Minggu, 30 September 2012


BIAS GENDER DALAM HUKUM PERKAWINAN
(PERSPEKTIF NORMATIF-EMPIRIS)

Hermin Indrarini[1]

ABSTRAK
Meskipun UUD 1945 menjamin persaman hak laki-laki dan perempuan, tapi realitasnya masih banyak dijumpai substansi, struktur dan budaya yang diskriminatif gender yang dilegitimasi undang-undang. Peraturan perundang-undangan masih ada yang belum lengkap dalam melindungi perempuan, serta belum dilaksanakan secara konsekwen dalam melindungi perempuan. Padahal keadilan dan kesetaraan gender menjadi isu yang sangat penting dan menjadi komitmen negara-negara di dunia termasuk Indonesia untuk melaksanakannya. Akan tetapi hingga saat ini realitas menunjukkan bahwa bias gender masih terasa. Perempuan tetap tersubordinasikan oleh laki-laki.

Kata Kunci: Bias Gender, Hukum Perkawinan, Persamaan

ABSTRACT

Although the 1945 Constitution guarantees the right equation for men and women, but it's actually still common substance, structure and culture, which introduced gender discriminatory laws. Legislation is still incomplete in the protection of women, and had not been implemented consistently in favour of women. Although justice and gender equality has become a very important issue and the commitment of countries in the world, including Indonesia. However, until recently, reality shows that gender discrimination is still felt.

