Kamis, 07 Agustus 2014

IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE
PADA BANK UMUM SESUAI DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/4/PBI/2006

Ismu Gunadi Widodo

ABSTRAK

Tata kelola perbankan nasional memerlukan sistem manajemen perbankan nasional dalam memberikan acuan dan motivasi kepada bankir dalam mengelola usaha perbankan. Good  Corporate  Governance  merupakan  serangkaian  mekanisme  yang  merefleksikan  suatu  struktur  pengelolaan perusahaan yang menetapkan distribusi hak dan tanggung jawab diantara berbagai partisipan di dalam perusahaan, termasuk para Pemegang Saham, Dewan Komisaris, Dewan Direksi, Manajer, Karyawan dan pihak-pihak berkepentingan (stakeholders) lainnya. Good Corporate Governance juga menegaskan filosofi bahwa pengelolaan perusahaan merupakan amanah dari berdirinya perusahaan dan oleh karenanya semua pihak yang terlibat harus berpikir dan bertindak untuk kepentingan terbaik perusahaan.

Kata kunci: perbankan, good corporate governance

ABSTRACT

Governance of the national banking system requires management of the national banking system in providing guidance and motivation to the bankers to manage the banking business. Good Corporate Governance is a set of mechanisms that reflect a company's management structure that establishes the distribution of rights and responsibilities among the various participants in the company, including shareholders, the Board of Commissioners, Board of Directors, Managers, Employees and interested parties (stakeholders) other. Good Corporate Governance also emphasized the philosophy that the management company is a founding trustee of the company and therefore all parties involved must think and act in the best interest of the company.

Key words: banking, good corporate governance










Permasalahan
Krisis ekonomi tahun 1997 yang melanda Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara telah memunculkan wacana yang berkaitan dengan permasalahan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance/GCG). Good Corporate Governance menjadi bahasan yang penting dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi dan pertumbuhan perekonomian yang lebih stabil dimasa yang akan datang. Keterpurukan luar biasa yang disebabkan peristiwa tersebut telah membuka mata bangsa ini bahwa salah satu faktor paling fundamental yang menyebabkan krisis itu terjadi tidak lain dikarenakan prinsip-prinsip GCG diabaikan.
Upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya Good Corporate Governance dan penerapannya di Indonesia telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun swasta. Upaya-upaya tersebut antara lain pembentukan Komisi Nasional GCG oleh kantor Menko Perekonomian dan disusunnya National Code of Good Corporate Governance atau Pedoman Nasional GCG. Lembaga pemeringkat Corporate Governance seperti Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dan Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) juga turut mendorong pelaksanaan GCG oleh perusahaan-perusahaan publik di Indonesia.
Good  Corporate  Governance  merupakan  serangkaian  mekanisme  yang  merefleksikan  suatu  struktur  pengelolaan perusahaan yang menetapkan distribusi hak dan tanggung jawab diantara berbagai partisipan di dalam perusahaan, termasuk para Pemegang Saham, Dewan Komisaris, Dewan Direksi, Manajer, Karyawan dan pihak-pihak berkepentingan (stakeholders) lainnya. Good Corporate Governance juga menegaskan filosofi bahwa pengelolaan perusahaan merupakan amanah dari berdirinya perusahaan dan oleh karenanya semua pihak yang terlibat harus berpikir dan bertindak untuk kepentingan terbaik perusahaan.
Bisnis perbankan memiliki kekhasan dalam pengelolaannya. Alasan utamanya adalah karena adanya unsur 3K yang harus dipatuhi yakni Kepercayaan, Keterbukaan, dan Keberhatian. Fokus utama bank adalah menjaga kepercayaan dan mencegah risiko yang mungkin terjadi. Masyarakat menyimpan dananya di bank semata-mata berdasarkan kepercayaan bahwa dananya akan kembali ditambah sejumlah keuntungan yang berasal dari bunga. Selanjutnya dana tersebut akan diputar menjadi bentuk berbagai investasi seperti pemberian kredit dan pembelian surat berharga. Apabila tidak ditangani secara profesional, transparan dan hati-hati (prudential banking) akan menimbulkan risiko dan bencana bagi perbankan[1].
Tata kelola perbankan nasional memerlukan sistem manajemen perbankan nasional dalam memberikan acuan dan motivasi kepada bankir dalam mengelola usaha perbankan. Untuk itu diperlukan pula pengaturan dan pengawasan bank untuk memastikan bahwa bank dijalankan dengan hati-hati, penuh integritas serta terhindar dari moral hazard para pengurusnya. Dengan demikian dunia perbankan dapat tumbuh secara mandiri dan dapat memberikan kontribusi yang berarti dan secara sinergis mampu mencapai kinerja yang optimal dalam mengemban visi dan misi perbankan nasional dalam mendukung sektor ekonomi nasional dan daerah.
Dalam upaya mendukung sektor ekonomi nasional dan daerah melalui penguatan sektor perbankan, Bank Indonesia pada tahun 2004 telah meluncurkan program Arsitektur Perbankan Indonesia (API) untuk dilaksanakan dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arsitektur Perbankan Indonesia memiliki visi untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Selanjutnya visi tersebut dijabarkan menjadi enam pilar API, yakni:
a.    Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan.
b.    Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada Standar Internasional.
c.    Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memilki ketahanan dalam menghadapi risiko.
d.   Menciptakan GCG dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional.
e.    Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat.
f.     Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan.
Diantara keenam pilar tersebut tampak bahwa salah satu program API yang dicanangkan dalam kurun waktu dua sampai lima tahun ke depan adalah GCG. Good Corporate Governance diyakini dapat memperkuat kondisi internal perbankan nasional. Dengan menerapkan GCG pada aktivitas perbankan diharapkan kinerja operasional perbankan akan semakin kuat dengan kemampuan menghadapi risiko yang semakin baik, baik saat ini maupun dimasa-masa yang akan datang.
Seiring dengan tuntutan penerapan GCG pada sektor perbankan, maka pada tahun 2006 Bank Indonesia menggagas peraturan yang secara khusus mengatur mengenai ketentuan pelaksanaan GCG di Bank Umum. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum yang kembali disempurnakan melalui PBI No. 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan Atas PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum.
Peraturan tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan GCG pada industri perbankan harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar yakni keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). Dalam pelaksanaan GCG tersebut, diperlukan keberadaaan Komisaris Independen dan Pihak Independen. Keberadaan pihak-pihak independen tersebut, diharapkan dapat menciptakan check and balance, menghindari benturan kepentingan (conflik of interest) dalam pelaksanaan tugasnya serta melindungi kepentingan stakeholders khususnya pemilik dana dan pemegang saham minoritas. Selain itu, PBI ini juga mewajibkan bank untuk menyampaikan Laporan Pelaksanaan GCG pada setiap akhir tahun buku dan paling lambat 5 bulan setelah tahun buku berakhir. Bagi bank yang tidak memenuhi ketentuan dalam PBI ini akan dikenakan sanksi.

