EKSISTENSI PEMIKIRAN
RASIONALITAS FORMAL: REFLEKSI TENTANG PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Garuda Wiko[1]
Abstrak
Perkembangan hukum sampai dengan terbentuknya hukum
modern sebagaimana yang berlaku di Indonesia sekarang ini, melalui proses yang
di bentuk oleh kekuatan dan kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
sesuai dengan perjalanan sejarahnya. Tampak jelas bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara bentuk kehidupan
bermasyarakat dan bernegara itu dengan ideal
of law atau ideal of order masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu penjelasan
masalah tingkat kegagalan atau keberhasilan penegakan hukum di Indonesia tidak
dapat dipisahkan begitu saja dari realitas sejarah ini.
Kata
Kunci: pemikiran, refleksi, penegakan
hukum.
Abstract
The development of the law until the legal establishment modern as
applicable in Indonesia now, through a process in the form of the strength and
needs in public life and state according to its history. It seems clear that
significant relationship exists between life forms community and state that the
ideal of law or order ideal of community supporters. Therefore explanation of
the problem of failure or success rate Indonesia’s law enforcement can not be
separated away from the reality of this history.
Keyword: thought,
reflection, law enforcement.
Pendahuluan
Penegakan
hukum dapat dibicarakan dalam dua kategori besar, yaitu: pertama, sebagai kelanjutan logis atau proses logis diciptakannya
peraturan hukum. Kedua, sebagai
keterlibatan manusia dalam proses bekerjanya hukum.[2]
Kedua kategori besar ini merupakan bagian dari usaha untuk mewujudkan tujuan
yang diidealkan, yaitu membawa keadilan bagi sebanyak mungkin orang.
Sebagai
kelanjutan proses logis, penegakan hukum dilakukan dengan berpegang pada koherensi premis-premis metode
deduktifnya. Hukum dengan demikian dipandang sebagai suatu ”mesin” mekanis yang
deterministik, teramalkan dan menuruti urutan-urutan kejadian secara linier.
Dari
sudut yang berbeda, penegakan hukum dapat pula dipandang dalam konteks
keterlibatan manusia yang kompleks. Dari titik pandang ini, penegakan hukum
tidak dapat lagi sekedar dilihat sebagai proses logis semata tetapi juga harus
dilihat dalam horizon yang lebih luas. Misalnya saja bagaimana kinerja aparatus
dan validitas sosial peraturan perundangan yang akan ditegakkan.
Seringkali
bahkan peraturan perundangan dihasilkan lembaga legislatif justru menimbulkan
permasalahan baru. Dengan demikian peraturan perundangan berpotensi menjadi kriminogen.[3]
Tugas
penegakan hukum yang pada intinya adalah mewujudkan isi peraturan perundangan,
dalam kenyataan harus dilihat dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain di
sekitar perundangan itu sendiri. Terutama kaitannya dengan tujuan utama yang
hendak direalisasikan, yaitu keadilan yang substansial
bagi seluruh lapisan masyarakat dan bukan keadilan prosedural semata-mata.
Oleh
karena itu perlu dipahami beberapa hal, yaitu: Pertama, aspek-aspek
historis positivisasi norma hukum ke dalam bentuk perundang-undangan. Kedua, pengetahuan tentang bagaimana tipe-tipe
hukum itu bekerja untuk mencapai tujuannya. Ketiga,
bagaimana pemikiran kritis yang berkaitan dengan pemaknaan hukum itu selayaknya
ditempatkan sebagai konstruksi intelektual alternatif penegakan hukum di masa depan.
Analisis Hukum
Positivisasi Perundang-Undangan dalam
Konteks Penegakan Hukum
Mengikuti
apa yang dikemukakan oleh Unger,
perkembangan hukum modern tidak terlepas dari tipe-tipe perkembangan masyarakat
yang bermula dari Tribal Society, Aristocratic Society sampai dengan Liberal Society.[4]
Dalam Tribal Society, individu secara
total terserap dalam masyarakat dan biasanya hanya ada satu nilai yang menjadi
pedoman tingkah laku. Tidak ada perbedaan di antara individu-individu di dalam
masyarakat, tidak ada negara dan legislasi. Semboyannya adalah satu untuk semua
dan semua untuk satu di bawah “Primus
Inter pares” sebagai pemimpin.
