Sabtu, 27 Oktober 2012


Pertumbuhan Ekonomi dan Kebijakan Persaingan

Penulis: enno, Kategori: Artikel, Aug 18, 2012


Setiap negara memiliki tugas untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Salah satu syarat yang dapat memenuhinya adalah melalui pertumbuhan ekonomi. Ibarat kue, semakin besar kuenya akan semakin banyak rakyat yang dapat menikmatinya. Wajar pertumbuhan ekonomi menjadi penentu tingkat kesejahteraan, keamanan serta kemajuan sebuah negara. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan, semakin tinggi tingkat stabilitas politik, ekonomi dan keamanan.
Namun untuk meningkatkan pertumbuhan bukan hal yang mudah dan sederhana. Justeru berbagai konflik dalam sebuah negara lahir akibat kesalahan dan kegagalan bagaimana ekonomi ditumbuhkan. Sebab ekonomi tumbuh bukan dalam ruang hampa dan kedap kepentingan. Sebaliknya negara lahir dengan sebuah kepentingan dan pertumbuhan ekonomi merupakan kepentingan lain yang tentu saling terkait satu sama lain. Pertumbuhan memberi dampak dan disebabkan oleh interaksi antar negara dan juga memberi dampak di dalam negara.
Dinamika Pertumbuhan
Pertumbuhan ekonomi dengan demikian bersifat global. Terlebih lagi perkembangan teknologi membuat dunia semakin kecil dan tanpa batas. Sebut saja ketika dunia percaya dengan sistem merkentilisme. Keyakinan bahwa negara akan kuat jika memiliki tabungan emas membuat pilihan melakukan dagang antar negara dan benua melahirkan munculnya era kolonialisasi. Negara kuat namun miskin sumberdaya akan melakukan aneksasi atau penguasaan atas negara lain yang lemah.
Kondisi yang sama terjadi saat lahirnya keyakinan tentang perdagangan bebas. Ekonomi sebuah negara akan tumbuh jika perdagangan antar negara dibiarkan tanpa adanya hambatan. Kebebasan dalam berdagang akan melahirkan satu kondisi di mana negara akan memiliki nilai tambah. Sering dicontohkan jika sebuah negara lebih efisien memproduksi teh maka produk lain seperti mobil dibiarkan berkembang di negara lain yang jauh lebih efisien. Jadi setiap negara memiliki keunggulannya sendiri (comparative advantage) agar ekonomi tumbuh lebih baik lagi.
Karakter pertumbuhan ekonomi dengan demikian terbuka karena negara tidak bisa memenuhi sendiri kebutuhannya. Namun menyerahkan ekonomi kepada pasar, jelas bukan tanpa resiko. Sebab sistem pasar sering tumbuh diluar kendali negara. Agar ekonomi tumbuh sesuai dengan target maka negara harus mengendalikannya.  Di sinilah dunia dihadapkan pada dua ekstrem; kapitalisme yang percaya dengan bekerjanya pasar dan sosialisme yang percaya dengan bekerjanya kendali negara. Akibatnya dunia  terbelah menjadi dua blok yang bermusuhan; Barat yang Liberal-Kapitalis dan Timur yang Sosialis Komunis.
Di titik ini kebijakan ekonomi yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi selalu dihadapkan dengan sistem ekonomi dunia. Ketika Komunisme runtuh dan sosialisme bubar, dunia mengarah ke sistem ekonomi yang tidak lagi mempertentangkan pasar dan negara atau kapitalisme dan sosialisme pada titik ekstrim. Kemenangan demokrasi liberal telah ”mengakhiri sejarah” seperti tulisan Francis Fukuyama.  Dunia tengah bergerak apa apa yang diusung  Antony Giddens dengan konsep  ”Jalan Ketiga” (Third Way). Konsep ini tetap mengusung pasar sebagai penggerak pertumbuhan namun memberi ruang bagi negara untuk intervensi.
Rezim Persaingan