Key Note: gender-biased,  equality before the law

Pendahuluan
Terbukanya kran demokrasi dan kebebasan berbicara telah membuka suara-suara dan ide-ide yang selama ini cenderung bungkam karena ditekan oleh tindakan represif penguasa. Salah satu bidang yang mendapat porsi yang cukup besar dan mendapatkan ruang gerak yang leluasa adalah menyangkut masalah perempuan. Isu-isu dan gerakan tentang emansipasi, kesetaraan gender, dan perjuangan hak-hak perempuan telah menjadi perbincangan dan wacana yang menarik.
Atmosfir perbincangan tentang perempuan ini semakin hangat ketika kasus-kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan semakin menjadi-jadi. Hampir setiap hari media baik elektronik maupun cetak menayangkan berita pemerkosaan, kekerasan suami terhadap istri dan anak perempuan, serta tingkat aborsi yang sangat tinggi ( mencapai 4 juta kasus setiap tahunnya di Negara ini )[2].
Perlakuan yang diskriminatif dan semena-mena terhadap perempuan ini tidak hanya berada pada dataran kasus per kasus, namun telah menginjak dataran kebijakan pemerintah. Hingga kini Indonesia belum mampu memberikan perhatian serius terhadap pemberdayaan perempuan. Kebijakan-kebijakan yang ada selama ini belum memperlakukan perempuan secara adil. Hal itu dapat dilihat dari Undang-Undang (UU) yang masih bias gender. Antara lain, UU yang mengatur pencatatan perkawinan, poligami, batas usia nikah, kedudukan suami-istri, hak dan kewajiban suami-istri. Padahal, negara memiliki peran penting dalam mendukung upaya pemberdayaan perempuan melalui regulasi yang dibuat oleh pemerintah sehingga perempuan tidak lagi mengalami diskriminasi dalam segala aspek kehidupan. Hal ini juga dipengaruhi budaya kita yang patriarki yang berimplikasi terhadap kehidupan perempuan selanjutnya.
Bidang hukum yang seharusnya memberikan jaminan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi perempuan ternyata masih jauh dari harapan. Bahkan, sebaliknya banyak produk hukum yang menyudutkan perempuan. Berbagai fenomena menunjukkan betapa perempuan masih termarginalkan dan belum terakomodir penuh hak-haknya termasuk dalam suatu perundang-undangan. Misalnya berdasarkan suatu pengakuan dari si A, audience yang berasal dari kota Probolinggo pada suatu seminar yang bertemakan “Perempuan, Poligami dan Politik” yang diadakan di Hotel Garden Palace Surabaya tanggal 10 Juni 2007. Dia adalah korban poligami. Bapaknya menikah lagi, sedangkan isteri pertamanya (yaitu Ibu si A) sudah berusaha memberikan dan menjadi isteri yang terbaik, tapi ternyata si suami tetap menikah lagi. Sejak saat itu, Isteri pertama sudah tidak lagi mendapat nafkah untuk menghidupi diri dan anak-anaknya, sehingga ia terpaksa harus banting tulang. Karena keterbatasan ekonomi, si anak yang kebetulan juga perempuan tidak mendapatkan pendidikan yang layak[3].
Kasus tersebut menunjukkan bahwa UUP tidak efektif. Masih banyak laki-laki yang berpoligami tanpa memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Hal ini dikarenakan tidak ada sanksi yang tegas bagi pelaku yang melanggar ketentuan tersebut. Tidak hanya itu, menurut Pasal 4 ayat 3 UUP pengadilan hanya akan memberi izin untuk berpoligami jika isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan dalam kasus tersebut si isteri tidak memenuhi seluruh kriterianya. Pun demikian, pada dasarnya pasal tersebut masih bias gender. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana jika suami yang memiliki kekurangan sebagimana diatur dalam pasal tersebut?
Setelah bergulirnya reformasi, perempuan seperti terbangun dari tidur panjang. Suara-suara perempuan yang tadinya termarjinalkan karena kuatnya peran negara dalam menentukan peran perempuan, kini mencuat ke permukaan. Salah satunya adalah mencoba untuk melakukan upaya revisi terhadap UU No 1/1974 tentang Perkawinan, yang mengangkat harkat dan martabat perempuan, sehingga tidak bias gender dan tidak mengakomodasi hak-hak perempuan. Dengan demikian maka penulis akan membahas “BIAS GENDER DALAM HUKUM PERKAWINAN (PERSPEKTIF YURIDIS-EMPIRIS)”.
Akar Awal Timbulnya  Bias Gender
Kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin[4]. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku[5]. Sedangkan H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan[6]. Sedangkan menurut Oakley dalam Sex, Gender dan Society yang dimaksud Gender adalah perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis jenis kelamin (sex) merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanent dan universal berbeda. Sementara gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yakti perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan melainkan diciptakan oleh baik laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.[7]
Dalam tulisan ini penulis mengartikan ‘gender’ sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Ada perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki, namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan pada gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Kendati tuntutan ini bervariasi di setiap masyarakat, tapi terdapat beberapa kemiripan yang mencolok. Misalnya, hampir semua kelompok masyarakat menyerahkan tanggung jawab perawatan anak pada perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan pada laki-laki. Meski demikian perlu dicatat bahwa gender tidak semata-mata mempersoalkan perbedaan dan pembedaan an sich antara laki-laki dan perempuan; terlebih penting lagi ia menyangkut dominasi baik dari konteks relasi maupun distribusi kekuasaan.
Jadi bias gender adalah kebijakan/program/kegiatan atau kondisi yang menguntungkan pada salah satu jenis kelamin yang berakibat munculnya permasalahan gender.[8] Atau lebih sederhananya bias gender adalah perlakuan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan yang kecenderungan untuk menomorduakan status perempuan di masyarakat.
Faktor-faktor Penyebab Bias Gender
Dari penelusuran penulis, sedikitnya ditemukan empat faktor yang mengkontruksi Bias Gender ini.
Faktor pertama adalah budaya masyarakat yang patriarki. Pada awalnya konstruksi budaya patriarki tersebut sangat erat hubungannya dengan budaya feodal. Jika ditinjau dari konteks budaya feodal, -yang merupakan warisan bangsa penjajah-, jelas menunjukkan bahwa kedudukan perempuan adalah subordinat terhadap laki-laki. Hal ini berimplikasi pula terhadap kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Perempuan dalam hal ini dianggap ‘the second person’. Berpijak dari fakta empiris, fenomena di masyarakat menunjukkan bahwa superioritas laki-laki atas perempuan sering berdampak terjadinya kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan psikis
Kedua adalah konstruksi teologis. Dalam budaya masyarakat jika ditelusuri keberlangsungan keterpurukkan perempuan salah satunya dilatarbelakangi oleh kekurangarifan dalam menafsirkan dalil-dalil agama Islam yang kemudian seringkali dijadikan dasar utuk menolak kesetaraan jender. Kitab-kitab tafsir dijadikan referensi untuk melegitimasi paradigma patriarki, yang memberikan hak-hak istimewa kepada laki-laki dan cenderung memojokkan perempuan dengan pendefinisian yang negatif. Pendefinisian sosok perempuan yang negatif ini kemudian diwariskan secara turun temurun yang pada akhirnya mengendap dalam alam bawah sadar perempuan yang menimbulkan ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam hubungannya sebagai hamba Tuhan. Dengan kata lain pemahaman akan posisi perempuan yang bias gender sudah dengan sendirinya tertradisikan di masyarakat yang dibakukan oleh konstruksi budaya dan doktrin keagamaan serta ditopang oleh nilai-nilai kultural dan ideologis.
Ditambahn lagi sejumlah ulama telah menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis dengan penafsiran yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarkhat[9]. Hal itu karena mereka berpijak pada teks harfiyahnya yang sepintas memang tampak mendukung penafsiran demikian. apalagi pengaruh latar belakang sosio-historis dan sosio-politis para penafsir yang umumnya didominasi budaya patriarki. Pada masyarakat dimana unsur budaya patriarki sangat dominan, penafsiran seperti itu bukan hal yang janggal dan karenanya tidak dipersoalkan. Akan tetapi, pada masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi atau sedang mengalami proses demokratisasi dengan upaya-upaya penegakan hak-hak asasi manusia, penafsiran tersebut dirasakan sangat tidak kondusif lagi. Karena itu, diperlukan reinterpretasi ajaran agama agar sesuai dengan tuntutan dinamika masyarakat.
Padahal posisi antara laki dan perempuan adalah sederajat. Berdasarkan beberapa ayat-ayat di al-Qur’am, akan diketahui bahwa Islam mengakui persamaan kedudukan, -hak dan kewajiban- antara laki-laki dan perempuan[10]. Kesamaan antara perempuan dan laki-laki itu, terutama dapat dilihat dari tiga dimensi. Pertama, dari segi hakikat kemanusiaannya. Dilihat dari hakikatnya sebagai manusia, Islam memberikan kepada perempuan sejumlah hak untuk meningkatkan kualitas kemanusiaannya, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, dan hak-hak lain yang berkenaan dengan urusan publik. Kedua, dari segi pelaksanaan ajaran agama, Islam mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat pahala atas amal saleh yang diperbuatnya. Sebaliknya, keduanya pun akan mendapatkan siksaan atas dosa yang diperbuat. Tidak satupun amalan dalam Islam yang memberikan keistimewaan kepada salah satunya. Bahkan juga disebutkan bahwa perempuan adalah mitra sejajar laki-laki[11].
Ketiga, Jika ditilik lebih mendalam, pada prinsipnya semua penafsiran, mazhab-mazhab, dan aliran-aliran itu adalah hasil ijtihad atau pemikiran manusia. Dan karena semua ijtihad dan pemikiran itu bukanlah wahyu yang bersifat absolut, melainkan bersifat relatif, maka semua bentuk ijtihad atau pemikiran itu bisa berubah dan boleh berubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan manusia dan tuntutan kemajuan zaman[12]. Sejak zaman klasik Islam, para ulama besar sudah terbiasa menerima keragaman penafsiran dan hasil ijtihad dengan sikap demokratis, penuh pengertian, dan lapang dada, bahkan para imam mujtahid, yakni para pendiri mazhab yang terkemuka, seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hanbal tak segan-segan menghimbau para murid dan pengikutnya untuk tidak bersikap fanatik dan taklid buta, apalagi mengklaim bahwa pendapat merekalah yang mutlak benar[13]. Sebaliknya, para imam mazhab itu secara tertulis meminta kepada para penganut mazhabnya untuk tetap bersikap terbuka menerima kritik, dan jika perlu mengubah pendapat mereka dengan pendapat yang lebih kuat argumentasinya. Itulah sikap tasamuh (toleransi) yang banyak diajarkan para ulama pendiri mazhab.
Faktor penyebab kesenjangan gender yang ketiga adalah tata nilai sosial budaya masyarakat, Jika dilihat dari konstruksi budaya patriarki, ajaran Islam yang demikian ideal dan luhur itu dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah kekuasaan Islam meluas ke berbagai wilayah yang penduduknya masih kental menganut budaya patriarki, mengalami perubahan sangat drastis. Ajaran Islam yang sangat mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, prinsip-prinsip egalitarian, inklusif, dan nilai-nilai demokrasi serta ramah terhadap perempuan ternyata tidak lagi dipraktekkan sebagaimana mestinya.
Akibatnya, kaum perempuan di berbagai wilayah Islam kembali diperlakukan seperti pada masa Jahiliyyah. Perempuan kembali terkekang di dalam rumah dan dituntut mengerjakan tugas-tugas tradisional mereka selaku perempuan –salah satunya tugas rumah tangga-. Mereka hanya boleh keluar jika ada izin suami atau kerabat lelakinya, itu pun untuk keperluan darurat. Perempuan tidak lagi memiliki kebebasan bersuara, berkarya dan berharta. Bahkan, mereka tidak bebas lagi memilih model busana (walaupun tetap sopan, tidak merangsang), melainkan harus mengenakan hijab, semacam pakaian yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Tentu saja kondisi demikian tidak kondusif bagi perempuan untuk berkiprah dan beraktivitas di masyarakat secara leluasa sebagaimana pernah terjadi di masa Rasul. Kondisi seperti inilah yang masih berlangsung sampai sekarang, termasuk di kalangan umat Islam Indonesia.umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideologi patriarki); Peraturan perundang-undangan masih banyak yang berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender[14]; Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang holistik[15]; Rendahnya pemahaman para pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender, serta konstruksi feodalisme yang masih melekat di Indonesia.
Dilihat dari konstruksi institusi negara dalam pembentukan hukum. Analisis terhadap kasus-kasus hukum mengungkapkan bahwa ketimpangan gender dalam bidang hukum dijumpai pada tiga aspek hukum sekaligus sebagaimana diungkapkan Friedman, yaitu pada materi hukum (content of law), budaya hukum (culture of law) dan struktur hukumnya (structure of law)[16]. Pada aspek struktur, ketimpangan gender ditandai oleh masih rendahnya sensitivitas gender di lingkungan penegak hukum, terutama di kalangan polisi, jaksa dan hakim. Lalu, pada aspek budaya hukumnya juga masih sangat dipengaruhi nilai-nilai patriarki yang kemudian mendapat legitimasi kuat dari interpretasi agama. Tidak heran jika selanjutnya agama dituduh sebagai salah satu unsur yang melanggengkan budaya patriarki dan mengekalkan ketimpangan relasi gender dalam bidang hukum.
Hal itu kemudian diperparah oleh keterbatasan materi hukum yang ada sebagaimana terlihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Materi hukum dalam sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut sarat dengan muatan nilai-nilai patriarki yang bias gender, bahkan peraturan perundangan-undangan tersebut masih menjadikan perempuan sebagai obyek, bukan sebagai subyek. Akibatnya, perempuan kehilangan haknya menikmati tujuan perundang-undangan dan menjadi kelompok yang dirugikan dan dipinggirkan atas nama Peraturan perundangan-undangan.
Bias Gender dalam Hukum Perkawinan
Melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1984 Indonesia telah meratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang otomatis mengharuskan peraturan perundang-undangan kita untuk mengakomodasi hak-hak dan kepentingan perempuan. Dalam Konvensi tersebut tercantum beberapa alasan mengenai pentingnya pemajuan hak asasi perempuan dan komitmen-komitmen dari negara-negara penandatanganan Konvensi dan hanya bila komitmen itu diimplementasikan, maka barulah akan terwujud kesetaraan gender. Namun, berbagai kenyataan di lapangan menunjukkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak-hak perempuan dan belum terwujudnya kesetaraan gender. Hal ini menunjukkan bahwa masih adanya bias gender dalam perundang-undangan[17].
Meskipun UUD 1945 menjamin persaman hak laki-laki dan perempuan, tapi realitasnya masih banyak dijumpai substansi, struktur dan budaya yang diskriminatif gender yang dilegitimasi undang-undang. Peraturan perundang-undangan masih ada yang belum lengkap dalam melindungi perempuan, serta belum dilaksanakan secara konsekwen dalam melindungi perempuan.
Keadilan dan kesetaraan gender menjadi isu yang sangat penting dan menjadi komitmen negara-negara di dunia termasuk Indonesia untuk melaksanakannya. Akan tetapi hingga saat ini realitas menunjukkan bahwa bias gender masih terasa. Perempuan tetap tersubordinasikan oleh laki-laki.
Dengan demikian penulis lebih menspesifikkan pembahasan bias gender dalam peraturan perundang-undangan khususnya tentang poligami dalam undang-undang perkawinan. Dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (UUP) yang berbunyi “Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: (a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; (b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.”[18]
Kemudian Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan juga ternyata telah menyebabkan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak perempuan. Batas usia minimal 16 tahun untuk perempuan yang boleh melangsungkan perkawinan adalah bertentangan dengan batas usia dalam Konvensi Internasional Tentang Hak Anak (Convention on the Right of the Child). Dalam konvensi tersebut diatur batas usia anak sampai dengan usia 18 tahun sehingga perkawinan di bawah usia 18 tahun merupakan pelanggaran terhadap hak anak[19].
Kemudian Pasal 31 ayat 3 UUP yang mengatur tentang peran istri dan suami yaitu suami adalah kepala keluarga sementara istri adalah ibu rumah tangga,. Pembagian peran tersebut jelas menghendaki posisi istri sebagai subordinat suami. Pasal tersebut memberi kekuasaan penuh terhadap laki-laki sebagai kepala rumah tangga, yang artinya sebagai pemegang kekuasaan tunggal dalam hal pengambilan keputusan dalam rumah tangga.
Disamping itu bias gender juga terdapat pada Pasal 34 Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga sedangkan istri, ibu yang bertanggung jawab mengenai pengurusan rumah tangga, juga merupakan sebuah bentuk domestifikasi perempuan, segala bentuk urusan rumah tangga dibebankan pada isteri. Dalam ayat 1 pasal 34 tersebut suami hanya dibebani kewajiban melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, akan tetapi tidak disebutkan batasan-batasan kemampuan suami, sehingga hal ini dapat dengan mudah diselewengkan dengan mengatakan “memang kemampuannya hanya segitu”[20]. Kemudian juga tentang hak suami untuk hal-hal tertentu dalam hal diizinkan berpoligami, serta terbatasnya hak istri untuk mengajukan gugatan terhadap suami bila ingin bercerai di pengadilan tempat tinggal suami, serta sejumlah peraturan lainnya.
Paparan tersebut menunjukkan bahwa masih banyak peraturan perundang-undangan kita yang diskriminatif dan bias gender.