Tribal Society
kemudian mengalami keambrukan (breakdown)
karena tidak dapat lagi menjawab perkembangan masyarakat yang demikian cepat.
Muncul kemudian Aristocratic Society.
Hal penting yang muncul pada tahap perkembangan ini adalah eksistensi state sebagai kekuasaan yang berada di
atas masyarakat. State dan government bertugas untuk menentukan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Mulai muncul hukum positif yang bersifat
publik atau yang dikenal pula dengan
Bureucratic law.
Bentuk
Aristocratic Society inipun kemudian
mengalami keambrukan, dikarenakan sebab yang sama dengan keambrukan Tribal Society, yaitu perubahan paculiar form of society yang menuntut
ideal of law/ideal of order yang
baru. Perubahan dimaksud adalah munculnya kaum borjuis yang membawa sistem produksi kapitalistik. Untuk mewadahi capitalistic mode of production ini
diperlukan hukum yang memberikan kepastian. Oleh karena itu muncul kemudian
orde rule of law di bawah payung liberalisme dengan keutamaan pada rules and logic.
Sedikit
berbeda dengan apa yang dikemukakan di atas, Poggi juga membagi proses pembentukan hukum modern itu ke dalam
tahap-tahap: Feodalisme, Standestaat,
Absolutisme, Masyarakat Sipil (Civil
Society) dan Negara Konstitusional.[5] Masyarakat Feodal adalah suatu komunitas
yang bersendikan hubungan khusus antara yang dipertuan dengan abdinya. Struktur
kekuasaan lalu menjadi terpecah-pecah ke dalam wilayah dan kelompok kecil yang
isinya terdiri dari tuan dan pengikutnya. Dengan caranya sendiri feodalisme
abad XIII–XIV telah turut menyumbang ke arah konsepsi Hukum Eropa (Barat). Proses
ini berlangsung di kantong-kantong feodal, baik dengan cara irasional maupun
kekerasan, tetapi telah menyentuh pula persoalan hak-hak dan keadilan meskipun
masih partikular.
Pada abad XV tampilah Standestaat
sebagai suatu sistem pengorganisasian masyarakat yang baru. Standestaat lebih memiliki acuan
teritorial dan merangkum golongan bangsawan, agamawan dan penduduk biasa (stande) dalam status yang sama
berhadapan dengan penguasa. Kemudian terjadi sebuah proses dimana kekuatan penguasa menjadi lebih dominan dalam
perbandingannya dengan stande, yang
dilanjutkan dengan hubungan yang tidak lagi terjadi di dalam Standestaat tetapi telah menjadi
hubungan antar negara. Lalu muncul kesadaran untuk memperkuat negara agar dapat
bertahan dalam persaingan. Mulailah tahap Absolutisme
berkembang dalam kehidupan hukum
dan kenegaraan di Eropa abad XVIII.
Di
masa berlakunya sistem peraturan yang absolut tersebut, tampil kaum borjuis di Eropa. Kaum borjuis menghendaki adanya peraturan
yang bisa menjamin sistem pasar (sistem produksi kapitalistik) yang otonom.
Peraturan semacam ini harus dijalankan oleh suatu badan yang secara struktural
berada di atas semua kelas, yaitu yang mempunyai sifat publik khas dan kedudukan berdaulat.
Di sinilah makna Civil Society itu
terdefenisikan. Masyarakat hanya merupakan kumpulan individu yang berkemampuan
melakukan kegiatan dan hubungan antar sesamanya jika digerakkan oleh hukum.
Perkembangan
mutakhir berikutnya adalah kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan yang secara
sadar dan sistematik didasarkan pada hukum (Negara Konstitusional). Ciri yang menonjol dari kehidupan
konstitusional adalah terdapatnya suatu sistem peraturan hukum yang menjadi
kerangka bagi seluruh kegiatan dalam suatu negara.
Inti
persoalan yang ingin dikemukakan dengan uraian mengenai perkembangan hukum
modern yang berciri positivistik ini dalam kaitannya dengan masalah penegakan
hukum adalah:
1)
Bahwa perkembangan
hukum sampai dengan terbentuknya hukum
modern sebagaimana yang berlaku di Indonesia sekarang ini, melalui proses
yang dibentuk oleh kekuatan dan kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
sesuai dengan perjalanan sejarahnya. Oleh sebab itu lalu muncul stereotif penegakan hukum yang hanya
berpihak kepada majikan pemilik modal, daripada keberpihakan kepada pekerja.
Penegakan hukum lalu hanya menjadi legitimasi perlindungan terhadap golongan
yang mampu (the powerfull) lebih dari
golongan yang tidak mampu (the powerless).
2)
Pada tataran
paradigmatiknya, penegakan hukum yang hanya dipandang sebagai penegakan hukum
positif yang terjelma dalam bentuk perundang-undangan negara juga menimbulkan
persoalan tersendiri dalam proses penegakan hukum. Penegakan hukum lalu
berfokus pada kebenaran formal (prosedural) belaka dan tidak menjelajah lebih
jauh pada pencarian kebenaran substansial.
Dalam
konteks Sistem Peradilan Pidana (SPP), dinyatakan bahwa tujuan utama dari
Sistem Peradilan Pidana adalah untuk kesejahteraan publik, namun dalam
kenyataannya Sistem Peradilan Pidana menjadi agen-agen yang menumpulkan
kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan dan alokasi sumber-sumber yang
lebih merata dalam kehidupan. Kreditor, korporasi, orang-orang kaya, politisi, the powerfull cenderung memperoleh
kemudahan dari lembaga peradilan dan
legislator, atau dapat dikatakan memperoleh keadilan substantif. Sementara
konsumen, debitor, buruh, wanita, “penjahat” dan kaum sekeng cenderung
memperoleh keadilan yang formal.[6]
Bekerjanya Tipe-Tipe Hukum Modern:
Represif, Otonom dan Responsif
Pengenalan
lebih jauh tentang hukum modern akan membawa kita pada kenyataan bahwa pada
aras penerapannya diperlukan prasyarat tertentu agar ia dapat berjalan sesuai
dengan tujuannya. Prasyarat dimaksud antara lain adalah kesiapan struktur dan
administratif. Ketidaksiapan struktur dan administratif menyebabkan hukum dapat
bersifat coersif, kendati negara
merupakan Negara Hukum. Kelangkaan tenaga yang terampil dan administrasi yang
mapan menyebabkan hukum lebih banyak harus bertumpu pada penggunaan paksaan.[7]
Menurut pendapat Nonet
dan Selznick, tipe-tipe hukum modern
dibedakan atas hukum represif, Otonom
dan responsif.[8]
Penjelasan atas ketiga tipe hukum ini adalah sebagai berikut:
1)
Hukum Represif
Hukum Represif adalah hukum
yang mengabdi kepada kekuasaan dan tertib sosial yang represif.
Penegakan hukum dengan cara represif
memang sering kali dikaitkan dengan kekuasaan. Akan tetapi ini tidak berarti
bahwa cara-cara represif menunjukkan kekuasaan yang besar. Sebaliknya represi
harus dipandang sebagai tanda lemahnya kekuasaan pemerintah.
Ciri-ciri yang
nampak secara umum dari hukum yang represif di antaranya adalah:
a)
Institusi-institusi
hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan
negara dan tunduk pada raison de’etat.
b)
Perspektif resmi
mendominasi segalanya. Dalam perspektif ini penguasa cenderung untuk
mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
c)
Kesempatan bagi
masyarakat untuk mendapat keadilan menjadi terbatas.
d)
Badan-badan
pengawas khusus seperti polisi, menjadi pusat-pusat kekuasaan yang bebas.
e)
Melembagakan
keadilan kelas dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola-pola sub-ordinasi
sosial.
