Rabu, 21 Maret 2018

MENUTUP AKSES SEBAGAI SALAH SATU FUNDAMENTUM PETENDI DALAM GUGATAN PENCABUTAN HADHANAH; TELA’AH KRITIS SEMA NO. 1 TAHUN 2017 (By. Fifit Fitri L, S.H., M.H., M.M.


A. Pendahuluan
Beberapa dekade terakhir, Mahkamah Agung Republika Indonesia (selanjutnya disingkat MA) banyak melakukan terobosan hukum atas permasalahan yang terjadi di Masyarakat. Langkah tersebut patut mendapatkan apresiasi, mengingat sistem hukum kita yang mengandalkan perubahan dan pembaruan hukum secara dinamis pada badan peradilan.
Sesuai dengan Cetak Biru (Blueprint) pembaharuan Mahkamah Agung RI dengan Visi Mahkamah Agung “mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau, dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik.”
Visi MA tersebut merupakan sinar pemberi arah (moving target) bagi perjalanan lembaga peradilan ke depan. Sebagaimana dikatakan oleh Benjamin B. Tregoe et.al : vision as the framework which guides those choices that determine the nature and direction of an organization. It is what an organization want to be.
Dengan visi yang telah ditetapkan MA merespon perkembangan dan perubahan dalam (pembaharuan) agar dinamika lembaga peradilan dapat memenuhi tuntutan peran institusional kekuasaan kehakiman yang profesional, berintegritas dan bermartabat.  Sebagaimana disepakati oleh dunia internasional yang dituangkan dalam Code of Conduct for Law Enforcement Officials (CCLEO) yang diterima oleh Majelis Umum PBB dalam resolusi 34/169, 17 Desember 1979. Resolusi ini menyatakan bahwa hakekat dari fungsi penegakan hukum dalam pemeliharaan ketertiban umum dan cara melaksanakan fungsi tersebut memiliki dampak langsung terhadap mutu kehidupan manusia, sehingga: kekuasaan kehakiman sebagai penegak keadilan yang anggun, perlindungan hukum bagi segenap rakyat Indonesia yang majemuk, penghargaan dan penegakan hak asasi manusia dalam negara hukum yang demokratis dapat terwujud. 
Dalam menjalankan misinya yaitu mengayomi, rakyat mendapatkan perlindungan hukum dan melayani pencari keadilan memperoleh perlakuan hukum yang adil, MA secara berkelanjutan membangun institutional culture atau budaya kelembagaan sebagai penegak supremasi hukum. Budaya lembaga peradilan (Judicial Culture) akan mencerminkan citra dari tingkah laku lembaga peradilan yang efektif, efisien, jujur dan transparan serta mandiri.
Salah satu dari bagian usaha di atas adalah diterapkannya sistem kamar. Penerapan sistem kamar pada Mahkamah Agung RI (MA) telah memasuki tahun ke enam sejak ditetapkan secara resmi melalui SK KMA No. 142/KMA/SK/IX/2011 pada September tahun 2011. Dalam rentang waktu tersebut, berbagai langkah perubahan telah ditempuh oleh MA untuk mengimplementasikan sistem kamar secara penuh, sekaligus merespon segala dinamika yang muncul di awal penerapan sistem kamar. Perkembangan sistem kamar tersebut tidak terlepas dari kontribusi hasil kerja sama kelembagaan antara MA dengan Hoge Raad Kerajaan Belanda (HR) yang sudah terjalin sejak tahun 2010. Pada saat itu MA tengah mempersiapkan implementasi sistem kamar sebagai sebagai prioritas Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035.
Belanda selain memiliki tradisi hukum yang sama dengan Indonesia, juga telah sejak lama menerapkan sistem kamar dan berhasil mewujudkan sistem konsistensi putusan dan kesatuan hukum. Kerjasama di antara dua lembaga peradilan ini diwujudkan dalam beberapa kali kunjungan kerja yang bertempat di Indonesia maupun di Belanda, untuk mendiskusikan beragam isu yang berfokus pada pertukaran pengetahuan seputar implementasi sistem kamar antara lain tentang organisasi dan tata kerja pada sistem kamar, serta isu teknis lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi menjaga kesatuan hukum. Hasil diskusi tersebut turut mewarnai proses transformasi kebijakan implementasi sistem kamar pada MA, terlebih setelah kunjungan ke HR pada November tahun 2011 yang kemudian melatarbelakangi perubahan pertama SK Sistem Kamar.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Pemberlakuan Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (selanjutnya disingkat SEMA No. 1 Tahun 2017) merupakan salah satu wujud usaha untuk mewujudkan konsistensi putusan dan kesatuan hukum. Namun demikian, perlu dianalisis secara konstruktif substansi dari SEMA tersebut. Hal ini bertujuan, untuk memberi keseimbangan agar ‘niat baik’ MA melakukan pembaruan hukum tidak mempengaruhi indepedensi peradilan dan hakim itu sendiri. Pada tulisan ini, penulis hanya menganalisa subtansi SEMA No. 1 Tahun 2017 terkait hadhanah agar lebih fokus dan memberikan ulasan dengan komprehensif.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, rumusan permasalahan dalam artikel ini adalah bagaimana kedudukan SEMA No. 1 Tahun 2007? Apakah menutup akses oleh pemegang hadhanah dapat dijadikan dasar gugatan pencabutan hak hadhanah? 
C. Pembahasan dan Diskusi
1. Subtansi dan Kedudukan Hukum SEMA No. 1 Tahun 2017 Khususnya terkait Hadhanah
SEMA No. 1 Tahun 2017 ini adalah sebagai bentuk penyelarasan hukum. Menurut Hatta Ali penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung R.I. salah satunya bertujuan untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan. Rapat pleno kamar adalah salah satu instrumen untuk mewujudkan tujuan tersebut. Oleh karena itu setiap kamar di MA menyelenggarakan rapat pleno kamar untuk membahas permasalahan hukum yang mengemuka di masing-masing kamar. Pada rumusan SEMA tersebut dikemukan rumusan hukum dari masing-masing badan peradilan di MA.
Dalam rumusan hukum kamar Agama terdapat enam (6) point salah satunya terkait dengan hadhanah yakni sebagai berikut:
“dalam amar putusan hak asuh anak (hadhanah) harus mencantumkan kewajiban pemegang hak hadhanah memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah untuk bertemu dengan anaknya. Dalam pertimbangan hukum majelis hakim harus pula mempertimbangkan bahwa tidak memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadhanah.