Campur tangan negara dalam pasar muncul dalam bentuk ”rezim persaingan” atau ”competition regime”. Saat ini hampir seluruh dunia memiliki lembaga persaingan. Masing-masing negara memiliki wewenang untuk menentukan jenis industri, perdagangan dan jasa yang dibiarkan bersaing bebas atau diproteksi. Setiap negara juga dibolehkan untuk melakukan kebijakan yang bisa jadi bertentangan dengan semangat rezim itu sendiri seperti monopoli dan sebagainya. Di sisi ini pertumbuhan ekonomi idealnya harus diselaraskan dengan sistem ekonomi dunia yang berlaku. Sistem yang memberikan peran kepada negara untuk campur tangan sejauh kebijakan itu bertujuan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat.
Salah satu tujuan dibentuknya UU No.5 Tahun 1999  tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah menjaga kepentingan umum dan menegakkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Efisiensi ekonomi nasional dalam konteks ini merupakan cara agar kesejahteraana rakyat tercipta. Karena itu praktek usaha yang tidak efisien dengan bahasa lain menjadi langkah kontraproduktif dan berarti melawan negara. Berbagai praktek usaha yang diduga melawan negara seperti monopoli, oligopoli, kartel, persekongkon tender dan sebagainya adalah kegiatan yang melanggar UU No. 5 Tahun 1999.
Kendali atas praktek persaingan usaha tidak sehat dengan demikian menjadi penentu dari kualitas pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan untuk kesejahteraan. Kiprah KPPU dalam bentuk penegakan hukum persaingan dan pemberian saran dan pertimbangan telah memperkuat kualitas pertumbuhan ekonomi yang sesungguhnya. Bahkan seperti diingatkan oleh Allan Green Span, mantan Gubernur FED,  ekonomi pasar tumbuh melalui tiga hal. Salah satunya adalah kadar kompetisi dalam negeri, dan terutama untuk negara berkembang, kadar keterbukaan negara terhadap perdagangan dan integrasinya dengan bagian lain di dunia  (Green Span, hal. 254).
Jadi pertumbuhan ekonomi di negara mana pun tidak bisa lagi mengabaikan sisi efisensi karena tingginya dinamika persaingan antar negara dan benua. Kebijakan persaingan dibuat untuk membuat terciptanya lingkungan persaingan agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya efisien tetapi juga mendorong tingkat kesejahteraan. Tanggungjawab negara terhadap nasib rakyatnya didapat melalui wewenang campur tangan sejauh tidak merusak dinamika persaingan itu sendiri. Inilah era di mana negara dan pasar duduk berdampingan  untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.
Duduk bersama dalam menciptakan kesejahteraan inilah agaknya yang menjadi cara tepat bagaimana kebijakan persaingan bisa memberi kualitas bagi pertumbuhan ekonomi nasional.  Presiden SBY menyebutnya sebagai ekonomi ”Jalan Tengah”. Jalan yang ia tegaskan dalam pengantar kuliah Kepresidenan di Istana Negara dengan tema ”Indonesia Towards an Emerging Economy: Lessons form Korea and Beyond” SBY mengatakan “Saya meyakini dan memilih jalan tengah barangkali itu yang cocok bagi Indonesia. Di satu sisi kaidah efisiensi pasar penting, tetapi peran dan intervensi pemerintah tetap diperlukan,”
Ekonomi Jalan Tengah memang sudah harus diwujudkan di tengah masih tidak jelasnya posisi, peran dan sikap negara terhadap perkembangan ekonomi nasional dan internasional. Jika posisi negara lemah maka pasar akan dengan mudah mengendalikan dan mempengaruhi kebijakan negara yang berujung pada pengendalian harga, berkembangnya execive price dan bentuk persaingan tidak sehat lainnya. Kiprah KPPU selama 10 tahun agaknya bisa dianggap mewakili kebijakan negara mengambil pilihan Jalan Tengah. Sebab selain mengarah pada efisiensi ekonomi, KPPU juga memberi ruang yang sangat besar bagi negara untuk melakukan intervensi sejauh Undang-undang memberi wewenang.
Pertanyaan:
Pahami dan analisislah artikel tersebut diatas dalam perspektif tujuan dan asas-asas yang tercantum dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