2)
Hukum Otonom
Hukum Otonom berorientasi pada
pengawasan atas kekuasaan represif. Ciri-ciri terpenting Hukum Otonom antara
lain adalah:
a)
Penekanan pada
peraturan-peraturan hukum sebagai upaya
utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta.
b)
Terdapat pengadilan
yang bisa didatangi secara bebas yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasaan
politik dan ekonomi, memiliki otoritas eksklusif untuk mengadili pelanggaran
hukum baik oleh pejabat umum maupun individu-individu swasta.
Dengan hukum yang otonom,
pengadilan berusaha agar hukum ditegakkan secara adil. Hanya saja sumbangannya
baru sebatas pada perwujudan keadilan
prosedural saja. Kelemahan lainnya terletak pada perhatian yang terlalu
besar pada pentaatan peraturan secara ketat, yang pada akhirnya menjadi tujuan,
lepas dari tujuan hukum itu sendiri. Produk akhirnya adalah legisme dan formalisme.
3)
Hukum Responsif
Sifat Hukum Responsif mengandung
suatu komitmen pada hukum dalam perspektif
pemakainya. Dalam konteks ini dapat terjadi dilema pada institusi (hukum), terutama berhadapan dengan
masalah integritas dan keterbukaan.
Integritas berarti bahwa suatu
institusi dalam melayani kebutuhan sosial tetap terikat pada prosedur dan cara
kerja yang membedakannya dengan institusi lain. Sementara itu mempertahankan
integritas dapat mengakibatkan
terisolasinya institusi dari realitas sosialnya. Ia lalu sulit dipahami
karena akan berbicara dengan bahasanya sendiri, konsepnya sendiri, beraksi
dengan caranya sendiri dan pada akhirnya akan kehilangan relevansi sosialnya.
Di pihak lain, keterbukaan sempurna juga akan membawa dilema. Bahasa institusi akan sama dengan bahasa yang
dipakai masyarakat pada umumnya, tidak lagi mengandung arti-arti khusus dan
aksi-aksi institusi akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di
lingkungan sosial. Akibatnya tidak ada lagi kemampuan institusi untuk
menegakkan hukum.
Oleh karena itu institusi
(hukum) yang responsif harus tetap memiliki suatu pedoman yang esensial bagi
integritasnya, tetapi juga memperhitungkan kekuatan-kekuatan baru
dilingkungannya. Cita-cita pokok Hukum Responsif sejatinya juga adalah
legalitas dan kontinuitas.
Uraian
mengenai bekerjanya tipe-tipe hukum modern di atas, dari segi konseptual
mengetengahkan suatu opsi yang menarik dalam kerangka penegakan hukum di
Indonesia. Opsi yang dimaksud adalah bagaimana
penegakan hukum itu harus membawa keadilan
substantif bagi masyarakat.
Bagian
penting dari hambatan yang menyebabkan hukum Indonesia tidak dapat memberikan
keadilan, terletak pada pemikiran hukum yang umumnya dianut. Pertama, kita masih berpegang pada cara
berfikir analitis positivis. Kedua,
hukum yang kita pakai adalah sistem hukum liberal yang bertolak dari paradigma
nilai liberal, yaitu kemerdekaan individu[9]
atau keadilan atas dasar pembagian sumber daya.[10]
Proses
peradilan kemudian lebih mendahulukan ritual prosedural untuk sebuah
kemenangan, daripada mencari hal yang lebih hakiki yaitu memberikan keadilan
substansial. Fenomena seperti ini juga ternyata terjadi di negara yang
kehidupan hukumnya dianggap lebih dewasa yaitu Amerika Serikat.
Pizzi dalam bukunya
Trial Without Truth menggambarkan
bagaimana pengadilan Amerika Serikat telah gagal mengungkapkan kebenaran,
karena terlalu banyak memberikan perhatian kepada hal-hal prosedural dalam
perkara yang dihadapi. Kasus O. J. Simpson merupakan contoh yang tepat untuk
menggambarkan pengadilan yang heavily
proceduralized dan dimanfaatkan oleh lawyer untuk mencapai kemenangan. Apa
yang diharapkan menurut Pizzi
adalah: We would be far better off with
judges who acted consistently throughout the criminal process. The starting
point has to be a trial system that puts far more emphasis on truth, and far
less on gambling and winning and losing.[11]
Redefenisi Pemikiran dan
Kajian Hukum sebagai Landasan Penegakan Hukum Di Masa Depan
Berangkat
dari kenyataan-kenyataan sebagaimana telah diuraikan terdahulu, dirasakan
kebutuhan akan adanya peubahan pemikiran dan kajian hukum di Indonesia. Dengan
tidak menafikan pemikiran dan kajian hukum posistivistik dengan metode normatif
dogmatis-nya guna kepentingan penerapan hukum bagi profesional di pengadilan,
perlu pula diketengahkan pemikiran hukum sosiologis dengan metode empirisnya
guna kepentingan pengungkapan kebenaran objektif sebagai landasan kerja hukum.
Metode
normatif dogmatis sangat mengandalkan cara berfikir deduktif dan meneguhkan
kebenaran dengan koherensi premis-premis yang universal, a priori dan not testable
(dikenal pula dengan metode doktrinal). Dalam menghadapi kasus-kasus
partikular, perumusan yang abstrak dikonstruksikan untuk menentukan peristiwa
hukum seperti apa yang terjadi. Baru kemudian para profesional hukum (polisi,
jaksa, hakim dan pengacara) melihat apa jenis hukuman dan seberapa berat
hukuman yang dapat dijatuhkan menurut undang-undang. Mengenai hal ini Sampford menyatakan, sesungguhnya hukum
itu tidak merupakan bangunan yang penuh dengan keteraturan logis-rasional. Yang
benar adalah bahwa manusialah yang berkepentingan ingin melihat bahwa hukum itu
adalah memang seperti itu.[12]
Sejak
Permulaan abad ke-19 sampai dengan abad ke-20, sebenarnya telah berkembang
aliran pemikiran alternatif yang mengajukan kritik atas pandangan yang melihat
hukum bekerja secara mekanik, deterministik dan terpisah dari hal-hal di luar
hukum sebagaimana dikemukakan C.
Langdell pada tahun 1870 ketika menjabat sebagai Dekan Harvard Law School.
Ia menyamakan hukum dengan ilmu eksakta dimana para yuris bekerja di
perpustakaan sebagai laboratoriumnya.[13]
Hal
ini sangat ditantang oleh Roscoe Pound
dengan mengemukakan bahwa ada hubungan fungsional antara hukum dan masyarakat.
Hukum tidak menciptakan kepuasan, tetapi hanya memberi legitimasi atas
kepentingan manusia untuk mencapai kepuasan tersebut dalam keseimbangan. Ajaran
Pound yang memasukkan dimensi sosial ini kemudian dikenal luas dengan nama Sociological Jurisprudence.
Perkembangan
selanjutnya dari Sociological
Jurisprudence adalah Realistic
Jurisprudence atau Legal Realism
yang mulai muncul tahun 1920-1940 di Amerika Serikat. Tokoh-tokoh yang dikenal
antara lain Karl Llewelyn dan Jerome Frank. Pusat perhatian yang
diberikan adalah pada masalah ide pluralisme, dimana elemen formal rationality harus disinergikan
dengan substantif rationality untuk
menghadapi tantangan kompleksitas sosial
(kemajemukan masyarakat) dan intervensi negara yang semakin kentara.