Secara gramatikal, rumusan hukum tentang hadhanah mencatumkan kata ‘harus’ yang mengharuskan hakim mencatumkan kewajiban pemegang hak hadhanah memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah untuk bertemu dengan anaknya dalam amar putusannya. Selain itu pula dalam pertimbangan hukum majelis hakim harus pula mempertimbangkan bahwa tidak memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadhanah.
 Berdasarkan hal tersebut, tentu secara substansial SEMA No. 1 Tahun adalah berisikan pengaturan bagaimana hakim memutus perkara hadhanah. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah SEMA ini wajib diikuti oleh hakim atau hanya edaran yang sifatnya himbauan? Juga bagaimana dengan putusan tersebut apabila digunakan sebagai posita dalam pengajuan gugatan pencabutan hak hadhanah?
Untuk memberikan penjelasan, penulis terlebih dahulu membahas Kedudukan Hukum SEMA No. 1 Tahun 2017.
Perspektif yuridis kewenangan dan tugas MA sebagai diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985, sebagaimana telah dirubah dalam UU No. 5 Tahun 2004, dan perubahan terakhir UU No. 3 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU MA) antara lain:
1) MA memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi (Pasal 14 ayat 1 UUD jo Pasal 35 UU MA).
2) MA dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga tinggi negara yang lain (Pasal 37 UU MA).
3) MA berwenang memberikan petunjuk di semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman (Pasal 38 UU MA).
4) MA berwenang memberikan petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Kewenangan dan tugas sebagaimana di atas disebut sebagai fungsi pengaturan atau regelende functie MA. Hal ini sejalan dengan rumusan Pasal 79 UU MA, yang mengatur “MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini”. Dalam konteks itulah SEMA No. 1 Tahun 2017 mendapatkan landasan yuridiknya.
Berbeda dengan Peraturan MA atau PERMA pada dasarnya adalah bentuk peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum acara. Sedangkan, Surat Edaran MA atau SEMA bentuk edaran pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi. 
Apabila mengacu pada pembahasan di atas, adalah kurang tepat substansi SEMA No. 1 Tahun 2017 berbentuk surat edaran. Sebab sebagian besar  dari SEMA No. 1 Tahun 2017 adalah berbentuk pengaturan. Menurut Jimly Asshiddiqie peraturan MA sebagai peraturan yang bersifat khusus sehingga tunduk pada prinsip lex specialis derogat legi generalis. Namun, menurut Jimly tidak tepat apabilan SEMA yang materinya bersifat pengaturan. Jika materinya berisi peraturan, sebaiknya bentuk produk hukumnya adalah peraturan. 
Bagaimana keabsahan SEMA tersebut? Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 mengatur: “Jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebut dalam Pasal ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan…Mahkamah Agung…”. Rumusan ini senafas dengan Pasal 7 ayat (4) dan penjelasan UU 10/2004. Selanjutnya, Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011 menegaskan peraturan perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Frasa ‘kekuatan hukum’ menurut Yuliandri sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Yuliandri berpendapat jenis peraturan lain (dalam konteks ini peraturan yang diterbitkan MA) seharusnya juga tunduk pada prinsip hierarki.
Ini pula yang dikemukakan oleh HAS Natabaya mengatakan bahwa rumusan Pasal 7 ayat (4) dan penjelasan UU 10/ 2004 mengandung arti tidak lagi dibedakan peraturan perundang-undangan yang murni dan yang semu atau pseudo.
Jika demikian, apakah peradilan tunduk kepada produk hukum yang dikeluarkan SEMA ini? Pasal 32 ayat (4) UUMA menggunakan frasa ‘semua lingkungan peradilan’. Ketentuan ini perlu dikaitkan dengan fungsi pengawasan MA terhadap peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer. Ukuran yang dipakai undang-undang adalah jangan sampai produk hukum itu ‘mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara’.
2. Menutup Akses sebagai Fundamentum Petendi dalam gugatan pencabutan hadhanah?
Fundamentum petendi adalah dasar dari gugatan yang memuat tentang adanya hubungan hukum antara pihak-pihak yang berperkara (penggugat dan tergugat) yang terdiri dari 2 bagian yaitu: 1) uraian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa (eittelijke gronden) adalah merupakan penjelasan duduk perkaranya, 2) uraian tentang hukumnya (rechtsgronden) adalah uraian tentang  adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan.
Dalam konteks ini, bagaimana pemegang hak hadhanah apabila tidak memberikan akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadhanah? Apakah dapat dijadikan sebagai salah satu fundamentum petendi dalam gugatannya?  
Secara normatif dasar gugatan pencabutan hak asuh anak terdapat dalam Pasal  49 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi :
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. la berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Hal tersebut diatur pula dalam Pasal 156 huruf (c) KHI yang menyebutkan apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula 
 Pencabutan hak asuh anak, akibat kelalaian orang tua dijelaskan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi : “(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.”
