Senin, 25 Agustus 2014

Artikel Dr. Lilik Mulyadi



KEARIFAN LOKAL HUKUM PIDANA ADAT INDONESIA:
PENGKAJIAN ASAS, NORMA, TEORI, PRAKTIK DAN PROSEDURNYA
 Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.[1]
I. Dimensi Normatif Dan Filosofis Kearifan Lokal Hukum Pidana Adat Indonesia
         Pada asasnya, terminologi hukum adat[2] berasal dari kata adatrecht  dipergunakan Snouck Hurgronye dan dipakai sebagai terminologi teknis yuridis oleh van Vollenhoven. Kemudian, terminologi hukum adat dikenal dalam zaman Hindia Belanda diatur ketentuan Pasal 11 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB) dengan terminologi godsdientige wetten, volksinstelingen en gebruiken, ketentuan Pasal 75 ayat 3 Reglement op het Beleid der Regeling van Nederlands Indie (RR) dengan terminologi Instellingen en gebruiken des volks, berikutnya menurut ketentuan Pasal 128 Wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch Indie atau Indische Saatsregeling (IS) dipergunakan terminologi godsdientige wetten en oude herkomsten dan berdasarkan ketentuan Stb. 1929 Nomor 221 jo Nomor 487 terakhir dipergunakan terminologi adatrecht.
         Dikaji dari perspektif peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini (ius constitutum) terminologi hukum adat dikaji dari perspektif asas, norma, teoretis dan praktek dikenal dengan istilah, “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, dan lain sebagainya.
        Selain itu, dari dimensi demikian terminologi hukum adat beserta masyarakat adatnya mempunyai korelasi erat, integral dan bahkan tak terpisahkan yang lazim diungkapkan dalam bentuk petatah petatih. Sebagai contoh, misalnya dalam masyarakat Aceh[3] dikenal dengan ungkapan “matee anek mepat jerat matee adat phat tamita” yang diartikan kalau anak mati masih dapat dilihat pusaranya, akan tetapi kalau adat dihilangkan/mati, maka akan sulit dicari. Ungkapan lainnya, berupa “murip i kanung edet, mate i kanung bumi” yang berarti bahwa keharusan mengikuti aturan adat sama dengan keharusan ketika mati harus masuk ke perut bumi.
         Eksistensi berlakunya hukum adat selain dikenal dalam instrumen hukum nasional juga diatur instrumen Internasional. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menyebutkan bahwa, “Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations”. Kemudian rekomendasi dari Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada umumnya bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta “outmoded and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Alasannya karena sistem hukum di beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada “diskrepansi” dengan aspirasi masyarakat, serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh konggres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan.
           Terminologi hukum pidana adat, delik adat, hukum pelanggaran adat atau hukum adat pidana[4] cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat. Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti serta ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Untuk sumber tertulis misalnya dapat dilihat dalam Kitab Ciwasasana atau Kitab Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa pada abad ke-10, Kitab Gajahmada, Kitab Simbur Cahaya di Palembang, Kitab Kuntara Raja Niti di Lampung, Kitab Lontara “ade” di Sulawesi Selatan, Kitab Adi Agama dan Awig-Awig di Bali, dan lain sebagainya. Kemudian sumber tidak tertulis dari hukum pidana adat adalah semua peraturan yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya.
             I Made Widnyana menyebutkan di Bali sumber tertulis dari hukum pidana adat dapat ditemukan pada beberapa sumber seperti:
                   Pertama, Manawa Dharmasastra (Manu Dharmacastra) atau Weda Smrti (Compendium Hukum Hindu).Kedua, Kitab Catur Agama yaitu Kitab Agama, Kitab Adi Agama, Kitab Purwa Agama, Kitab Kutara Agama.Ketiga, Awig-Awig (Desa Adat, Banjar) adalah aturan-aturann atau keinginan-keinginan masyarakat hukum adat setempat yang dibuat dan disahkan melalui suatu musyawarah dan dituliskan di atas daun lontar atau kertas. Di dalam awig-awig ini dimuat/diatur larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh warga masyarakat yang bersangkutan atau kewajiban-kewajiban yang harus diikuti oleh masyarakat tersebut, yang apabila dilanggar mengakibatkan dikenakannya sanksi oleh masyarakat melalui pimpinan adatnya.[5]

          Eksistensi hukum pidana adat di Indonesia telah lama dikenal baik dikaji dari perspektif asas, teoretis, norma, praktek dan prosedurnya. Sebagai salah satu contoh eksistensi pengaturan hukum pidana adat terdapat dalamOendang-Oendang Simboer Tjahaja[6] pada abad ke-16 di wilayah Kesultanan Palembang Durussalam Sumatera Selatan. Pada Oendang-Oendang Simboer Tjahaja (UUSC) dikenal hukum pidana adat dimana sanksi denda dikenakan pada delik kesusilaan diatur Pasal 18-23 Bab I tentang Adat Bujang Gadis dan Kawin UUSC, maka pidana denda yang dikenakan sesuai dengan tingkatan perbuatan seseorang, yaitu senggol tangan perempuan (naro gawe) kena denda 2 ringgit. Pegang lengan perempuan (meranting gawe) didenda 4 Ringgit. Pegang di atas siku perempuan (meragang gawe) kena denda 6 ringgit. Peluk badan (meragang gawe) dan nangkap badan gadis (nangkap rimau) serta pegang istri orang lain, masing-masing kena denda 12 ringgit.
        Konteks di atas mendeskripsikan bahwa hukum pidana adat tersebut eksistensinya telah ada, lahir, tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia sejak lama. Kemudian dalam bentuk kodefikasi hukum pidana adat setelah kemerdekaan diatur dalam ketentuan Pasal 1 dan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951[7]tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.
          Pada ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 disebutkan bahwa kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan yang meliputi badan pengadilan gubernemen, badan pengadilan swapraja(zelbestuurrechtspraak) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja, dan badan pengadilan adat (Inheemse rechtspraak in rechtsreeks bestuur gebied)kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari pengadilan adat telah dihapuskan. Hakikat dasar adanya ketentuan tersebut berarti sebetulnya Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 telah meniadakan badan-badan pengadilan lain kecuali badan pengadilan umum, agama dan pengadilan desa.
          Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, perubahan dan dinamika masyarakat yang teramat kompleks di satu sisi sedangkan di sisi lainnya terhadap regulasi pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi[8] yang bersifat parsial ternyata eksistensi hukum pidana adat tersebut dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”. Ada 2 (dua) argumentasi yang patut dikemukakan dalam konteks ini mengapa kajian terhadap hukum pidana adat diasumsikan eksistensinya antara “ada” dan “tiada”.
         Pertama, dikaji dari dimensi asas legalitas formal (selanjutnya disebut sebagai asas legalitas) dan asas legalitas materiil. Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagainullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya)atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas).