Kategori : Aneka Bisnis > Lain Lain

KPPU: RI surganya kartel, nerakanya konsumen

Online:  Selasa, 17 Juli 2012 | 19:30 wib ET
SURABAYA, kabarbisnis.com: Kondisi pergerakan harga bahan kebutuhan yang selalu mengalami kenaikan saat menjelang puasa dan Lebaran dinilai Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai hal yang tidak wajar dan perlu dicermati. Indonesia dinilai masih jadi surganya kartel dan nerakanya konsumen.
Ketua KPPU Tadjuddin Noersaid mengatakan, adanya kenaikan harga yang terjadi secara tiba-tiba menandakan adanya mekanisme yang tidak berfungsi. Sehingga kondisi tersebut harus dicermati dan dicari apa penyebabnya. Jangan kemudian terus-menerus berdalih bahwa hal tersebut terjadi karena dampak psikologis dari keinginan pedagang yang ingin mendapatkan untung sebanyak-banyaknya.
"Jika harga mengalami kenaikan lebih dari 10% misalnya, itu sudah tidak wajar dan harus dicurigai. Karena indikasi terjadinya kartel adalah dari harga. Makin kuat kartel mencengkeram pasar, tidak hanya harga yang akan dipermainkan, mereka juga akan mempermainkan kualitas barang dan selanjutnya pada kuantity barang," ujar Tadjuddin saat bertemu wartawan di Surabaya, Selasa (17/7/2012).
Ironisnya, untuk menangani kondisi tersebut pemerintah baik pusat maupun daerah melakukan tindakan yang justru semakin memicu kekhawatiran dan kepanikan masyarakat, seperti Operasi Pasar (OP) dan Inspeksi Mendadak (Sidak). Padahal kedua langkah tersebut bisa dipastikan akan memperkuat animo masyarakat untuk melakukan pembelian besar-besaran karena takut harga akan terus melambung.
"Inilah yang kemudian menjadi tantangan pemerintah. Jika kemudian hal tersebut terjadi berulang-ulang tanpa penyelesaian dan pemerintah menganggap hal tersebut sebagai kewajaran akibat dampak psikologis keinginan pedagang untuk mendapatkan laba lebih besar, ini artinya pemerintah kalah melawan pasar," tegasnya.
KPPU sebagai lembaga yang bertugas untuk menciptakan iklim usaha yang sehat di Indonesia dituntut untuk mampu mendeteksi kondisi tersebut serta melakukan tindakan yang kongkrit sesuai dengan UU nomor 5/1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sehingga tidak ada satu pun kelompok oligopoli yang bisa mempermainkan pasar.
"Sudah saatnya kita bergerak. Jangan sampai kita terlalu lama dengan kondisi ini dan menjadi seperti sesuatu yang harus selalu terjadi. Iklim usaha yang sehat tak akan bisa ditegakkan jika hanya KPPU saja yang menggembor-gemborkan UU nomor 5/1999. Seluruh sistem hukum harus mendukung, mulai dari KPPU, peradilan, MA hingga kepolisian harus seirama," tegasnya.
Sejauh ini, kata dia, antara KPPU dan PN sering tidak sejalan. Akibatnya, banyak kasus kartel besar yang melibatkan komoditas pokok rakyat yang diputuskan oleh KPPU justru dibebaskan oleh PN dengan dalih bukti tidak kuat.
Menurut Kepala Humas dan Hukum KPPU Junaidi, ada dua kasus kartel besar yang diajukan KPPU ke PN yang justru dibebaskan. Yaitu tentang kasus kartel minyak goreng yang melibatkan dua pemain besar dan kartel fuel surcharge di industri penerbangan. Keduanya diputus bebas oleh PN karena dianggap tidak ada bukti yang tertulis dalam perjanjian yang dibuat.
Bahkan, dari 86 kasus yang diputuskan oleh KPPU hingga tahun 2011, hanya 56% atau sekitar 48 perkara yang dikuatkan oleh PN dan sisanya dibatalkan. Dan dari 60 kasasi, 73 atau sekitar 44 kasus diperkuat sisanya dibatalkan.
"Ini artinya, Indonesia akan menjadi surganya kartel dan nerakanya konsumen. Dan ini mengindikasikan kegagalan negara dalam melawan kartel di dunia usaha dalam negeri," ujarnya.kbc6
Pertanyaan:
Analisislah laporan tentang kasus-kasus persaingan usaha tersebut diatas dari perspektif tujuan dan asas-asas yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


5 Kasus Kartel Terbesar di Indonesia

Praktik kartel ada di setiap negara, tidak kecuali Indonesia. Praktik seperti ini biasanya dilakukan dengan membentuk harga demi meraup untung sebanyak-banyaknya.Yang dirugikan, tentu saja konsumen. Sayangnya, perangkat hukum yang ada di Indonesia belum mampu membendung, apalagi mengatasi kasus ini.
Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha(KPPU), maraknya praktik kartel di Indonesia diakibatkan oleh hukuman berupa denda yang relative rendah, hanya Rp25 miliar, sementara keuntungan yang diperoleh dapat mencapai angka triliunan rupiah. Tak heran jika banyak perusahaan atau pengusaha di Indonesia yang berani melakukan praktik haram ini.
Seperti dilansir detik.com pada awal Agustus 2012 silam, Ketua KPPU Tajuddin Noer Said menjelaskan, UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat seharusnya segera dirubah, sehingga jika ada perbuatan kartel di dalamnya, perusahaan yang melakukan praktik ini dapat dihukum lebih berat, tak hanya didenda maksimal Rp 25 miliar.
“Apalagi karena pembuktian praktik ini sulit," imbuhnya.
Tajuddin mengakui, yang saat ini perlu ditakutkan adalah banyaknya perusahaan asing berskala dan bermodal besar yang masuk Indonesia, dan ikut melakukan praktik ini. Jika denda Rp25 miliar hanya dianggap sebagai salah satu biaya operasional, praktik ini akan makin sulit dibendung.
“Kalau itu terjadi, maka yang menanggung kerugian adalah rakyat Indonesia. Karena itu kami mengusulkan agar UU ini diubah," tandasnya

