanggaran HAM. Apalagi jika sistem ini diterapkan sejak tahap penyidikan dan
penuntutan, kekhawatiran ‘terjadinya pemberantasan kasus korupsi justru
melahirkan anak korupsi’ di kalangan penegak hukum adalah suatu keniscayaan. Di
Negara-negara Anglo-saxon tempat sistem ini diadopsi, tetap memberikan
persyaratan pembatasan dan pengkhususan terhadap penerapannya yang tidak bisa
diberlakukan untuk semua delik. Seperti di Amerika Serikat yang sistem hukumnya
berakar pada “adversary system”. Sistem pembuktian menurut “adversary
system” sangat ketat karena menghadapi banyak peraturan yang bersifat
teknis prosedural yang dianggap layak oleh para kontestan untuk memelihara
prinsip otonomi. Kesan tersebut tidak berlebihan karena memang tujuan utama “adversary
system” dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah untuk melindungi
seseorang yang benar-benar atau nyata-nyata tidak bersalah (the protection
of the innocent) dari sangkaan polisi atau dakwaan penuntut umum.[6]
Prinsip utama dalam “adversary system”, polisi harus
mengidentifikasi seorang tersangka dari bukti yang ada. Bila ada bukti yang
memberatkannya, lalu dituntut sesuai tingkat kesalahannya. Sistem adversarial
tidak berusaha membentuk apa yang terjadi atau kebenaran tentang suatu
peristiwa yang masih perlu diselidiki. Logika sistem ini menetapkan bahwa
polisi dan penuntut umum tidak akan meneruskan suatu kasus meskipun mengetahui
pelaku kejahatan, sampai mereka memiliki bukti yang cukup untuk menunjukkan
secara meyakinkan bahwa orang yang mereka tuduh benar-benar melakukannya.[7]
Bila kita bandingkan dengan praktik penegakan hukum terhadap kasus korupsi
di Negara kita saat ini, cukup banyak terdakwa yang ‘bebas’ atau ‘lepas’ dari
segala tuntutan hukum sebagai akibat lemahnya atau tidak tepatnya pembuktian
yang diajukan oleh penyidik dan penuntut umum.[8] Berbagai fakta tersebut menunjukkan bahwa penegakan
hukum kasus korupsi masih diselimuti ‘euforia’
penerapan asas Lex Talionis (balas
dendam). Fenomena ini tak lepas dari landasan hukum penanganan kasus korupsi di
Indonesia yang bila dilihat dari perspektif pembangunan hukum masih bersifat ‘repressive law’. Hal itu secara kasat
mata bisa dibaca dalam penamaan judul “UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” dan “UU No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi”. Dalam konteks pemberantasan korupsi yang
bersifat kompleks ini, baik ditinjau dari sebab dan akibatnya, ‘repressive law’ akan tidak mampu menjadi
sarana untuk mengarahkan perubahan dan memperoleh keadilan substantif.
Karenanya, dikehendaki kehadiran hukum yang responsif (responsive law). Dengan kata lain, upaya memerangi korupsi harus
pula dilandasi dengan undang-undang yang memberikan ruang secara
substantif-materiil tentang pencegahannya untuk merespon dinamika kehidupan dan
aspirasi masyarakat.
Sesungguhnya kalau kita cermati banyak sekali substansi peraturan
perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan
negara/daerah yang ‘overlapping’ dan
‘inconsistency’. Ketentuan norma yang
demikian menimbulkan ketidakjelasan dan berdampak pada perbedaan landasan
aturan oleh masing-masing pelaksana undang-undang karena interpretasi yang
berbeda. Seperti pengalaman yang lalu, ketidakjelasan acuan pengaturan ‘Kedudukan
Keuangan DPRD’ ketika PP 110 Tahun 2000 masih diberlakukan, menjadi penyebab
utama banyaknya anggota dewan di berbagai daerah yang terperangkap dalam
‘jebakan hukum’ tersebut dan kemudian menjadi penghuni penjara.