Kesimpulan dan Rekomensi
Pertama, perlu sekali melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya melalui pendidikan, baik di level formal mau pun non-formal, terutama pendidikan dalam keluarga. Pendidikan yang dapat mengubah budaya patriarki menjadi budaya yang menghargai kesetaraan, perbedaan, dan kemajemukan; mengubah budaya kekerasan menjadi budaya damai penuh toleransi. Upaya ini diharapkan dapat membantu lahirnya iklim demokrasi yang memungkinkan partisipasi perempuan secara luas dalam berbagai perumusan kebijakan publi.
Kedua, melakukan upaya-upaya sistematik merevisi semua perundang-undangan, khususnya perda yang diskriminatif dan tidak ramah terhadap perempuan melalui judicial review kepada Mahkamah Agung dan executive review kepada Departemen Dalam Negeri, dan selanjutnya mengusulkan perda-perda yang memihak perempuan, seperti Perda Propinsi Jawa Timur nomor 9 tahun 2005 tentang Perlindungan Anak dan Perempuan Korban Kekerasan. Sejatinya, perda semacam inilah yang sangat pantas disebut Perda Syariat Islam mengingat Islam adalah agama yang paling gigih menyuarakan pemihakan dan perlindungan kepada semua kelompok tertindas yang dalam Al-Qur'an disebut kelompok mustadh'afin. Perda seperti inilah yang dapat mwujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Ketiga, menggalakkan upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama dalam rangka mengeliminasi secara gradual semua pemahaman keagamaan yang tidak kondusif bagi kehidupan demokrasi dan bangunan masyarakat madani, seperti kewajiban berjilbab, larangan keluar malam, larangan bepergian tanpa muhrim dan sebagainya yang tidak memiliki dasar argumen teologis yang kuat dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasul. Reinterpretasi ajaran agama ini pada akhirnya diharapkan mewujudkan ajaran Islam yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, ajaran yang ramah terhadap perempuan, ajaran yang rahmatan lil alamin atau sungguh-sungguh mendatangkan kesejukan, kedamaian, kemaslahatan bagi alam semesta. Wallahu a`lam bi as-shawab.


DAFTAR PUSTAKA

An-Naim, Dekonstruksi Syari`ah (terjemahan), Yogyakarta: LKiS, 1995.
 C.T. Onionss (ed.), The Word Dictionary of English Etymology, Oxford: Oxford at the Clarendon Press, 1979.
 Greata, Kedudukan Perempuan Menurut Prof. Hamka, http://grelovejogja.wordpress.com/2007/02/13/feminisme-menurut-hamka/, diakses tanggal 12 Juni 2011
H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization, Leiden, New York, Kobenhavn, Koln: EJ. Brill, 1989.
Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.
John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983.
Lawrence Meir Freidman, The Legal System; A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Fundation, 1975.
Lies S. Kasno, Banyak Produk Hukum yang Menyudutkan,
Perlindungan Hak Perempuan Rendah
, PIKIRAN RAKYAT, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0703/10/0311.htm, diakses tanggal 28 Juni 2007)
Meutia Hatta dalam Yul, Puluhan Undang-undang Masih Bias Gender, http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=40353, diakses tanggal 29 Juni 2007.
Meutia Hatta dalam Yul, Puluhan Undang-undang Masih Bias Gender, http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=40353, diakses tanggal 29 Juni 2007
Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, Jilid 5, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
Musdah Mulia, dalam NMP, Mempertanyakan RUU yang Bias Gender, http://situs.kesrepro.info/gendervaw/okt/2003/gendervaw01.htm, diakses tanggal 29 Juni 2007)
Najlah Naqiyah, Hukum Melindungi atau Membelenggu, dalam Otonomi Perempuan, Malang:Bayumedia, 2005)
Oakley, Gender and Sex in Society, New York: Praeger Publishers, 1975.
Pemerintah Propinsi Banten, Pemantapan Dimensi Tentang Gender, 2006, http://www.bantenprov.go.id/komunitas/?link=dtl&id=52, diakses tanggal 12 Juni 2000.
Raga’ El-Nimr, Perempuan Dalam Hukum Islam, dalam Mai Yamani (ed), Perspektif Hukum Dan Sastra: Feminisme dan Islam, Bandung: Nuansa, 2003
Siti Musdah Mudlia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta:Gramedia, 2004)
________________, Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan, http://www.icrp-online.org/wmprint.php?ArtID=178, diakses tanggal 27 Juni 2007, bandingkan Siti Musdah Mudlia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta:Gramedia, 2004.
Toha Hamim, Kata Pengantar, dalam  Ali Munhanif (ed), Mutiara Terpendam, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Victoria Neufeldt (ed.), Webster's New World Dictionary, New York: Webster's New World Cleveland,1984







[1] Dosen DPK Kopertis Wil. VII pada Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya
[2] Greata, Kedudukan Perempuan Menurut Prof. Hamka, http://grelovejogja.wordpress.com/2007/02/13/feminisme-menurut-hamka/, diakses tanggal 12 Juni 2011