Awal kartel
Bagaimana praktik kartel bermula? Tajuddin mengatakan, terbentuknya organisasi atau asosiasi oleh kalangan pengusaha dapat menjadi cikal bakal terbentuknya kartel. Ia bahkan memperkirakan, saat ini hampir semua lini usaha di Indonesia melakukan praktik terlarang ini.  Terutama yang dinaungi organisasi atau asosiasi.
"Tapi ini bukan berarti kita menyalahkan terbentuknya suatu asosiasi, tetapi dibentuknya asosiasi itu indikasinya merupakan cikal bakal bentuk kartel," tegasnya.
Berdasarkan Data KPPU, sejak berdirinya institusi tersebut sudah memutus perkara persaingan tidak sehat sebanyak 205 perkara. Kepala Humas KPPU, Junaidi, kepada detikFinance  bahkan mengatakan, hingga kini telah ada 5 kasus kartel terbesar yang telah diputuskan KPPU sebagai tindakan kartel.  Apa sajakah itu? Ini dia

1.Kartel Penetapan Layanan Tarif Short Message Service (SMS)
KPPU berhasil membongkar praktek kartel yang dilakukan enam perusahaan seluler selama 2004-2008 yang menetapkan persekongkolan harga tarif SMS Rp 350/SMS, konsumen dirugikan mencapai Rp 2,827 triliun.
Keenam perusahaan operator seluler tersebut diantaranya PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL), PT Telkomsel, PT Telkom, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Mobile-8 Telecom Tbk dan PT Smart Telecom yang telah dihukum denda oleh KPPU.
Namun hingga sampai saat ini, kerugian konsumen yang mencapai Rp 2,827 triliun belum bisa ditemukan cara pengembalian ganti kerugiannya

2. Kartel Garam

Praktik kartel garam ini berhasil dibongkar KPPU mulai 2005. Garam yang "dimainkan" adalah bahan baku garam yang dipasok di Sumatera Utara. Pelakunya hanya beberapa perusahaan atau pengusaha. Hingga kini KPPU masih melakukan pengawasan ketat agar kartel jenis ini tak terjadi lagi.




3. Kartel minyak goreng curah
Berdasarkan Putusan KPPU No 24/KPPU-I/2009 yang ditetapkan pada 4 Mei 2010, diputuskan ada price pararelism harga minyak goreng kemasan dan curah, dimana 20 produsen minyak goreng terlapor selama April-Desember 2008 melakukan kartel harga dan merugikan masyarakat setidak-tidaknya sebesar Rp 1,27 triliun untuk produk migor kemasan bermerek dan Rp 374.3 miliar untuk produk migor curah.
Namun keputusan KPPU tersebut kandas di tangan Mahkamah Agung (MA) yang menolak keputusan KPPU tersebut atas keberatan yang dilakukan 20 produsen minyak goreng yang menjadi terlapor.

4. Kartel Obat Hipertensi jenis amplodipine besylate
KPPU menyatakan PT Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica bersalah telah melakukan kartel dengan menghukum setiap anggota kelompok usaha Prizer yang menjadi terlapor membayar denda Rp25 miliar.
Sedangkan Dexa Medica dinilai bersalah melakukan kartel penetapan harga dan dihukum membayar denda Rp 20 miliar dan diperintahkan perusahaan farmasi nasional untuk menurunkan harga tensivask sebesar 60% dari harga neto apotek.

5. Kartel penetapan harga tiket dalam Fuel Surcharge
Berdasarkan putusan KPPU No.25/KPPU/2010 Tanggal 4 Mei, memutuskan menghukum sembilan maskapai diantaranya PT Sriwijaya, PT Metro Batavia (Batavia Air), PT Lion Mentari Airlines (Lion Air), PT Wings Abadi Airlines (Wings Air), PT Merpati Nusantara Airlines, PT Travel Express Aviation Service dan PT Mandala Airlines bersalah telah melakukan kartel dengan melakukan kesepakatan harga patokan avtur selama 2006-2009. Praktek tersebut menyebabkan konsumen merugi hingga Rp 13,8 triliun. KPPU pun menghukum sembilan maskapai dengan ganti rugi total sebesar Rp 586 miliar.
Namun Mahkamah Agung menolak keputusan MA atas gugatan keberatan sembilan maskapai atas putusan KPPU tersebut
Pertanyaan:
Analisislah kasus-kasus persaingan usaha tersebut diatas dari perspektif tujuan dan asas-asas yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


Israel dan Pendudukan Asing atas Palestina. Konflik bersenjata yang harus diakhiri…!!!


