TAX
PLANNING DAN
LEGALITASNYA
M. Syafii[1] dan Riniadi Saswati[2]
Abstrak
Membayar
pajak adalah kewajiban setiap warga negara, dalam rangka partisipasi dalam
pembangunan bangsa melalui ketaatan dalam membayar. Tetapi di sisi yang lain
sebagai warga negara (wajib pajak) akan merasa kehilangan sebagian
“kekayaannya”. Sehingga bagaimana wajib pajak tetap taat dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan tetapi dengan beban
pajak yang minimal. Tax Planning merupakan sarana yang memungkinkan bagi
wajib pajak untuk merencanakan pembayaran pajak yang minimal. Tax
planning berarti merencanakan setiap kejadian
transaksi dan didukung dengan kebijakan akuntansinya sehingga beban pajak dapat
diminimalkan, tetapi dengan tidak melanggar peraturan perpajakan.
Kata Kunci: tax planing, legalitas.
Abstract
Paying taxes is the duty of every citizen, within the framework of participation in nation building through obedience in paying. But on the other as citizens (taxpayers) will miss some of the "wealth". So how taxpayers remain obedient in carrying out tax obligations but with the tax burden minimal.Tax Planning is a tool that allows a taxpayer to a minimum tax payment plan. Tax planning means planning each event and the transaction is supported by its accounting policies so that the tax burden can be minimized, but without violating the tax laws.
Keywords: tax planing, legality.
Pendahuluan
Pajak
merupakan salah satu sumber penerimaan dalam APBN yang penting bagi negara yang
digunakan untuk membiayai pengeluarannya, baik pengeluaran rutin maupun
pengeluaran pembangunan. Sedangkan
bagi perusahaan, pajak merupakan beban yang akan mengurangi laba bersih.[3]
Hal ini bertentangan dengan tujuan utama yang ingin dicapai manajemen untuk
memberikan keuntungan yang maksimal kepada pemilik.
Pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan terdapat perbedaan kepentingan
antara wajib pajak dengan fiskus. Perbedaan kepentingan ini menyebabkan wajib
pajak cenderung untuk melakukan tax
planning. Tax planning merupakan bentuk perlawanan pajak yang bersifat
aktif tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Upaya minimalisasi pajak secara eufinisme
sering disebut dengan perencanaan pajak (tax planning) adalah sarana
untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar (tidak melanggar
undang-undang) tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin
untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan.[4]
Namun perencanaan pajak juga dapat berkonotasi positif sebagai perencanaan
pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar dan tepat waktu sehingga
dapat menghindari pemborosan sumber daya secara optimal.[5]
Dengan melakukan perencanaan pajak (tax planning), perusahaan akan
dapat melakukan perencanaan kegiatan operasional perusahaan dan pengambilan
keputusan untuk mencapai laba maksimum dan peningkatan kinerja perusahaan untuk
tetap eksis dan menjadi perusahaan yang bijak dan taat pajak serta dapat meng-update peraturan perpajakan yang terbaru
dan berlaku.
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka dapat ditarik
suatu rumusan masalah sebagai berikut, yaitu bagaimana ruang lingkup tax planning serta legalitasnya.
Analisis Hukum
Pengurangan yang dibolehkan sebagai pengurang Penghasilan
Bruto
Pasal 6 Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,
disebutkan sebagai berikut:[6]
a.
biaya yang secara
langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha;
b.
penyusutan atas
pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran
untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaatlebih dari
1 (satu) tahun;
c.
iuran kepada dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d.
kerugian karena
penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan
atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. kerugian
selisih kurs mata uang asing;
f. biaya
penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang
nyata‐nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
j. sumbangan dalam
rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya
pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
l. sumbangan
fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Beban‐beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat
dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa
manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1
(satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan sedangkan pengeluaran
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan
melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu
tahun Pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs,
kerugian‐kerugian
tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Sanksi Administrasi dan Tindak Pidana Perpajakan
Dalam Pasal 38
Undang undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, setiap orang
yang karena kealpaannya:[7]
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan
Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan
setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A,
didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana
kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
Pelanggaran
terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang
menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan
menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang
menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana.
Dalam Pasal 39
Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, Pasal 39
sebagai berikut:[8]
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak
mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok
Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan /atau keterangan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
e. menolak untuk
dilakukan pemeriksa-an sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan
pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolaholah
benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. tidak menyeleng-garakan
pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak
meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan
buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
i. tidak
menyetorkan pajak yang telah dipotong atau Dipungut sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Pidana sebagaimana di-
maksud pada
ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1
(satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang
dijatuhkan.
(3) Setiap orang
yang mela-
kukan
percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa
hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau
melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali
jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan.
