PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN
DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI
Abstrak
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diperbarui dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
selanjutnya disebut: Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disingkat UUPTPK, tidak memberikan
penjelasan secara jelas terhadap unsur “penyalahgunaan kewenangan” pada Pasal 3
UUPTK. Ketidakjelasan dalam menentukan
konsep dan parameter unsur “penyalahgunaan kewenangan” menimbulkan terjadinya
keragaman penafsiran putusan pengadilan mengenai konsep dan parameter unsur
“penyalahgunaan kewenangan” karena tidak adanya batasan yang jelas.
Kata Kunci: penyalahgunaan kewenangan,
korupsi.
Abstract
Act
Number 31 of 1999 as amanded by Act Number 20 of 2001 on Eradiction of The
Corruption Crime, furthermore called as : Act of Eradiction of The Corruption
Crime, abbreviated as UUPTPK, didn’t giving the explicit explanation to it’s
element wit-hin the act itself namely “abuse of authority”on the 3rd Article of UUPTPK. This
obscurity on the determining the concept
and parameter of the element called “abuse of authority” has raise so many
diversity in interpretating the court decision caused by the vagueness of the
boundaries on the element called “abuse
of authority”.
Keyword: abuse
of authority, corruption.
Pendahuluan
Tindak
pidana korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang dapat menyentuh
berbagai kepentingan, yang menyangkut hak asasi, ideologi negara, perekonomian,
keuangan negara, moral bangsa dan lain sebagainya, tidak heran jika tindak
pidana korupsi cukup banyak mengundang perhatian masyarakat.[2]
Reformasi sudah bergulir sejak jatuhnya rezim orde baru, dan sejak saat itu
pula desakan demokratisasi dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme
sudah bergema, namun penanganan masalah korupsi belum juga mengalami kemajuan
yang signifikan.
Salah
satu sisi kelebihan orde reformasi dibandingkan dengan orde baru ialah
banyaknya pembaruan hukum, antara lain pembaruan hukum pidana khusus mengenai
korupsi. Ketentuan pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku sekarang
ini adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
(Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4150) Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut: Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, disingkat UUPTPK. Alasan diadakannya perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dapat diketahui dari konsiderans butir b
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu :
a)
Untuk lebih
menjamin kepastian hukum;
b)
Menghindari keragaman penafsiran hukum;
c)
Memberikan
perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta ;
d)
Perlakuan secara
adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Perubahan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
diharapkan lebih mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara efektif setiap bentuk
tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.[3]
Masalah korupsi
di Indonesia dari tahun ke tahun tidak pernah lepas dari pembicaraan dan
perdebatan termasuk usaha-usaha untuk memperbaiki perundang-undangan yang
mengaturnya (in casu : peraturan
perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi). Negara Indonesia adalah
negara hukum, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat, lebih lanjut asas
legalitas (principle of legality)
mengamanatkan bahwa penegakan hukum (law
enforcement) harus didasarkan pada aturan perundang-undangan yang tertulis.
Asas legalitas (principle of legality)
ini diatur dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), yang menyatakan: “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulisan ini akan
melakukan kajian mengenai batasan penyalahgunaan kewenangan sebagai perbuatan
melawan hukum dalam tindak pidana korupsi, khususnya mengenai karakter
penyalahgunaan kewenangan sebagai unsur (element)
dalam tindak pidana korupsi, dan juga mengenai pembuktian unsur penyalahgunaan
kewenangan dalam tindak pidana korupsi.
Analisa Hukum
A.
Sifat
Perbuatan Melawan Hukum
Sifat melawan hukum ini dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu sifat
melawan hukum materiil dan sifat melawan hukum formil.
1.
Sifat
Melawan Hukum Materiil
Suatu
perbuatan dikatakan melawan hukum secara materiil apabila perbuatan tersebut
dipandang tercela dalam suatu masyarakat, sehingga ukurannya bukan didasarkan
pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu perundang-undangan, akan tetapi
ditinjau dari nilai yang ada dalam masyarakat.[4]
Pengertian sifat melawan hukum materiil dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) macam sebagai berikut :
a).