[3] Pengalaman yang diceritakan salah satu audience pada suatu seminar bertema “Perempuan, Poligami dan Politik” yang diadakan oleh Partai Demokrat bertempat di Hotel Garden Palace Surabaya, tanggal 10 Juni 2011.
[4] John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983, h. 265
[5] Victoria Neufeldt (ed.), Webster's New World Dictionary, New York: Webster's New World Cleveland,1984, h.561. Bandingkan dengan kamus Oxford yang mendefinisikan gender sebagai a grammatical classification of objects roughly corresponding to the two sexes and sexlessness, property of belonging to such a class. (Lihat C.T. Onionss (ed.), The Word Dictionary of English Etymology, Oxford: Oxford at the Clarendon Press, 1979).
[6] H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization, Leiden, New York, Kobenhavn, Koln: EJ. Brill, 1989, h. 2.
[7] Oakley, Gender and Sex in Society, New York: Praeger Publishers, 1975, hal. 274
[8] Pemerintah Propinsi Banten, Pemantapan Dimensi Tentang Gender, 2006, http://www.bantenprov.go.id/komunitas/?link=dtl&id=52, diakses tanggal 12 Juni 2007
[9] Ayat-ayat dan hadits yang dimaksud adalah 1) an-Nisa', 4:1 yang berbicara soal penciptaan, 2) an-Nisa' , 4:34 yang menegaskan kepemimpinan laki-laki atas perempuan, dan 3) ayat 36 surah Ali Imran yang menerangkan ketinggian derajat laki-laki atas perempuan. Adapun dari hadis, umpamanya hadis Abu Hurairah, riwayat Turmuzi menjelaskan soal penciptaan perempuan dari tulang yang bengkok (dil`in a`waj), atau hadis Abu Bakrah riwayat Bukhari, An-Nasa'i, dan Ahmad yang mengatakan: "tidak akan beruntung suatu kaum, jika mengangkat perempuan sebagai pemimpin". Hal ini menyebabkan anggapan bahwa ajaran Islam merupakan landasarn inferioritas perempuan, sebagai akibat dari interpretasi terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang secara tekstual memang mengarah kepada pemahaman seperti itu. (lihat: Siti Musdah Mulia, Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan, http://www.icrp-online.org/wmprint.php?ArtID=178, diakses tanggal 27 Juni 2007, bandingkan Siti Musdah Mudlia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta:Gramedia, 2004)
[10] Ayat-ayat tersebut antara lain: Q. S. al-Hujurat, 49:13, an-Nisa', 4:1, al-A`raf, 7:189, al-Zumar, 39:6, Fatir, 35:11, dan al-Mu'min, 40:67 yang menegaskan bahwa dari segi hakikat penciptaan, antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan, termasuk di dalamnya antara perempuan dan laki-laki. Karena itu, tidak perlu ada semacam superioritas satu golongan, satu suku, satu bangsa, atau satu ras terhadap yang lainnya. Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara sesama manusia, termasuk persamaan antara perempuan dan laki-laki. Dalam sejumlah hadis Nabi pun dinyatakan bahwa sesungguhnya perempuan itu mitra sejajar laki-laki. (Lihat, antara lain hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan At-Turmuzi). Dengan demikian, pada hakikatnya manusia itu adalah sama dan sederajat, mereka bersaudara dan satu keluarga. Penjelasan tersebut melahirkan kesimpulan bahwa Al-Qur'an menegaskan equalitas perempuan dan laki-laki. (lihat: Siti Musdah Mudlia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta:Gramedia, 2004)
[11] An-Naim, Dekonstruksi Syari`ah (terjemahan), Yogyakarta: LKiS, 1995.
[12] Hadisnya jika diartikan berbunyi: Barangsiapa berijtihad dan ijtihadnya benar akan mendapat dua pahala, sedangkan jika ijtihadnya salah, ia tetap mendapatkan satu pahala. Hadis inilah yang memberikan inspirasi dan motivasi kuat bagi para ulama di masa awal Islam melakukan ijtihad sehingga melahirkan berbagai macam mazhab (aliran pemikiran) dalam tafsir, fiqh, tasawuf, filsafat dan teologi.
[13] Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995, hal. 56, lihat juga Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, Jilid 5, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
[14] Ada beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih bias gender terutama bab kesusilaan yang belum mampu melindungi perempuan sepenuhnya, misalnya pasal-pasal pornografi, khususnya pendefinisian yang cenderung menempatkan perempuan sebagai obyek serta memojokkan perempuan sebagai pelaku pornografi&pornoaksi, tidak/belum diaturnya pasal-pasal yang khusus tentang pelecehan seksual, karena saat ini pelecehan seksual hanya bisa dijerat dengan pasal tentang perbuatan cabul, sedangkan pelecehan seksual kategori ringan seperti kata-kata kotor, bersifat porno dan sebagainya belum diatur dalam KUHP, pasal tentang aborsi hanya menjerat perempuan sebagai pelaku aborsi namun tidak mampu menjerat laki-laki yang tidak bertanggungjawab yang menyebabkan perempuan melakukan aborsi, juga dari kasus kejahatan seksual tampak sekali bagaimana lemahnya kedudukan seorang wanita sebagai korban kejahatan di dalam sistem hukum kita, terutama yang menyangkut kejahatan terhadap kesusilaan dan kekerasan terhadap wanita. Undang-undang lain yang bias gender adalah UU No. 1 tahun 1974, UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. Selain itu, seperti tampak dalam UU Keimigrasian, tentang keharusan seorang anak mengikuti kewarganegaraan bapaknya. Faktanya, banyak anak di Indonesia yang berbapakkan orang asing. Masalah timbul tatkala terjadi perceraian yang berakhir dengan kepulangan si bapak ke negaranya. Si anak yang lahir dan dibesarkan di Indonesia setelah dewasa akan kesulitan dalam mengurus paspor karena persoalan kewarganegaraan itu. (lihat: Meutia Hatta dalam Yul, Puluhan Undang-undang Masih Bias Gender, http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=40353, diakses tanggal 29 Juni 2007)
[15] Pada dasarnya Al-Qur'an menegaskan bahwa perempuan memiliki hak dan kewajiban yang ukurannya sama persis dengan hak dan kewajiban laki-laki. Memang laki-laki dinyatakan Al-Qur'an berada satu tingkat lebih tinggi. Namun posisi tersebut tidak menyangkut hak dan kewajiban, tetapi berkaitan dengan tugasnya sebagai pelindung. (lihat: Toha Hamim, Kata Pengantar, dalam  Ali Munhanif (ed), Mutiara Terpendam, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. hal. xxxiii). Persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan berulang kali diulang-ulang dalam ayat al-Quran, misalnya dalam hal ibadah keduanya dibebani hak dan kewajiban yang sama. Tuhan memerintahkan Laki-laki dan perempuan untuk patuh pada hukum Tuhan. (lihat juga: Raga’ El-Nimr, Perempuan Dalam Hukum Islam, dalam Mai Yamani (ed), Perspektif Hukum Dan Sastra: Feminisme dan Islam, Bandung: Nuansa, 2003)
[16] Lawrence Meir Freidman, The Legal System; A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Fundation, 1975, h. 14

[17] Meutia Hatta menyatakan bahwa hingga saat ini masih banyak peraturan perundnag-undangan yang bias gender. Dia mengatakan ada sekitar 21 peraturan perundang-undangan yang masih diskriminatif. Tentu saja hal ini dapat diatasi dengan bantuan pemerintah dalam membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan lebih sensitif gender. (Lihat: Meutia Hatta dalam Yul, Puluhan Undang-undang Masih Bias Gender, http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=40353, diakses tanggal 29 Juni 2007) hal ini disebabkan tradisi patriarki yang ada di indonesia masih sangat kuat sehingga menyebabkan banyak perempuan tidak memiliki cukup pemahaman tentang hak-haknya, dan tidak punya kemampuan menyuarakan keberatannya bila hak-haknya tidak dipenuhi, terutama bagi perempuan yang dari segi ekonomi tergantung pada suami akan sangat sulit untuk dapat mengakses publik, hal ini dapat menyebabkan suara mereka tidak terjangkau oleh media, hukum negara, serta pemerintah. (lihat: Musdah Mulia, dalam NMP, Mempertanyakan RUU yang Bias Gender, http://situs.kesrepro.info/gendervaw/okt/2003/gendervaw01.htm, diakses tanggal 29 Juni 2007)
[18] Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
[19] Lies S. Kasno, Banyak Produk Hukum yang Menyudutkan,
Perlindungan Hak Perempuan Rendah
, PIKIRAN RAKYAT, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0703/10/0311.htm, diakses tanggal 28 Juni 2007)
[20] Pembebanan kewajiban mengurus rumah tangga tersebut tanpa melihat apakah si isteri juga ikut membantu suami mencari nafkah, atau bahkan beban pencari nafkah justru hanya dibebankan pada si isteri, sedangkan suami menganggur. Banyak kasus yang terjadi, dimana si isteri dibebani dua tugas, yaitu mengurus rumah tangga juga pencari nafkah, sedangkan si suami masih menganggur. Pasal tersebut sangat bias, karena laki-laki dibebani kewajiban sesuai dengan kemampuannya, sedangkan perempuan bisa mendapat tugas ganda sebagai telah disebutkan tadi. Padahal seharusnya hukum dapat melindungi yang lemah, namun faktanya hukum dibuat justru sering untuk yang kuat. (lihat: Najlah Naqiyah, Hukum Melindungi atau Membelenggu, dalam Otonomi Perempuan, Malang:Bayumedia, 2005)


 

PROBLEMATIKA  HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA 

Azis  Setyagama[1]

Abstrak

Perkawinan beda   agama  antara  seorang  pria  dengan seorang  wanita   akan  mengalami kendala  hukum  di  Indonesia .  Hal  ini  disebabkan   tidak  adanya  aturan hukum yang  mengatur mengenai masalah perkawinan  beda  agama  setelah  dicabutnya  Keputusan Menteri Dalam  Negeri  No.  172223 /1991  yang  membolehkan  adanya  perkawinan beda  agama. Realita  yang  terjadi  di  tengah  masyarakat ada sebagian anggota  masyarakat yang  ingin  melakukan  perkawinan  denagn  pasangan yang  berbeda  agama ,halini  akan  mengalami kesulitan  apabila  kedua  belah  pihak ( Calon Suami Isteri )  tetapmempertahankan keyakinannya  masing  -masing.  Dengan  tidak adanya  aturan  hukum  yang  mengaturnya  maka  akan  memberikan  peluang untuk memalsukan identitas  diri , agar  perkawinannya  bisa  dilangsungkan  sehingga  akan  terjadi  problema  hukum  yang  bersangkutan.

Kata  Kunci :  Problematika Hukum , Perkawinan Beda Agama

ASBTRACT

Interfaith marriages between a man a woman would have legal problems in Indonesia. This is due to the lack of legal norms regulating the marital problems of different religions after removal of the Minister of Home Affairs No. 172223/1991, which allows the existence of interfaith marriages. The reality of what's going on in society, there are some members of the public who would like to perform marriages denagn couples of different religions, halini would be difficult if the two sides (future husband-wife) tetapmempertahankan Vera respectively. In the absence of legal norms that regulate this will provide opportunities for enhancing identity, marriage may happen, that there will be no legal problems.

Key note: problematic law,  interfaith marriage

Pendahuluan

Setiap ada  pernikahan  beda agama selalu mengundang masalah ,setidaknya masalah hukum dan akibat dari pernikahan itu.  Tetapi orang  yang sedang di mabuk asmara perbedaan yang prinsip  tersebut  tidak  menjadi halangan  sepertiapayang dilakukan oleh Penyanyi  terkenal  Yuni  Shara dengan Henry Siahaan  dan Nia Dicky Zulkarnaen dengan Shihasale.
Tentu  saja perkawinan beda  agama  ini  akan membikin  masalah ,khususnya dari segi  hukum baik itu hukum nasional  maupun  hukum agama.  Permasalahan yang prinsip  ini  bagi  orang  yang dilanda  cinta tidak dipermasalahkan yang penting bisa hidup bersama  dalam perkawinan meskipun Pemerintah  dan agama  tidak  mengakui  adanya  adanya  perkawinan beda  agama  tersebut.  Sehingga mereka  melakukan  perkawinan di luar negeri  yang  mengakui adanya perkawinan beda  agama  tersebut, namun demikian  apabila  mereka kembali ke Indonesia tetap saja  perkawinan  tidak sah  menurut  hukum nasional.
Dengan tidak  adanya solusi  hukum terhadap  orang yang melakukan  perkawinan beda agama ini ,maka  yang banyak terjadi  pemalsuan identitas atau mereka pura –pura  memeluk atau pindah agama  agar tidak terbentur  masalah  administrasi  untuk  melakukan perkawinan. Setelah mereka melakukan perkawinan menurut  agama tertentu, mereka  suami  atau isteri akan kembali  ke agama yang dianut  masing –masing. Kenyataan  ini merupakan  problema hukum  yang perlu  dicarikan penyelesaiannya , agar orang yang ingin melakukan  perkawinan beda  agama tidak membikin agama sebagai alat untuk memperlancar perkawinan beda agama  tersebut atau juga menghindari kepura – puraan  yang tidak sesuai dengan keyakinan  orang yang melakukan

Kajian Dari Hukum  Nasional
Sebelum dicabutnya  Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 172223/1991, perkawinan beda  agama diperbolehkan . Dengan alasan untuk  mengisi  kekosongan hukum ,maka  perkawinan beda  agama bagi warga  negara diperbolehkan  dengan terlebih dahulu mendapatkan Penetapan  dari Pengadilan Negeri yang isinya  memerintahkan perkawinannya  menurut  hukum agama  yang  disepakati oleh  kedua  mempelai. Setelah mendapatkan  Penetapan dari  pengadilan Negeri tersebut baru kemudian  dicatatkan di Kantor Catatan Sipil  untuk mendapatkan  Akte Perkawinan.
Dengan demikian  berdasarkan Surat Edaran Mendagri tersebut  perkawinan beda agama oleh negara diperbolehkan  meskipun tidak sah  oleh agama.  Dan memang kenyataannya  di masyarakat  ada sebagian  orang yang ingin  melaksanakan perkawinan beda  agama  tanpa harus beraleh ke agama  pasangannya.
Setelah  di cabutnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 172223 /1991  ,perkawinan  beda agama tidak ada jalan keluarnya , sehingga  banyak pasangan  calon mempelai  menikah di LuarNegeri. Namun demikian  perkawinan beda  agama tersebut  tidak sah menurut hukum nasional. Pertimbangan yang menjadi dasar dicabutnya Surat Edaran Mendagri  tersebut ,  karena  bertentangan  dengan UU No 1 Tahun 1974  tentang perkawinan  , dimana  dalam pasal 2 ayat 1 dan 2  memuat ketentuan  sbb:
(1)   Perkawinan adalah  sah ,  apabila dilakukan menurut  hukum masing –masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2)   Tiap – tiap  perkawinan dicatat  menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Dalam  ayat  ( 1 ) tersebut sudah jelas bahwa perkawinan sah harus sesuai  dengan  ajaran agama dan kepercayaannya , padahal  kita  tahu diajaran agama  manapun di dunia ini  tidakmembolehkan umatnya  untuik kawin beda agama , lebih – lebih  Agama Islam.  Kalau ada orang  yang ingin melakukan perkawinan  dengan  beda agama  berarti orang tersebut  tidak mematuhi  ajaran agama  yang dianutnya . Padahal kita tahu  bahwa  agama  itu berfungsi  untuk menuntun manusia  agar selamat  di dunia dan akhirat.
Dalam ayat (2)  menunjukkan legalitas  bahwa perkawinan tersebut harus dicatat ,fungsinya perkawinan tersebut harus dibuktikan secara formal yaitu dengan bukti Akte Perkawinan.  Dengan bukti formal tersebut  secara  administratif  perkawinan itu  telah dilangsungkan sesuai  dengan ketentuan  ayat ( 1 ) tersebut.  Sehingga sah  secara hukum agama  dan sah menurut  hukum negara ( dicatat oleh Pegawai Pencatat Perkawinan ).
Dengan dicabutnya Surat Edaran Mendagri No. 172223 / 1991 tersebut  ada juga dampak negatifnya ,yaitu  kecendrungan  orang memalsukan identitas agar perkawinan  beda agama tidak  mengalami kendala  secara administratif dan ini membikin orang untuk bersikap Munafik atau penuh dengan kepura – puraan ,yaitu dengan membuat pernyataan  memeluk agama calon mempelai, agar  perkawinan beda  agamanya  tidak  mengalami  kendala administrasi.