        Apabila dipadankan asas legalitas formal dan materiil hendaknya diatur dalam peraturan perundang-undangan dan diimplementasikan secara integral. Pada asas legalitas dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Kemudian asas legalitas materiel menentukan bahwa dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum tidak tertulis atau hukum adat.Barda Nawawi Arief menyebutkan dengan adanya perumusan asas legalitas yang formal di dalam Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup di dalam masyarakat sama sekali tidak mempunyai tempat sebagai sumber hukum yang positif. Dengan perkata lain, adanya Pasal 1 KUHP itu seolah-olah hukum pidana tidak tertulis yang hidup atau pernah ada di masyarakat, sering “ditidurkan atau dimatikan”. Semasa zaman penjajahan, ditidurkannya hukum pidana tidak tertulis itu masih dapat dimaklumi karena memang sesuai dengan politik hukum Belanda pada saat itu. Namun, akan dirasakan lain apabila kebijakan itu juga diteruskan seusai kemerdekaan. Dengan adanya Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis/hukum yang hidup itu tidak pernah tergali dan terungkap secara utuh kepermukaan, khususnya dalam praktek peradilan pidana maupun dalam kajian akademik di perguruan tinggi. Selanjutnya, berarti tidak pernah berkembang dengan baik “tradisi yurisprudensi” maupun “tradisi akademik/keilmuan” mengenai hukum pidana tidak tertulis itu. Kalau toh ada, hanya dalam ruang yang sangat terbatas dan (sekali lagi) “tidak utuh” atau “tidak lengkap”.[9]
           Konklusi dasar dari apa yang diterangkan di atas menyebutkan asas legalitas sebagaimana ketentuan Pasal 1 KUHP memang merupakan salah satu asas fundamental yang harus tetap dipertahankan, namun penggunaan harus dengan bijaksana dan hati-hati, karena kalau kurang bijaksana dan kurang hati-hati, justru dapat menjadi “bumerang”. Sungguh sangat tragis dan menyayat hati apabila dengan dalih Pasal 1 KUHP, nilai-nilai hukum yang ada dan hidup dalam masyarakat tidak dapat tersalur dengan baik atau bahkan ditolak sama sekali. Dikatakan tragis dan menyayat hati karena berarti nilai-nilai hukum adat/hukum yang hidup di dalam masyarakat telah dibunuh/dimatikan oleh bangsanya sendiri lewat senjata/peluru/pisau yang diperoleh dari bekas penjajah (yaitu lewat Pasal 1 KUHP/WvS).[10]
        Kedua, dikaji dari perspektif UU Nomor 1 dart Tahun 1951 dimana dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b masih dikenal eksistensinya Pengadilan Adat. Akan tetapi, setelah dikodefikasikan Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970), yang kemudian dirubah dengan UU Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) tidak dikenal lagi eksitensi Pengadilan Adat dalam tataran kebijakan legislasi walaupun untuk daerah Aceh Nangroe Darussalam sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh eksistensi Pengadilan Adat masih diterapkan dan dikenal dengan istilah Peradilan Gampong atau Peradilan Damai.[11]
          Akan tetapi walaupun kebijakan formulatif sejak UU 14 Tahun  1970 (berikut UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) yang tidak mengakui eksistensi peradilan adat fakta aktual dalam kebijakan aplikatif melalui yurisprudensi Mahkamah Agung RI eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya. Misalnya, sebagai salah satu contohnya pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana dalam ratio decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat) maka yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum ada dan dijatuhkan pidana penjara menurut ketentuan KUH Pidana (Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk Verklaard).
           Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menentukan bahwa Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia tetap menghormati putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang memberikan “sanksi adat” terhadap para pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat tersebut dengan cara memberikan pidana penjara (ex Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana). Oleh karena itu, konsekuensi logisnya dapat dikatakan bahwa bila Kepala Adat tidak pernah memberikan “sanksi adat” terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim badan peradilan negara berwenang penuh mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana.

II.                Eksistensi Kearifan Lokal Hukum Pidana Adat Indonesia Dalam Konteks Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
1.      Eksistensi Hukum Pidana Adat Indonesia
           Dikaji dari perspektif normatif, teoretis, asas dan praktik dimensi dasar hukum dan eksistensi keberlakukan hukum pidana adat bertitik tolak berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 (LN 1951 Nomor 9). Pada ketentuan sebagaimana tersebut di atas disebutkan, bahwa:
                 “Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan terhukum, bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas, bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana yang ada bandingnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana tersebut”.

        Ada 3 (tiga) konklusi dasar dari ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.Pertama, bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam KUHP dimana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus rupiah (setara dengan kejahatan riangan), minimumnya sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1 (satu) hari untuk pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi, untuk tindak pidana adat yang berat ancaman pidana paling lama 10 (spuluh) tahun, sebagai pengganti dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh terdakwa. Kedua, tindak pidana adat yang ada bandingnya dalam KUHP maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP seperti misalnya tindak pidana adat Drati Kerama di Bali atau Mapangaddi (Bugis) Zina (Makasar) yang sebanding dengan tindak pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP. Ketiga, sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP.
           Selain ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 maka dasar hukum berlakunya hukum pidana adat juga mengacu ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara eksplisit maupun implisit ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 meletakan dasar eksistensi hukum pidana adat. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa, “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, kemudian ketentuan Pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”,berikutnya ketentuan Pasal 50 ayat (1) menentukan, “”Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
        Pada dasarnya, kalimat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”,“hukum tidak ada atau kurang jelas”, “sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili” mencerminkan baik tersurat maupun tersirat bahwa keberlakukan hukum pidana adat juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.  
        Selain dalam kebijakan legislasi keberlakukan hukum pidana diatur dan dibicarakan dalam pelbagai forum seminar hukum pidana adat untuk juga diarahkan dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional. Misalnya, dalam Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980, antara lain disebutkan, “...usaha pembaharuan hukum pidana agar didasarkan pada Politik Hukum Pidana dan Politik Kriminal yang mencerminkan aspirasi nasional...Dalam hubungan ini maka proses pembaharuan tersebut haruslah melalui penelitian dan pengkajian yang mendalam (antara lain) tentang: ...hukum pidana adat dan agama yang hidup dalam masyarakat Indonesia”. Kemudian dalam Laporan Seminar Hukum Nasional VI Tahun 1994 pada butir a ditentukan bahwa, “hukum tertulis dan hukum tidak tertulis hendaknya bersifat komplementer”, dan butir b menegaskan, “pembentukan hukum tidak tertulis lebih “luwes” dari pada pembentukan hukum tertulis, karena bisa mengatasi kesenjangan antara keabsahan hukum dan efektivitasnya”.
         Selain itu, eksistensi hukum pidana adat ditataran yurispudensi Mahkamah Agung RI juga diakui melalui penafsiran sifat melawan hukum materiil baik dalam fungsi positif dan fungsi negatif. Pada yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi negatif termaktub dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi dimana Mahkamah Agung membenarkan hapusnya sifat melawan hukum dikarenakan adanya tiga faktor yaitu negara tidak dirugikan, kepentingan umum terlayani dan terdakwa tidak mendapat untung serta suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifat melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis . Adapun dasar pertimbangan diakui eksistensi hukum (pidana) adat disebutkan dengan redaksional sebagai berikut:
                  “bahwa Mahkamah Agung pada azasnya dapat membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana Pengadilan Tinggi dianggap ada dalam perkara penggelapan yang formil terbukti dilakukan oleh terdakwa.”
             Dengan tolok ukur sebagaimana dimensi di atas, maka berdasarkan kasus Machroes Effendi inilah timbul suatu yurisprudensi Mahkamah Agung dengan Nomor 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut azas “perbuatan melawan hukum materiil” (Materiile Wederrechtelijkheid) dalam artian Negatif. Sedangkan yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendirian perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi Positif terdapat dalam perkara Putusan Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 atas nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa. Pada asasnya, yurisprudensi Mahkamah Agung ini pertimbangan putusannya bersifat futuristis dengan titik tolak penafsiran yang keliru pengertian “melawan hukum” dari yudex facti diidentikan sebagai “melawan peraturan yang ada sanksi pidananya”, sebagaimana dikatakan dengan redaksional sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.
