Rabu, 07 Maret 2018

Jika salah ‘memutus’ hakimpun bisa di gugat?



Pengambilan judul ini juga dilatar belakangi oleh kerisauan saya sebagai akademisi hukum terhadap penegakan hukum kita khususnya berkenaan dengan keadilan dan pengadilan. Potret buram penegakan hukum di Indonesia telah menjadi opini publik dan memuncak hingga saat ini. Kasus Prita Mulyasari, Mbah Mina dan terbaru Nenek Asyani adalah potret persoalan hukum yang menjadi konsumsi public, bahkan kasus-kasus tersebut merupakan bagian dari peradilan sesat. 
Kekecewaan masyarakat muncul karena tidak terpenuhinya harapan terhadap pengadilan untuk mewujudkan kebenaran, keadilan di samping juga terwujudnya ketenteraman dan kemaslahatan. Hingga saat ini, sebagian masyarakat percaya bahwa pengadilan sebagai benteng terakhir mencari keadilan. Tetapi, kepercayaan masyarakat berbanding terbalik dengan fakta keterpurukan pengadilan. Keterpurukan pengadilan tersebut bertentangan dengan fitrahkeberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu sarana untuk menyelesaikan konflik hukum.
Putusan pengadilan hanya menciptakan keputusan-keputusan yang adil secara prosedural. Begitu pula, keputusan pengadilan terkesan lebih cenderung memenangkan para pihak yang memiliki uang dan kekuasaan. Akses untuk keadilan (acces to justice) yang seharusnya merata untuk semua lapisan masyarakat tidak dapat tercapai. Sehingga hanya orang-orang elit  yang dapat menikmatinya. Sebagai implikasi dari keadaan ini, peradilan justru menjadi tempat bagi mafia hukum dan pasar pasal, sebagai contohnya kasus suap hakim PTUN yang melibatkan OC Kaligis. 
Lebih dari itu, putusan hakim di pengadilan tidak memenuhi rasa keadilan dan kebenaran, sehingga muncul tuduhan yang secara apriori bahwa hakim melakukan praktik-praktik koruptif. Tetapi benarkah lembaga penegakan hukum di Indonesia pada umumnya sudah tidak peka dan tidak mempunyai hati nurani lagi terhadap gemuruhnya jiwa masyarakat yang mendambakan keadilan, kebenaran dan bernilai perikemanusiaan tersebut?
Apabila dilihat dari putusan pengadilan terhadap kasus yang tidak mencerminkan kebenaran, rasa keadilan dan kemanusiaan, maka wajar apabila masyarakat menilai putusan hakim yang menyelesaikan perkara tersebut dapat dituduh dan dicurigai tidak memihak kepada kebenaran, keadilan dan kemanusiaan, tetapi memihak kepada kepentingan. 
Keputusan pengadilan, khususnya dalam perkara pidana mulai tingkat pertama sampai kasasi masih dirasa mencederai rasa keadilan masyarakat. Sebagai contoh putusan Pengadilan Tipikor Bandung yang membebaskan Walikota Bekasi, Mochtar Muhammad. Begitu pula Pengadilan Tipikor Surabaya, selama kurun waktu satu tahun membebaskan 9 tersangka koruptor. Pengadilan Tipikor yang seharusnya menjadi momokbagi para koruptor justru menjadi sebaliknya. Fenomena perlawanan para koruptor terhadap institusi penegakan hukum semisal KPK juga mengkhawatirkan.
Contoh lain dalam tindak pidana umum misalnya putusan kasus pencurian sandal jepit yang akhirnya menyatakan Aal, seorang anak terbelakang mental, bersalah meskipun barang bukti tak sesuai dengan yang didakwakan kembali menunjukkan arogansi hukum terhadap keadilan. Atau kasus Nenek Asyani yang diputus 1 Tahun percobaan atas tuduhan pencurian kaya di Situbondo. Hukum dan keadilan di negeri ini seolah tak lagi berjalan beriringan, bahkan keadilan cenderung ditiadakan dalam penegakan hukum. Gambaran kasus sandal dan kayu semakin menjustifikasi bahwa hukum kini tak lagi dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah, tapi justru merupakan masalah itu sendiri. Kasus sandal ini semakin melengkapi kasus-kasus sebelumnya yang melukai rasa keadilan masyarakat seperti kasus Nenek Minah dengan tiga buah kakaonya, Basar dan Kholil dengan buah semangkanya. Semuanya menunjukkan betapa tajam hukum jika menyangkut rakyat kecil.