Contoh dalam konteks regulasi pengelolaan keuangan daerah yang berkaitan
dengan masalah atau proses pembuktian. Dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU No. 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
ditegaskan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berwenang melakukan pemeriksaan
investigatif untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan bila
ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan kepada instansi yang berwajib.
Interpretasi dari kedua pasal tersebut adalah: dalam soal pengelolaan keuangan negara/daerah,
aparat Kepolisian, Kejaksaan dan KPK tidak boleh melakukan tindakan pemeriksaan
‘pro justicia’ sebelum ada laporan
dari BPK. Jadi, alat bukti yang dapat dijadikan pembuktian terhadap dugaan
terjadinya tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan
negara/daerah harus bersumber dari BPK sebagai Lembaga Negara satu-satunya yang
berwenang melakukan pemeriksaan dan penilaian terjadinya kerugian
negara/daerah.
Sedangkan contoh ‘inconsistency’
pengaturan norma soal kerugian negara dapat ditemukan dalam Bab IX Ketentuan
Pidana, Sanksi Administratif dan Ganti Rugi pada Pasal 35 UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Rumusan norma dalam pasal tersebut memberikan sanksi
untuk mengganti kerugian negara kepada setiap pejabat negara yang melanggar
hukum atau melalaikan kewajibannya yang mengakibatkan terjadinya kerugian
negara. Padahal dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi, rumusan
normanya ‘lebih kejam’ karena suatu perbuatan melawan hukum atau
menyalahgunakan kewenangan yang berpotensi
terjadinya kerugian negara saja, sudah diancam dan dapat dipidana. Dalam
terminologi hukum pidana, UU tentang
Keuangan Negara menggunakan sistem perumusan ‘delik materiil’, sedangkan UU
Pemberantasan Korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara
menggunakan sistem perumusan ‘delik formil’.
Mengacu pada berbagai kasus korupsi yang berkaitan dengan pelanggaran atau
kesalahan di bidang hukum administrasi dan kemudian diputus ‘bebas’ (vrijspraak) atau ‘lepas dari segala
tuntutan hukum’ (onstlag van
rechtsvervolging), maka sebenarnya vonnis
hakim tersebut mengandung ‘sebuah pesan’ bagi penyidik dan penuntut umum
untuk cermat, hati-hati dan tidak
sembarangan melakukan tindakan ‘menyangka’, ‘menuduh’ atau ‘menuntut’ kasus
korupsi. Kata-kata ‘cermat, hati-hati dan tidak sembarangan’ berimplikasi pada
‘perintah’ untuk menguasai dan memahami secara baik dan benar dalam menerapkan
peraturan perundang-undangan yang melingkupi dasar dakwaan. Terutama yang
berkaitan dengan peraturan perundang-undangan administratif.
Kesimpulan
Seringkali peraturan
perundang-undangan yang dihasilkan oleh lembaga legislatif justru menimbulkan
permasalahan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan sering diungkapkan peraturan perundang-undangan
juga berpotensi sebagai faktor kriminogen. Dengan kata lain, legal order yang diharapkan tercapai
dengan dibuatnya sekian banyak peraturan perundang-undangan, tidak selalu mampu
mengukuhkan tertib social (social order)
di dalam kehidupan masyarakat. Salah satu penyebab
adalah terdapatnya ketentuan-ketentuan yang bersifat overlapping dan inconsistency
dalam pengaturan normanya.
Sebagai
akhir makalah ini, hendak ditegaskan bahwa parameter yang membatasi gerak bebas
kewenangan aparatur negara (discretionary
power) dalam Hukum Administrasi adalah ‘detournement
de pouvoir’ (penyalahgunaan wewenang) dan ‘abus de droit’ (sewenang-wenang). Sedangkan dalam Hukum Pidana,
kriterianya berupa ‘wederrechtelijkheid’
(melawan hukum) dan ‘menyalahgunakan kewenangan’. Artinya, ada perbedaan konseptual antara Hukum
Adminstrasi dan Hukum Pidana. Hukum Pidana bukan sekadar ‘mengatur masyarakat’,
tetapi lebih dari itu, ‘mengatur aparat penegak hukumnya sendiri’. Inilah
dimensi yuridis yang sesungguhnya dari hukum pidana, yakni melakukan pembatasan
dan pengendalian kekuasaan negara terhadap perampasan kemerdekaan warga
masyarakatnya atau bahkan penghilangan nyawa rakyatnya.