Kepastian
menurut bunyi norma hukum yang formal tidak boleh lebih dipentingkan daripada
kemaslahatan yang didambakan secara riil oleh mereka yang hidup di dunia nyata
ini. Kritik yang diberikan atas cara kerja mekanis deduktif kaum positivis ada
pada dua tataran, yaitu rule skepticism
yang menggugat kebenaran premis mayor dan fact
skepticism yang menggugat kebenaran premis minornya.[14] Frank bahkan secara radikal menambahkan
bahwa pencarian pada prediktabilitas dan kepastian dalam proses hukum adalah
suatu ilusi.[15]
Melewati
masa tahun 1920-an, suara-suara Realistic
Jurisprudence mulai agak mereda. Akan tetapi tahun 1970 tiba-tiba saja
muncul gugatan dan kritik yang sangat keras pada ajaran formalisme yang juga
ditentang oleh Sociological Jurisprudence
dan Realistic Jurisprudence. Dalam
konstelasi politik hal ini antara lain didorong oleh ekspresi perlawanan
kebijakan pemerintah Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Perkembangan
pemikiran kritis yang sejak tahun 1980 dikenal dengan The Critical Legal Studies Movement (CLS) ini, dapat di bagi dalam
tiga tahap perkembangan. Pertama, muncul
pada awal tahun 1970 dengan pemikiran Kennedy
yang tetap menunjukkan perlawanan pada formalisme beserta dengan ajaran
hukumnya. Kedua, dimulai pada
pertengahan tahun 1970 sampai dengan awal 1980, ditandai dengan perluasan
pada kritik internal pemikiran rasional formal. Kairys adalah tokoh yang layak disebut
dalam masa ini. Ketiga, adalah
rentang waktu pertengahan 1980 sampai dengan awal 1990. Pada masa ini mulai
dilakukan usaha untuk mengkonstruksi konsep dan teori kritis tentang hukum.
Fokus-fokus
amatan yang dikemukakan gerakan hukum kritis ini antara lain adalah hal-hal
yang berkenaan dengan:
1)
Penyangkalan pada anggapan bahwa hukum itu bersifat
netral dan bekerja dengan silogisme yang linear. Kepercayaan bahwa hukum itu
bebas nilai, objektif, prediktif dan berkepastian dianggap sebagai kebohongan (big-lie). Tidak ada batas antara hukum
dan politik.
2)
Penolakan yang kritis terhadap legitimasi. Menurut mereka
salah satu fungsi hukum adalah memberikan legitimasi atas dominasi oleh elit
kekuasaan. Masyarakat diarahkan untuk percaya bahwa mereka diperintah dengan rule of law not of men. Padahal melalui
fungsi-fungsi legitimasi, melalui formalisasi hukum yang berupa reifikasi dan hegemony, masyarakat secara sadar maupun tidak diajak membentuk
struktur dan institusi yang mendominasi mereka. Demikian pula masyarakat akan
diperintah oleh elit pemegang kekuasaan yang dominan tanpa mereka menyadari
telah ditindas.
3)
Kritik juga diajukan pada pendidikan hukum yang
menghasilkan robot-robot yang bekerja berdasarkan sistem normatif yang mekanis.
4)
Dalam pencarian teori gerakan pemikiran ini cenderung
pada penerapan weberian, marxis, chaos dan teori pluralistik.
5)
Hukum lebih dipandang sebagai suatu yang otonominya
relatif.
6)
Terminologi dekonstruksi yang berbasis pada pemikiran Derrida, digunakan untuk menelusuri
kepentingan-kepentingan yang berada dibalik norma hukum.
7)
Menawarkan visi tentang tatanan masyarakat dan tatanan
hukum yang lebih dikehendaki. Unger adalah nama yang pantas disebut dalam hal
ini.[16]
Dengan
mencermati pemikiran-pemikiran dari eksponen-eksponen Critical Legal Studies ini, terlihat bahwa terdapat usaha untuk
melakukan perubahan yang mendasar pada aras paradigmatik hukum.