Contoh-contoh tersebut, semakin meyakinkan penulis bahwa putusan pengadilan masihlah jauh dengan keadilan. Secara ekstrim penulis katakan, jika para koruptor mencuri uang rakyat dikarenakan mereka rakus, bukan butuh sebagaimana Bashar dan Kholil yang mencuri semangka. Dua kasus tersebut, secara normatif memang dapat disebut memiliki unsur-unsur yang sama yakni pencurian, tetapi substansi dan oreintasi dari dua kasus tersebut sangat berbeda.
Paradigma putusan pengadilan tersebut juga dapat dikatakan sebagai kenyataan dari putusan-putusan pengadilan yang lain. Padahal secara teoritik keberadaan pengadilan merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk mengkoordinasi sengketa-sengketa yang terjadi dalam masyarakat, dan merupakan rumah pengayombagi masyarakat pencari keadilan, yang mempercayai jalur litigasi serta dianggap sebagai perusahaan keadilanyang mampu mengelola sengketa dan mengeluarkan produk keadilan yang bisa diterima oleh semua masyarakat. Tugas dan fungsi pengadilan tidak sekedar menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum dalam masyarakat. Sebagai lembaga hukum peradilan juga diharuskan menjadi media dalam menggapai cita hukum. Cita dari hukum adalah untuk menjaga keteraturan dan ketertiban (social order) dalam masyarakat. Sehingga fungsi hukum lebih ditekankan sebagai pengawasan sosial (social control).
Sedangkan di tingkat kasasi, hampir setali tiga uang dengan pengadilan tingkat pertama. Hakim Agung yang menangani kasasi seharusnya lebih dalam lagi menyelami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Tetapi faktanya, masih banyak ditemukan putusan Mahkamah Agung yang justru mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
Salah satunya adalah putusan Mahkamah Agungyang menghukum Nenek Rasminah dengan hukuman 130 hari penjara.
Kasus lain adalah kasus Prita Mulyasari MA dalam putusannya mengabulkan permohonan kasasi dari kejaksaan yang menyatakan Prita terbukti melakukan pencemaran nama baik RS Omni Internasional melalui surat elektronik. Prita dipidana penjara selama enam bulan dengan satu tahun masa percobaan. Padahal sebelumnya Pengadilan Negeri Tangerang membebaskan Prita dari segala dakwaan.
Sebaliknya MA membebaskan terdakwa perkara korupsi pembebasan lahan kuburan di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, senilai Rp 27 miliar, Andi Wahab. Padahal, sebelumnya jaksa menuntut Andi Wahab dipenjara selama 17 tahun. Bahkan selama kurun waktu tahun 2011, Mahkamah Agung telah membebaskan setidaknya 40 Koruptor.
Putusan MA tersebut dengan jelas bahwa terdapat persoalan yang kompleks dengan sistem peradilan di Indonesia khususnya menyangkut rasa keadilan masyarakat. Artidjo Alkostar, seorang hakim Agung yang sering berbeda pendapat dengan hakim Agung yang lain menyatakan bahwa dalam membuat putusan seorang hakim harus mendasarkan putusannya pada rasa keadilan masyarakat. Pernyataan Artidjo tersebut secara konsisten diterapkan dalam putusan-putusannya.  
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa terdapat problematika yang sangat mendasar terhadap konstruksi pemikiran para hakim dalam membuat keputusan hukum. Masih banyak putusan-putusan hakim yang menyimpang dari nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Pertanyaannya sekarang, apakah seorang hakim dapat digugat atas kesalahannya dalam memutuskan? 

Catatan Akhir.

 Prita Mulyasari terjerat pelanggaran Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Elektronik. Lihat: Kejanggalan Kasus Prita Menyeruak, http://nasional.kompas.com. Akses 12 Juni 2011.
 Tersangka pencurian tiga buah kakao di Jawa Tengah. Lihat: Duh... Tiga Buah Kakao Menyeret Minah ke Meja Hijau... http://regional.kompas.com. Akses 12 Juni 2011.
 Kasus Peradilan sesat  tidak sekedar diterjemahkan bahwa peradilan telah salah menghukum seseorang tetapi peradilan tidak bisa memberikan keadilan. Kasus yang sangat jelas adalah kasus Sengon dan Karta. Lihat : E.A. Pamungkas, Peradilan  Sesat; Membongkar Kesesatan Hukum di Indonesia, Yogyakarta, Navila Edea, 2010. Hlm. 2
 Kemaslahatan merupakan prasyarat dari tercapainya kebahagiaan. Kebahagiaan bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan hukum. Konsep kemaslahatan lebih dikenal dalam termenologi hukum Islam dengan istilah maqashidus syariah yaitu tujuan-tujuan diberlakukannya syariat dalam hukum Islam. Lihat: Abdul Ghafur Anshori dan Yulkarnain Harahap, Hukum Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta, Kreasi Total Media, 2008, hlm. 31
 Adi Sulistiyono, Menggapai Mutiara Keadilan: Membangun Pengadilan yang Independen dengan Paradigma Moral, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 152 - 184
 Fungsi utama pengadilan adalah untuk menyelesaikan konflik
 Acces to justice dimaknai sebagai Justice, as so administered, has to be available to all, on an equal footing. This is the ideal, but one which has never been attained, due largely to inequalities of wealth and power and an economic system which maintains and tends to increase the inequalities Lihat: Justice In The Twenty-First Century; Cavendish Publishing (Australia) Pty Limited, 2000. Yang terjemahannya kurang lebih adalah: Keadilan, sebagaimana dijalankan, harus tersedia untuk semua, sederajat kedudukannya. Inilah sesuatu yang ideal, tetapi hal ini tidak pernah dicapai, karena terdapat ketidaksamaan kemakmuran dan kekuasaan serta sistem ekonomi yang mempertahankan dan cenderung meningkatkan ketidaksamaan.
 Doni F. Jambak, Pasar Pasal: Analisa Penegakan Hukum di Pengadilan dikaitkan dengan Sosiologi Hukum, www.legalitas.org. Akses 11 Mei 2011
Kasus Suap Hakim, OC Kaligis Diperiksa sebagai Saksi Anak Buahnya, http://nasional.kompas.com/read/2015/07/28/11271041/Kasus.Suap.Hakim.OC.Kaligis.Diperiksa.sebagai.Saksi.Anak.Buahnya
 Komisi Hukum Nasional, Administrasi Peradilan: Laporan Tahunan, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, hlm. 2
 Banyak kasus-kasus yang melibatkan hakim dan staf kepaniteraan. Kasus Suap hakim syaifuddin misalnya menjadi contoh buruk citra hakim. Lihat: Pengamat: Hakim & Polisi Terima Suap Ratusan Juta Dihukum Mati Saja, http://news.detik.com/read/2012/02/29/130710/1854487/10/pengamat-hakim-polisi-terima-suap-ratusan-juta-dihukum-mati-saja. Akses 2 Februari 2012.
 Jaksa menuntut Mochtar Mohammad selama 12 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider enam bulan. Jumlah hukuman tersebut merupakan kumulatif dari empat perkara yang didakwakan kepada terdakwa. Pengadilan Tipikor Bebaskan Walikota Bekasi, http://nasional.vivanews.com. Akses 14 Desember 2011.
 MA: PN Tipikor Surabaya Bebaskan 9 Koruptor, http://nasional.vivanews.com. Akses 2 Februari 2012.
 Terdakwa Kasus Sandal Jepit Terbukti Bersalah, Republika, 5 Januari 2012 lihat juga: Kasus Sandal Jepit Cermin Menjauhnya Keadilan M. Gibran Sesunan, http://www.lampungpost.com/opini/21136-kasus-sandal-jepit-cermin-menjauhnya keadilan.html. Akses 2 Februari 2012.
 Umar Sholehuddin, Hukum & Keadilan Masyarakat Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, Malang, Setara Press, 2011. hlm. 64
 Kasus Basar Ubah Paradigma Hukum, http://www.kedirijaya.com. Akses 2 Februari 2012.