Daftar Bacaan
Buku
Adji, Indriyanto Seno, 2006, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Kantor Pengacara dan
Konsultan Hukum Prof. Seno Adji, S.H. & Rekan, Jakarta.
Arief, Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Davies,
Croall and Tyrer, Criminal Justice: An Introduction to the
Criminal Justice System in England and Wales, Second Edition,
Longman, England.
Hoefnagels,
G.P., 1973, The Other Side of
Criminology, Kluwer-Deventer, Holland.
Simons, D., 1925, Beknopie
Handleiding tot het Wetboek van Strafvordering, De Erven F. Bohn, Haarlem.
Peraturan Perundang-undangan
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4150).
[1] Dosen Tetap Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana
Universitas Bhayangkara Surabaya.
[2] Dalam UU No. 31 Tahun
1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, tercantum 30 (tiga puluh) bentuk perbuatan yang dikatagorikan sebagai
tindak pidana korupsi yang dirumuskan ke dalam 13 (tiga belas) pasal. Menyangkut
‘kerugian keuangan negara’ hanya terdiri dari 2 pasal, yakni Pasal 2 dan Pasal
3. Sisanya, menyangkut perbuatan ‘suap-menyuap’, ‘penggelapan dalam jabatan’,
‘pemerasan’, ‘perbuatan curang’, ‘benturan kepentingan dalam pengadaan’,
‘gratifikasi’ dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi, seperti: ‘merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi’,
‘tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar’, ‘bank yang
tidak memberikan keterangan rekening tersangka’, ‘saksi atau ahli yang tidak
memberi keterangan atau memberi keterangan palsu’, ‘orang yang memegang rahasia
jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu’ dan ‘saksi
yang membuka identitas pelapor’.
[3]G.P. Hoefnagels, The
Other Side of Criminology, Kluwer-Deventer, Holland, 1973, h. 139. Lihat
juga dalam: Barda Nawawi Arief, Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1998, h. 29.
[4]D.
Simons, Beknopie Handleiding tot het
Wetboek van Strafvordering, Haarlem: De Erven F. Bohn, 1925, h. 152.
[5]Indriyanto
Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban
Pembuktian, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Seno Adji, S.H.
& Rekan, Jakarta, 2006, h. 87-89.
[6]Herbert
L. Packer pada Tahun 1968 pernah menulis sebuah buku yang sangat terkenal
dengan judul “The Limits of the Criminal Sanction”.
Salah satu bagian dari bahasan yang cukup menarik terdapat dalam Bab VIII
dengan judul “Two Models of the Criminal Process”, khususnya yang terkait
dengan hukum acara pidana di Amerika Serikat yang bertumpu pada “Adversary
system”. Setelah
menganalisis berbagai fenomena praktek hukum acara pidananya, Packer sampai
pada suatu kesimpulan yang ditegaskannya, bahwa paling tidak terdapat dua model
dalam sistem peradilan pidana di Amerika Serikat. Kedua
model itu disebutnya dengan “the
crime control model” dan “the
due process model”.
[7]Davies, Croall and
Tyrer, Criminal Justice: An Introduction to the Criminal Justice System in
England and Wales, Second Edition, Longman, England, h. 11-12.
[8]Untuk
menyebut beberapa saja sebagai contoh: Perkara Korupsi mantan Ketua DPR RI,
Akbar Tanjung, Mantan Gubernur BI, Syahril Sabirin, Mantan Ketua DPRD Kota
Malang, Dra. Sri Rahayu, Mantan Ketua dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten
Tulungagung, Mantan Kabag Keuangan dan Kasubbag Anggaran Pemda Kabupaten Situbondo,
Kepala Diknas Kota Surabaya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar