Senin, 12 Maret 2018

KONSEP ‘ALASAN SAH’ DALAM HUKUM PERDATA (By. Dr. Jonaedi Efendi)


Prolog
Civil law system yang lahir di eropa kemudian dianut dalam sistem hukum indonesia banyak memunculkan kerancuan baik dalam ranah teoritk maupun tataran praktik, salah satunya adalah menyangkut istilah-istilah dalam hukum keperdataan. Padahal istilah hukum menempati kedudukan penting dalam setiap dokumen hukum (Jonaedi Efendi: Kamus Istilah Hukum”) lebih lebih pada dunia peradilan.  
Terminologi ‘alasan sah’ sering kita temukan dalam dokumen hukum khususnya dalam putusan misalnya dalam putusan kasasi Nomor 320 K/Pdt/2015 “Tergugat secara melawan hukum secara sepihak tanpa didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang sah, ...........
Juga  dalam putusan perkara No.332/Pdt.G/2008/PN.SBY
Menimbang bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Pihak Penggugat datang menghadap Kuasanya “A” dan untuk Pihak Tergugat tidak datang menghadap dipersidangan walaupun telah dipanggil secara patut dan sah menurut hukum sesuai relaas panggilan tanggal 19 Juni 2008, tanggal 03 Juli 2008, dan tanggal 10 Juli 2008, serta tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya yang sah untuk hadir dan ternyata ketidak hadiran Tergugat tidak ada alasan sah menurut Hukum.... Menimbang, bahwa oleh karena Pihak Tergugat tidak hadir menghadap dipersidangan atau tidak menyuruh orang lain untuk hadir menghadap dipersidangan sebagai Kuasanya walaupun telah dipanggil secara patut, dan tidak hadirnya Tergugat tersebut tidak disebabkan karena halangan yang sah, maka pemeriksaan perkara ini dilanjutkan dengan tanpa hadirnya Tergugat dengan pembacaan surat gugatan Penggugat yang isinya tetap dipertahankan oleh Penggugat

Pula dalam putusan Nomor 3020/Pdt.G/2017/PA.Kab.Mlg 
....., Tergugat pergi meninggalkan Penggugat tanpa ijin dan tanpa alasan yang sah. Selama itu Tergugat tidak pernah pulang dan tidak pernah kirim kabar beritanya kepada Penggugat bahkan tidak diketahui alamatnya yang jelas dan pasti di dalam maupun diluar wilayah Republik Indonesia” Menimbang bahwa oleh karena Tergugat tidak hadir di ruang sidang tanpa alasan yang sah, dan tidak pula menyuruh orang lain untuk menghadap ke ruang sidang sebagai wakil dan atau kuasanya meskipun Pengadilan Agama Kabupaten Malang telah memanggilnya secara resmi dan patut, sebagaimana ketentuan Pasal 125 HIR jo. Pasal 26 Peraturan Pemerinah Nomor 9 Tahun 1975, karenanya Tergugat harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan Penggugat dapat diputus dengan Verstek
Berdasarkan beberapa putusan tersebut , istilah alasan sah diindentifikasi sebagai keadaan dimana seseorang dapat memberikan alasan yang ‘benar’ tentang tindakannya. Juga untuk merujuk pada tindakan seseorang yang sesuai dengan hukum. Problem selanjutnya yang banyak menjadi perdebatan adalah menyangkut alasan-alasan apa saja yang sah, bagaimana sebuah tindakan dianggap memiliki alasan sah, apa unsur-unsurnya?
Istilah Alasan Sah dalam Perspektif Bahasa
Secara bahasa alasan adalah  “Nomina (kata benda) yang berarti (1) dasar; asas; hakikat(2) dasar bukti (keterangan) yang dipakai untuk menguatkan pendapat (sangkalan, perkiraan, dan sebagainya)(3) yang menjadi pendorong (untuk berbuat (4) yang membenarkan perlakuan tindak pidana dan menghilangkan kesalahan terdakwa(kbbi.kata.web.id).
Sedangkan Sah secara bahasa sah (1) dilakukan menurut hukum (undang-undang, peraturan) yang berlaku: (2) tidak batal (tentang keagamaan): (3)  berlaku; diakui kebenarannya; diakui oleh pihak resmi: (4)  boleh dipercaya; tidak diragukan (disangsikan); benar; asli; autentik.  
Apabila disandingkan alasan sah secara bahasa berarti dasar bukti yang didasarkan menurut hukum yang berlaku. Jika alasan sah ini dikaitkan dengan penggunaan padanan kata dalam bahasa belanda kurang lebihnya adalah ipso jure yakni tindakan yang berdasarkan hukum. Ini juga sesuai dengan arti sah dalam Kamus Istilah  Hukum karya penulis sendiri bahwa sah adalah Tindakan atau perbuatan dilakukan menurut hukum (peraturan perundang-undangan) atau prosedur yang berlaku.
Dengan demikian, istilah alasan sah sederhannya adalah alasan yang berdasarkan hukum. Hanya dalam praktik hukum perdata tidak secara jelas menguraikan tentang alasan-alasan sah ini.    
Alasan Sah dalam Norma Hukum
Sesuai dengan kemampuan penelusuran penulis terhadap peraturan-perundang-undangan, tidak ada satu frasa yang secar ekplisit tentang istilah alasan sah dalam putusan verstek sebagaimana contoh putusan diatas. Pasal 125 HIR sebenarnya tidak memuat kata alasan sah secara langsung.“Pasal 125 HIR (1) Jika Tergugat, meskipun dipanggil dengan sah, tidak datang pada hari yang ditentukan, dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka tuntutan itu diterima dengan keputusan tanpa kehadiran (verstek), kecuali kalau nyata bagi pengadilan negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tiada beralasan. (RV. 78; IR. 102, 122 d,t.)”
Begitu pula dalam Pasal 78 RV “ Jika tergugat tidak datang menghadap setelah tenggang waktu serta tata tertib acara dipenuhi, maka putusan dbatuhkan tanpa kehadiran tergugat dan penggugat dikabulkan, kecuali jika hakim menganggap gugatan itu tanpa hak atau tanpa dasar hukum. (Rv.I dst., 46, 80, 83, 89, 91, 9 la, 94, 107, 121, 254, 405; Sv. 217; IR. 125, 345; RBg. 149, 634.).
Justru istilah alasan sah ini muncul di beberapa pasal HIR yang terkait dengan saksi. Pasal 142 misalnya memaktubkan “Jika saksi yang tidak datang itu membuktikan, bahwa ia tidak dapat datang memenuhi pengadilan karena sebab yang syah, maka setelah diberikan keterangannya itu, ketua wajib menghapuskan hukuman yang dijatuhkan padanya. Penjelasan Saksi yang meskipun telah dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap dikenakan sanksi hukuman tertentu, akan tetapi kalau tidak datangnya itu disebabkan karena ada halangan yang syah, maka Ketua Pengadilan Negeri wajib meniadakan hukuman-hukuman itu. Alasan-alasan yang syah seperti misalnya sakit, kematian, halangan-halangan dalam perjalanan dan lain sebagainya
Pasal 264 “......sehingga apabila saksi misalnya setelah disumpah dengan tidak ada alasan yang syah, tidak mau memberikan keterangan”. Pasal 265 “.....Kalau hakim berpendapat bahwa penolakan bersumpah atau berjanji itu tidak berdasar atas alasan-alasan yang syah - alasan yang syah untuk menolak yaitu misalnya hak untuk mengundurkan diri dari kesaksian, maka hakim dapat mengundurkan perkara itu...”
Iistilah alasan sah ini kemudian banyak muncul dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan yakni  pada Pasal 6 Pasal 3 “Ketidakhadiran Para Pihak secara langsung dalam proses Mediasi hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan sah.  (4) Alasan sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi antara lain: a. kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter;  b. di bawah pengampuan;  c. mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau  d. menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan” 
Pertanyaanya sekarang apakah selain alasan yang telah termaktub dalam Perma 1/2016 tidak disebut sebagai alasan yang sah?
Penafsiran ‘Alasan Sah’
Legal Issue ‘alasan sah’ ini termasuk dalam kategori kekaburan norma yakni ada aturan yang mengatur akan tetapi tidak memuat secara jelas dan juga tidak dapat memberikan penjelasan yang detail (Lihat: Jonaedi Efendi, Metode Penelitian Hukum)  Olah karenanya, penulis menggunakan pendekatan penafsiran hukum untuk dapat memberikan penjelasan terkait alasan sah.
Penafsiran hukum atau legal interpretation memiliki beberapa makna. Semua penggunaan bahasa menyiratkan interpretasi, yang dianggap sebagai suatu "derivation" dari makna yang sesungguhnya terdapat dalam rumusan kebahasaan tersebut. Istilah "legal interpretation" juga digunakan, khususnya dalam praktik hukum atas aplikasi hukum, dalam pengertian yang lebih sempit. Dalam pengertian yang lebih sempit ini, suatu formulasi norma mensyaratkan interpretasi hanya ketika ada keraguan tentang maknanya dalam suatu konteks tertentu. Maka, pengertian yang lebih sempit dari "legal interpretation" ini adalah diorientasikan secara pragmatis: rumusan norma yang sama dalam beberapa konteks memerlukan interpretasi, tetapi dalam hal lain ia tidak memerlukan interpretasi karena maknanya yang sederhana, jelas sudah memenuhi kebutuhan penggunanya. Dalam konsep ini, “interpretasi” dianggap sebagai suatu "clarification" makna dari suatu rumusan norma hukum yang meragukan. 
Jerzy Wróblewski dalam tulisannya yang berjudul “Legal Language and Legal Interpretation”,  (dalam Law and Philosophy, Vol. 4, No. 2, Legal Reasoning & Legal Interpretation) membagi tipologi penafsiran hukum menjadi dua, yakni: Operative Interpretation dan Doctrinal Interpretation. Operative interpretation terjadi jika ada suatu keraguan terkait makna norma hukum yang harus diberlakukan dalam suatu kasus konkret pengambilan keputusan oleh badan yang menerapkan hukum. Operative interpretation mengandaikan ada kasus terlebih dahulu, baru kemudian penafsir mencari makna teks terkait dengan kasus yang dihadapi. Sebagai suatu pedoman, operative interpretation, dihadirkan sebagai jawaban tepat yang unik atas keragu-raguan interpretif dan hanya berkaitan dengan suatu formulasi norma yang diinterpretasikan secara kontkret.
Maka, operative interpretation adalah interpretasi atas makna yang diperoleh setelah penafsir menghadapi kasus (case-bound). Operative interpretation menghapuskan kekaburan bahasa hukum untuk suatu kasus tertentu – atau yang cenderung menggeneralisir – juga untuk kasus-kasus di masa depan jika itu diterima dalam praktik. Hakim adalah contoh dari case-bound interpretator. Interpretasi operatif harus menyelesaikan makna yang meragukan dalam suatu cara yang cukup persis untuk mengarahkan pada keputusan dalam suatu kasus konkret. Operative interpretation tidak hanya terikat pada true meaning thesis melainkan juga merupakan bagian dari keputusan pengadilan dan tampak sebagai suatu tutur yang memiliki fungsi performatif dalam keseluruhan proses hirarkhis dan otoritatif dari pengambilan keputusan.
Sementara itu, Doctrinal Interpretation bertugas membangun suatu perangkat konsep yang memadai untuk menghapuskan keraguan yang terkait dengan formulasi norma.Hasil dari interpretasi ini bisa berupa suatu statement yang menentukan makna yang secara linguistik memungkinkan dari suatu teks yang diinterpretasikan. Walaupun demikian, interpretasi doktrinal, seringkali tidak hanya menguraikan kemungkinan-kemungkinan linguistik, melainkan juga memilih salah satu dari kemungkinan itu sebagai makna yang sesungguhnya, atau "true meaning" dari teks tersebut.
Alasan Sah dengan pendekatan Operative Interpretation
Nah, jika kita kaitkan dengan penafsiran alasan sah, maka dalam perspektif operative interpretation maka hakimlah yang memiliki kapasitas dan kewenangan untuk menilai tentang alasan-alasan yang dikemukakan para pihak dalam persidangan. Hakim pula yang bertugas menetapkan krteria dan standar alasan-alasan apa yang dianggap sah yang berdasarkan hukum.