Salah satu jenis konflik bersenjata internasional yang merupakan jenis konflik baru, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol Tambahan I tahun 1977, adalah konflik bersenjata yang dikenal dengan nama “pendudukan asing” (alien occupation).
Sebelum saya lanjutkan tulisan mengenai alien occupation ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa alien occupation ini BERBEDA dengan “belligerent occupation” atau “military occupation” (pendudukan militer). Istilah yang terakhir ini menunjukkan adanya konflik bersenjata di mana suatu negara telah berhasil melakukan invasi dan menduduki suatu negara atau suatu wilayah yang belum menjadi suatu negara, baik sebagian maupun semua wilayah. Sementara pendudukan asing tidaklah seperti itu. Jika terjadi “alien occupation”, maka itu sudah tentu juga merupakanbelligerent / military occupation; akan tetapi tidak setiap belliegerent / military occupation adalah alien occupation.
Agar dapat membedakannya dengan mudah, mari kita ingat kasus pendudukan Israel atas Palestina sebagai contoh dari alien occupation; dan penjajahan Belanda atas Hindia Belanda (Indonesia sebelum merdeka), sebagai contoh dari belligerent/military occupation. Dalam hal ini, pendudukan Israel atas Palestina merupakan alien occupation di mana terjadi penjajahan atas suatu bangsa, yakni bangsa Palestina; namun penguasa asing tersebut, yakni Israel,  tidak saja menduduki wilayah bangsa Palestina, tetapi juga sekaligus menjadikan wilayah pendudukan tersebut sebagai wilayah teritorialnya. Inilah hakikat pendudukan asing! Adapun pendudukan militer, hanya berhenti sampai pada batas menduduki dan menguasai wilayah pendudukan saja, akan tetapi Penguasa Pendudukan tidak berniat untuk  tinggal dan menjadikan wilayah pendudukan sebagai wilayah nasional. Kita tentu masih ingat, betapa Pemerintah Belanda pada waktu dahulu menduduki, menjajah dan menjarah semua harta kekayaan yang kita miliki, namun semua kekayaan tersebut dibawa pulang ke negeri Belanda!
  • Apakah Israel melakukan pendudukan asing atas bangsa Palestina ?
Mungkin semua orang telah mengetahui jawaban atas pertanyaan di atas. Jawabannya : ya! Kita akan melihat hal tersebut dari sudut pandang Hukum Humaniter. Hal ini akan membawa kita kepada konflik yang sangat panjang mengenai konflik bersenjata antara Israel melawan Palestina.
Sejak dimulainya konflik bersenjata antara Israel dan Palestina dari tahun 1947 hingga saat ini, banyak sekali pelanggaran Hukum Humaniter yang dilakukan oleh Israel. Sebenarnya, pelanggaran yang dilakukan oleh Israel tidak saja bertentangan dengan Hukum Humaniter, akan tetapi sekaligus juga bertentangan dengan Hukum Internasional pada umumnya dan bertentangan pula dengan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional. Supaya fokus, maka tulisan ini hanya akan membahas mengenai pendudukan asing yang dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina.
Sebagaimana telah disinggung di muka, perbedaan utama antara alien occupation dengan belligerent/military occupation adalah adanya kehendak untuk menjadikan wilayah pendudukan sebagai wilayah teritorial dari Penguasa Pendudukan. Mari kita lihat hal tersebut pada kasus Israel – Palestina :
Pada awal terjadinya konflik bersenjata antara Israel dan Palestina (1947-1954), pasukan militer Israel berhasil menguasai dan menduduki tanah Palestina. Sejak itu, dimulailah pelanggaran-pelanggaran Hukum Humaniter yang dilakukan oleh Israel, yaitu :
  1. Perolehan tanah secara melawan hukum (tidak sah) yang dilakukan dengan kekerasan bersenjata. Israel menambahkan wilayah yang diperolehnya dari pendudukan militer ke dalam wilayah nasionalnya. Hal ini terjadi pada sekitar tahun 1948.
  2. Perolehan tanah secara melawan hukum (illegal) ini terus berlanjut hingga ke periode ke-2 (1967-sekarang), dengan menganeksasi wilayah Jerusalem bagian Timur dan Dataran Tinggi Golan. Padahal, berdasarkan Hukum Humaniter, tindakan-tindakan militer dan pendudukan militer hanya akan dianggap sah jika dilakukan berdasarkan konsep mempertahankan diri-sendiri (self-defense), atau memang dilakukan demi kepentingan dari masyarakat asli dari wilayah yang diduduki, dan normalnya pendudukan militer dilakukan dalam waktu yang terbatas (tidak lama). Akan tetapi apa yang dilakukan Israel benar-benar telah merupakan pelanggaran Hukum Humaniter, karena pendudukan militer tersebut diikuti dengan berbagai pelanggaran Hukum Humaniter lainnya seperti adanya perubahan hukum setempat secara ekstensif; adanya eksploitasi ekonomi demi kepentingan Penguasa Pendudukan; adanya pembuatan dinding pemisah; dan lain sebagainya (mengenai pelanggaran lainnya, akan dipaparkan dalam  “Hot News” ).