Permasalahan
1. Mengapa bank umum wajib menerapkan good corporate governance sesuai dengan     peraturan bank Indonesia Nomor 8/4/PBI /2006?
2  Bagaimana implementasi good corporate governance pada bank umum sesuai dengan peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006?

Pembahasan
Kewajiban Pelaksanaan Good Corporate Governance pada Bank Umum
Bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip good corporate governance dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. Yang dimaksud dengan seluruh tingkatan atau jenjang organisasi adalah seluruh pengurus dan karyawan bank mulai dari dewan komisaris dan direksi sampai dengan tingkat pegawai dan pelaksana bank.
Seiring dengan tuntutan penerapan GCG pada sektor perbankan, maka pada tahun 2006 Bank Indonesia menggagas peraturan yang secara khusus mengatur mengenai ketentuan pelaksanaan GCG di Bank Umum. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum yang kembali disempurnakan melalui PBI No. 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan Atas PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum.
Peraturan tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan GCG pada industri perbankan harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar yakni keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). Dalam pelaksanaan GCG tersebut, diperlukan keberadaaan Komisaris Independen dan Pihak Independen. Keberadaan pihak-pihak independen tersebut, diharapkan dapat menciptakan check and balance, menghindari benturan kepentingan (conflik of interest) dalam pelaksanaan tugasnya serta melindungi kepentingan stakeholders khususnya pemilik dana dan pemegang saham minoritas. Selain itu, PBI ini juga mewajibkan bank untuk menyampaikan Laporan Pelaksanaan GCG pada setiap akhir tahun buku dan paling lambat 5 bulan setelah tahun buku berakhir. Bagi bank yang tidak memenuhi ketentuan dalam PBI ini akan dikenakan sanksi.

Implementasi Good Corporate Governance
Dalam pelaksanaan GCG di perbankan adalah penting bagi perbankan untuk melakukan pentahapan yang cermat berdasarkan analisis atas situasi dan kondisi bank, dan tingkat kesiapannya, sehingga penerapan GCG dapat berjalan lancar dan mendapatkan dukungan dari seluruh unsur di dalam bank.
Pedoman GCG Perbankan Indonesia menguraikan bahwa pengaturan dan implementasi GCG memerlukan komitmen dari top management dan seluruh jajaran organisasi. Pelaksanaannya dimulai dari penetapan kebijakan dasar (strategic policy) dan kode etik yang harus dipatuhi oleh semua pihak dalam perusahaan. Bagi perbankan Indonesia, kepatuhan terhadap kode etik yang diwujudkan dalam satunya kata dan perbuatan, merupakan faktor penting sebagai landasan penerapan GCG. Adapun pedoman yang terdapat dalam Pedoman GCG Perbankan Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan GCG dapat dilakukan melalui lima tindakan, yaitu:
a.    Penetapan visi, misi dan corporate values
b.    Penyusunan corporate governance structure
c.    Pembentukan corporate culture
d.   Penetapan sarana public disclousures
e.    Penyempurnaan berbagai kebijakan bank sehingga memenuhi prinsip GCG
2. Penetapan visi, misi dan corporate values merupakan langkah awal yang harus dilaksanakan dalam penerapan GCG oleh suatu bank.
3. Corporate governance structure dapat diterapkan secara bertahap dan terdiri dari sekurang-kurangnya:
a.    Kebijakan corporate governance yang selain memuat visi dan misi bank, juga memuat tekad untuk melaksanakan GCG dan pedoman-pedoman pokok penerapan prinsip GCG yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Independency dan Fairness.
b.    Code of Conduct yang memuat pedoman perilaku wajar dan dapat dipercaya dari pimpinan dan karyawan bank.
c.    Tata Tertib Kerja Dewan Komisaris dan Tata Tertib Kerja Direksi yang memuat hak dan kewajiban serta akuntabilitas dari Dewan Komisaris dan Direksi maupun para anggotanya masing-masing.
d.   Organisasi yang di dalamnya tercermin adanya risk management, internal control dan compliance.
e.    Kebijakan risk management, audit dan compliance.
f.     Human resourse policy yang jelas dan transparan.
g.    Corporate plan yang menggambarkan arah jangka panjang yang jelas.
4. Pembentukan corporate culture untuk memperlancar pencapaian visi dan misi serta implementasi corporate governance structure. Corporate culture terbentuk melalui penetapan prinsip dasar (guilding principles), nilai-nilai (values) dan norma-norma (norms) yang disepakati serta dilaksanakan secara konsisten dengan contoh konkrit dari pimpinan bank. Corporate culture perlu didiskusikan secara berkesinambungan dan ditunjang oleh social communication.
5. Pembentukan pola dan sasaran disclousure sangat diperlukan sebagai bagian dari akuntabilitas bank kepada stakeholders. Sarana disclousure dapat melalui laporan tahunan (annual report), situs internet (website), review pelaksanaan GCG dan sarana lainnya.
Ada pula tahapan penerapan GCG pada bank . Pentahapan tersebut diberi nama GCG (Good Corporate Governance), GGC (Good Governed Corporate) dan GCC (Good Corporate Citizen).[2]
1.    Tahap GCG (Good Corporate Governance)
Tujuan dari penerapan GCG pada tahap ini adalah memenuhi semua ketentuan penerapan GCG yang berlaku (compliance). sesuai dengan tujuan dari tahap ini maka aktivitas utamanya adalah penyusunan pedoman GCG sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kelengkapan struktur dan proses yang diminta.
Pedoman GCG yang harus disusun pada tahap ini pada dasarnya terdiri dari:
a.    Pedoman Corporate governance yang meliputi:
·      Pedoman umum GCG untuk perusahaan (GCG Code)
·      Pedoman GCG untuk Direksi dan Komisaris (Board Manual)
·      Pedoman etika korporasi (Code of Conduct) termasuk aturan tentang benturan kepentingan.
b.    Piagam untuk komite-komite yang diwajibkan, misalnya:
·      Komite Audit, Komite Pemantau Risiko, Komite Governance, Nominasi dan Renumerasi (Audit Charter, Risk Committee Charter, Governance and Nomination & Renumeration Committee Charter, etc.);
·      Pedoman untuk komite-komite eksekutif bila ada;
