Perspektif Yuridis Pengembalian Kerugian Keuangan Negara
Dalam Tindak Pidana
Korupsi
A.
Djoko Sumaryanto
Abstract
Corruption
eradication in Indonesia has been worked out through the various way and form
either in the field of law or the policy of criminal law. Law reformation in the form of corruption
eradication not only concern with the reformation of code/law, but it also concern with enforcement and law structure. There is much
difficulty to eradicate corruption. However, it doesn’t mean that it is
impossible to work it out and retrieve public finance asset or property.
Through this study, the writer wants to research public finance and ways to eradicate corruption and
retrieve state finance as well by using various instruments, either penal or
non penal.
Keyword : Corruption
eradication, Law reformation.
Pendahuluan
Perkembangan Informasi dan Tehnologi pada Era-global
sekarang ini menjadi suatu tantangan bagi aparat penegak hukum, karena dengan
perkembangan tersebut memiliki konsekuensi logis terhadap perkembangan dari
modus operandi setiap kejahatan, menjadi lebih canggih dan sulit untuk
dibuktikan. Namun demikian harus diberantas, demikian juga dengan kejahatan
korupsi atau tindak pidana korupsi.
Pemberantasan korupsi merupakan masalah paling mendesak
yang harus dilakukan ditanah air, karena telah secara signifikan menghambat
kemajuan bangsa. Kebiasaan korupsi terlihat begitu besar dan di luar kontrol
pemerintah. Akan tetapi langkah untuk memberantas korupsi ini sering terhalang
berbagai masalah yang kompleks.
Reformasi hukum dalam rangka pemberantasan korupsi tidak
saja menyangkut reformasi peraturan perundang-undangan, tetapi juga menyangkut
penegakan dan struktur hukum. Essensi
pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya ada 2 (dua) hal yang
paling pokok, yaitu sebagai langkah preventif
dan represif. Langkah preventif
tersebut terkait dengan adanya pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi,
harapannya masyarakat tidak melakukan tindak pidana korupsi. Langkah represif
meliputi pemberian sanksi pidana yang berat kepada pelaku dan sekaligus
mengupayakan semaksimal mungkin kerugian negara yang telah dikorupsi bisa
kembali.
Dengan demikian pemberantasan tindak pidana korupsi
seharusnya juga memperhatikan kepentingan rakyat, maksudnya disamping
memberantas tindak pidana korupsi juga harus memperhatikan pengembalian
keuangan negara sebagai akibat perbuatan tersebut, karena korupsi selalu
menyangkut keuangan negara.
Pada hakekatnya, pengembalian kerugian keuangan negara
akibat tindak pidana korupsi sangat penting eksistensinya. Apabila dijabarkan
lebih sistematis maka ada beberapa argumentasi sebagai justifikasi teoritis,
dan praktis, mengapa pengembalian aset tindak pidana korupsi tersebut penting
eksistensinya dengan titik tolak.
Justifikasi Filosofis, Pada
aspek ini maka pengembalian aset tindak pidana korupsi dapat terdiri dari benda
tetap maupun benda bergerak atau dapat pula berupa uang hasil korupsi baik yang
berada di dalam negeri (Indonesia) maupun di luar negeri. Dari dimensi ini,
maka aset tersebut hakekatnya (secara
ontologi) merupakan uang negara in casu adalah berasal dari dana
masyarakat. Dengan menggunakan sarana/cara (secara epistemologi) pembalikan
beban pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku maka logikanya pelaku melakukan
pengembalian aset hasil korupsi yang diharapkan akan berdampak/manfaat langsung
untuk memulihkan keuangan negara atau perekonomian negara yang akhirnya
bermuara kepada kesejahteraan masyarakat (secara aksiologi).