Salah satu metode penalaran hukum adalah metode penafsiran. Dalam konteks putusan hukum, Hakim bukan satu-satunya yang menafsir undang-undang atau peraturan perundang-undangan atau hukum pada umumnya. Tetapi harus diakui peranan hakim sangat penting dalam penafsiran hukum. Hal ini lebih dikarenakan sebagai berikut:
Pertama, hakim yang mewujudkan hukum (dalam arti konkret). Melalui putusan hakim, ketentuan  undang-undang (hukum) yang abstrak menjadi suatu kenyataan. Ada yang kalah, ada yang menang, ada yang dihukum atau bebas, dan lain-lain wujud hukum konkret. Kedua, hakim bukan hanya menyatakan (menetapkan hukum bagi yang berperkara, tetapi dapat menciptakan hukum yang berlaku umum). Ketiga, hakim menjamin aktualisasi hukum, termasuk mengarahkan perkembangan hukum. (Jonaedi Efendi, Rekontruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim, 2018).
Dengan pendekatan Operative Interpretation hakim ditempatkan sebagai penafsir tunggal yang otoritatif dan sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk memberikan putusan yang berkeadilan serta sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dan tumbuh masyarakat.
Sebab dalam Pasal 5 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 berikut penjelasannya dinyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka secara yuridis hakim wajib memberi putusan yang berkualitas (ideal) dan dapat dipertanggungjawabkan.
Mukti Artho menyampaikan merumuskan tentang putusan yang berkualitas. Putusan yang berkualitas ialah putusan yang mampu melihat dan menyelesaikan perkara secara holistik, baik secara kuantitatif, kualitatif, maupun komplementatif, baik dari aspek teoritis maupun praktis. Secara teoritis, putusan itu dapat dipertanggungjawabkan; sedang secara praktis, putusan itu telah mencapai sasaran yang diharapkan.
Mahkamah Agung dalam instruksinya No. KMA/015/INST/VI/1998 tanggal 1 Juni 1998 menginstruksikan agar para hakim memantapkan profesionalisme dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas dengan putusan hakim yang eksekutabel berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang pertama dan utama), filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), dan sosiologis (sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat), serta logos (diterima dengan akal sehat), demi terciptanya kemandirian para Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman.
Putusan yang berkualitas harus memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu : pertama, syarat teoritis dan kedua, syarat praktis. Memenuhi syarat teoritis, artinya telah sesuai dengan teori yang telah teruji kebenarannya. Suatu putusan dapat dianggap baik dan benar apabila telah sesuai dengan teorinya. Memenuhi syarat praktis, artinya telah sesuai dengan kebutuhan praktek di lapangan, yakni dapat mencapai sasaran yang diinginkan yang berupa terselesaikannya sengketa dengan tegaknya hukum dan rasa keadilan, dan dapat dipraktekkan (dilaksanakan) sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan akhir beperkara.suatu putusan dapat dianggap benar apabila telah memenuhi kebutuhan praktis. Syarat teoritis merupakan das sollen, sedang syarat praktis merupakan das sein-nya. Apabila suatu putusan telah memenuhi das sollen dan das sein-nya, atau antara teori dan prakteknya telah sesuai maka itulah putusan yang berkualitas. (Purwoto S. ganda Subrata, Bina Yustitia, Mahkamah Agung)
Alasan Sah dengan pendekatan Doctrinal Interpretation
Sebagaimana disampaikan diawal bahwa Doctrinal Interpretation bertugas membangun suatu perangkat konsep yang memadai untuk menghapuskan keraguan yang terkait dengan formulasi norma. Oleh karenanya, penulis mencoba untuk mengulas unsur-unsur sebuah alasan yang dapat dinilai sebagai alasan yang sah dan berdasarkan hukum. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan juga kepastian hukum, sehingga para pihak pencari keadilan juga dapat mengetahui alasan-alasan sah dan tentu saja dapat pula sebagai pembanding dari alasan-alasan sah lain yang telah ditetapkan oleh hakim. Unsur-unsur yang penulis kemukakan tidaklah bersifat kumulatif melainkan alternatif artinya jika memenuhi satu unsur saja sudah dapat disebut sebagai alasan sah.