Pengertian sifat
melawan hukum dalam arti positif, yakni suatu pelanggaran terhadap asas
legalitas sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 ayat (1) KUHP, artinya meskipun
suatu perbuatan secara materiil merupakan perbuatan melawan hukum, namun
demikian apabila tidak terdapat aturan tertulis dalam perundang-undangan
pidana, perbuatan tersebut tidak dapat dipidana ;
b).
Pengertian sifat
melawan hukum materiil dalam arti negatif ialah suatu perbuatan yang “rechmatig” dan dikatakan sebagai alasan
pembenar yang tumbuh di luar undang-undang serta berasal dari ilmu hukum.[5]
2.
Sifat
Melawan Hukum Formil
Pengertian sifat melawan hukum formil ialah setiap
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan yang tertulis saja,
sehingga setiap perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan
dengan undang-undang (wet) saja,
karena hukum dipandang sama dengan undang-undang, dengan demikian, apabila
seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan (tertulis), maka
perbuatannya telah bersifat melawan hukum, dan oleh karenanya si pelaku (dader strafrecht) dapat dipidana.[6]
Sifat melawan hukum formil (formale wederrechtelijkeheid) adalah merupakan unsur dari hukum
positif yang tertulis saja, sehingga baru dapat dikatakan merupakan unsur dari
tindak pidana apabila dengan tegas disebutkan dalam rumusan tindak pidana.[7]
B.
Korupsi Dalam Tata Aturan Hukum di Indonesia
Istilah tindak pidana korupsi pertama kalinya di Indonesia baru terdapat
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 24 Tahun 1960
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Peperpu tersebut dahulu sering
di sebut dengan Peraturan Pemberantasan Korupsi 1960, yang berfungsi sebagai
perangkat hukum pidana tentang korupsi yang menggantikan Peraturan Kepala Staf
Angkatan Darat No. Prt/Peperpu/013/1858. UU No. 1 Tahun 1960 akhirnya menetapkan Peperpu No. 24 Tahun 1960 menjadi
UU No. 24/Prp/1960. Undang-undang
ini merupakan undang-undang hukum pidana khusus pertama di Indonesia tentang
tindak pidana korupsi yang bersifat definitif,
yang pada saat itu lebih dikenal dengan sebutan “undang-undang antikorupsi”.
Pada tanggal 29 Maret 1971
diundangkan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagai pengganti UU No. 24/Prp/1960. Pada tanggal 16 Agustus 1999 pemerintah kembali
mencoba menyempurnakan undang-undang korupsi yang telah ada sebelumnya dengan
mengundangkan UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang akhirnya pada tanggal 21 Nopember
2001 diperbarui dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK).
C.
Batasan Penyalahgunaan Kewenangan Sebagai Perbuatan
Melawan Hukum
Perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan “melawan hukum”
apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
(melawan hukum formil) atau bertentangan dengan nilai kepatutan dan keadilan
masyarakat (melawan hukum materiil). Sedangkan mengenai unsur “penyalahgunaan
kewenangan”, berdasarkan kajian baik terhadap UUPTPK maupun doktrin hukum
pidana, sama sekali tidak terdapat definisi atas konsep penyalahgunaan
kewenangan beserta parameter yang dapat dipergunakan untuk melakukan penilaian
apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai “penyalahgunaan kewenangan”
atau bukan.
Pencantuman kedua unsur, melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan dalam
UUPTPK menimbulkan ketidakjelasan dalam menentukan konsep dan parameter unsur
“penyalahgunaan kewenangan”. Penilaian sah tidaknya suatu keputusan tata usaha
negara dalam hukum administrasi dilakukan dengan penelaahan terhadap
keterkaitan peraturan perundang-undangan (gelede
of getrapt normstelling) atau norma berjenjang.[8]
Sedangkan dalam hukum pidana, penentuan apakah suatu perbuatan merupakan
perbuatan pidana atau bukan, harus didasarkan pada asas legalitas. Tidaklah
tepat apabila menyatakan suatu perbuatan patut dipidana dengan mendasarkan pada
perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan, yang lebih tepat adalah
melanggar undang-undang dan peraturan daerah (Vide : Pasal 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).[9]
D.
Karakter Penyalahgunaan Kewenangan Dalam Tindak Pidana
Korupsi
Pada dasarnya, penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter
atau ciri sebagai berikut:
1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian
kewenangan.
Setiap pemberian kewenangan kepada suatu badan atau kepada pejabat
administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan maksud” atas
diberikannya kewenangan tersebut, sehingga penerapan kewenangan tersebut harus
sesuai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya kewenangan tersebut. Dalam hal
penggunaan kewenangan oleh suatu badan atau pejabat administrasi negara
tersebut tidak sesuai dengan “tujuan dan maksud” dari pemberian kewenangan,
maka pejabat administrasi Negara tersebut telah melakukan penyalahgunaan
kewenangan (detournement de power).
2. Menyimpang dari
tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas.
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan
pemerintahan, terutama dalam sisitem hukum kontinental. Pada negara demokrasi
tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara formal
tertuang dalam undang-undang.
3. Menyimpang dari
tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik.
Asas-asas hukum yang dipakai untuk menilai kekuasaan
bebas atau kekuasaan diskresi tersebut masih dalam koridor “rechtmatigheid” atau dengan berpedoman pada “Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur” (ABBB), dalam
kepustakaan Indonesia diartikan sebagai “Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik”
(AAUPB).[10]
Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara dalam Pasal 3
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme meliputi : (1). Asas
Kepastian Hukum; (2). Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; (3). Asas Kepentingan
Umum; (4). Asas Keterbukaan; (5). Asas Proposionalitas; (6). Asas
Profesionalitas; dan
(7). Asas Akuntabilitas.
E.
Hakekat
Penyalahgunaan Kewenangan.
Indriyanto Seno Adji, dengan mengutip
pendapat Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “freis ermessen”, memberikan pengertian
mengenai penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat diartikan
dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:[11]
1. penyalahgunaan
kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau
golongan;
2. penyalahgunaan
kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan
untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan
oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
3. penyalahgunaan
kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan
untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar
terlaksana.
Pada
hakekatnya penyalahgunaan kewenangan sangat erat kaitan dengan terdapatnya
ketidaksahan (cacat yuridis) dari suatu keputusan dan atau tindakan
pemerintah/penyelenggara negara. Sadjijono,
dengan menyitir pendapat Phlipus M.
Hadjon mengemukakan bahwa cacat yuridis keputusan dan atau tindakan
pemerintah/penyelenggara negara pada umumnya menyangkut tiga unsur utama, yaitu
unsur kewenangan, unsur prosedur dan unsur substansi, dengan demikian cacat
yuridis tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan dalam tiga macam,
yakni : cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat substansi.[12]
Ketiga hal tersebutlah yang menjadi hakekat timbulnya penyalahgunaan
kewenangan.
F.
Pembuktian Unsur Penyalahgunaan Kewenangan Dalam Tindak
Pidana Korupsi.
Delik penyalahgunaan kewenangan dalam tindak pidana korupsi diatur dalam
Pasal 3 UUPTPK, yang dirumuskan secara formil dan materiil.
Istilah
“melanggar hukum” (onrechtmatigedaad)
biasanya dipergunakan dalam ranah hukum perdata, sedangkan “melawan hukum” (wederrechtelijkheid) dipergunakan dalam ranah hukum pidana. Pada
hukum pidana, unsur “melawan hukum” (wederrechtelijkheid)
dibatasi oleh asas legalitas, sedangkan “melanggar hukum” (onrechtmatigedaad) mempunyai cakupan
yang lebih luas, tidak terbatas pada “written
law” tetapi juga “unwritten law” atau“the living law”.[13]
Pada UUPTPK,
pengertian unsur melawan hukum meliputi melawan hukum formil dan melawan hukum
materiil. Penyalahgunaan kewenangan merupakan salah satu bentuk onrechtmatigedaad. Penyalahgunaan
kewenangan merupakan “species” dari “genus”-nya (onrechtmatigedaad). Unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” dan unsur “dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi” adalah
bagian inti delik (bestanddelen delict) karena
tertulis dalam rumusan delik, oleh karenanya menjadi elemen delik. Berbeda
halnya dengan unsur “melawan hukum” (wederrechtelijk),
tidak secara ekplisit ditentukan sebagai unsur delik dalam Pasal 3 UUPTPK,
namun meskipun tidak secara ekplisit ditentukan dalam rumusan delik, unsur
“melawan hukum”, tersebut tetap ada secara diam-diam, sebab terhadap suatu
delik pasti selalu terdapat unsur “melawan hukum”.
Berikut ini
akan diuraikan secara lebih rinci terhadap masing-masing unsur Pasal 3 UUPTPK.
1.
Unsur
Setiap Orang
Subyek hukum
tindak pidana dalam rumusan Pasal 3 UUPTPK disebutkan sebagai setiap orang, yang oleh Pasal 1 butir 3
UUPTPK ditegaskan terdiri atas orang
pribadi dan suatu korporasi,
namun demikian karena korporasi merupakan subyek hukum rechtspersonen yang tidak mungkin memiliki jabatan atau kedudukan
seperti halnya subyek hukum orang (natuurlijke
personen), menurut Adami Chazawi,
korporasi tidak mungkin dapat menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, mengingat hal itu tidak
dimilikinya.[14] Subyek
hukum yang dapat memiliki jabatan dan kedudukan hanyalah subyek hukum orang.
Berbeda halnya dengan tindak pidana memperkaya diri yang dirumuskan dalam Pasal
2 UUPTPK yang dapat dilakukan oleh suatu korporasi, jadi tidak semua tindak
pidana korupsi dalam UUPTPK dapat dilakukan oleh suatu korporasi, meskipun
secara tegas Pasal 1 butir 3 UUPTPK menyebutkan bahwa setiap orang itu meliputi
orang pribadi dan korporasi.
Istilah yang
lazim dipakai dalam perundang-undangan pidana maupun KUHP adalah kata
“barangsiapa” (teks KUHP, UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi), yang merupakan salinan dari kata “Hij, die” (vide: Wet Boek
van Strafrecht), yang memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan
“setiap orang” atau “barangsiapa” ialah “orang” atau “orang-orang” yang apabila
“orang” atau “orang-orang” tersebut terbukti memenuhi unsur-unsur delik yang
diatur dalam pasal yang disangkakan/didakwakan kepadanya, maka “orang” atau
“orang-orang” itu disebut sebagai “pelaku” atau “pembuat dari delik” tersebut (dader strafrecht), namun demikian
ketentuan pasal 44 ayat (1) KUHP
menegaskan: “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau
sakit berubah akal”. Ketentuan ini memperjelas bahwa “orang/orang-orang” yang
dapat disebut sebagai pelaku adalah bukan “orang/orang-orang” yang cacat jiwa
dalam tubuhnya (gebruik leige ont
wikkeling) atau terganggu karena penyakit (zeekelijke storing).
2.
Unsur Perbuatan Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri
atau Orang Lain atau Suatu Korporasi
Unsur “menguntungkan diri sendiri” dalam pasal ini adalah sama pengertian
dan penafsirannya dengan “menguntungkan diri sendiri” yang tercantum dalam Pasal
378 KUHP, meskipun tidak ada unsur “melawan hukum”, akan tetapi unsur tersebut
ada secara diam-diam, sebab terhadap suatu delik selalu ada unsur “melawan
hukum”, sedangkan pengertian “menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum”
berarti menguntungkan diri sendiri tanpa hak.
Unsur “tujuan (doel)” tidak
berbeda artinya dengan “maksud” atau
“kesalahan sebagai maksud (opzet als
oogmerk)” atau “kesengajaan”
dalam arti sempit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 KUHP, 369 KUHP dan pasal
378 KUHP. Unsur “orang lain” meliputi istri, anak, cucu dan kroni-kroninya,
sedangkan unsur “korporasi” adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Korporasi ini
suatu kegiatan ekonomi yang luas, baik untuk tujuan tertentu ataupun tujuan
keuntungan.
3.
Unsur Perbuatan Menyalahgunakan Kewenangan karena Jabatan
atau Kedudukan
Delik inti dari Pasal 3 UUPTPK adalah “menyalahgunakan kewenangan”. Suatu dakwaan tindak pidana yang dikaitkan dengan
unsur/elemen “kewenangan” atau “jabatan” atau “kedudukan”, maka dalam mempertimbangkannya
tidak dapat dilepaskan dari aspek hukum administrasi negara yang memberlakukan
prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), yang harus
dipisahkan dari prinsip pertanggungjawaban pribadi (liability pribadi)
dalam hukum pidana.[15] Pengertian
“menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana (khususnya dalam tindak pidana
korupsi) tidak memiliki pengertian yang bersifat eksplisitas, oleh karena itu diperlukan pendekatan ekstensif. Berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian “De Autonomie ven het Materieele Strafrecht”
(Otonomi dari Hukum Pidana Materiil),
yang intinya adalah mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara
pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan hukum perdata dan
hukum tata usaha negara sebagai suatu cabang hukum lainnya.
Indriyanto Seno Adji menguraikan pengertian “penyalahgunaan kewenangan” dalam
hukum administrasi (mengadopsi uraian Jean Rivero dan Waline) ke dalam 3 (tiga) bentuk,
yaitu :
a).
Penyalahgunaan
kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau untuk menguntungkan pribadi, kelompok atau golongan;
b).
Penyalahgunaan
kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan
untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan diberikannya kewenangan
tersebut oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain;
c).
Penyalahgunaan
kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan
untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar
terlaksana.[16]
Dasar pengujian
ada atau tidaknya penyalahgunaan ini adalah peraturan dasar (legalitas) sebagai
hukum positif tertulis yang melatar belakangi ada atau tidaknya kewenangan saat
mengeluarkan suatu keputusan, artinya ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur
“menyalahgunakan kewenangan” haruslah berpijak pada peraturan dasar (legalitas)
mengenai tugas, kedudukan, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja. Perbedaan
antara penyalahgunaan wewenang, bertentangan dengan undang-undang dan tindakan
sewenang-wenang adalah sebagai berikut:
a).
Penyalahgunaan
wewenang parameter atau tolok ukur pengujiannya bertumpu pada asas
spesialiteieit atau menurut Prof. Tatiek Djatmiati menggunakan istilah
legalitas substansi yang lebih dikenal dengan asas doelmatigeheid;
b).
Bertentangan dengan
perundang-undangan, terbagi menjadi tiga, yaitu bertentangan dengan
perundangan-undangan yang bersifat prosedural/formal; bertentangan dengan
perundangan-undangan yang bersifat materiel/substansial; peraturan
perundangan-undangan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang tidak berwenang;
c).
Tindakan
sewenang-wenang merupakan tindakan yang mengesampingkan fakta-fakta yang
relevan yang telah diverikasi olehnya dalam melaksanakan wewenangnya serta
tidak mencocokan fakta tersebut dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur wewenang yang dimilikinya tersebut.
4.