Kegagalan-kegagalan penegakan hukum untuk mencapai tujuan dasarnya, ternyata
juga bersumber dari ketidaktepatan “payung” paradigma yang digunakan. Secara
selintas pergeseran paradigma dalam
penegakan hukum ini ditawarkan oleh Satjipto
Rahardo dengan mengintrodusir istilah Penegakan
Hukum Progressif .[17]
Hukum
memang mempunyai perspektif dasar atau paradigma. Adanya paradigma tersebut
membawa kita kepada kebutuhan untuk melihat hukum sebagai institusi yang
mengekspresikan paradigma tersebut.[18]
Istilah paradigma pertama kali digunakan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya The
Structur of Scientific Revolution pada tahun 1970. Kuhn menempatkan paradigma dalam inti pemikirannya sebagai usaha
untuk membantah asumsi bahwa ilmu itu berkembang secara komulatif. Menurut
Kuhn, ilmu berkembang melalui revolusi, yang disebutnya dengan lompatan paradigma. Konsep-konsepnya
adalah tentang: pra paradigmatik – paradigma – ilmu normal – anomali – revolusi
ilmu. Paradigma berarti asumsi-asumsi dasar yang diyakini ilmuwan dan menentukan
cara dia memandang gejala yang
ditelaahnya.[19]
Dengan
pergeseran paradigma, diharapkan
penegakan hukum akan lebih memberikan tempat pada kemerdekaan manusia dari
dominasi dan hegemoni kekuasaan yang mekanistik dan memberat pada formalisme.
Lebih jauh lagi penegakan hukum juga dapat menghindarkan diri dari demoralisasi yang semata-mata didasarkan
pada formal rationality.
Kesimpulan
Pada
bagian akhir dari tulisan ini ingin dikemukakan dan ditegaskan kembali bahwa
penilaian atas kegagalan penegakan hukum di Indonesia dewasa ini tidak terlepas
dari masalah yang berkaitan dengan: Pertama,
dari segi substansi perundang-undangannya, kloning
hukum modern yang tumbuh dan berkembang bersama sejarah masyarakat industrialis
di Eropa Barat, tidak selalu mendapatkan kesesuaian dengan social value masyarakat di Indonesia. Kedua, konsentrasi pada usaha menempatkan hukum yang otonom, telah
menyebabkan proses penegakan hukum terjebak pada rationalitas formal (formalisme) semata dan melupakan tujuan
mencapai keadilan yang substansial. Ketiga,
belum terjadi pergeseran paradigma yang signifikan dalam pemikiran hukum.
Tawaran pergeseran paradigma yang disodorkan baru sampai pada tahap wacana
akademis dan belum diterima secara luas baik oleh teoritisi maupun praktisi
hukum di Indonesia. Partisipasi publik
dalam penegakan hukum juga masih merupakan tanda tanya besar, karena selama ini
terjadi dominasi dan hegemoni pemaknaan hukum oleh elit kekuasaan saja. Padahal
pada masa yang akan datang hukum sangat diharapkan dapat lebih responsif
terhadap kebutuhan masyarakat sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Oleh
sebab itu institusi penegak hukum juga dituntut untuk lebih terbuka dan
menggunakan bahasa yang mampu diterjemahkan oleh masyarakat dengan nurani
keadilannya, bukan sekedar keadilan dalam bahasa institusi penegak hukum itu sendiri.
Daftar Bacaan
Buku
Friedmann, W, 1993, Teori dan Filsafat Hukum Telaah
Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hart, H. L. A., 1972, The Concept Of Law, Oxford University
Press, London.
Kelsen, Hans, 1995, Teori Hukum Murni, Rimdi Press, Jakarta.
Keraf, A.Sony & Dua, Mikhael, 2010, Ilmu Pengetahuan
Sebuah Tinjauan Filosofis, Kanisius, Yogyakarta.
Milovanovic, Dragan, 1994, A Premiere in the Sociologi of
Law, Harrow and Heston Publisher, New York.
Patria, Nezar dan Arief, Andi, 2003, Antonio Gramsci Negara & Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Peter, A. A. G. & Siswosoebroto, Koesriani, 1990, Hukum dan Perkembangan Sosial : Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Pizzi, William T, 1990, Trial Without Truth: Why Our
System of Criminal Trials Has Become An Expensive Failure And
What We Need To Do To Rebuild It, University Press, New York.
Posner, Richard A., 2001, Frontiers Of Legal Theory, Harvard University, Cambridge, Massasuchetts, London, England.