Perlawanan Pajak
Menurut R. Santoso Brotodihardjo[9],
perlawanan pajak dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1) perlawanan pasif terdiri
dari hambatan hambatan yang mempersulit proses pemungutan pajak dan yang erat
hubungannya dengan struktur ekonomi, suatu Negara, dengan perkembangan
intelektual, dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri, sedangkan 2)
perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan, yang secara langsung
ditujukan terhadap fiskus dan bertujuan menghindari pajak, perlawanan pasif
juga terdapat ditafsirkan dari kegagalan dalam
system control yang tidak
dapat dilakukan dengan efektif atau bahkan tidak dapat dijalankan.[10]
Perlawanan aktif dapat dibedakan dengan-cara cara sebagai berikut:
1.
Menghindari
pajak[11].
Penghindaran pajak
dapat dilakukan dengan tidak melakukan perbuatan yang memberi alasan untuk
dikenakan pajak, yaitu dengan meniadakan atau melakukan hal hal yang dapat
dikenakan pajak.
2.
Mengelakan pajak[12].
Pengelakan pajak
adalah perbuatan melanggar hukum yang dengan sengaja melepaskan diri dari
kewajiban pajak, dengan cara tidak jujur.
Pengertian Tax Planning
Tax planning adalah
tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang
tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya.[13]
Dalam rangka melaksanakan tax planing
yang tidak melanggar undang undang perpajakan yang berlaku paling tidak lima
persyaratan pokok yaitu: Pertama, mengerti
peraturan perpajakan atau peraturan lainya yang terkait, akan sangat sulit
sekali untuk dapat melakukan tax plaing yang tidak melanggar aturan bila tax plaing dirancang tidak dalam kolidor
undang undang perpajakan yang berlaku.[14]
Kedua, menentukan tujuan yang ingin di capai dalam tax
planing, dalam hal menghindari dari tindakan yang melanggar undang undang sudah
tentu tidak dapat melakukan tax planing untuk menghindari kewajiban perpajakan.[15]
Menurut Suandy,[16]
tax planing paling tidak memiliki dua tujuan utama yaitu (1) menerapkan
peraturan perpajakan secara benar dan (2) dalam efisiensi untuk memcapai laba
yang diharapkan.
Ketiga, dalam tax planing harus dipahami karakter dari usaha WP,
karena hampir setiap perusahaan memiliki perbedaan perbedaan dalam kebijan
maupun perilaku (behavior), dan
kebiasaannya. Dengan memahami secara mendalam seluk beluk usaha akan sangat
membantu dalam melaksanakan tax planing.[17]
Keempat, memahami tingkat kewajaran atas transaksi transaksi
yang diatur dalam tax planing, karena jika melaksanakan tax planing dengan
mengabaikan kewajaran sudah tentu akan menimbulkan kesulitan kesulitan karena
adanya kecurigaan fiskus, dan ini dapat berimplikasi dengan pemeriksaan, karena
bisa diindikasikan adanya kecurangan pajak.[18]
Kelima, tax planning
harus didukung oleh kebijakan akuntansi (accounting treatmen) dan didukung
dengan bukti bukti yang memadai.[19]
Strategi Perencanaan Pajak (Tax Planing) Grey Area Perpajakan
Grey area perpajakan adalah
sebuah keadaan, transaksi atau kejadian yang dicurigai berat terekspos oleh
aturan perpajakan, akan tetapi tidak ada aturan pajak yang berlaku sekarang
yang bisa diterapkan terhadap hal tersebut.
Faktor grey area perpajakan yang terjadi dalam setiap kondisi dapat
dipakai dalam tax planing, untuk
menghasilkan beban pajak penghasilan yang efisien, dengan cara:
1.
Usahakan
penghasilan tersebut tidak termasuk pengertian penghasilan yang dapat dikenakan
pajak penghasilan atau penghasilan yang kena pajak diganti dengan penghasilan
yang tidak kena pajak atau pengenaan pajaknya ditangguhkan.
2.
Tinggkatkan
biaya-biaya yang dapat dikurangkan atau biaya tertentu yang tidak dapat
dikurangkan dari penghasilan kena pajak dikurangi dan dialihkan ke biaya-biaya
yang dapat dikurangkan.
3.
Perpanjang
jangka waktu pengenaan pajak atas penghasilan atau perpendek jangka waktu
biaya-biaya yang dapat dikurangkan.
4.
Pertimbangkan
antara naiknya penghasilan dengan beban pajak yang meningkat, atau naiknya
biaya tertentu dengan berkurangnya beban pajak, dan hasil akhir (neto) harus
memperbesar laba setelah pajak penghasilan.