              Konkretisasi dan konklusi detail eksistensi pengakuan hukum pidana adat terdapat baik dalam peraturan perundangan-undangan, forum ilmiah, pendapat doktrin maupun yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
2.      Asas Legalitas Materiil Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
           Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Asas legalitas merupakan asas yang paling penting dalam hukum pidana sebagaimana diucapkan oleh Dupont.[12] Dikaji dari perspektif hukum positif (ius constitutum) asas legalitas diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merupakan asas legalitas formal. Pada RUU KUHP, dikaji dari perspektif ius constituendum asas legalitas baik legalitas formal dan legalitas materiil diatur dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP Tahun 2008 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1)    Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2)    Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(4)    Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
         Kemudian penjelasan pasal demi pasal terhadap ketentuan Pasal 1 RUU KUHP tersebut diperinci sebagai berikut:
Ayat (1)
        Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan oleh atau didasarkan pada undang-undang. Dipergunakannya asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.

Ayat (2)
        Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannnya larangan penggunaan analogi maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktik selama ini dapat dihilangkan.
Ayat (3)
       Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai  hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.
Ayat (4)
         Ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman pada ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional.
        Ada beberapa catatan substansial terhadap eksistensi asas legalitas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP tersebut. Pertama, asas legalitas dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP merupakan asas legalitas yang diperluas yaitu dikenal eksistensi asas legalitas formal dan asas legalitas materiil. Pada RUU KUHP asas legalitas formal diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) sedangkan asas legalitas materiil diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3).  Pada asas legalitas formal, dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Kemudian asas legalitas materiil menentukan bahwa dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum tidak tertulis atau hukum adat. Kedua, dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang mempergunakan analogi (Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP). Penjelasan Pasal demi Pasal ketentuan Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP menyebutkan bahwa, “larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan penggunaan analogi maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktik selama ini dapat dihilangkan”. Dalam kepustakan hukum hakikat penafsiran analogi dimaksudkan apabila suatu perbuatan pada saat perbuatan bukan merupakan tindak pidana, kemudian diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua perbuatan itu dipandang analog satu dengan lainnya. Andi Hamzah menyebut bentuk analogi menjadi dua yaitu gesetz analogi yaitu analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan pidana, dan recht analogi yaitu analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana. Herman Mannheimmengemukakan adanya dua macam analogi. Pertama, analogi undag-undang atau gesetzes analogie. Kedua, analogi hukum atau rechtsanalogie. Dalam penerapan hukum pidana analogi yang diperbolehkan adalah analogi undang-undang dan bukan analogi hukum. Kendatipun demikian, sulit dibedakan antara analogi undang-undang dan analogi hukum.[13] M. Cherif Bassiouni, membagi ada tiga katagori analogi. Pertama, analogi untuk menciptakan perbuatan pidana baru yang sudah diduga tetapi tidak dirumuskan oleh pembentuk undang-undang.  Kedua, analogi yang diterapkan apabila bunyi undang-undang tidak cukup jelas atau gagal merumuskan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Ketiga, analogi yang diterapkan terhadap pemidanaan yang tidak didifinisikan oleh pembentuk undang-undang. Pada sistem dengan pendekatan positivisme yang ketat, asas legalitas membolehkan analogi terhadap pemidanaan, asalkan masih dalam batasan-batasan yang telah ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Akan tetapi, pada sistem hukum yang menerapkan asas legalitas yang sangat ketat, penggunaan analogi sepenuhnya dilarang, dengan mengingat klausula aturan favor reo. Artinya, hakim harus menjatuhkan putusan yang meringankan terdakwa.[14]
             Pada hakikatnya, penerapan penafsiran analogi dalam hukum pidana menimbulkan perdebatan panjang. Ada kelompok yang menerima analogi, kelompok yang menentang penafsiran analogi dan ada kelompok yang tidak secara tegas menolak dan menerima analogi. Kelompok yang menyetujui penerapan analogi argumentasinya karena perkembangan masyarakat relatif cepat sehingga hukum pidana harus berkembang sesuai perkembangan masyarakat. Sebagian besar negara Eropa melarang penggunaan analogi, terkecuali Negara Denmark dan Inggris yang memperbolehkan penerapan analogi. Kemudian kelompok yang menentang penerapan penafsiran analogi dikarenakan penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Taverne, Roling, Pompe dan Jonkers menerima penerapan analogi dan Scholten, van Hattum, van Bemmelen, Moeljatno danJan Remmelink menentang penerapan analogi dalam hukum pidana serta Hazewinkel Suringa dan Vos yang tidak secara tegas menolak dan menerima analogi. Dalam praktik peradilan pada tahun 1921 penerapan penafsiran analogi diterapkan dalam kasus pencurian listrik dengan memperluas pengertian “barang” (goed) termasuk aliran listrik. Praktik peradilan Indonesia lewat Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 144/Pid/1983/PT. Mdn telah menafsirkan Pasal 378 KUHP yang memperluas pengertian benda termasuk juga “kegadisan seorang wanita”.
            Lebih lanjut Eddy O.S. Hiariej mengatakan bahwa ketentuan mengenai larangan menerapkan analogi merupakan suatu contradictio interminis bila dihubungkan dengan ayat (3) dimana seseorang dapat dipidana meskipun perbuatannya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, untuk memidana suatu perbuatan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, mau tidak mau, hakim harus menggunakan analogi atau setidak-tidaknya interpretasi ekstensif. Padahal, pada hakikatnya tidak terdapat perbedaan prinsip antara interprestasi ekstensif dengan analogi.[15] Ketiga, asas legalitas formal dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak dapat diberlakukan secara mutlak/absolut atau imperatif karena adanya pengecualian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP.
         Konklusi dasar dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP dengan diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan hukum tidak tertulis membawa konsekuensi logis bahwa pembentuk RUU KUHP menarik hukum tidak tertulis menjadi hukum formal. Implikasi adanya aspek ini membuat penegakan hukum yang hidup dalam masyarakat akan dilakukan oleh negara melalui sub sistem peradilan pidana. Hal ini dapat dimengerti oleh karena polarisasi pemikiran pembentuk RUU KUHP Tahun 2008 bertitik tolak dari keseimbangan monodualistik yaitu asas keseimbangan antara kepentingan/perlindungan individu (asas personal/asas culpabilitas) dengan kepentingan/perlindungan masyarakat (asas kemasyarakatan), keseimbangan antara kretaria formal dan materiil, dan keseimbangan antara kepastian hukum dengan keadilan. Nilai/ide keseimbangan dalam RUU KUHP dilanjutkan dalam menentukan suatu tindak pidana adalah selalu melawan hukum dengan dianutnya sifat melawan hukum materiil. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) RUU KUHP menentukan, “untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat” dan ayat (3) berbunyi bahwa, “setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar”. Polarisasi pemikiran pembentuk undang-undang dalam menentukan dapat dipidana harus memperhatikan keselarasan dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Konklusinya, perbuatan tersebut nantinya tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi juga akan selalu bertentangan dengan hukum. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Ditentukannya syarat bertentangan dengan hukum, didasarkan pada pertimbangan bahwa menjatuhkan pidana pada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum dinilai tidak adil. Oleh karena itu untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim selain harus menentukan apakah perbuatan yang diakukan itu secara formil dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan apakah perbuatan tersebut secara materiil juga bertentangan dengan hukum, dalam arti kesadaran hukum masyarakat. Hal ini wajib dipertimbangkan dalam putusan. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP mengimbangi ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP. Tegasnya, asas legalitas formal diimbangi dengan ketentuan asas legalitas materiil.
           Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) RUU KUHP dijelaskan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Kemudian penjelasan Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman pada ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional.” Pada hakikatnya, pedoman dalam ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional. Apabila dijabarkan, aspek ini sesuai dengan nilai nasional (Pancasila) artinya sesuai dengan nilai/paradigma moral religius, nilai/paradigma kemanusiaan/humanis, nilai/paradigma kebangsaan, nilai/paradigma demokrasi (kerakyatan) dan nilai/paradigma keadilan sosial. Kemudian rambu-rambu yang berbunyi, “sesuai dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa bersumber pada “The general principle of law recognized by community of nations” yang terdapat dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) ICCPR(International Covenant on Civil and Political Right). Adanya rambu-rambu tersebut, hukum yang hidup (hukum pidana adat) mendapat landasan untuk dapat diadili maupun sanksi adat setempat yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan adalah sesuai nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat internasional.Keempat, adanya pembatasan bahwa asas legalitas formal tidak diterapkan secara absolut dan adanya keseimbangan monodualistik maka polarisasi pemikiran pembentuk RUU KUHP menganut pula secara implisit ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi positif.  Dalam kepustakaan ilmu hukum dan praktik peradilan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif diartikan bahwa meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, hakim dapat menjatuhkan pidana apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat.
III.             Yurisprudensi dan Praktik Serta Ius Constituendum Terhadap Peradilan Tindak Pidana Adat Indonesia
A.  Hukum Pidana Adat Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
1.       Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985
                 Pada dasarnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 merupakan perkara yang berasal dari Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 jo Putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984. Pada Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 mengadili perkara hubungan kelamin di luar perkawinan. Pada tingkat pengadilan negeri hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melanggar hukum yang hidup di wilayah Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951 yang unsur-unsurnya:
Unsur pertama suatu perbuatan yang melanggar hukum yang hidup.
Unsur Kedua perbuatan pelanggaran tersebut tidak ada bandingannya dalam KUH Pidana.
Unsur Ketiga perbuatan pelanggaran tersebut masih tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang-orang yang bersangkutan.
           Adapun ratio decidendi Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 menyatakan bahwa perbuatan hubungan kelawin di luar perkawinan oleh seorang laki-laki (penduduk Banggai) dengan seorang perempuan dewasa yang mengakibatkan hamilnya siperempuan dapat dianggap melanggar hukum yang hidup dan melanggar kaidah-kaidah kepatutan serta suatu perbuatan yang melanggar moral karena perbuatan tersebut tidak dikualifikasikan sebagai delik oleh KUH Pidana (tidak ada bandingannya). Oleh karena itu, hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan melakukan suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil.
           Kemudian Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984 dengan dilakukan perbaikan dan penambahan berupa pertimbangan dimanauntuk memenuhi rasa keadilan masyarakat yang mengganggap perbuatan tersebut adalah tindak pidana maka hakim memutuskan terdakwa telah melakukan kejahatan bersetubuh dengan seorang wanita di luar nikah. Akan tetapi oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 maka putusan Pengadilan Tinggi tersebut diperbaiki sekedar kualifikasi dimana perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan suatu perbuatan yang dikategorisasikan sebagai perbuatan zinah menurut hukum adat.
         Pada dasarnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 tidak menetapkan sanksi adat atas pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa. Hakim yudex facti (Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi) dan hakim yudex yuris (Mahkamah Agung RI) langsung menetapkan hukuman bagi terdakwa melalui sanksi pidana. Tegasnya, dengan kata lain sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim bukan merupakan hukuman pengganti.
         Terhadap putusan konteks di atas maka H.R. Otje Salman Soemadiningrat[16] menyebutkan sampai sekarang pun masih banyak hakim yang mendasarkan putusannya pada hukum pidana adat atau menganggap hukum pidana adat masih berlaku. Pertama bahwa hukum adat tidak mengenal pemisahan secara tegas antara hukum pidana dengan hukum perdata (privat). Dan diantara keduanya saling berkaitan satu sama lain. Sehubungan dengan hal tersebut, tidak ada perbedaan prinsip prosedur penyelesaian perkara-perkara pelanggaran adat. Jika terjadi pelanggaran para fungsionaris hukum (penguasa/kepala adat) berwenang mengambil tindakan konkret, baik atas inisiatif sendiri atau berdasarkan pengaduan pihak yang dirugikan.
            Hal ini semata-mata dilakukan untuk menetapkan hukum (verklaring van recht) berupa sanksi adat (adatreactie)yang dianggap dapat membetulkan hukum adat yang dilanggar tersebut. Sanksi adat ini dapat dilakukan oleh si pelanggar dengan cara membayar ganti rugi, kepada pihak yang terkena akibat pelanggaran tersebut (rechtsherstel), atau membayar uang adat kepada pihak yang terkena dan/atau masyarakat.
            Terakhir, bahwa setiap hukum adat selalu berkaitan atau mengandung unsur budaya dan keyakinan (magis religius) yang hidup dalam masyakarat. Begitu pula dalam hal berhubungan kelamin, sesuatu yang karena sifatnya dianggap sakral dan tabu (Pemali: Jawa) dilakukan oleh orang kecuali bagi mereka yang sudah resmi menjadi suami istri atau dalam sebuah ikatan rumah tangga. Dalam perspektif yang demikian, berarti setiap hukum yang hidup dengan tidak mengandung unsur magis religius atau tidak berhubungan dengan unsur budaya dan keyakinan yang tumbuh dalam masyarakat, bukanlah hukum adat.

2.       Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991
                        Pada dasarnya, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 merupakan perkara yang berasal dari Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 jo Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11 Nopember 1987.
          Kasus posisi Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 bahwa seorang terdakwa telah melakukan perbuatan susila di desa Parauna, Kecamatan Unaaha, Kodya Kendari. Akibat perbuatan tersebut maka Kepala Adat Tolake menangani peristiwa secara adat. Kemudian kepala adat menyatakan pelaku telah melanggar norma adat kesusilaan sehingga Kepala Adat Tolake menetapkan suatu reaksi adat berupa sanksi adat “Prohala” yaitu pelaku harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci. Perbuatan tersebut telah dilaksanakan oleh pelaku.
           Akan tetapi masalah tersebut diusut lagi oleh Kepolisian dan selajutnya diserahkan kepada pihak Kejaksaan. Kemudian oleh pihak kejaksaan perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan negeri Kendari dimana terdakwa didakwa dengan dakwaan telah melanggar tindak pidana berupa dakwaan primair melanggar Pasal 53 jo Pasal 285 KUH Pidana, dakwaan subsidair melanggar Pasal 281 ayat (1) ke-1e KUH Pidana dan dakwaan lebih subsidair lagimelanggar Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951.
          Kemudian Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 pada dasarnya menyatakan bahwa terdakwa terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana adat “memperkosa” sebagaimana dalam dakwaan subsidair lagi dengan ratio decidendi putusan sebagai berikut:
§  Bahwa hakim Pengadilan Negeri Kendari menolak pledooi terdakwa yang mengemukakan bahwa terdakwa telah dijatuhi sanksi adat “Prohala” oleh kepala adat dan pemuka adat sehingga dengan diadilinya lagi terdakwa berdasarkan KUH Pidana di Pengadilan Negeri berarti terdakwa telah diadili dua kali dalam masalah yang sama (ne bis in idem).
§  Bahwa penolakan tersebut didasarkan bahwa menurut ketentuan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ditetapkan badan peradilan negara sebagai satu-satunya badan yustisi yang berwenang mengadili perkara tindak pidana adalah Pengadilan Negeri.
§  Bahwa hakim menilai unsur dakwaan dakwaan primair melanggar Pasal 53 jo Pasal 285 KUH Pidana, dakwaan subsidair melanggar Pasal 281 ayat (1) ke-1e KUH Pidana tidak terbukti dan yang terbukti adalah dakwaan lebih subsidair lagi melanggar Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951 yang pada pokoknya menyatakan bahwa perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam KUH Pidana maka perbuatan itu dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip perbuatan pidana itu.