  • Pendudukan asing atas wilayah Palestine oleh Israel
Pendudukan asing yang dilakukan oleh Israel adalah bertentangan dengan Hukum Humaniter dan hal tersebut dapat jelas terlihat sebagaimana yang ditunjukkan dalam gambar peta wilayah Palestina sebagai berikut :
Gb.1  Palestina, 1946
Gb.1 Palestina, 1946
Pada peta di samping (Gb.1), diperlihatkan wilayah Palestina sebelum terjadi perang di tahun 1948. Peta wilayah Palestina ini saya peroleh darirememberpalestine.com.
Kemudian, setelah terjadi perang dan Israel mulai menduduki dan menguasai tanah Palestine, maka wilayah Palestina mulai berkurang,
Gb. 2 UN Partition Plan, 1947
Gb. 2 UN Partition Plan, 1947
sebagaimana gambar berikutnya (Gb. 2). Daerah yang berwarna kuning diperuntukkan bagi Palestina; sedangkan yang berwarna oranye, diduduki oleh Israel.
Sedangkan Jerusalem, dinyatakan sebagai wilayah internasional (lihat Gb. 3). Namun, sejak tahun 1947, kota-kota di seluruh
Gb. 3  Jerusalem wilayah internasional, 1947
Gb. 3 Jerusalem wilayah internasional, 1947
wilayah Palestina dihancurkan sedikit demi sedikit oleh tentara Israel (pada peta ditunjukkan dengan titik-titik merah) , sehingga hanya menyisakan sedikit wilayah di Palestina untuk didiami rakyat Palestina sendiri (Gb.4). Hal ini kemudian dengan dilanjutkan dengan pemukiman
Gb.4 Penghancuran kota2 Palestina
Gb.4 Penghancuran kota2 Palestina
warga Israel di wilayah yang diduduki, dilanjutkan dengan penambahan wilayah Israel yang meliputi Dataran Tinggi Golan dan wilayah Jerusalem bagian Timur (Gb.5), maka kita dapat melihat bahwa terjadi pengambilalihan tanah wilayah Palestina secara paksa dan melawan hukum.
Gb.5 Wilayah pendudukan Israel sejak 1967
Gb.5 Wilayah pendudukan Israel sejak 1967
Proses itu berlangsung terus serta ditindaklanjuti Israel dengan pembangunan dinding pemisah.
Saya ingat, pernah mendapatkan email berjudul “The Biggest Robbery of the 20th Century” dari sahabat saya, Muhammad Kashif Tahir. Email itu berisi peta yang menunjukkan “perubahan” drastis wilayah Palestina. Secara kebetulan saya berkunjung ke blog milik Irfan Al-Chemy dan mendapatkan gambar peta yang sangat jelas memperlihatkan adanya alien occupation yang dilakukan oleh Israel terhadap tanah Palestina. Maka tidak ada salahnya jika gambar peta tersebut saya tampilkan disini (Terimakasih Kashif dan Irfan!) Warna hijau menggambarkan wilayah bangsa Palestina, sementara warna putih menggambarkan wilayah pendudukan Israel :
1946, 1947, 1949-1967, 2000, dan (prediksi 2010?)
Pendudukan asing atas Palestina : 1946, 1947, 1949-1967, 2000, (2010?)
  • Pelanggaran Hukum Humaniter apa saja yang dilakukan oleh Israel ?
Berkenaan dengan masalah pendudukan asing atas wilayah Palestina, maka Israel telah melakukan pelanggaran Hukum Humaniter, dalam hal ini adalah :
1. Konvensi Den Haag ke- IV, 1907. Setidaknya terjadi pelanggaran terhadap Pasal 43 dan 44 yang berbunyi :
  • Pasal 43. Kewenangan dari penguasa yang sah secara nyata telah beralih ke tangan Penguasa Pendudukan, yang kemudian akan mengambil semua langkah dalam kewenangannya untuk mengembalikan dan menjamin ketertiban dan keamanan umum bila memungkinkan, kecuali benar-benar untuk pencegahan, dengan menghormati hukum yang berlaku di negara tersebut.
  • Pasal 55. Penguasa Pendudukan harus  hanya dianggap sebagai administrator dan pengelola bangunan-bangunan publik, pemukiman masyarakat, hutan, dan lahan pertanian yang menjadi milik Negara Musuh, dan yang terletak di dalam wilayah negara yang diduduki. Penguasa Pendudukan harus melindungi modal dari barang-barang tersebut dan mengelolanya sesuai dengan hukum lokal setempat.
2. Konvensi Jenewa IV, 1949. Setidaknya terjadi pelanggaran terhadap Pasal 47 dan 54 yang berbunyi :