Kajian Dari Hukum Islam
Agama Islam  melarang keras Wanita Muslimah  melakukan perkawinan  dengan laki – laki  Non Muslim , tetapi untukLaki –Laki Muslim masih ada  toleransi  yaitu dalam keadaan darurat  yaitu  wanita muslimah  tidak ada, dan baru boleh mengawini wanita  yang Ahlul Kitab.
Menueurt Prof. Dr.  Buya Hamka , tidak semua laki –laki muslim diijinkan untukmenikahi  dengan Perempuan Yahudi atau Nasroni,yang diberi  ijin  hanyalah  laki laki Muslim yang  kuat imannya , sehingga imannya tidak  goyah karena  berlainan agama dengan perempuan isterinya.  Dia akan tetap  menjadi suami yang memimpin  dalam rumah tangganya . Tetap akan menjadi teladan baik dalam fungsinya  sebagai seorang muslim secara umum , maupun sebagai  suami secara khusus. Jika Imannya  lemah ,ia tidak diijinkan kawin  dengan perempuan Yahudi atau Nasroni.
Yang  menjadi pertanyaan ,mengapa wanita Muslimah  tidak diperbolehkan  kawin dengan  laki – laki non Muslim ?  Hal ini  sudah sesuai dengan Firaman Allash SWT dalam Al Qur’an ,bahwa perempuan – perempuan Muslimah tidak halal  bagi laki -  laki kafir, dan laki – laki kafir tidak halal bagi perempuan – perempuan muslimah. Disamping  itu Allah SWT memberikan aturan atau hukum kepada manusia itu sesuai dengan “ Sunatullah “ atau Hukum Alam  sesuai dengan   yaitu sesuai dengan  kodrat ciptaan-Nya , dalam  hal ini  wanita lebih mengedepankan emosi dari rasio  dan nalar wanita lebih labildibandingkan dengan laki – laki . Untuk itu wanita Muslimah dilarang  oleh Allah SWT untuk kawin  dengan  seorang  laki  - laki  non Muslim.
Meskipun sudah  jelas dilarang oleh Agama ,perkawinan beda agama  masih juga dilakukan oleh  sebagian manusia  dengan berbagai alasan  yang berdasar  pada keinginan manusia  yang jelas tidak dibenarkan oleh agama  maupun negara dan ini merupakan realitas yang ada  di tengah masyarakat.
Menurut  Hakim Agung  Bismar Seregar,SH.  “ Wanita  yang kawin dengan laki  -  laki bukan Islam  boleh disebut   melepaskan agamanya , wanita yang demikian ini bagaikan sudah memilih suaminya  daripada agamanya.”  Bagi seorang  Muslim  harta yang berharga  di dunia adalah  “ Keimanan “ atau Aqidah    ,karena seorang muslim tidak hanya mengejar kebahagian di dunia saja tetapi  juga kebahagiaan yang kekal  di akhirat  dan modalnya adalah keimanan , dan kalau keimanan sudah hilang  maka  harapan untuk mengejar  kebahagian akhirat sudah  tidak ada harapan lagi.  Menurut ajaran Islam dosa apapun yang dilakukan oleh manusia di dunia ini oleh Allah SWT masih diampuni  kecuali perbuatan Syirik / menyekutukan Tuhan.
Mengapa  Allah SWT  begitu murka terhadap  perbuatan  syirik ini , menurut  Penulis  ,semua  yang ada  di langit dan bumi ini  atau yang ada di alam semesta ini ciptaan  Allah SWT, dan tidak pantas / patut  ciptaan Allah itu  dijadikan atau dianggap sebagai Tuhan  oleh manusia.Untuk itu Allah SWT sangat murka terhadap perbuatan  Syirik ini.

Maksud Dan Tujuan Perkawinan Menurut Pandangan  Islam
Pengertian perkawinan dalam Hukum Islam artinya nikah yang mempunyai arti perkawinan akad perjanjian. Akad Nikah berarti perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk keluarga bahagia dan kekal.[2]  Menurut Imam Syafei pengertian nikah adalah suatu aqad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita, sedangkan menurut arti majasi  nikah itu artinya hubungan seksual. Dengan demikian dapat diartikan nikah adalah suatu aqad yang membolehkan seorang pria ( suami ) dengan seorang wanita ( isteri ) untuk membentuk rumah tangga yang bahagia sesuai dengan ajaran agama Islam, sebab dalam agama Islam dilarang melakukan hubungan seksual kecuali  dengan isterinya atau suaminya, maka dari itu agama Islam menganjurkan dan mewajibkan pria yang sudah mampu segera mengikatkan diri dalam perkawinan, sbab perkawinan itu sangat baik dan dianjurkan oleh Allah SWT.
Untuk melakukan perkawinan dalam hukum Islam harus memuat rukun dari perkawinan tersebut, rukun perkawinan adalah sebagai berikut ;
1.      Wajib adanya sighat ijab Kabul
2.      Adanya wali dari pihak wanita
3.      Adanya mahar atau maskawin
Ad. 1 Sighat dab qabul
Sighat adalah aqad nikah atau ijab qabul , yang dimaksudkan ijab adalah ucapan penyerahan nikah dari wali penganten perempuan atau wakilnya pada waktu upacara akad nikah. Sedangkan yang dimaksud dengan qabul adalah jawaban dari pihak pria. Dengan melaksanakan ijab qabul ini berarti kedua belah pihak telah rela dan sepakat melangsungkan perkawinan serta bersedia mengikuti ketentuan – ketentuan agama yang berhubungan dengan perkawinan. Apabila pihak- pihak yang berakad melaksanakan akad dengan terpaksa atau tidak mau melaksanakan hal – hal  yang telah ditentukan oleh agama , maka pihak – pihak yang merasa dirugikan oleh adanya akad itu dapat mengajukan gugatan kepada hakim.
Pihak –pihak yang telah melaksanakan akad nikah harus memenuhi syarat – syarat tertentu supaya akadnya sah. Syarat – syarat sah adalah :
1.      Telah baligh sehingga dianggap mempunyai kecakapan sempurna
2.      Tidak ada paksaan
3.      Berakal sehat
4.      Harus mengetahui , mengerti dan mendengar arti ucapan atau perkataan masing – masing.
Mengenai ukuran dewasa bagi calon mempelai laki – laki dan wanita dalam undang – undang perkawinan, dalam pasal 7 ayat 1 ditegaskan bahwa pihakpria sudah  mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Untuk penyimpangan terhadap ketentuan pasal 7 ( 1 ) tersebut , harus meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

Ad. Adanya Wali
Untuk menjadi wali harus memenuhi syarat – syarat untuk menjadi ;
a.       Seorang lelaki yang muslim
b.      Baligh / dewasa
c.       Berakal
d.      Adil dan merdeka
Wali ini berasal dari pihak keluarga wanita tanpa adanya ali, maka prnikahan tersebut dianggap tidak sah, wali ini bisa ayah dari pihak wanita , atau kakeknya atau saudara lelakinya atau paman dari pihak ayah.
Pada dasarnya perwakilan dalam aqad nikah bisa dilaksanakan secara lesan tanpa saksi. Tetapi untuk menghindari hal – hal  yang tidak diinginkan yang timbul dikemudian hari , apalagi yang mewakilkan tidak hadir pada waktu akad nikah dilaksanakan, sebaiknya perwakilan itu dinyatakan secara tertulismengenai perwakilan dalam aqad nikah selain wali, mempelai laki – laki pun boleh mewakilkan kepada orang lain untuk menyatakan.
Tugas wakil dalam aqad nikah hanya sebagai duta yang menyatakan sesuatu atas nama orang yang mewakilkan . Begitu  akad nikah selesai tugas perwakilanpun  sudah selesai. Mereka tidak  dapat dituntut untuk memenuhi kewajiban – kewajiban akibat terjadinya kad nikah. Misalnya seorang wakil tidak dapat dituntut untuk membayar maskawin yang belum dibayar oleh memepelai laki – laki.
Orang yang menerima tugas untuk mewakili seseorang dalam aqad nikah tidak boleh mewakilkan lagi pada orang lain untuk menjalankan tugasnya itu. Perwakilan menjadi sah apabila wakil dalam menjalankan tugas perwakilannya sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh orang yang mewakilkan . Kalau tidak sesuai atau menyimpang , maka perwakilan itu dianggap tidak sah . Di Indonesia biasanya para wali dalam melaksanakan  aqad nikah mewakilkan kepada penghulu, atau petugas dari Kantor Uruan Agama.

Ad. 3 . Adanya Mahar Atau Maskawin
Mahar atau maskawin ialah sesuatu yang berupa uang , harta benda ( barang )  ataupun jasa ( misalnya memberi pelajaran Al Qur’an ) yang wajib diberikan oleh suami kepada isterinya sebagai tanda janji setia dan kasih sayang terhadapnya.
Dengan demikian mahar yang menjadi hak isteri itu dapat diartikan sebagai tanda bahwa suami sanggup untuk memikul  kewajiban – kewajiban sebagi suami dalam hidup perkawinannya. Jadi jangan diartikan bahwa memberikan mahar itu sebagai pembelian atau upahnya isteri yang telah menyerahkan dirinya kepada suami.
Sedangkan mengenai maksud dan tujuan perkawinan  menurut  Islam  adalah  menurut  perintah  Allah  dan mengharapkan ridho-Nya  dan sunnah Rasul , demi   memperoleh  keturunan yang  sah  dan  terpuji  dalam masyarakat,  dengan membina  rumah  tangga  yang  bahagia  dan  sejahtera  serta  penuh  cinta dan kasih  sayang.  Hanya  dengan  perkawinanlah  penyambung  keturunan dengan  cara  yang sah dan  teratur  dapat  terlaksana .