Prinsip Taxable Dan Deductable
Prinsip taxable dan deductable merupakan prinsip yang lazim
dipakai dalam perencanaan pajak, yang pada umunya mengubah biaya yang tidak
boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan dan sebaliknya mengubah
penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang bukan objek
pajak, dengan konsekuensi terjadinya perubahan pajak terutang akibat pengubahan
tersebut.
Sebagai ilustrasi pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan kepada para
pegawai, berdasarkan pasal 4 ayat (3) huruf d undang-undang Pajak Penghasilan, penghasilan yang bukan merupakan
objek pajak bagi karyawan, sehingga tidak dipajaki atas penghasilan tersebut.
Sebaliknya dari sudut pandang perusahaan yang mengeluarkan biaya tersebut,
secara komersial merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan,
tetapi berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan
merupakan biaya yang tidak boleh dikurangkan.
Apabila pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan, seperti dokter dan
obat misalnya, diubah menjadi tunjangan kesehatan, maka berdasarkan pasal 4
ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan, tunjangan kesehatan yang
diberikan dalam dalam bentuk uang tesebut merupakan penghasilan yang akan
dipajaki dan dilain pihak berdasarkan pasal 6 ayat (1) huruf a biaya tunjangan
tesebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
Memaksimalkan
Pengurangan
Memaksimalkan pengu-rangan (maximizing deduction), ialah pengalihan
pemberian dalam bentuk natura (fringe
benefit atau payment in kid) ke bentuk tunjangan-tunjangan yang dapat
dikurangkan sebagai biaya sesuai prinsip dapat dipajaki (taxable) dan
dapat dikurangkan (deductable) yang dianut ketentuan perundang-undangan
perpajakan.
Pengelolaan
Transaksi Yang Berkaitan Dengan Pemberian Kesejahteraan Karyawan
Peluang melakukan efisiensi PPh Badan sangat banyak yang dapat dilakukan
pada biaya-biaya yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan. Strategi
efisiensi PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan ini,
sangat tergantung dari kondisi perusahaan, sebagai berikut:
1.
Pada
perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak (tax income) yang
telah dikenakan tarif tertinggi (di atas Rp 100 juta) dan pengenaan PPh
Badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan
karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan (fringe benefit) karena
pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
2.
Bagi
perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan akan menurunkan PPh
Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil.
Kesejahteraan karyawan yang dapat direkayasa terdiri dari:
a. PPh Pasal 21 karyawan, dengan alternatif :
1.
PPh
ditanggung karyawan yang bersangkutan.
Alternatif ini pemberi kerja hanya sebagai pemotong pajak
saja, jadi tidak berpengaruh terhadap penghasilan perusahaan.
2.
Tunjangan PPh.
Alternatif kedua ini bersifat taxable bagi karyawan dan deductible
bagi pemberi kerja.
3.
PPh ditanggung oleh
perusahaan.
Alternatif yang ketiga ini merupakan kenikmatan bagi
karyawan dan bersifat non deductible biaya bagi pemberi kerja.
b.
Pengobatan/kesehatan
karyawan, dengan alternatif:
1.
perusahaan
mendirikan klinik sendiri atau bekerja sama dengan pihak rumah sakit tertentu.
2.
karyawan
diberi tunjangan kesehatan secara rutin baik sakit maupun tidak.
c.
Pembayaran premi
asuransi untuk pegawai, dengan alternatif:
1.
Premi ditanggung
perusahaan.
2.
Premi
ditanggung oleh karyawan yang bersangkutan.
3.
Premi
sebagian ditanggung karyawan sebagian ditanggung oleh perusahaan.
d.
Rumah
dinas karyawan, dengan alternatif:
1.
Perusahaan menyediakan
rumah dinas.
2.
Perusahaan memberikan
tunjangan perumahan.
e.
Transportasi
untuk karyawan, dengan alternatif:
1.
Perusahaan menyediakan
mobil dinas.
2.
Perusahaan memberikan
tunjangan transportasi.
f.
Pakaian
kerja karyawan, dengan alternatif:
1.
Pekaian
kerja sehubungan dengan lingkungan kinerja, misalnya satpam, seragam pegawai
hotel, pilot dan lain-lain.
2.
seragam
karyawan pada umumnya.
g. Makan,
dengan alternatif:
1. Perusahaan memberikan beras atau menyediakan
katering untuk karyawan.
3.
Tunjangan
beras atau uang makan.
g.
Bonus
dan jasa produksi, dengan alternatif:
1.
dibebankan
dalam tahun berjalan.
2.
dibebankan
pada laba yang ditahan.
Pemilihan
Metode Penyusutan
Penyusutan Aktiva tetap dan amortisasi aktiva tidak berwujud yang diakui
oleh fiskus sejak tahun 1995 terdiri (dua) metode yaitu metode garis lurus, dan
metode saldo menurun.