Unsur Perbuatan Menyalahgunakan Kesempatan karena Jabatan
atau Kedudukan
Kesempatan
adalah peluang atau tersedianya waktu yang cukup dan sebaik-baiknya untuk
melakukan perbuatan tertentu. Orang yang karena memiliki jabatan atau
kedudukan, karena jabatan atau kedudukannya tersebut mempunyai peluang atau
waktu yang sebaik-baiknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
berdasarkan jabatan atau kedudukannya itu, apabila peluang yang ada itu
dipergunakan untuk melakukan perbuatan
lain yang tidak seharusnya dilakukan dan justru bertentangan dengan tugas
pekerjaannya dalam jabatan atau kedudukan yang dimilikinya disinilah terdapat
penyalahgunaan kesempatan karena jabatan atau kedudukan.
5.
Unsur Perbuatan Menyalahgunakan Sarana karena Jabatan
atau Kedudukan
Perbuatan
menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukan terjadi apabila seseorang
menggunakan sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan untuk
tujuan-tujuan lain di luar tujuan yang berhubungan dengan tugas pekerjaan yang
menjadi kewajibannya.
6.
Unsur Yang Ada Padanya karena Jabatan atau Kedudukan
Maksud “yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan” tiada lain adalah kewenangan,
kesempatan dan sarana karena jabatan atau kedudukan yang dipangku seseorang,
jadi antara keberadaan kewenangan, kesempatan dan sarana dengan jabatan atau
kedudukan haruslah ada hubungan sebab-akibat (causal), oleh karena memangku jabatan atau kedudukan,
mengakibatkan seseorang mempuyai kewenangan, kesempatan dan sarana yang timbul
dari jabatan atau kedudukan tersebut, jika jabatan atau kedudukan itu lepas
maka kewenangan, kesempatan dan sarana juga akan hilang, dengan demikian sangat
tidak mungkin ada penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana karena
jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimiliki lagi.
7.
Unsur Yang Dapat Merugikan Keuangan Negara atau
Perekonomian Negara
Tindak pidana korupsi secara sempurna tidak perlu menunggu timbulnya
kerugian negara, apabila secara logika (menurut akal sehat) suatu perbuatan
ditafsirkan akan dapat menimbulkan kerugian bagi negara, maka perbuatan
tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, mengenai ada atau
tidaknya kerugian negara tidaklah diartikan sebagai suatu unsur dari rumusan
pasal, tetapi penelitian mengenai ada atau tidaknya kerugian negara hanyalah
sebagai salah satu faktor yang menentukan ada atau tidaknya sifat melawan hukum
secara materiil dari perbuatan si pelaku. Pembuktian tentang kerugian negara
tergantung pada kemampuan hakim dalam menganalisa dan menilai aspek-aspek yang
menyertai atau ada di sekitar perbuatan dalam rangkaian peristiwa yang terjadi.
Penjelasan umum
UUPTPK menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “keuangan negara” adalah seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapun, baik yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan, termasuk segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban
yang timbul karena:
a) berada dalam penguasaan, pengurusan dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah
;
b) berada
dalam penguasaan, pengurusan, pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal
pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara, jadi singkatnya keuangan
negara adalah kekayaan negara dalam bentuk apapun, termasuk hak-hak dan
kewajiban,[17]
sedangkan yang dimaksud dengan “perekonomian negara” adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan
pemerintah, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertujuan untuk memberikan
manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
G.
Macam-Macam Penyalahgunaan Kewenangan Dalam UUPTPK.
Penyalahgunaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 3 UUPTPK bukanlah
satu-satunya bentuk penyalahgunaan kewenangan. Selain penyalahgunaan kewenangan
dalam Pasal 3 UUPTPK tersebut, masih terdapat tiga bentuk penyalahgunaan
lainnya yang diatur dalam UUPTPK, yaitu antara lain adalah: tindak pidana
penyuapan, tindak pidana gratifikasi dan tindak pidana pemerasan. Ketiga bentuk
tindak pidana korupsi tersebut masing-masing diatur tersendiri dalam Pasal
UUPTPK.
Untuk tindak pidana korupsi suap ini, salah satunya diatur dalam Pasal 5 UUPTPK dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah), baik terhadap pemberi suap
maupun terhadap penerima suap.
Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B UUPTPK. Gratifikasi yang nilainya
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi, sedangkan
yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh penuntut umum.
Ancaman pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
gratifikasi berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pada hakekatnya, gratifikasi adalah pemberian kepada pegawai
negeri/penyelenggara negara dan bukan merupakan suap. Gratifikasi merupakan
suap apabila diberikan oleh si pemberi gratifikasi berhubungan dengan jabatan
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas si penerima gratifikasi sebagai
pegawai negeri. Pasal 17 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
secara jelas dan tegas juga telah mengatur kewenangan KPK dalam
memutuskan apakah suatu gratifikasi (yang pada hakekatnya mempunyai arti
pemberian kepada pegawai negeri/penyelenggara negara) merupakan suap ataukah
bukan merupakan suap, meskipun KPK bukan lembaga peradilan, namun KPK tetap
berwenang secara sah menentukan gratifikasi sebagai suap atau bukan karena
wewenang tersebut diberikan oleh undang-undang (in casu : UU No. 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Untuk tindak
pidana pemerasan, antara lain “tindak
pidana pemerasan oleh pegawai negeri untuk memaksa orang melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu” (diadopsi dari Pasal 421 KUHP) dan ”tindak pidana
pemerasan oleh pegawai negeri untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan dalam
pemeriksaan perkara pidana” (diadopsi dari Pasal 422 KUHP), dengan menyesuaikan
ancaman pidananya pada Pasal 23 UUPTPK masing-masing diancam dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 6 (enam)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Perbedaan
prinsip antara ketiga bentuk penyalahgunaan tersebut diatas dengan
penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UUPTPK adalah bahwa terjadinya ketiga
bentuk penyalahgunaan kewenangan tersebut tidak disyaratkan harus berimplikasi
terhadap kerugian negara atau kerugian perekonomian negara, sedangkan
terjadinya penyalahgunaan kewenangan pada Pasal 3 UUPTPK, mensyaratkan harus
terdapat implikasi kerugian negara atau kerugian perekonomian negara.
Kesimpulan dan Saran
1.
Kesimpulan
Penyalahgunaan
kewenangan mempunyai karakter atau ciri:
a)
Menyimpang
dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan;
b)
Menyimpang
dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas;
c)
Menyimpang
dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik;
Secara substansial, asas spesialitas (specialialiteit beginsel) mengandung makna bahwa setiap kewenangan
memiliki tujuan tertentu. Penyimpangan terhadap asas ini akan melahirkan
penyalahgunaan kewenangan (detournement
de pouvoir”. Parameter peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum
pemerintahan yang baik dipergunakan untuk membuktikan instrumen atau modus penyalahgunaan kewenangan (penyalahgunaan
kewenangan dalam Pasal 3 UUPTPK), sedangkan penyalahgunaan kewenangan baru
dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana apabila berimplikasi terhadap
kerugian negara atau perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi, dan pemerasan),
Terdakwa mendapat keuntungan, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut
merupakan tindakan tercela. Khusus terhadap pasal-pasal mengenai penyalahgunaan
kewenangan, UUPTPK tidak menjelaskan secara khusus apa yang dimaksud dengan
“penyalahgunaan kewenangan”, sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam dan
berbeda-beda.
2.
Saran
Pencantuman kedua
unsur, melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan dalam UUPTPK menimbulkan
ketidakjelasan dalam menentukan konsep dan parameter unsur “penyalahgunaan
kewenangan”. Permasalahan tersebut menimbulkan terjadinya keragaman penafsiran
putusan pengadilan mengenai konsep dan parameter unsur “melawan hukum” dan
unsur “penyalahgunaan kewenangan” karena tidak adanya batasan yang jelas. Oleh karena UUPTPK tidak mengatur secara jelas mengenai
penyalahgunaan kewenangan, maka perlu diadakan perbaikan/perubahan terhadap
UUPTK, untuk selanjutnya disosialisasikan sebagaimana mestinya, sehingga UUPTPK
yang baru dengan konsep penyalahgunaan kewenangan yang telah diatur secara
jelas, nantinya diharapkan dapat lebih berperan secara efiktif dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Daftar Bacaan
Buku
Adji, Indriyanto Seno, 1997, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta.