Justifikasi Sosiologis, Dikaji dari perspektif ketentuan Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka aspirasi masyarakat untuk memberantas
korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat. Kenyataannya ada
perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar sehingga
berdampak pada timbulnya krisis di pelbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan
dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan
tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Selain
itu dengan adanya pemberantasan korupsi yang salah satunya melalui pengembalian
aset maka akan berdampak luas pada masyarakat. Konkretnya, masyarakat akan
melihat dan menilai kesungguhan dari penegak hukum tentang pemberantasan
korupsi dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (Presumption of innocent), asas kesamaan
kedudukan di depan hukum (Equality before
the law) dan asas kepastian hukum (legal
certainty). Selain itu, justifikasi sosiologis ini merupakan wujud nyata
dan peran serta kebijakan legislasi dan aplikasi untuk memberikan ruang gerak
lebih luas terhadap adanya kerjasama antara aparat penegak hukum dengan peran
serta masyarakat sebagaimana diamanatkan ketentuan Pasal 41 Undang-undang nomor
: 31 tahun 1999 (UU 31/1999) jo Undang-undang
nomor : 20 tahun 2001 (UU 20/2001). Peran serta masyarakat berkenaan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi dapat diwujudkan dalam bentuk : hak
mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana korupsi, hak untuk memperoleh pelayanan, serta hak untuk memperoleh
jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan, juga hak untuk
memperoleh perlindungan hukum.
Justifikasi Yuridis, Keberadaan
Ketentuan Undang-undang Pemberantasan Korupsi yang telah ada dan yang akan
diberlakukan dikemudian hari hendaknya memberikan ruang gerak dan dimensi lebih
luas baik bagi penegak hukum. Masyarakat dan segala lapisan untuk lebih lengkap
dalam menanggulangi akibat dan dampak dari perbuatan korupsi. Oleh karena itu
kebijakan legislasi memberikan ruang dalam pemberantasan korupsi dapat
dilakukan melalui tindakan kepidanaan dan tindakan keperdataan. Pada
hakikatnya, aspek pengembalian aset tindak pidana korupsi melalui prosedur
pidana dapat berupa penjatuhan pidana kepada pelakunya seperti pidana denda
maupun terdakwa dihukum untuk membayar uang pengganti, selain anasir itu maka
terhadap pengembalian aset tindak pidana korupsi dapat juga melalui gugatan
secara perdata di Pengadilan Negeri.
Berdasarkan amanat
TAP MPR nomor : XI/MPR/1998, tentang penyelenggaraan negara yang bersih
bebas dan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme yang selanjutnya dijabarkan dalam
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor : 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pembaharuan dari Undang-undang
Nomor 3 tahun 1971, juga United Nations
Conventions Againt Corruption yang telah diratifikasi menjadi Undang-undang
Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi Anti Korupsi (UU KAK).
Secara regulasi, keberadaan peraturan perundang-undangan
telah banyak memberikan penafsiran terhadap kerugian keuangan negara dan tata
cara pengembalian kerugian keuangan negara. Maka dengan demikian melalui
pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi akan diperoleh kejelasan sumber
harta benda dari pelaku tindak pidana korupsi serta bagaimana tata cara
pengembaliannya.
Disamping telah ditetapkan beberapa regulasi tentang
pemberantasan korupsi, dan dengan ditetapkan beberapa organ yang memiliki
kewenangan dan tugas untuk meneliti kerugian keuangan negara, sangat diharapkan
pengembalian keuangan negara akan lebih efektif. Menurut peraturan
perundang-undang yang berlaku, sarana yang dapat dilakukan yaitu melalui sarana
Penal dan sarana Non-penal.