  • Pasal 47. Orang-orang yang dilindungi yang ada di wilayah yang diduduki,  bagaimanapun dan dalam keadaan apapun tidak akan kehilangan manfaat dari Konvensi ini karena perubahan yang diadakan dalam lembaga-lembaga atau pemerintahan suatu wilayah sebagai akibat dari pendudukan wilyah itu. Mereka juga tidak akan kehilangan manfaat Konvensi ini karena persetujuan apapun yang diadakan antara penguasa-penguasa dari wilayah yang diduduki dan negara pendudukan, atau karena aneksasi seluruh atau sebagian dari wilayah oleh Penguasa Pendudukan.
  • Pasal 54. Penguasa Pendudukan tidak boleh merubah kedudukan pegawai-pegawai negeri atau hakim di wilayah yang diduduki, atau dengan cara bagaimanapun menggunakan sanksi atau mengambil tindakan paksaan atau diskriminasi apapun terhadap mereka, apabila mereka tidak melakukan tugas-tugas mereka karena alasan-alasan hati nurani mereka…
3. Protokol Tambahan I 1977. Setidaknya terjadi pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (4), di mana dengan diperluasnya pendudukan asing Israel di atas tanah Palestina secara paksa dengan kekerasan bersenjata, merupakan pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri yang dimiliki oleh rakyat Palestina. Dan masih banyak pelanggaran lainnya yang sengaja tidak ditulis dalam bagian ini.
Berkenaan dengan masalah hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), maka telah jelas bahwa self-determination merupakan salah satu hak asasi manusia yang penting yang dilindungi oleh hukum internasional; dalam tulisan ini adalah dilindungi berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Protokol Tambahan I, 1977. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa hak menentukan nasib sendiri harus dilindungi selama terjadi pendudukan militer.
Menurut Israel Law Resource Center, sejak tahun 1967, Israel telah melakukan langkah-langkah secara fisik maupun yuridis yang mempengaruhi hak untuk menentukan nasib sendiri bangsa Palestina yang tinggal di wilayah Palestina, yakni :
  • Israel mengambil tanah Palestina dan merubah status hukum tanah tersebut serta mengisi wilayah tersebut dengan infra-struktur milik Israel yang mengakibatkan masyarakat Palestina terisolir dari dunia luar. Insfra-struktur Israel tersebut meliputi tempat pemukiman penduduk sipil dari Israel, tempat perkemahan pasukan Israel, zona-zona penyangga, tempat-tempat penampungan orang asing, jalan raya yang hanya dapat digunakan oleh orang Israel, dan dinding pemisah yang dibangun ditengah-tengah komunitas masyarakat Palestina. Sementara akses ke dan dari daerah tersebut diawasi oleh pasukan Israel, di mana banyak sekali bukti-bukti yang mengemukakan adanya pelecehan dan pelanggaran HAM terhadap orang Palestina. Hal ini mengakibatkan adanya kelaparan di semua wilayah, malnutrisi dan berbagai penyakit yang diderita terutama oleh anak-anak.
  • Israel telah mengganti semua lembaga-lembaga pemeritnah setempat dengan komite militer Israel; dan Israel juga mendirikan sistem pemerintahan yang bersifat opresif dan eksploitif terhadap kehidupan perekonomian masyarakat Palestina. Hal ini mengakibatkan tingkat pengangguran yang tinggi dan menurunnya aktivitas ekonomi di wilayah Palestina, namun sebaliknya mengakibatkan keuntungan pada Israel.
  • Israel menerapkan hukum yang dimodifikasi dari Defense (Emergency) Regulation, 1945 yang pertama kali dibuat oleh Pemerintah Inggris untuk memadamkan kekerasan yang dilakukan oleh bangsa Palestina pada waktu itu. Aturan tersebut yang pada saat itu ditentang keras oleh komunitas Zionis, saat ini justru mereka praktekkan terhadap penduduk Palestina. Aturan-aturan tersebut antara lain mengijinkan tindakan-tindakan illegal seperti pidana penjara tanpa melalui sidang pengadilan atau denda, deportasi, penghancuran rumah, tindakan hukuman kolektif, dan sebagainya, yang merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Selain itu, pasukan Israel juga melakukan praktek penganiayaan dan pembunuhan di wilayah yang diduduki.
Semua tindakan yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina tersebut telah menghancurkan perekonomian Palestina, dan juga memporakporandakan masyarakat Palestina di wilayah pendudukan dan karenanya melanggar hak untuk menentukan nasib sendiri bagi masyarakat Palestina.
Pertanyaan:
Pahami dan Berikan komentar atas artikel tersebut dalam perspektif Hukum Humaniter Internasional.