“(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan”
Selain itu juga pada Pasal 31 ayat (1) UU Perlindungan Anak juga menyatakan :“ Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu”
Oleh karena itu, pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan: 
(1) Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
(2) Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak:
Berdasarkan beberapa literatur hukum ditemukan beberapa alasan yang dapat mengakibatkan seorang ibu kehilangan hak asuh terhadap anaknya, yaitu:
1. Menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Telah meninggalkan pihak lain tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3. Mendapat hukuman penjara
4. Melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
5. Alasan-alasan lain sehingga dikhawatirkan tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak-anaknya.
Yurisprudensi yang umum dipergunakan dalam menentukan hak asuh terhadap anak-anak yaitu Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975, yaitu
Berdasarkan yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa Ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya.”
Namun dalam salah satu putusan Pengadilan Agama Bekasi dengan Nomor: 354/Pdt.G/2007/PA.Bks, Majelis Hakim memutuskan hak asuh anak diberikan kepada bapak (Pemohon). Putusan tersebut diberikan dengan alasan-alasan Ibu (Termohon) dari anak-anak tersebut:
1. Tidak amanah, tidak mempunyai kemauan dalam mendidik anak-anak;
2. Tidak dapat menjaga pertumbuhan, pendidikan dan kenyamanan anak-anak;
3. Tidak mampu menjaga kemaslahatan dan kepentingan anak-anak.
Pada norma tersebut memang tidak ada satu dasar yang menyebutkan bahwa tidak memberikan akses bagi ibu atau ayah yang tidak memilik hak hadhanah sebagai dasar gugatan.
Meskipun demikian dalam beberapa putusan hakim banyak dijumpai beberapa putusan yang mencatumkan dalam pertimbangan hukumnya bahwa tidak memberikan akses bagi ibu atau ayah yang tidak memiliki hak hadhanah sebagai dasar gugatan pencabutan hak hadhanah. Misalnya dalam putusan No. 1575/Pdt.G/2017/PA. BTG, dan masih banyak contoh lainnya.
Melihat beberapa putusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebagian hakim telah menerapkan substansi SEMA No. 1 Tahun 2017 dalam putusannya.
Namun demikian ada tiga hal penting SEMA No. 1 Tahun 2017 apabila ‘harus’ diterapkan pada semua putusan terkait hadhanah dan ‘tidak memberikan akses kepada orang tua tidak memegang hadhanah’ sebagai Fundamentum Petendi. 
Pertama, SEMA No. 1 Tahun 2017 secara teoritik harusnya terkait administrasi peradilan bukan pengaturan. Meskipun secara substansi merupakan norma baru, namun hal itu masihlah perlu dilakukan pengkajian kembali.
Kedua, SEMA No. 1 Tahun 2017 ataupun produk MA lainnya bahkan undang-undang sekalipun tidak boleh mempengaruhi indepedensi hakim dalam memutuskan. Sebab Instrumen penting dari institusi peradilan adalah hakim. Sehingga hakimlah yang mewujudkan adil atau tidak sebuah putusan yang dikeluarkan oleh peradilan. Profesi hakim dalam Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang 48 tahun 2009 tentang tentang perubahan kedua UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum”
Peranan hakim dalam mencipta keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat sangatlah nyata. Dalam mencipta keadilan, Hakim yang bersangkutan harus melakukan Penemuan Hukum. Menurut Mertokusumo ada beberapa istilah yang berkaitan dengan istilah “Penemuan Hukum”, yaitu ada yang mengartikannya sebagai “Pelaksanaan Hukum”, “Penerapan Hukum”, “Pembentukan Hukum” atau “Penciptaan Hukum”.
Ketiga, apabila ‘frasa’ tidak memberikan akses sebagai dasar gugatan pencabutan hadhanah mau diterapkan sebagai salah satu Fundamentum Petendi, maka frasa tersebut menurut penulis tidak cukup dicantumkan dalam pertimbangan hukum melainkan harus pula dicantumkan dalam putusan. Hal ini tentu sesuai dengan kaidah pengambilan sumber hukum kita yakni Undang-undang, kebiasaan daan putusan hakim sebagai yurisprudensi. Dengan kata lain, “tidak memberikan akses pada selain pemegang hadhanah sebagai dasar gugatan pencabutan hadhanah’ tidak terdapat dalam Undang-undang ataupun sumber hukum lainnya, maka putusan hakim dapat dijadikan rujukan. 
Ini juga bersesuaian, bahwa Putusan hakim memiliki tiga kekuatan yaitu: 1) kekuatan mengikat yakni putusan hakim memiliki kekuatan mengikat kedua belah pihak (Pasal 1917 BW). Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba member dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan.2) kekuatan pembuktian. Menurut Pasal 1916 ayat 2 No.3 BW maka putusan hakim adalah persangkaan. Putusan hakim merupakan persangkaan bahwa isinya benar, apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (asas res judicata proveritate habetur). Adapun kekuatan pembuktian putusan perdata diserahkan kepada pertimbangan hakim. 3) Kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan. Yakni kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang diterapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Dan kata-kata “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” member kekuatan eksekutoril bagi putusan-putusan pengadilan di Indonesia.
   