Chazawi, Adami, 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan Kedua,
Bayumedia, Malang.
Hadjon, Philipus M, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Sebuah Studi tentang
Primsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya.
________________,
2002, et al, Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia (Introduction To The Indonesian Administrative Law), Cetakan Kedelapan, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Marpaung, Leden, 1992, Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya, Bagian Pertama, Cetakan
Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.
Minarno, Nur Basuki, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan
Keuangan Daerah, Edisi Pertama,
Cetakan Kedua, Laksbang Mediatama, Surabaya.
Sadjijono, 2008, Memahami
Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi,
Cetakan Pertama, LaskBang PRESSindo, Yogyakarta.
R. Wiyono, 2006, Pembahasan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Makalah/Jurnal/Disertasi
Guse Prayudi, “Sifat Melawan Hukum Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana”, Varia
Peradilan, No. 254 Th. XXII,
Januari 2007.
Indriyanto Seno
Adji, Analisis Pergeseran Terbatas
Fungsi Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Materiel Dalam Tindak Pidana Korupsi
(Studi kasus Terhadap Penerapan & Perkembangan Yurisprudensi Tindak Pidana
Korupsi Di Indonesia), Disertasi,
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1999.
Nur Basuki Minarno, Pembuktian
Unsur Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi, Perspektif,
Volume XII No. 1, Edisi Januari, 2007.
Putusan Badan Peradilan, Varia Peradilan, No. 223 Th. XIX. April 2004.
[1]
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya.
[2]
Singgih, dalam Kata Pengantar buku Laden
Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Masalah
dan Pemecahannya, Bagian Pertama, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta,
1992, h. xi.
[3]R.
Wiyono, Pembahasan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan
Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, h. 6.
[4]
Indriyanto Seno Adji, Analisis
Pergeseran Terbatas Fungsi Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Materiel Dalam Tindak
Pidana Korupsi (Studi Kasus Terhadap Penerapan dan Perkembangan Yurisprudensi
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia), Disertasi,
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1999, h. 20.
[6]
Simons sebagaimana dikutip oleh Indriyanto Seno Adji, Analisis Pergeseran Terbatas…,op.cit., h. 119.
[7]
Simons dalam Tresna sebagaimana dikutip oleh Guse Prayudi, “Sifat Melawan Hukum
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana”, Varia
Peradilan, No. 254 Th. XXII,
Januari 2007, h. 25.
[8]Philipus M. Hadjon et.
al., Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction To The
Indonesian Administrative Law), Cetakan
Kedelapan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, h. 55.
[9]Nur Basuki
Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan
Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Laksbang
Mediatama, Surabaya, 2009,, h. 178.
[10]Dalam
kepustakaan kata “Beginselen” diartikan
asas-asas, dasar-dasar, prinsip-prinsip, sedangkan “Behoorlijk” diartikan patut, baik, layak.
[11] Jean Rivero
dan Waline sebagaimana dikutip oleh Indriyanto Seno Adji dalam Nur Basuki
Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan
Tindak.., op.cit., h. 96 – 97.
[12]Philipus
M. Hadjon dalam Sadjijono, Memahami
Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi,
Cetakan Pertama, LaskBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008, h. 100.
[14]Adami
Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan
Formil Korupsi di Indonesia, Edisi
Pertama, Cetakan Kedua, Bayumedia, Malang, 2005, h. 49.
[15] Putusan Badan Peradilan, Varia Peradilan, No. 223 Th. XIX. April 2004, h. 4.
[16]Indriyanto Seno Adji,
Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara
dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 1997, h. 427.
[17]
Adami Chazawi, op.cit., h. 47.
Tidak ada komentar
Posting Komentar