           Kemudian atas Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 itu terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara. Atas permohonan banding tersebut maka Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11 Nopember 1987 pada dasarnya menguatkan putusan Pengadilan Negeri dengan sekedar memperbaiki kualifikasi dimana terdakwa dijatuhkan hukuman karena bersalah melakukan “perbuatan pidana adat Siri” dengan ratio decidendi putusan sebagai berikut:
§  Perbuatan terdakwa menurut hukum adat yang masih hidup di dalam masyarakat Tolaki adalah merupakan perbuatan yang sangat tercela yang menimbulkan “Siri” dan harus dikenakan sanksi adat yakni keluarga yang dipermalukan (Tomasiri) dapat mengakibatkan korban jiwa (Siri Ripoamateng/Siri dipomate).
§  Delik adat yang dilanggar oleh terdakwa adalah delik adat Siri Ripoamateng/Siri dipomate adalah suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan dan merendahkan martabat keluarga perempuan.
§  Bahwa perbuatan pidana adat yang dilakukan oleh terdakwa tersebut tidak ada bandingannya di dalam KUH Pidana dan oleh karena itu menurut hakim banding terdakwa harus dipersalahkan melanggar hukum adat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 Tahun 1951.
             Atas Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11 Nopember 1987tersebut maka terdakwa menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung RI. Kemudian Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 pada pokoknya menyebutkan bahwa Mahkamah Agung setelah memeriksa perkara ini berpendirian yudex factie dinilai telah salah menerapkan hukum sehingga putusannya harus dibatalkan dan selanjutnya Mahkamah Agung RI mengadili sendiri perkara tersebut. Pada hakikatnya pendirian Mahkamah Agung berdasarkan pertimbangan hukum sebagai berikut:
§  Bahwa terdakwa yang oleh Kepala Adat harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci karena telah melakukan pelanggaran adat itu adalah merupakan suatu hukuman adat (sanksi adat). Hukuman mana telah dijalani terdakwa.
§  Bahwa hukuman adat tersebut adalah sepadan dengan kesalahan terhukum sehingga menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman pidana lagi oleh pengadilan.
§  Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka Mahkamah Agung kemudian membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara dan mengadili sendiri perkara tersebut dengan menyatakan tuntutan penuntut umum pada kejaksaan negeri Kendari tidak dapat diterima dan membebankan biaya perkara kepada negara.
           Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menentukan bahwa Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia tetap menghormati putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang memberikan “sanksi adat” terhadap para pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat tersebut dengan cara memberikan pidana penjara (ex Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana). Oleh karena itu, konsekuensi logisnya dapat dikatakan bahwa bila Kepala Adat tidak pernah memberikan “sanksi adat” terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim badan peradilan negara berwenang penuh mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana.
 B.       Praktik Kasus Delik Adat Lokika Sanggraha dan Pembentukan Hukum Pidana Nasional
Delik Adat “Lokika Sanggraha” merupakan delik adat bersifat spesifik dan hanya terdapat di Bali, dan juga dikenakan bagi mereka yang tunduk pada hukum Adat Bali, sehingga dengan demikian, jikalau salah satu fihak saja tunduk kepada hukum adat Bali, maka di sini eksistensi Delik Adat Lokika Sanggraha tidak nampak di dalamnya.
Dikaji dari perspektif teknis yuridis sebagaimana tersebut pada Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 104/PN.Dps/Pid/1980, Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 2/Pid.B/1985/PN.Dps, Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 66/Pid.B/1985/PN.Dps dan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 25/Pid.B/1986/PN.Dps, dipergunakan terminologi “Logika Sanggraha”.[17] Akan tetapi sebenarnya terminologi ini relatif kurang begitu tepat. Berdasarkan pasal 359 Kitab Adigama, maka “Lokika Sanggraha” berasal dari bahasa sansekerta, yakni Lokika berasal dari kata “laukika” berarti orang umum, orang banyak. Sedangkan Sanggraha berasal dari kata “Samgraha” yang berarti pegang (dalam arti luas), sentuh, hubungan. Kemudian dalam Kamus Jawa-Indonesia, dijelaskan bahwa pengertian Lokika (I) adalah masyarakat, penduduk, dunia, adat (tata) cara, tuduhan dan dakwaan. Maka kalau dipergunakan istilah“Logika Sanggraha” dimana Logika berasal dari Logic, Logis (bahasa latin) sedangkan Sanggraha dari bahasa Samskerta, maka menurut persepsi saya dapat dikategorisasikan ke dalam gejala bahasa “salah kaprah”.
           Dimensi “Lokika Sanggraha” merupakan Delik Adat. Banyak sarjana mengemukakan asumsinya tentang Delik Adat. Berdasarkan pendapat dari Ter Haar, Soepomo dan Soerojo Wignjodipuro maka delik adat merupakan suatu perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan keputusan yang hidup dalam masyarakat, yang menyebabkan ketentraman dan keseimbangan menjadi terganggu sehingga pemulihan terhadap hal itu diperlukan reaksi-reaksi adat. Mengenai reaksi adat ini Lesquiller menyebut tindakan-tindakan pengembalian ketentraman magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh pelanggaran adat. Oleh karena itu dengan demikian jelaslah Delik Adat pada prinsipnya mempunyai elemen-elemen :
(1)               Pelanggaran terhadap norma-norma adat atau perasaan keadilan masyarakat ;
(2)               Pelanggaran bersangkutan akan menimbulkan kegoncangan keseimbangan hukum masyarakat ; dan
(3)               Terhadap pelanggaran itu maka hukum adat memberikan reaksi pemulihan sehingga keseimbangan terwujud.
    Deskripsi di atas telah menimbulkan pengertian tentang Delik Adat beserta eksistensinya. Sehinga secara “ipso facto” maka berdasarkan Pasal 359 Kitab Adigama, perumusan Delik Adat Lokika Sanggraha adalah :
Malih lokika sanggraha, loewir ipoen, djadma mededemenan, sane mowani neherang deen ipoen, djening djirih patjang kesisipang, awanan ipoen ngererehang daja, saoebajan iloeh kesanggoepin ; wastoeraoeh ring papadoewantoengkas paksana, sane loeh ngakoe kasanggama, sane mowani nglisang mapaksa ngoetjapang dewek ipoen kaparikosa antoek iloeh, jan aspoenika patoet tetes terangang pisan, jan djati imowani menemenin wenang ipoen sisipang danda oetama sahasa 24.000, poenika mawasta Lokia Sanggraha, oetjaping sastra.
Sedangkan terjemahan bebasnya :
Lagi Lokika Sanggraha yaitu : orang bersanggama, yang peria tidak berlanjut sukanya, karena takut akan dipersalahkan, makanya mencari daya upaya, janji si wanita disanggupi, akhirnya sampai di pengadilan, berbeda pengakuannya si wanita mengaku disenggama, si peria seketika menyatakan malah dirinya yang diperkosa oleh si wanita. Kalau demikian harus diusut agar jelas, kalau benar si peria yang berbuat, patut ia dihukum denda ; 24.000,- itu yang disebut Lokika Sanggraha sesuai bunyi sastra. 
Dari ketentuan Pasal 359 Kitab Adigama dan hasil Rumusan Seminar “Delik Adat Lokika Sanggraha” yang diadakan FH Unud tanggal 19 oktober 1985, maka pengertian secara umum delik Adat Lokika Sanggraha adalahhubungan percintaan antara pria dan wanita yang kedua-duanya sama-sama tidak berstatus kawin yang telah melakukan persetubuhan dengan janji kawin, akan tetapi janji tersebut tidak ditepati oleh satu fihak.
Inti/hakikat yang tercermin melalui perumusan tersebut, ternyata delik adat Lokika Sanggraha merupakan delik formal karena unsur kehamilan bukanlah merupakan unsur esensial untuk adanya Delik Adat ini dimana yang penting adalah unsur “janji” tidak ditepati oleh si pria. Sedangkan munculnya pelaku Delik Adat Lokika Sanggraha di pengadilan dikarenakan adanya pengaduan dari pihak wanita dimana si pria mengingkari janjinya. Dengan demikian Delik Adat ini merupakan delik aduan (Kracht-Delicten).