Penutup
Demikianlah artikel singkat tentang PERMA No. 1 Tahun 2017 khususnya terkait hadhanah. Tulisan dalam artikel ini merupakan ruang diskusi bebas untuk saling belajar dan saling memahamkan. Penulis tidak memiliki pretensi apapun, kecuali berusaha untuk turut serta memberikan sumbangsih terbaik untuk institusi tercinta Mahkamah Agung Republik Indonesia. Semoga bermanfaat.



DAFTAR PUSTAKA

Jonaedi Efendi, Rekontruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim berbasis Nilai-Nilai Hukum yang Hidup dan Tumbuh di Masyarakat, Jakarta, Kencana, 2018.

Fifit Fitri L, Rekonstruksi Sistem Peradilan Dengan Pendekatan Hukum Progresif: Studi Tentang Model Substantive Justice Dalam Blue Print Mahkamah Agung Republik Indonesia, http://www.jflegalnetwork.com/rekonstruksi-sistem-peradilan-dengan-pendekatan-hukum-progresif-studi-tentang-model-substantive-justice-dalam-blue-print-mahkamah-agung-republik-indonesia/. Akses 12 Maret 2018

 Kertas Kebijakan Pengurangan Arus Perkara ke Mahkamah Agung, http://leip.or.id. Akses 12 Maret 2018

 M. Hatta Ali, Pengantar SEMA No. 1 Tahun 2017, SEMA No. 1 Tahun 2017

Henry P. Panggabean. Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-Hari. Jakarta: Sinar Harapan, 2001. 

Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2004.

Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. RajaGrafindo Persada, 2010.
HAS Natabaya. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press dan Tata Nusa, 2008.

Artidjo Alkostar, Tantangan Hakim dalam Era Globalisasi, Varia Peradilan No. 270 mei 2008.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum;Sebuah Pengantar, Cetakan Keenam, Yogyakarta, Penerbit Liberty, 2009.



© Blog Mr. Joe
Maira Gall