Rawls, John, 2001, Justice As Fairness, A Restatement, The Belknap Press Of Harvard University Press, Cambridge,Massachusetts,
London England.
Rahardjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Ritzer, George, 2002, Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta.
Samekto, FX. Adji, 2003, Studi Hukum Kritis: Kritik
Terhadap Hukum Modern, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Susanto, I.S., dan Tanya, Bernard L, (ed), 2000, Wajah Hukum Di Era Raformasi, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Sampford, Charles, 1989, The Disorder Of Law, A Critique
Of Legal Theory, Basil Blackwill Ltd, New York.
Sidharta, Bernard Arief, 1999, Refleksi Tentang Struktur Ilmu
Hukum, Mandar Maju, Bandung.
Unger, Roberto Mangabeira, 1976, Law In Modern Society: Toward
Cristism of Social Theory, The Free Press, A Division of
Macmillan Publising Co., Inc, New York, Collier Macmillan Publisers, London.
Wignyosoebroto, Soetandyo, 2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam, Jakarta.
Wignyosoebroto, Soetandyo, 1999, Gerakan
Studi Hukum Kritis, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat, Jakarta.
Wilardjo, Liek, 1990, Realita dan Desiderata, Duta
Wacana University Press.
Waters, Malcom, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London, Thousand Oak, New Delhi.
Artikel/Makalah/Jurnal/Disertasi
Bernard L. Tanya,
Beban Budaya lokal Menghadapi hukum Negara: Analisis Budaya Atas Kesulitan
Sosio-Kultural Orang Sabu Menghadapi Regulasi Negara (Disertasi), Program
Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2000.
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Masalah-Masalah Hukum, Vol.XXXI No.3
Juli-September 2002.
Satjipto Rahardjo, Rekonstruksi
Pemikiran Hukum Di Era Reformasi: Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik Di Era
Reformasi (Makalah), Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2000.
______________, Mengajarkan
Keteraturan Menemukan Ketidak-Teraturan (Teaching Order Findings Disorder):
Tiga Puluh Tahun Perjalanan Intelektual Dari Bojong ke Pleburan (Pidato
Akhir Masa Jabatan Guru Besar), Fak.Hukum Undip, Semarang, 2000.
______________, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan
Masalahnya, Universitas Muhamadiyah Surakarta, 2002.
[1] Dosen
FH-UNTAN Pontianak, Alumni program S-3 Ilmu Hukum Undip.
[2] Satjipto
Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan,
Metode dan Pilihan Masalahnya, Universitas Muhamadiyah Surakarta, 2002, h. 174.
[4] Roberto Mangabeira Unger, Law In Modern
Society: Toward Cristism of Social Theory, The Free press, A Division of Macmillan Publishing Co., Inc, New York,
Collier Macmillan publishers, London, 1976, h. 140.
[5]
Gianfranco Poggi, dalam Satjipto Rahardjo, Gerakan Studi Hukum Kritis,
Lembaga Studi Advokasi Masyarakat, Jakarta, 1999,
h. 215.
[8] A. A. G. Peters dan Koesriano Siswosubroto, Hukum dan Perkembangan Sosial: Buku Teks
Sosiologi Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Cet. III, 1990, h. 158.
[9] Satjipto
Rahardjo, Rekonstruksi Pemikiran Hukum
Di Era Reformasi: Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik Di Era Reformasi
(Makalah), Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2000, h. 24.
[10]Soetandyo Wigjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam, Jakarta,
2002, h. 463.
[11]William T. Pizzi, Trial
Without Truth: Why Our System of Criminal Trials Has Become An Expensive
Failure And What We Need To Do To Rebiuld It, New York University Press,
1999, h. 153.
[12] Charles Sampford,
The Disorder Of Law, A Critique Of Legal Theory, Basil Blackwill Ltd., New
York, 1989, dalam Satjipto Rahardjo, 2000, h. 17.
[13]Dragan Milovanovic,
A Premiere in the Sociology of Law, Harrow And Heston Publisher, New York,
1994, h. 86.
Tidak ada komentar
Posting Komentar