Selanjutnya disampaikan beberapa contoh putusan
pengadilan tentang pengembalian kerugian keuangan negara :
- Mahkamah Agung RI. No. 682 K/Pid/2004, 28-11-2005 jo PT DKI No. 133/Pid/2003/PT.DKI,
29-12-2003 jo PN Jakarta Pusat
No. 1667/Pid.B/2002/PN.JKT.PST, 22-4-2003. Terdakwa H Probosutedjo telah menyalahgunakan Dana Reboisasi Departeman
Kehutanan dan perkebunan Putusan Mahkamah Agung RI : Membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi DKI No. 133/Pid/2003/PT.DKI, yang memperbaiki
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1667/Pid.B/2002/PN.JKT.PST,
mengadili sendiri menghukum terdakwa dengan Pidana penjara 4 tahun, dan
Denda Rp. 30.000.000,- dengan ketentuan apabila pidana denda tidak
dibayar, maka kepada terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana
kurungan selama 3 bulan. Serta membayar uang pengganti kepada negara cq.
Ke rekening Menteri Kehutanan dan Perkebunan sebesar Rp. 100.931.585.000,-
- PN Jakarta
Pusat No. 1032/Pid.B/2001/PN.JKT.PST, 22-32002. Terdakwa Hendra Rahardja diduga melakukan
tindak pidana pencucian uang di Sydney, Australia, uang yang diduga
berasal dari hasil tindak pidana yang dilakukan di Indonesia. Bank Harapan
Santosa (BHS) adalah salah satu bank swasta nasioal Indonesia yang
sahamnya dimiliki oleh keluarga Rahardja. Sejak 1996 BHS selalu dinyatakan
kondisi baik dan sehat, pada Nopember 1997 pemerintah mengumumkan 16 bank
swasta nasional yang dihentikan pengoperasiannya (likuidasi) dan BHS
termasuk salah satunya. Hendra Rahardja saat itu menjabat sebagai
Komisaris sekaligus pemegang saham mayoritas. Hendra Rahardja tidak
ditahan dan dengan mengantongi Surat Pernyataan release and discharge kemudian berangkat ke Sydney, Australia
dan bermukin disana. Sejak likuidasi BHS diumumkan oleh pemerintah sampai
tahun berikutnya, proses audit terhadap aset dan tanggung jawab BHS maupun
audit terhadap aset dan tanggung jawab pemilik BHS belum selesai
dilakukan. Sebagian harta kekayaan BHS maupun harta kekayaan pemegang
saham disita oleh Bank Indonesia Putusan
PN Jakarta Pusat : Pidana penjara Seumur hidup Berdasarkan
ketentuan-ketentuan pengembalian aset yang berlaku yang dilakukan dalam
kasus lelang aset Hendra Rahardja dan/atau BHS tidak mencerminkan
pelaksanaan pengembalian aset secara maksimal dan patut diduga tidak
menghasilkan pengembalian aset yang optimal bagi negara.
Rumusan masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan maka
dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai issu sentral sebagai berikut, yaitu
kerugian keuangan negara serta
pengembalian kerugian keuangan
negara dalam tindak pidana korupsi suatu kajian yuridis
Keuangan
Negara
Sebelum membahas mengenai pengembalian kerugian keuangan
negara menurut peraturan perundang-undangan, dirasa perlu untuk mengetahui
batasan tentang keuangan negara. Menurut pandangan para ahli dan menurut
peraturan perundang-undangan.
Keuangan negara
menurut beberapa pandangan para ahli antara lain seperti M Achwan, berpendapat bahwa keuangan negara adalah rencana kegiatan
secara kuantitatif (dengan
angka-angka diantaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan
dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun mendatang.[1]
Menurut Goedhart, keuangan
negara merupakan keseluruhan Undang-undang yang ditetapkan secara periodik yang
memberikan kekuasaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode
tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup
pengeluaran tersebut.[2]
Sedangkan menurut pendapat van der Kemp, keuangan negara adalah semua hak yang dapat dinilai
dengan uang, demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang maupun barang) yang
dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan hak-hak tersebut. Pengertian
keuangan negara dari van der kemp ini dinilai mendekati dengan pengertian
keuangan negara yang pernah direkomendasikan dalam seminar ICW di jakarta pada
tanggal 30 Agustus s/d 5 September 1970. berdasarkan rekomendasi seminar ICW
bahwa pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang dan segala sesuatu,
baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.[3]
Pendapat Hamid S
Attamimi, difinisi keuangan negara tidak hanya apa yang diatur APBN saja,
tetapi secara meluas yang mencakup di dalamnya keuangan Daerah, BUMN, dan BUMD.
Dengan demikian pengertian keuangan negara yang didefinisikan ini merupakan
keuangan negara yang diperluas terhadap objek maupun sumber asal keuangan
negara tersebut, dan pada dasarnya BPK sangat menyetujui dan sependapat dengan
pendapat Hamid S Attamimi.
Menurut Arifin P.
Soeria Atmadja, untuk memahami definisi keuangan negara harus melihat tiga
penafsiran dari Pasal 23 UUD 1945 sebagai landasan Konstitusional keuangan
negara. Penafsiran pertama, adalah :
”.... pengertian keuangan negara
diartikan secara sempit, dan untuk itu dapat disebutkan sebagai keuangan negara
dalam arti sempit, yang hanya meliputi keuangan negara yang bersumber pada
APBN, sebagai suatu sub-sistem dari suatu sistem keuangan negara”. Yaitu semua
aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR setiap
tahunnya, sehingga APBN merupakan deskriptif dari keuangan negara dalam arti
sempit yang menyebabkan pengawasan terhadap APBN juga merupakan pengawasan
terhadap keuangan negara.[4]
Penafsiran kedua, menyangkut
metode sistematik dan historis yang menyatakan : ”..... keuangan negara dalam
arti luas, yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN,
BUMD, dan pada hakekatnya seluruh harta ke kayaan
negara sebagai suatu sistem keuangan negara.....”. dalam pemahaman ini makna
keuangan negara merupakan segala sesuatu kegiatan atau aktifitas yang berkaitan
erat dengan uang yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk
kepentingan publik. Pemahaman tersebut kemudian lebih diarahkan pada duan hal,
yaitu kepada hak dan kewajiban negara yang timbul dari makna keuangan negara. Hak dalam hal ini, ialah hak
menciptakan uang, hak mendatangkan hasil, hak melakukan pungutan, hak meminjam,
dan hak memaksa, dan kewajiban adalah
kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat, dan
kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga berdasarkan hubungan hukum atau
hubungan hukum khusus.
Penafsiran ketiga, dilakukan
melalui pendekatan sistematik dan teleologis atau sosiologis terhadap keuangan
negara yang dapat memberikan penafsiran yang relatif lebih akurat sesuai dengan
tujuanya. Maksudnya adalah ”apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut
dimaksudkan untuk pengertian keuangan negara tersebut adalah sempit. Selanjutnya apabila
pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara penafsiran sistematis dan
teleologis untuk mengetahui sistem pengawasan atau pemeriksaan
pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termasuk di dalamnya
keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN/D dan pada hakekatnya seluruh
kekayaan negara merupakan obyek pemeriksaan dan pengawasan.
Penafsiran ketiga ini tampak lebih esensial dan dinamis
dalam menjawab berbagai perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Penafsiran
ini akan sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini yang menurut adanya
kecepatan tindakan dan kebijakan, khususnya dari pemerintah, baik yang
berdasarkan atas hukum (rechtshandeling) maupun
yang berdasarkan atas fakta (fietelijke
handeling) dapat dilihat juga dalam penafsiran ketiga ini betapa ketat
perumusan keuangan negara dalam aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya.[5]
Sedangkan keuangan negara menurut peraturan
perundang-undangan adalah meliputi Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 sebagai landasan
konstitusional tentang keuangan negara menyatakan bahwa ”Anggaran Pendapatan
dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan Undang-undang. Apabila Dewan
Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah,maka
pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu”. Sedangkan Pasal 23 ayat (4)
UUD 1945 menyatakan ”hak keuangan negara selanjutnya diatur dengan
Undang-undang”.
Pasal 1 angka 1
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa
keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Penjelasan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yang dimaksud dengan Keuangan
Negara adalah seluruh kekayaan negara
dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk
didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang
timbul karena :
a.
berada
dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara,
baik di tingkat pusat maupun di daerah ;
b.
berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, Yayasan, badan
hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Demikian pengertian keuangan negara sebagai batasan akan
arti keuangan negara, selanjutnya akan membahas mengenai apa yang dimaksud
dengn kerugaian keuangan negara.
Kerugian
keuangan negara
Kerugian negara bukanlah kerugian dalam pengertian
didunia perusahaan/perniagaan, melainkan suatu kerugian yang terjadi karena
sebab perbuatan (perbuatan melawan hukum). Kerugian keuangan negara dapat
terjadi pada 2 tahap, yaitu pada tahap Dana akan masuk pada Kas Negara dan pada
tahap dana akan keluar dari kas Negara. Pada tahap dana yang akan masuk ke kas
negara kerugian bisa terjadi melalui : konspirasi Pajak, konspirasi pembayaran
pidana denda, konspiran pelaksanaan pidana tambahan (pengembalian kerugian
negara) dan Penyelundupan. Sedangkan pada tahap dana akan keluar dari kas
negara kerugian terjadi akibat : Mark Up,
Korupsi, pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan program dan
lain-lain.
Ada beberapa cara terjadinya kerugian keuangan negara
menurut Yunus Husein, yaitu kerugian
negara yang terkait dengan berbagai transaksi : transaksi barang dan jasa,
transaksi yang terkait dengan utang-piutang, dan transaksi yang terkait dengan
biaya dan pendapatan.[6]
Penentuan kerugian keuangan negara dalam tindak pidana
korupsi dilakukan dalam pemeriksaan oleh BPK dan BPKP yaitu kerugian keuangan
negara yang senyatanya.
Adapun unsur-unsur yang berkenaan dengan pengertian
kerugian keuangan negara menurut UU PTPK terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU
PTPK.
Pasal 2 ayat (1)
menyatakan ”setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian......” (garis bawah oleh
penulis), sedangkan Pasal 3 UU PTPK
menyatakan bahwa ” setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.......” (garis bawah
oleh penulis).
Pada pasal 2 dan pasal 3 UU PTPK sama-sama menyatakan
bahwa perbuatannya tersebut ”yang dapat merugikan keuangan negara dan
perekonomian negara”, dengan kata ”dapat” sebelum kata merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa kerugian keuangan negara
atau perekonomian negara bukanlah merupakan hal yang essentialia artinya kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara tidak merupakan unsur yang mutlak, sehingga tidak perlu dibuktikan
secara objektif. Akibatnya berupa keuangan negara atau perekonomian negara
hanya merupakan accidentalia atau hal
yang kebetulan.
Kata ”dapat” ini juga menunjukkan delik dalam Pasal 2 dan
Pasal UU PTPK merupakan delik formil,
artinya delik sudah dianggap selesai apabila dipenuhinya unsur perbuatan yang
dirumuskan tanpa melihat adanya akibat. Kalau toh ada akibat itu hanya hal yang
kebetulan saja. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 4 UU PTPK yang menyetakan
bahwa ”pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 3”
Dari Pasal 4 UU PTPK ini merupakan penegasan bahwa
pengembaian keuangan negara atau perekonomian negara oleh pelaku tindak pidana
korupsi tidak menghapuskan dapat dipidananya si pelaku, sekaligus juga
merupakan jawaban atas pendapat yang berkembang dalam masyarakat bahwa apabila
si pelaku tindak pidana korupsi sudah mengembalikan uang yang dikorupsi, maka
kerugian negara sudah tidak ada dan perbuatannya tidak bersifat melawan hukum.
Faktor pengembalian keuangan negara hanya dijadikan salah satu faktor yang
meringankan pidana.[7]
Kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur dalam
tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 dan Pasak 3 UU PTPK, sebagai akibat dari
perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain secara melawan hukum .
sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara dalam Bab I Ketentuan Umum, yang dimaksud dengan Kerugian Negar/Daerah
adalah : ”berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun
lalai”.