Pertama, Adanya i’tikad Baik (goede trouw). I’tikad baik dalam hukum perdata adalah konsep yang sangat lama. Ia hadir sebagai kerangka substantif dalam lapangan hukum keperdataan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mempergunakan istilah itikad baik dalam 2 pengertian. 1) itikad baik dalam pengertian arti subyektif disebut kejujuran. Hal itu terdapat dalam pasal 530 KUHP Perdata dan seterusnya yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dalam arti subyektif ini merupakan sikap batin atau suatu keadaan jiwa. 2) yaitu itikad baik dalam arti obyektif. Dalam bahasa Indonesia disebut kepatutan. Hal ini dirumuskan dalam ayat (3) pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik” Mengutip pasal 1338 (3) KUH Perdata, kejujuran (itikad baik) tidak terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam melaksanakan janji, jadi kejujuran disini bersifat dinamis. Kejujuran dalam arti dinamis atau kepatutan ini berakar pada sifat peranan hukum pada umumnya, yaitu usaha untuk mengadakan keseimbangan dari berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat. (Ismijati Jenie, Pidato Pengukuhan Guru Besar). Maka dengan demikian, alasan sah berdasar i’tikad baik adalah alasan yang dapat diuji nilai-nilai kejujuran dan kepatutannya di tengah-tengah masyarakat misalnya sebagai contoh para pihak tidak datang dua kali berturut-secara (padahal telah dipanggail secara patut) dengan alasan 1). ia telah berusaha datang namun jalanan macet hingga kantor pengadilan ‘tutup’. Alasan 2). ia tidak bisa datang karena ada kegiatan/acara yang telah direncanakan jauh-jauh hari. Dua alasan yang dikemukakan menurut penulis masihlan mengandung i’tikad baik yang patut.    
Kedua, kepantasan (billijkheid). Pantas artinya menurut cara yang lazim, yang diakui oleh masyarakat dan dilindungi oleh hukum. Kepantasan ini memiki makna bahwa sebuah perbuatan atau tindakan telah menjadi nilai-nilai kebiasaaan dalam masyarakat. Juga perbuatan tersebut tidaklah bertentangan dengan kaidah-kaidah hidup masyarakat.
Kedua kreteria ini sangat erat pertaliannya yang satu dengan yang lain dalam satu alasan sah. Alasan yang kemukan haruslah alasan yang berdasarkan i’tikad baik dan pantas. Dengan dua konsep ini para pihak tidak dapat memberikan alasan yang tidak masuk akal (onredelijk). Alasan yang tidak masuk akal (onredelijk) menjadi penting sebagai indikator terhadap semua alasan-alasan yang dikemukakan para pihak. Apabila ada para pihak, menyampaikan alasan-alasan namun tidak memenuhi unsur ini, maka secara konsep alasan tersebut tidak sah.  
Epilog
Demikianlah ulasan sederhana tentang konsep ‘alasan sah’. Konsep ini barulah permulaan dari analisa, perlu pendalaman dan kajian lebih lanjut. Untuk contoh alasan, barangkali dewan pembaca dapat merumuskan sendiri dan selanjutnya di analisa sesuai dengan unsur-unsur yang telah disebutkan diatas. Semoga bermanfaat. 

Sumber Bacaan 
Jonaedi Efendi, Kamus Istilah Hukum, Jakarta, Prenada Media, 2015.
_____________, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Prenada Media, 2016.
_____________, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim, Jakarta Kencana, 2018
Purwoto S. Ganda Subrata, Bina Yustitia, Mahkamah Agung.
 Ismijati Jenie, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Yogyakarta, UGM. 
Wróblewski , Legal Language and Legal Interpretation”,  dalam Law and Philosophy, Vol. 4, No. 2, Legal Reasoning & Legal Interpretation)

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Blog Mr. Joe
Maira Gall