Pada dasarnya, delik adat Lokika Sanggraha banyak terjadi dalam praktik peradilan di Bali. Dari kalangan akademisi khususnya Fakultas Hukum Universitas Udayana pernah mengadakan inventarisasi putusan Pengadilan Negeri Denpasar dan Pengadilan Negeri Gianyar tentang eksistensi pemidanaan Delik Adat Lokika Sanggraha. Menurut hasil penelitian tersebut putusan hakim adalah bervariasi yakni :
1.     Pidana penjara ………………………………………      = 42, 86 %
2.     Pidana penjara dengan masa percobaan ……………….  = 35, 72 %
3.     Putusan bebas (vrijspraak) ……………………………..  = 21, 42 %
Sedangkan variasi putusan yang dijatuhkan terlihat pada pidana minimun 1 (satu) bulan penjara dan maksimal 9 (sembilan) bulan penjara dan pidana penjara dengan percobaan minimum 5 (lima) bulan dan maksimal 2 (dua) tahun.
Pada hakikatnya penjatuhan pidana di Indonesia berdasarkan pada Asas legalitas (Nullum Delictum Nulla Poena Siene Pravaelege Poenali) yakni konsepsi Paul Johan Anseln Von Feurbach (1775–1883) sebagaimana termaktub dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas ini kalau dikaji sebenarnya lebih menekankan aspek “Recht-Zekerheids”,sehingga mempunyai sifat :
(1)               bahwa hukum pidana yang berlaku di Indonesia merupakan ketentuan tertulis ;
(2)               Bahwa hukum pidana tidak bersifat retro-aktif ; dan
(3)               Bahwa penafsiran analogi dilarang ;
 Melihat aspek konteks di atas, maka eksistensi pemidanaan Delik Adat Lokika Sanggraha di Pengadilan Negeri Denpasar berorientasi pada ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Dart Nomor 1 Tahun 1951 jo Pasal 359 Kitab Adigama. Pasal inilah yang yang merupakan titik tolak Putusan Pengadilan Negeri Denpasar yakni Putusan Nomor 104/Pid/1980/PN.Dps dengan hakim tunggal Sof. Larosa, SH, kemudian Putusan Nomor 2/Pid.B/1985/PN.Dps. dengan Ketua Ny. LP Sulatri, SH, lalu Putusan Nomor 66/Pid/B/1985/PN.Dps dengan Ketua majelis Jotje S. Lepar dan putusan Nomor 25/Pid/B/1986/PN.Dps dengan Ketua Majelis R.M. S.A. Djajaningrat, SH.
            Dari seluruh putusan tersebut unsur Delik Adat Lokika Sangraha disebutkan :
§  Persetubuhan benar dilakukan di luar kawin antara 2 orang yang sudah akil balik dasar suka sama suka dimana pihak laki-laki ada janji mau mengawini wanita yang diajaknya persetubuhan di luar kawin itu;
§  Namun ternyata si laki-laki mengingkari janjinya tersebut ;
     Kalau dilihat unsur Delik Adat ini, ternyata masalah “hamil” bukanlah merupakan unsur esensial untuk dapat dipidana seseorang melakukan Delik Adat Lokika Sanggraha. Tetapi lebih urgen dari semua itu adalah masalah pengingkaran “janji” mau mengawini seorang wanita yang telah diajaknya bersetubuh akan tetapi tidak dilakukannya. Hal ini nampak pada dasar pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 2/PID/B/1985/PN.Dps dimana unsur janji merupakan unsur penting sedangkan masalah hamil bukanlah unsur pokok, apabila unsur pengingkaran janji telah terbukti dengan didukung saksi (tanpa menyalahi ajaran Unus Tertis Nullus Tertis) serta hakim yakin, maka pelakunya dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 Tahun 1951 jo. Pasal 359 Kitab Adigama.
     Hikmah lain dari seluruh putusan yang diteliti ternyata Delik Adat Lokika Sanggraha unsur-unsurnya tidaklah dapat ditemukan dalam KUHP, akan tetapi hakim tetap menjatuhkan pidana kepada pelakunya. Hal ini sebenarnya berorientasi kepada Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 yang menentukan, “Putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Selain itu masih juga ada tugas hakim sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 49 Tahun 2009. Konsekuensi logis hal ini pula maka bergeserlah ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tentang asas “Legalitas” dari ketentuan pengertian melawan hukum formal ke melawan hukum yang bersifat material. Secara implisit eksistensi pemidanaan Delik Adat Lokika Sanggraha dalam Praktik peradilan di PN Denpasar berorientasi kepada pasal 5 ayat 3 sub UU Dart. 1/1951 jo. Pasal 359 Kitab Adigama dengan tanpa adanya pidana tambahan berupa kewajiban Adat bagi pelakunya untuk mengembalikan keseimbangan kosmos yang telah terganggu itu.
Kalau dikaji lebih detail, bagi masyarakat Bali Delik Adat Lokika Sanggraha merupakan perbuatan pidana yang mengganggu perasaan hukum dan perasaan keadilan dalam masyarakat adat yakni mengganggu keseimbangan kosmos baik alam lahir dan alam gaib. Apabila kalau dikorelatifkan ke dalam KUHP ternyata perbuatan tersebut tidak diatur di dalamnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis berlakunya asas konkordasi. Dalam KUHP berdasarkan pasal 10 maka jenis pemidanaan berupa “pemulihan kewajiban adat” tidak dikenal di dalamnya. Kalau seorang pelaku Delik Adat lokika Sanggraha telah dijatuhi pidana penjara, ternyata bagi masyarakat adat kuranglah sempurna tanpa diikuti pemulihan kewajiban adat guna mengembalikan keadaan kosmos yang terganggu. Sehingga bagi masyarakat adat Bali menghendaki penyelesaian bersifat materiil juga hendaknya diikuti pula penyelesaian bersifat immateriil serta berorientasi bersifat keagamaan. Penjatuhan pidana dalam hukum adat Bali bertujuan mengembalikan keseimbangan alam kosmos yakni alam lahir (“sekala”) dengan alam gaib (“niskala”) yang telah terganggu, oleh karena itu aspek agama Hindu berupa tata upacara keagamaan merupakan hal fundamental di dalamnya. Sebagai misal dapat disebut bahwa suatu Delik Adat Lokika Sanggraha yang dilakukan di sebuah tempat suci (Pura), kemudian oleh hakim pelakunya dijatuhi putusan sesuai Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart. Nomor 1 Tahun 1951 jo Pasal 359 Kitab Adigama yakni selama 3 (tiga) bulan penjara. Akan tetapi hal ini tidaklah cukup. Menurut Agama Hindu Pura merupakan tempat suci dan keramat, sehingga untuk itu pelakunya selain dijatuhkan putusan penjara tersebut haruslah pula dibebankan kewajiban untuk mengadakan upacara keagamaan di tempat tersebut sehingga alam kosmos yang terganggu (“sebel”), jadi pulih kembali.
Penyelesaian demikian itu menurut pandangan masyarakat Adat Bali erat sekali hubungan dengan konsepsi Agama Hindu itu sendiri yakni berupa Tri Hita Karana atau Tiga Hal yang menyebabkan kebahagiaan. Tri Hita Karana itu mempunyai dimensi berupa Parhyangan (keselarasan hubungan Pencipta dengan manusia sebagai mahluk ciptaannya), Pawongan (keselarasan hubungan manusia yang satu dengan yang lain) dan Pelemahan (keselarasan hubungan antara manusia dengan alam sekelilingnya). Hal-hal inilah yang melandasi mengapa penyelesaian Delik Adat Lokika Sanggraha bagi masyarakat Adat bali di samping diinginkan berupa pidana penjara juga ditambah kewajiban adat di dalamnya.