Pengembalian
kerugian keuangan negara
Setelah mengetahui mengenai keuangan negera dan kerugian
keuangan negara yang merupakan delik formil dalam tindak pidana korupsi, lalu
pertanyaan berikutnya adalah apakah pengembalian kerugian keuangan negara tidak
diperlukan lagi ? untuk membahas hal ini perlu diketahui mengenai pengaturan
dari beberapa peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi menganai pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi, yang
masih mendapat porsi yang sangat besar karena melalui pengembalian kerugian
negara akibat korupsi atau Pemulihan keuangan negara diharapkan dapat meningkatkan
kesejahtaraan masyarakat.
Pengembalian kerugian keuangan negara menurut UU PTPK
dapat melalui jalur Perdata dan jalur pidana. Pengembalian kerugian keuangan
negara (Aset Recovery) melalui jalur
perdata, seperti terdapat pada :
Pasal 32 ayat (1) UU PTPK yang menyatakan bahwa
”dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur TPK
tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan
tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau
diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan”. Pada Ayat
(2) menyatakan bahwa ”Putusan Bebas dalam perkara TPK tidak menghapus hak untuk
menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
Juga Pasal 33 ”Dalam
hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan
berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau
diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata
terhadap ahli warisnya”
Demikian juga Pasal
34 UU 20/2001 ”Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat sidang
pengadilan, sedang secara nyata telah ada kerugian negara maka Penuntut Umum
segera menyerahkan salinan berkas sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara
atau instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli
warisnya.
Sedangkan pengembalian Kerugian Keuangan Negara melalui
jalur pidana adalah melalui proses Penyitaan
dan Perampasan.
Didalam persidangan pengembalian kerugian keuangan Negara, Hakim disamping
menjatuhkan pidana Pokok juga dapat menjatuhkan pidana Tambahan berupa :
1.
Perampasan
barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana serta harga dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut. (Pasal 18 ayat
(1) huruf a UU 31/99 jo UU 20/2001) ;
2.
Pembayaran
uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi (Pasal
18 ayat (1) huruf b, ayat (2), (3) UU 31/99 jo UU 20/2001).
3.
Pidana
Denda, UU PTPK mempergunakan perumusan sanksi pidana bersifat kumulatif (pidana penjara dan atau
pidana denda), Kumulatif-alternatif (pidana
penjara dan atau pidana denda), dan perumusan pidana lamanya sanksi pidana
bersifat Determinate sentence.
4.
Penetapan
perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia (Peradilan In absentia) sebelum putusan
dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah melakukan
tindak pidana korupsi.(Pasal 38 ayat
(5), (6), (7) UU 31/99 jo UU 20/2001)
5.
Putusan
perampasan harta benda untuk Negara dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan
bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi yang
dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum saat membacakan tuntutan daam perkara pokok (Pasal 38 ayat (2), (3) UU 31/99 jo UU
20/2001).
Pengembalian kerugian keuangan Negara juga diatur
dalam United Nation Convention Againt
Corruption/UNCAC yang telah diratifikasi menjadi Undang-undang Nomor 7
tahun 2006 tentang Konvensi Anti Korupsi (UU KAK).
Pada UU KAK maka pengembalian aset dapat dilakukan
malalui jalur pidana (asset recovery
secara tidak langsung melalui criminal
recovery) dan jalur perdata (asset
recovery secara langsung melalui civil
recovery). Aset recovery langsung
melalui civil recovery dilakukan
melalui gugatan perdata terhadap pemilik harta kekayaan yang diduga berasal
dari tindak pidana korupsi dan harta benda tersebut ditempatkan di negara lain.