BBC

HRW: Pembakaran massal di Rakhine

Terbaru  27 Oktober 2012 - 13:19 WIB
Sekitar 14 hektar lahan di Rakhine di bakar massal dalam kekerasan etnis di bagian barat Burma.
Pegiat HAM, HRW, merilis gambar yang menunjukkan pengrusakan di distrik barat Burma akibat kekerasan etnis.
HRW mengatakan lebih dari 800 bangunan dan rumah perahu terbakar.
Gambar satelit juga menunjukkan sekitar 14 hektar kawasan terbakar di Kyaukpyu, kota pantai di Rakhine.
Pegiat HAM asal AS tersebut menyatakan kebanyakan warga di kawasan tersebut adalah Muslim Rohingya, yang menjadi target serangan non-Muslim yang menyebut mereka tidak termasuk dalam Burma.
Banyak warga Rohingya yang diyakini kabur dengan menggunakan kapal ke laut.
"Pemerintah Burma harus dengan cepat menjamin keamanan bagi Rohingya di Rakhine, yang menjadi target serangan brutal,'' kata Phil Robertson, wakil direktur HRW Asia.
''Kecuali pemerintah mulai menangani akar penyebab kekerasan, maka ini hanya akan bertambah buruk,'' katanya.
PBB sebelumnya memperingatkan bahwa program reformasi negara itu terancam akibat kekerasan komunal yang berlanjut antara kelompok lokal Budha dan Muslim Rohingya.
"Pemerintah Burma harus dengan cepat menjamin keamanan bagi Rohingya di Rakhine, yang menjadi target serangan brutal. "
Phil Robertson
Setidaknya 64 orang tewas pekan ini, dalam kekerasan serius terbaru yang pecah sejak Juni silam, saat kawasan darurat diberlakukan di Rakhine.

Saling menyalahkan

Rohingya selama ini dianggap sebagai imigran ilegal oleh pemerintah Burma.
Kali ini kaum non-Muslim juga dilaporkan menjadi target penembakan dari pasukan pemerintahan dan menimbulkan banyak korban.
Pemerintah menyatakan jam malam diberlakukan di kawasan tersebut, tetapi kekerasan terbaru yang pecah sejak Juni silam ini membuat kebijakan ini dianggap tidak memadai.
Jumat (26/10) bentrokan berlangsung di enam kota dan jam malam berlangsung di sejumlah lokasi termasuk Min Bya dan Mrauk Oo, tempat dimana kekerasan baru pecah.
Tidak jelas alasan dibelakang bentrokan terbaru.
Budha Rakhine dan Muslim, diyakini kebanyakan Rohingya, saling menyalahkan atas kekerasan yang berlangsung.
Di Bangladesh, petugas imigrasi mengatakan sejumlah kapal Rohingya tengah menunggu untuk mencoba melintas perbatasan sungai dari Burma.
Seorang petugas menyebut 52 Rohingya ditolak masuk dan dikirim kembali dalam beberapa hari.
Kekerasan yang masih berlanjut juga membuat Muslim di Burma melakukan boikot perayaan Idul Adha.
Ketegangan antar etnis telah berlangsung lama di Rakhine, kebanyakan berisi Muslim Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan.
Pemerintah Burma menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dan wartawan BBC melaporkan ada banyak kekerasan publik yang diarahkan kepada mereka.
Agustus lalu Burma membentuk sebuah komisi untuk menyelidiki kekerasan diantara umat Budha dan Muslim tersebut, setelah sebelumnya menolak penyelidikan yang diketuai oleh PBB.
Pertanyaan:
Apakah kasus diatas, dapat dikategorikan sebagai 'objek' dari hukum Humaniter Internasional? Jelaskan. 


© Blog Mr. Joe
Maira Gall