Sahnya  Perkawinan Menurut  Undang – Undang No. 1 Tahun 1974
Dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, diatur mengenai perkawinan menurut hukum nasional atu hukum positip  yaitu hukum yang berlaku di Indonesia mengenai pengaturan perkawinan. Dengan dikeluarkannya UU ini, maka telah terjadi unifikasi hukum perkawinan yang sebelumnya diatur kedalam berbagai peraturan perundang – undangan menurut daerah berlakunya. Dengan dikeluarkannya UU ini hanya dibedakan mengenai agamanya . Untuk yang beragama Islam apabila mengajukan NTR ke Pengadilan Agama sedangkan yang beragama selain Islam ke Pengadilan Umum / Pengadilan Negeri.
UU nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur sampai tuntas segala ketentuan dibidang perkawinan, masih banyak yang belum diatur dalam unang – undang ini. Dalam hubungan dengan peraturan – peraturan lainnya maka tentang segala hal yang telah diatur dalam UU no 1 tahun 1974, bila hal tersebut juga diatur peraturan lainnya tersebut tiak berlaku lagi. Ketentuan yang demikian bisa ditafsirkan sebaliknya bahwa tentang segala hal hal yang berhubungan dengan perkawinan yang telah diatur oleh ketentuan lain yang terdahulu, bila hal itu tidak diatur pada UU nomor 1 Tahun 1974 maka ketentuan lain tersebut masih tetap berlaku.
Mengenai pengertian perkawinan menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 , dapat kita lihat pada pasal 1 yang memuat ketentuan sbb;
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke- Tuhanan Yang Maha Esa.
Mengenai perkawinan ini undang – undang  memandang perkawinan tidak hanya masalah formalitas saja, tetapi juga lebih menekankan pada unsur matrialnya, yaitu pertanggungan jawab moral dari perkawinan itu  yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal didasarkan kepada Ke- Tuhanan Yang Maha Esa , bukan sekedar menyalurkan kebutuhan biologis saja tetapi ada niatan moral yang tinggi . Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila , dimana sila yang pertamanya Ke Tuhanan Yang Maha Esa , maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerochanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmaniah saja, tetapi unsur  bathin atau rochanitidak kalah pentingnya dibandingkan dengan unsur lahiriah.
Dari pengertian yang diberikan Undang- Undang Perkawinan tersebut bisa memberikan gambaran yang jelas kepada kita bahwa perkawinan mempunyai beberapa unsur yang meliputi ;
§  Adanya ikatan
§  Dasar ikatan adalah lahir dan bathin
§  Tujuannya membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
§  Berdasarkan keimanan sesuai dengan agama atau kepercayaan yang dianut
Adanya ikatan disini ditekankan pada kesepakatan berupa perjanjian yang dibuat diantara mereka, hukum Islam memberikan istilah aqad nikah ( Perjanjian perkawinan ) . Aqad Nikah  perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk keluarga bahagia dan kekal . Perjanjian atas perkainan tersebut dikatakan suci karena dasar dan pelaksanaannya dari perjanjian tersebut  didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan. Lain halnya ketentuan yang diatur oleh KUH Perdata yang menganggap dan memandang perkawinan hanya dilihat dari sisi hubungan keperdataan sebagaimana  ketentuan yang terdapat dalam pasal 26 BW.  Ketentuan KUH Perdata tersebut menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat – syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata dan syarat – syarat serta peraturan yang lain, ketentuam agama dikesampingkan.[3]
Atas ikatan perkawinan tersebut hukum adat mengenal dengan istilah Perjodohan, perjodohan tidak semata – mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan pihak suami.[4] Hukum Adat juga memandang bahwa perkawinan atau perjodohan adalah merupakan peristiwa sacral yang mengandung unsur religius dan magis, ini ditampakkan dalam berbagai serangkaian kegiatan upacara perkawinan yang mendahalui pelaksanaan perkawinan maupun tata cara pelaksanaan perkawinan, serta dengan adanya perjodohan ini mengakibatkan terikatnya keluarga isteri dengan keluarga suami dalam ikatan keluarga periparan.
Dari pengertian ikatan yang sudah tertuang  dalam pasal 1 UU Perkawinan  tersebut, merupakan gabungan dari beberapa pengertian menurut  hukum Islam dan hukum adat dengan agama / kepercayaan mempunyai  kedudukan dan peranan yang cukup besar sebagai sarana pengesahan atas perkawinan tersebut.
Sedangkan ikatan lahir dan bathin , didasarkan pada kematangan secara sosiologis maupun pisik atas para  calon yang hendak atau akan melaksanakan perkawinan . Kematangan dimaksud adalah meliputi usia dari para calon sudah memenuhi ketentuan undang – undang dan telah memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana maupun kelengkapan untuk pemenuhan hidup rumah tangga sudah tersedia, sehingga harapan kematangan fisik dan mental para calon sudah siap.
Ikatan lahir lebih nampak dalam  bentuk pergaulan hidup atau hubungan antara para calon didasarkan pada cinta kasih dan kesepakatan para pihak untuk menghilangkan kebiasaan orang tua tempo dulu yang mengawinkan anak – anak hanya atas kesepakatannorang tua saja ( kawin paksa ) , tiada kesepakatan para calon mengakibatkan perkawinan dapat diajukan pembatalan perkawinan. Sebab yang akan menjalani kehidupan rumah tangga adalah para calon , bukan orang lain sehingga kebebasan para calon untuk menentukan kehendak dalam melangsungkan perkawinan harus mutlak pada para calon.
Ikatan lbathin didasarkan pada keinginan luhur yang sudah menyatu pada para pihak , yakni didasarkan pada keinginan luhur untuk membentuk rumah tangga ( keluarga ) yang bahagia dan kekal, bukan didasarkan pada nafsu belaka. Sehingga UU perkawinan tidak mengenal bentuk perkawinan yang didasarkan pada uji coba dulu atau kumpul bersama dulu, yang jelas – jelas melanggar ketentuan hukum agama , adat dan moral Bangsa Indonesia. Keinginan luhur harus pula didasarkan dan dilandasi hukum agama atau kepercayaan masing – masing calon mempelai, sehingga dengan dilingkupi hukum agama yang kelak akan memperkuat dan memperkokoh kehidupankeluarga atau rumah tangga, keinginan untuk tetap mempertahankan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal akan tetap menjadi cita – cita dari para pihak.
Mengenai sahnya perkawinan, berdasarkan pada ketentuan pada pasal 2 ayat ( 1 )  Undang – Undang Perkawinan dikatakan, ;” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing –masing agamanya dan kepercayaan itu “ . Kemudian dalam Penjelasannya  ditegaskan lebih lanjut , bahwa yang dimaksud dengan hukum masing –masing tersebut adaah ketentuan perundang – undangan yang berlaku  bagi golongan agamanya dan kepercayaan itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan  lain dalam undang – undang ini.
Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa sah dan tidaknya suatuperkawinan adalah semata – mata  ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak melakukan perkawinan. Ini menimbulkan arti, bahwa suatu suatu perkawinan yang dilangsungkan tanpa memenuhi atau bertentangan dengan ketentuan  agama , dengan sendirinya menurut Undang – Undang  perkawinan dianggap tidak ah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.
Menurut Soemiyati, bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam bila hendak melaksanakan perkawinan , supaya sah harus memenuhi ketentuan – ketentuan tentang perkawinan yang  telah diatur dalam hukum perkawinan Islam. Demikian juga bagi yang beragama Nasrani , Hindhu , dan Budha, Hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya perkawinan.[5] Dengan demikian dapat pula dikatakan , bahwa tiada suatu perkawinan di luar hukum agama dan kepercayaan itu. Menurut Abdurachman, adanya ketentuan yang demikian adalah suatu hal yang logis dalam Negara  Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila  yang secara tegas  mengakui adanya prinsip kebebasan beragama.[6]
Lebih dari itu , karena merupakan suatu perbuatan hukum, perkawinan mempunyai akibat hukum . Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan keabsahan perbuatan hukum itu sendiri. Perkawinan  yang menurut hukum , misalnya dianggap tidak ah, maka anak yang dilahirkan tidak sah juga.
Mengenai pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 ayat 2 Undang – Undang Perkawianan ;  Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku “. Adapun pencatat perkawinan yang dimaksud  menurut Penjelasan pasal tersebut, adalah Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Nasrani, Hindu dan Budha adalah Pencatat Perkawinan pada Kantor  Catatan Sipil.
Tanpa menjelaskan lebih lanjut tentang maksud  diadakannya pencatatan itu, dalam Penjelassan Umum  dari Undang – Undang  Perkawinan hanya dikatakan.  Pencatatan tiap – tiap[ perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa – peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kematian. Dengan demikian tujuan dari pencatatan ini, dapat dikatakan adalah untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun pihak – pihak lain. Sehingga bisa juga dikatakan , pencatatan perkawinan itu merupakan alat bukti tertulis yang otentik.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa perbuatan pencatatan itu tidaklah menentukan keabsahan dari suatu perkawinan, tetapi perbuatan pencatatan itu lebih merupakan suatu pernyataan  bahwa peristiwa perkawinan itu merupakan  peristiwa administrative belaka. Jadi tidak mempengaruhi akan kabsahan dari suatu perkawinan yang telah terjadi. Sebab seperti  yang telah diuraikan dimuka, menurut pasal 2 ayat 1 Undang – Undang Perkawinan  dikatakan  bahwa perkawinan dalah sah, bilamana dilakukan menurut hukum masing – masing agama dan kepercayaannya itu.
Tentang tata cara melakukan pencatatan perkawinan diatur dalam pasal  3 sampai dengan pasal 9 dan pasal 11 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang meliputi beberapa tahapan yaitu, pemberitahuan, penelitian, pengamanan dan saat pencatatan.
4.      Kesimpulan
Dengan dicabutnya SK Mendagri No. 72223/1991, sekarang perkawinan beda agama  tidak bisa dilaksankan di Indonesia, karena perkawinan beda agama  bertentangan dengan Ajaran Agama  dan  UU NO.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat ada sebagian  anggota masyarakat  yang tetap melaksanakan perkawinan beda agama  meskipun perkawinannya dilakukan di Luar Negeri.
Dengan tidak adanya jalan keluar tersebut di dalam Negeri akan timbul Problematika hukum ,dimana  anggota  masyarakat  yang  menginginkan  perkawinan beda  agama  tidak menemukan  jalan  keluar , sehingga  terpaksa  salah  satunya  pindah  agama,  yang  tidak sesuai dengan keyakinannya atau  demi mengelabu  administrasi  mereka  membuat  pernyataan  atau  memalsukan  identitas  agar  perkawinan bisa  dilaksanakan  secara  hukum  nasional  agar  tidak terbentur  masalah administrasi. Memang  kita  harus  mengakui  bahwa  ketentuan yang digunakan oleh Undang  -Undang  tersebut  di dasarkan pada  agama dan  kepercayaannya ,sehingga  kalau  kita  balik bertanya   agama  mana  yang  membolehkan  perkawinan   beda  agama  ? jawaban sudah  tentu nahwa  setiap  agama  tidak ada yang  membolehkan umatnya  kawin dengan  beda agama ,kalau  demikian  siapa yang salah  ? tolong  dijawab  sendiri

DAFTAR  PUSTAKA

Abdurachman, Himpunan  Peraturan Perundang – Undangan Tentang Perkawinan,  PT Akademi Presindo, Jakarta, 1986

Abdurachman dan Ridwan Sahrani, Masalah – msalah Hukum Perkawinan di Indonesia,  PT Alumni , Bandung, 1978

Amak, FZ, Proses Undang – Undang Perkawinan, PT Almaarif, Bandung, 1976

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika,  Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987

Fuad Fachruddin, Masalah anak Dalam Hukum Islam,  PT Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1983

Huzairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menuert Al Quran,  Tinta Mas, Jakarta, 1980

Lili Rasyidi,  Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia,  PT Alumni Bandung, 1982

Much. Yunus , Hukum Perkawinan Dalam Islam,  PT Hidaharja Agung, Jakarta, 1983
Saidus Sahar, Undang – Undang Perkawinan dan Masalah pelaksanaannya ditinjau dari hukum islam,  PT Alumni Bandung, 1983

Sujuti Thalib,  Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,  Bina Aksara, Jakarta , 1982

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang – Undang Perkawinan,  PT Leberty, Yogjakarta, 1982

Soerjono Soekanto, Intisari Hukum keluarga, PT Alumni Bandung, 1980

Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia,  Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987

Zakaria Achmad, Hukum  Anak – Anak Dalam Islam,  PT Bulan Bintang, Jakarta, 1982.


 



[1] Dosen DPK Kopertis Wil. VII pada Universitas Panca Marga Probolinggo. Saat ini menyelesaikan Program Doktor Ilmu Universitas Bhayangkara Surabaya.
[2] M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal UU No 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam,  Alumni , Bandung , 1987, hal. 8
[3] Subekti, Pokok – pokok Hukum Perdata,  PT Intermasa , 1979, hal. 84
[4] Hilman Hadikusuma,  Hukum Perkawinan Adat,  Penerbit Alumni, Bandung, 1983, hal. 78
[5] Soemiyati,  Hukum Perkawinan Islam  Dan UU Perkawinan, PT Leberty, 1982, hal. 63
[6] Abdurachman, Himpunan peraturan perundang – undangan tentang perkawinan,  Akademi Presindo, Jakarta, 1986, hal 23
© Blog Mr. Joe
Maira Gall