Transaksi yang
Berkaitan dengan Pemungut Pajak
Selain sebagai pembayar pajak perusahaan juga sebagai pemotong pajak
tehadap pihak ketiga (witholding tax). Masalah yang seringkali timbul
adalah pihak yang bersangkutan tidak bersedia dipotong pajaknya. Apabila
perusahaan tidak memotong witholding tax (misalnya PPh 23, atas jasa
konsultan), maka perusahaan akan menanggung akibatnya jika dilakukan
pemeriksaan oleh fiskus karena perusahaan akan dikenakan kewajiban untuk
membayar witholding tax dimaksud ditambah denda bunga atas keterlambatan
penyetoran sebasar 2% sebulan dari pokok pajak.
Untuk mengatasi, perusahaan sebaiknya me-mark up nilai transaksi
supaya nilai tersebut sudah termasuk pajak, karena jika perusahaan hanya
membayar PPh Pasal 23 tersebut, maka PPh yang dibayar oleh perusahaan itdak
dapat dibebankan sebagai biaya.
Permohonan
Pengurangan Pembayaran (Lump Sum) PPh
Ps. 25
Besarnya pembayaran PPh Pasal 25 tergantung dari besarnya PPh terutang
tahun lalu. Pengajuan pengurangan pembayaran lump-sum (angsuran masa)
PPh Pasal 25 disampaikan ke KPP yang bersangkutan dengan melampirkan:
a.
Proyeksi
perhitungan laba/rugi tahun yang bersangkutan;
b.
Proyeksi
neraca pada akhir tahun yang bersangkutan.
Proyeksi besarnya PPh badan yang terutang, yang ternyata akan terjadi
kelebihan pembayaran pajak, apabila besarnya lump-sum tidak dikurangi.
Kesimpulan
Tax planning dapat dikatagorikan sebagai bentuk perlawanan pajak yang
bersifat aktif dengan cara menghidarkan diri secara yuridis, dengan cara setiap
tindakan manajer didasarkan atas suatu metode, rencana, atau logika tertentu
dan bukan atas dasar suatu firasat, perencanaan memberikan tujuan dan arah
kepada organisasi menentukan apa yang akan dikerjakan kapan akan dikerjakan,
bagaimana menjalankannya dan siapa yang akan mengerjakannya.
Banyak cara memperkecil beban pajak dengan cara menghindari pajak (tax
evasion). Namun hal ini melangar undang undang sehingga tidak dianjurkan
dalam pelaksanaan tax planing. Tax planing adalah meminimalkan beban
pajak yang dapat dilakukan dengan memaksimalkan pengurangan-pengurangan dan
mengefisiensikan pendapatan yang masih ada dalam bingkai peraturan perpajakan.
Pada dasarnya tax planing merujuk kepada proses merekayasa usaha dan
transaksi Wajib Pajak supaya beban pajak berada dalam jumlah yang minimal
tetapi tidak melanggar peraturan perpajakan.
Daftar Bacaan
Buku
Brotodihardjo, R. Santoso, 1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung.
Lumbantoruan, Sophar, 1996, Akuntansi Pajak,
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Suandy,
Erly, 2003, Perencanaan Pajak, Edisi
Revisi, Salemba Empat,
Jakarta.
Zain, Mohammad, 2003, Manajemen Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta.
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan
umum perpajakan sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor Kep-545/PJ/2000
tentang petunjuk Pelaksanaan Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 sehubungan
dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi, tanggal 29 Desember 2000.
Jurnal
Nur Hidayat, 2003, Menelusuri Tax Planning Dalam
Kerangka Undang-Undang, Jurnal Perpajakan, Volume 2, Salemba Empat,
Jakarta.
[2]Dosen
Tetap Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya
[3]Erly Suandy, Perencanaan Pajak, Edisi
Revisi, Salemba Empat,
Jakarta, 2003, h, 2.
[4]Sophar
Lumbantoruan, Akuntansi Pajak, Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 1996, h. 354.
[5] Erly Suandy, loc.cit.
[6]Undang-undang No. 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
[7]Undang-undang
No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan.
[9]R.
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu
Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1995, h. 13.
[10] Ibid, h. 14.
[14] Suandy Erly, op.cit, h. 10.
[15]Nur Hidayat, Menelusuri Tax Planning Dalam
Kerangka Undang-Undang, Jurnal Perpajakan, Volume 2, Salemba Empat,
Jakarta, 2003, h. 4.
[16] Erly Suandy, op.cit, h. 7.
[17] Nur Hidayat, op.cit., h. 5.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
Thank you for your so good post,it is useful,i love it very much.please share with us more good articles.
BalasHapustax return service in barking