           Bagaimana mengenai dimensi delik adat Lokika Sanggraha dalam konteks pembentukan hukum pidana nasional? Mengenai masalah Delik Adat Lokika Sanggraha dalam konteks ini khususnya dapat dilihat dari pelbagai sudut. Pertama, apakah unsur-unsur delik yang terdapat dalam Lokika Sanggraha juga ada dan dikenal pada masyarakat adat di seluruh Indonesia. Hal ini penting sekali sifatnya oleh karena dengan dikenal dan diakuinya delik tersebut proses kriminalisasi dapat mencapai tujuan secara lebih sempurna sehingga untuk itu nantinya tidak diharapkan adanya keadaan “eenmalig”. Kedua, dengan penerapan delik adat ini ke dalam Hukum Pidana Nasional mendatang maka harus juga dipikirkan mengenai masalah Pasal 1 yat (1) KUHP tentang Asas Legalitas dimana akan bergeser dari ketentuan melawan hukum formal ke melawan hukum materiil. Ketiga, variasi penjatuhan pidana apakah telah dipikirkan mengenai pidana tambahan berupa kewajiban adat yang memang belum diatur di dalamnya.
             Ketiga sudut pandang tersebut merupakan kendala bagi penerapan pembentukan Hukum Pidana nasional terhadap eksistensi dan pengangkatan Delik Adat. Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP memberi landasan diterapkan Delik Adat khususnya dalam pembicaraan ini Delik Adat Lokika Sanggraha. Jikalau pasal 1 ayat (3), (4) ini dihubungkan dengan ketentuan Asas Legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP maka menimbulkan permasalahan yakni ia berlaku dalam artian formal ataukah materiil. Mengenai hal ini banyak pendapat sarjana dilontarkan dimana satu fihak tetap mempertahankan sebagai hukum tertulis dimana pelanggarnya dijatuhkan pidana berdasarkan pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart. 1/1951 sedangkan pendapat Zainal Abidin memberi jalan keluar untuk sementara yaitu hendaknya Delik Pidana Adat dianggap sebagai Delik Aduan (Kracht-Delicten).
            Sehingga melalui aspek tersebut di atas, usaha kriminalisasi terhadap Delik Adat Lokika Sanggraha dalam hukum pidana nasional mendatang perlulah diteliti mengenai eksistensi perbuatan tersebut. Hal ini penting sifatnya oleh karena pernah dalam praktik peradilan bahwa hakim tidak menjatuhkan pidana adat daerah terhadap unsur-unsur yang identik dengan Delik Adat Lokika Sanggraha akan tetapi hakim menterapkan ketentuan pasal 378 KUHP yakni melalui Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 144/Pid/1983/PT-Mdn dengan memperluas pengertian “barang” sebagaimana ketentuan Pasal 378 KUHP termaktub juga “jasa” atau “kepuasan sex”.
            Dengan demikian prospek Delik Adat Lokika Sanggraha dalam hal pembentukan hukum pidana nasional mendatang haruslah melalui proses penelitian apakah unsur-unsur delik ini dikenal dalam masyarakat adat seluruh Indonesia apakah tidak. Akan tetapi RUU KUHP Tahun 2008 khususnya ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) memberikan landasan penterapan pidana adat untuk berlakunya pada masyarakat Indonesia.
 C.       Pidana Pemenuhan Kewajiban Adat Dalam RUU KUHP Tahun 2008
               Pada asasnya, secara substansial sistem hukum pidana adat berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam suatu masyarakat dengan bercirikan asas kekeluargaan, religius magis, komunal dengan bertitik tolak bukan atas dasar keadilan individu akan tetapi keadilan secara bersama. Konsekuensi logis dimensi demikian maka penyelesaian dalam suatu masyarakat adat berlandaskan pada dimensi penyelesaian yang membawa keselarasan, kerukunan dan kebersamaan. Tegasnya, hukum pidana adat lebih mengkedepankan eksistensi pemulihan kembali keadaan terguncang akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku. Soepomo menyebutkan dalam sistem hukum pidana adat tujuan dijatuhkannya sanksi adat sebagaimana berlaku dan dipertahankan pada suatu masyarakat adat bukanlah sebagai suatu pembalasan agar pelanggar menjadi jera akan tetapi adalah untuk memulihkan perimbangan hukum yang terganggu dengan terjadinya suatu pelanggaran adat. Perimbangan hukum itu meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib.[18]
       Penjatuhan pidana yang dijatuhkan hakim adalah sebuah proses mengadili dengan bertitik tolak alat bukti, proses pembuktian, hukum pembuktian dan ketentuan hukum acara pidana. Pada proses ini hakim memegang peranan penting untuk mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan penjatuhan pidana terhadap pelaku melalui putusan. Penjatuhan pidana oleh hakim mempertimbangkan segala aspek baik perbuatannya, pelakunya (daad-dader strafrecht), tujuan pemidanaan serta mempertimbangkan keseimbangan kepentingan antara pelaku, bangsa dan negara, korban, ilmu hukum dan demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
          Pada asasnya, konsep RUU KUHP Tahun 2008 merumuskan tujuan pemidanaan. Aspek dan dimensi ini merupakan sebuah kemajuan yang cukup representatif dalam hukum pidana Indonesia. Ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf c RUU KUHP menentukan, “pemidanaan bertujuan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat”, sehingga agar dapat terpenuhinya dimensi ini secara konkrit pada praktik penegakan hukum telah ditentukan pula adanya eksistensi pidana tambahan sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf e berupa, “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”. Asasnya, hakim menjatuhkan pidana “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” apabila pelaku telah memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP yang disebut sebagai tindak pidana adat. Kemudian, penjatuhan pidana tambahan ini dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.
           Konsepsi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Eksistensi adanya penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan untuk menambah pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Tegasnya hakim bebas dalam menentukan pidana tambahan baik bersama dengan pidana pokok atau sebagai pidana berdiri sendiri atau juga dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain, meskipun tidak dicantumkan sebagai ancaman dalam rumusan tindak pidana.
            Apabila dikaji secara intens, detail dan terperinci sebagai dasar kewenangan hakim untuk menjatuhkan sanksi adat berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”ditegaskan oleh ketentuan Pasal 100 ayat (1) RUU yang menentukan, “dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”,  kemudian jika perbuatan pelaku merupakan tindak pidana adat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) maka penjatuhan pidana oleh hakim berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan.
           Konsekuensi logis dimensi konteks di atas dapat disebutkan bahwa apabila hakim mengadili tindak pidana adat maka agar pidana yang dijatuhkan bersifat proporsional dan dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh masyarakat maupun pelaku, hakim harus mempertimbangkan pedoman pemidanaan dan tujuan pemidanaan.
           Ketentuan Pasal 55 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 tentang pedoman pemidanaan dimana disebutkan dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan:
1.     kesalahan pembuat tindak pidana;
2.     motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
3.     sikap batin pembuat tindak pidana;
4.     apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
5.     cara melakukan tindak pidana;
6.     sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
7.     pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
8.     pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
9.     pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
10.   pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. 
          Kemudian ketentuan Pasal 54 ayat (1) menentukan tujuan pemidanaan bertujuan:
1.     mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman mesyarakat;
2.     memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
3.     menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
4.     membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
           Pedoman pemidanaan khususnya yang berupa pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dan tujuan pemidanaan khususnya berupa menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat adalah dimensi yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan putusan. Apabila anasir ini diperhatikan maka putusan hakim juga secara menyeluruh mempertimbangkan dimensi legal justice, moral justice dan social justice.
           Pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dianggap setara atau sebanding dengan pidana denda Kategori I dengan besaran sejumlah Rp. 1. 500.000, 00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan jikalau pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat tidak dilaksanakan terpidana maka dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda yang dapat berupa pidana pengganti kerugian. Barda Nawawi Arief[19] menyebutkan bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat di dalam konsep RUU KUHP merupakan salah satu aspek perlindungan terhadap korban dimana jenis pidana ini pada dasarnya dapat juga dilihat sebagai bentuk pemberian ganti rugi kepada korban. Hanya saja yang menjadi korban di sini adalah masyarakat adat.
        Konsekuensi logis diakui dan adanya dasar hukum yang tegas eksistensi hukum yang hidup (hukum pidana adat) akan memberikan tugas, tanggung jawab dan beban relatif lebih berat kepada hakim untuk lebih dapat memahami dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus benar-benar memahami perasaan masyarakat, keadaan masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang majemuk dengan pelbagai macam adat istiadat, tradisi dan budaya yang berbeda-beda yang tetap dipertahankan sebagai hukum yang hidup. Soedarto[20] menyebutkan bahwa mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya keputusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran putusannya baik secara formal maupun materiil.
        IV.             Konklusi dan Rekapitulasi
          Pada asasnya, hukum pidana adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan ketentraman dan keseimbangan masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk wujud mengembalikan ketentraman magis yang terganggu dengan maksud sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial akibat suatu pelanggaran adat.
            Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Kemudian sumber tidak tertulis dari hukum pidana adat adalah semua peraturan yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya.
            Dikaji dari perspektif normatif, teoretis, asas dan praktik dimensi dasar hukum dan eksistensi keberlakukan hukum pidana adat bertitik tolak berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, ketentuan Pasal 5 ayat (1) Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP Tahun 2008, pendapat doktrina dan yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Pada praktik peradilan, hukum pidana adat terdapat dalam beberapa putusan seperti delik adat “lokika sanggraha” di Bali berdasarkan Pasal 359 Kitab Adigama jo ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dengan adanya sanksi adat sekaligus pemulihan keseimbangan kosmis di dalamnya.  Terhadap prospek dan dimensi delik adat Lokika Sanggraha dalam konteks pembentukan hukum pidana nasional maka tergantung aspek apakah unsur-unsur delik yang terdapat dalam Lokika Sanggraha juga ada dan dikenal pada masyarakat adat di seluruh Indonesia.
         Pada RUU KUHP Tahun 2008 sebagai ius constituendum diatur eksistensi pidana tambahan berupa, “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”dimana hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan pedoman pemidanaan dantujuan pemidanaan. Pedoman pemidanaan khususnya yang berupa pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dan tujuan pemidanaan khususnya berupa menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat sehingga putusan hakim secara menyeluruh mempertimbangkan dimensi legal justice, moral justice dan social justice*****                               
           [1]Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Penulis Buku Ilmu Hukum dan Dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Universitas Merdeka, Malang
          [2]Berdasarkan kesimpulan Hasil Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional pada tahun 1976 yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) maka Hukum Adat diartikan sebagai, “hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.”
          [3]Mohd. Din, Aspek Hukum Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia, Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya di Banda Aceh, tanggal 27-29 Juni 2010, hlm. 5
          [4]Lilik Mulyadi, Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya, untuk wilayah Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Medan, Denpasar, Mataram dan Banjarmasin, bulan Juni-Juli 2010, hlm. 2 dan hasil penelitian dari para respondent pada 5 (lima) Pengadilan Tinggi dalam 4 (empat) lingkungan peradilan menentukan istilah Hukum Pidana Adat untuk PT Banda Aceh sebanyak 68%, PT Mataram (90%), PT Medan (72%), PT Denpasar (55%), PT Banjarmasin (80%), Delik Adat untuk PT Banda Aceh (24%), PT Mataram (0%), PT Medan (20%), PT Denpasar (10%), PT Banjarmasin (16%), Hukum Adat Pidana untuk PT Banda Aceh (4%), PT Mataram dan PT Medan (0%), PT Denpasar (3%), PT Banjarmasin (8%) dan Hukum Pelanggaran Adat untuk PT Banda Aceh (20%), PT Mataram (10%), PT Medan (4%), PT Denpasar (31%) dan PT Banjarmasin (16%).
          [5]I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT Eresco, Bandung, 1993, hlm. 4
          [6]Oendang-Oendang Simboer Tjahaja merupakan karya dari Ratu Sinuhun yang merupakan istri Pangeran Sending Kenayan. Pangeran Sending Kenayan disebut juga Pangeran Sido Ing Kenayan merupakan salah satu sultan di Kesultanan Palembang Darussalam yang memerintah dari tahun 1639-1650 Masehi. Oendang-Oendang Simboer Tjahaja berlaku untuk sebagian di daerah uluan kota Palembang (daerah pedalaman Sumatera Selatan) dan juga sebagian berlaku untuk masyarakat Kota Palembang dan belum dikodifikasikan.
          [7]Selain diatur dalam UU Nomor 1 Drt 1951 maka eksistensi hukum pidana adat juga diatur dalam Pasal 18 B UUD 1945 hasil Amandemen, UU Nomor 48 Tahun 2009, yurisprudensi Mahkamah Agung. Kemudian secara parsial dalam daerah tertentu juga diatur seperti misalnya di Aceh Nangroe Darussalam dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, berikutnya diimplementasikan dalam bentuk Qanun baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten sepertiQanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo, dan lain sebagainya. Kemudian di Bali diatur dan diimplementasikan dalam bentuk Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) seperti Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) Karangasem, Awig-Awig Desa Adat Mengwi, Kabupaten Badung dan lain sebagainya.
          [8]M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publisher, Springfield, Illionis, USA, 1978, hlm. 78 dikutif dari: Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996, hlm. 3 menyebutkan tiga tahap kebijakan yaitu kebijakan pada tahap formulasi (proses legislasi), tahap aplikasi (proses peradilan/judisial) dan tahap eksekusi (proses administrasi).
               [9]Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidana Pengukuhan  Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hlm. 25
               [10]Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 298
              [11]Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 maka di Aceh penjabarannya dibuat ketentuan perundangan-undangan dalam bentuk Qanun yang berhubungan dengan hukum adat seperti Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Kemudian selain dibuat Qanun Aceh (Qanun tingkat Propinsi) terdapat juga Qanu-Qanun tingkat Kabupaten/Kota antara lain di dalam Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo. Di Aceh, pengadilan adat yang dikenal dengan istilah Pengadilan Gampong atau Pengadilan Damai juga diimplementasikan dalam Keputusan Bersama seperti di Kabupaten Aceh Tengah adanya Keputusan Bersama antara Bupati, Ketua DPRK dan Ketua MAA Kabupaten Aceh Tengah No. 373 Tahun 2008, No 320/DPRK/2008, No.Pol B/810/2008 Res Aceh Tengah dan No. 110/MAA/V/2008.
          [12]Lieven Dupont dan Raf Verstraeten, Handboek Belgisch Strafrech, Acoo Leuven/Amersfoort, 1990, hlm. 101dalam: Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm. 6
            [13]Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Dalam Era Globalisasi, Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008, hlm. 33
            [14]M. Cherif Bassiouni, Introduction to International Criminal Law, Transnational Publisher, Inc. Ardsley, New York, 2003, hlm. 179-180
         [15]Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm. 38-39
              [16]H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm. 157-159
                   [17]Lilik Mulyadi, Delik Adat “Lokika Sanggraha“ Di Bali, Majalah Varia Peradilan, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), Jakarta, Oktober, 1987, hlm. 164
                  [18]Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Universitas, 1963, hlm. 95
               [19]Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 59
              [20]Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, PT Alumni, Bandung, 1983, hlm. 81

© Blog Mr. Joe
Maira Gall