Romli
Atmasasmita menyebutkan gugatan semacam ini
sudah tentu memerlukan bantuan negara setempat yang telah terbukti memerlukan
biaya relatif besar, seperti halnya gugatan atas kekayaan mantan Presiden Marcos
di Swiss yang berakhir dengan ”perdamaian” antara pemerintahan Filipina dan
Imelda Markos. Khusus terhadap jalur hukum pidana yaitu aset recovery secara
tidak langsung maka proses pengembalian aset lazimnya melalui 4 (empat)
tahapan, yaitu : Pertama, pelacakan
aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi aset, bukti kepemilikan aset, lokasi
penyimpanan aset dalam kapasitas hubungan dengan delik yang dilakukan. Kedua, pembekuan atau perampasan aset
dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf f UU KAK
aspek ini ditentukan meliputi larangan sementara untuk menstranfer,
mengkonversi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara
menanggung beban dan tanggung jawab mengurus dan memelihara serta mengawasi
kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain
yang berkompeten. Ketiga, penyitaan
aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf g UU KAK diartikan sebagai pencabutan
kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain
yang berkompeten. Keempat, pengembalian
dan penyerahan aset-aset kepada negara korban.[8]
Selanjutnya, pada UU KAK pengembalian aset pelaku
tindak pidana korupsi dapat melalui pengembalian secara langsung melalui proses
pengadilan yang dilandaskan kepada sistem ”negotiation
plea” atau plea bargaining system”, dan
melalui pengembalian secara tidak langsung yaitu melalui proses penyitaan
berdasarkan keputusan pengadilan (Pasal 53 s/d 57 UU KAK). Pengembalian aset
melalui proses pengadilan yang dilandaskan kepada sistem ”negotiation plea” atau ”plea
barganing system” hakekatnya merupakan polarisasi yang dikenal dalam sistem
common law. Eksisitensi sistem ”negotiation plea” atau ”plea bargaining system” erat hubungannya
dengan Sistem Peradilan Pidana khususnya di Amerika Serikat dengan ”adversary system” atau ”accusatorial system”.
Mengenai pengembalian kerugian keuangan Negara
akibat tindak pidana korupsi dengan menggunakan system negosiasi (plea bargaining system) menurut penulis
masih diperlukan mekanisme dan lembaga yang berkompeten mewakili Negara
Indonesia untuk melakukan negosiasi tersebut sesuai dengan UUD 1945.
Prinsip pengembalian asset diatur dalam ketentuan
Pasal 51 UU KAK yang mengatakan bahwa : “pengembalian asset-aset menurut bab
ini merupakan suatu prinsip yang mendasar dari konvensi ini, dan Negara-negara
peserta wajib saling memberi kerjasama dan bantuan yang seluas-luasnya mengenai
hal ini”
Konvensi ini juga mengatur mengenai kewajiban
Negara-negara peserta, termasuk Indonesia untuk memungkinkan tiga hal, yaitu :
a.
Negara
peserta lain mengajukan gugatan perdata di pengadilan Indonesia (Pasal 53 ayat
(1) UU KAK) ;
b.
Orang-orang yang telah melakukan tindak pidana
korupsi untuk membayar kompensasi atau ganti rugi pada negara Peserta lain yang
telah dirugikan atas tindak pidana korupsi itu dan dananya dilarikan atau
dilakukan pencucian di Indonesia (Pasal 53 ayat (2) UU KAK) ;
c.