 Menurut Satjipto Rahardjo, Keadilan memang barang yang abstrak dan oleh karena itu perburuan terhadap keadilan merupakan usaha yang berat dan melelahkan. Lihat Satjipto Rahardjo, Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang, Kompas, 24 Mei 2000.
 Peranan lain Peradilan antara lain:  1. Melindungi masyarakat melalui upaya penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, dan melakukan upaya inkapasiti terhadap orang yang merupakan ancaman terhadap masyarakat. 2. Menegakkan dan memajukan the rule of law dan penghormatan pada hukum dengan menjamin adanya due process of law dan perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa, dan terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan. 3. Menjaga hukum dan ketertiban. 4. Menghukum pelaku kejahatan sesuai falsafah pemidanaan yang dianut. 5. Membantu dan memberi nasihat pada korban kejahatan.
 Lihat : I Nyoman Nurjaya, Reoreintasi Peran dan Tujuan Hukum dalam Masyarakat Multikultural:Perspektif Antropologi Hukum, Makalah dipresentasikan dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi Ke-2 Membangun Kembali Yang Bhinneka Tunggal Ika Menuju Masyarakat Multikultural, Diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesai Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia Pada tanggal 16-19 Juli 2002 di Universitas Udayana Bali.
 Rasminah dituduh mencuri 6 piring pada Juni 2010 atas laporan majikannyadituntut hukuman 5 bulan penjara oleh jaksa namun dibebaskan hakim Pengadilan Negeri Tangerang. Rasminah ditahan selama 130 hari hingga penangguhan penahanannya dikabulkan. Pengadilan Negeri Tangerang memutus bebas Rasminah. Atas putusan itu Jaksa mengajukan kasasi ke MA. Oleh MA, Rasminah dihukum 130 hari penjara pada 31 Mei 2011. MA Hukum 130 Hari Pencuri 6 Buah Piring, dimana hati Nurani MA? http://forum.kompas.com/nasional/64333-pencuri-6-piring-dihukum-130-hari-penjara-di-mana-hati-nurani-ma.html, Akses 12 Januari 2012.
 Putusan MA Terhadap Prita Ciderai Rasa Keadilan Masyarakat. http://skalanews.com. Akses tanggal 12 Januari 2012.
 DPR: Putusan MA soal Prita Mulyasari Ciderai Rasa Keadilan, http://www.tribunnews.com/. Akses tanggal 12 Januari 2012.
 MA Bebaskan Koruptor, http://www.ti.or.id. Akses tanggal 12 Januari 2012.
 Selama 2011, MA Bebaskan 40 Kasus Korupsi, http://nasional.kompas.com. Akses tanggal 12 Januari 2012.
 Lebih Jauh Dengan  Artidjo Alkostar , URL: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0107/08/naper/lebi04.htm. Akses 8 Juli 2011 
 Menurut Artidjo Ketegasan itu sudah diterapkan dalam putusan kasasi terhadap terdakwa percobaan suap dan menghalang-halangi penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Anggodo Widjojo. MA, menjatuhkan hukuman dua kali lipat dari putusan pengadilan tingkat banding yang hanya menghukum 5 tahun penjara. Data-data putusan tersebut diperkuat oleh laporan Komisi Yudisial. Laporan yang dirilis oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY) Jumlah pengaduan masyarakat mengenai perilaku hakim yang diduga melanggar kode etik yang diterima oleh Komisi Yudisial dari Agustus 2005 sampai dengan 3 Desember 2010 pukul 13.30 WIB adalah sebanyak 9.876 laporan. Dari jumlah tersebut sebanyak 2.412 adalah berkas pengaduan yang diregister (24%), sebanyak 1.827 adalah berkas pengaduan yang berupa surat biasa (19%), sedangkan sisanya sebanyak 5.637 adalah pengaduan yang berupa surat tembusan (57%).  Artidjo Alkostar : Tidak Ada Toleransi untuk Koruptor, http://m.tribunnews.com/2011/03/04/artidjo-alkostar-tidak-ada-toleransi-untuk-koruptor, Akses tanggal 12 Januari 2012.


Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Blog Mr. Joe
Maira Gall