Mengembalikan
kekayaan yang telah disita oleh badan yang berkompetan di Indonesia kepada
Negara Peserta lain (yang mengajukan permintaan (Pasal 57 ayat (2) UU KAK)
Dengan demikian kita telah mengetahui beberapa hal
mengenai pengembalian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia baik secara Kepidanaan
dan secara keperdataan serta melalui Negosiasi (plea barganing system). Sehingga diharapkan kepada pelaku tindak
pidana korupsi dan petugas yang mengemban fungsi tersebut (eksekutor) supaya
dapat melaksanakan pengembalian kerugian keuangan negara secara baik dan
konsekuen, agar Negara dapat
dimanfaatkan dana pengembalian akibat tindak pidana korupsi untuk kesejahteraan
rakyatnya
Penutup
Dari pembahasan yang dilakukan terhadap permasalahan maka
dapat diambil suatu simpulan dari pembahasan sebagai berkut : bahwa kerugian
keuangan negara walaupun bukan merupakan suatu unsur dalam menentukan suatu
tindak pidana korupsi atau dengan kata lain bahwa penentuan perbuatan melawan
hukum dalam tindak pidana korupsi tanpa harus dibuktikan apakah telah terjadi
keugian keuangan negara, namun kerugian keuangan negara akibat tindak pidana
korupsi harus dilakukan karena pengembalian kerugian keuangan negara telah
diatur dalam UU PTPK, sehingga dengan pemulihan kerugian keuangan negara (asset recovery) diharapkan memberikan
manfaat bagi kesejahteraan rakyat.
Dari kesimpulan tersebut penulis memberikan saran sebagai
rekomendasi atas pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara agar pejabat
yang bertugas atau berfungsi untuk melaksanakan pengembalian kerugian keuangan
negara harus berfikiran bahwa dalam tindak pidana korupsi, Negara adalah korban
yang harus dilindungi dan dipulihkan, sehingga dengan demikian pelaksanaan
pengembalian keurugian keuangan negara dapat berjalan maksimal.
DAFTAR BACAAN
Nyoman serikat Putra Jaya, Tindak
Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia, Badan penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2005.
Soeria Atmadja, Arifin, Keuangan
Publik Dalam Perspektif Hukum : Teori, Praktik, dan Kritik, Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Tjandra, W Riawan, Hukum Keuangan
Negara, Grasindo, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006.
Wijaya, Gunawan, Pengelolaan Harta
Kekayaan Negara Suatu Tinjauan Yuridis, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2002.
Peraturan perundang-undangan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara
Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4287)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3874)
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang
ersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851)
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150)
Undang-undang
Nomor : 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nation Convention Againt Corruption (UNCAC) tahun 2003
Lain-lain
Atmasasmita, Romli, Pengembalian Aset
Korupsi : Masukan Konvensi International Anti Korupsi 2008, Seputar Indonesia, Senin 13 Agustus
2007.
A Djoko Sumaryanto, Pembalikan Beban
Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka Pengembalian Kerugian Kauangan
Negara, Ringkasan Disertasi, Program
Pascasarjana, Universitas Airlangga Surabaya, 2008.
Basuki, Kunthoro, Pengembalian Aset
Negara Dalam Perspektif Hukum Perdata, Seminar Pengkajian Hukum Nasional :
Pengembalian Aset (Asseta Recovery) Melalui
Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR)
Initiatve, dan Perundang-undangan Indonesia, Jakarta, 28 Nopember 2007.
Husein, Yunus, Kerugian Negara dalam
Tipikor, Seputar Indonesia, 28
Mei 2008.
Rahayu Hartini, Kepailitan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Persero,
Ringkasan Disertasi, Program
Pascasarjana, Universitas Airlangga Surabaya, 2010.
Supadmo Ika Iskandar, Prinsip
Pengembalian Kauangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan
Perdata, Ringkasan Disertasi, Program
Pascasarjana, Universitas Airlangga Surabaya, 2008.
[1] W Riawan
Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Grasindo,
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 1.
[2] Ibid.
[4] Arifin P.
Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum : Teori, Praktik, dan Kritik, Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
[5]
Rahayu Hartini, Kepailitan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Persero, Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas
Airlangga Surabaya, 2010, hal. 148.
[7]
Nyoman Serikat PJ, Tindak
Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia, Badan penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2005, hal. 6.
[8] Romli Atmasasmita, Pengembalian Aset Korupsi : Masukan Konvensi
International Anti Korupsi 2008, Seputar Indonesia 13 Agustus 2007, hal. 7.
Menarik programnya
BalasHapus