·      Pedoman untuk Satuan Kerja Auditor Intern/Satuan pengawasan Intern.
c.    Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan penerapan GCG dan prudential regulation, yang antara lain meliputi:
·      Kebijakan disclousure and transparency;
·      Kebijakan Manajemen Risiko;
·      Kebijakan Sistem Pengendalian Intern;
·      Kebijakan Pelaksanaan BMPK;
·      Kebijakan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah;
·      Kebijakan Kepatuhan (Compliance Policy).
Setelah pedoman GCG selesai disusun, maka aktivitas berikutnya dalam tahap GCG adalah melakukan sosialisasi implementasi awal. Sosialisasi dilakukan dengan metode top down approach, dimulai dari Direksi dan Komisaris. Ini perlu karena dalam banyak hal pembentukan tone at the top merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan GCG. Khusus terkait dengan penerapan etika korporasi dan penegakan sistem pengendalian intern bank, maka unsur tone at the top mutlak diperlukan.
Untuk implementasi awal yang menjadi sasaran adalah pelaksanaan GCG pada tingkat organ perseroan dan organ pendukungnya. Sedangkan untuk prudential regulating haruslah disusun standar pelaksanaan operasionalnya (standar operating procedures) yang lebih rinci terlebih dahulu.
Setelah sosialisasi dan implementasi awal dilakukan maka perlu diadakan self assessment untuk menilai seberapa jauh pelaksanaan awal GCG telah berhasil. Apakah sudah sesuai rencana, ataukah masih menemui hambatan. Dengan mengetahui kondisi peta pelaksanaan awal GCG ini maka dapat dilakukan perbaikan seperlunya untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan GCG. Hasil self assessment ini juga harus dilaporkan ke Bank Indonesia, sebagaimana dituntut oleh PBI No. 8/14/PBI/2006 jo PBI No. 8/4/PBI/2006.
2.    Tahap GGC (Good Governed Corporate)
Tujuan tahap ini adalah pelaksanaan prinsip-prinsip GCG pada semua proses bisnis dengan didukung oleh tersedianya pedoman perusahaan dari tingkat manajemen puncak hingga tingkat operasional. Melalui pelaksanaan yang lebih intensif, diharapkan secara perlahan tetapi pasti terbentuk “Budaya GCG” diseluruh jajaran perusahaan. Dengan demikian diharapkan “prudential banking” sudah menjadi second nature bagi seluruh karyawan bank. Tahap ini merupakan tahap terpanjang dan kritis dari pelaksanaan GCG pada bank.
Secara garis besar aktivitas pada tahap GCG adalah sebagai berikut:
a.    Penyusunan buku pedoman perusahaan untuk semua kebijakan prudential regulation yang telah ditetapkan oleh Direksi bank dan diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip GCG;
b.    Penyusunan buku pedoman perusahaan untuk semua kegiatan penunjang operasi perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip GCG;
c.    Sosialisasi dan penerapan buku pedoman peruasahaan yang telah disusun secara bertahap hingga ke seluruh aspek operasional perusahaan;
d.   Melakukan asessment dan evaluasi berkala untuk meningkatkan efektifitas penerapan buku pedoman perusahaan sesuai dengan prinsip-prinsip GCG dan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan sosialisasi dilakukan secara terbatas. Artinya pihak-pihak yang terkait langsung dengan proses bisnis tersebut wajib untuk memahami buku pedoman perusahaan tersebut. Oleh karena itu, mereka harus terlibat dengan intens dalam sosialiasasinya. Untuk pihak lain sosialisasi lebih didasarkan pada need to know basis saja dan tidak perlu ikut secara intens. Selama proses sosialisasi tersebut, pedoman etika korporasi dan asas prudential bank harus selalu dijadikan acuan proses, sehingga dalam pelaksanaan implementasinya nanti budaya GCG dapat betul-betul secara perlahan menjadi “second nature’.
Evaluasi dan self assessment secara berkala haruslah dilaksanakan sebagai sarana untuk mengukur kemajuan yang telah dicapai dan juga sekaligus untuk melakukan perbaikan serta peningkatan pelaksanaan GCG. Selain itu hasil dari evaluasi dan self assessment ini menjadi bahan untuk dilaporkan ke Bank Indonesia, sebagaimana diatur dalam PBI No. 8/14/PBI/2006 jo. PBI No. 8/4/PBI/2006.

Self assessment pelaksanaan good corporate governance
1.  Penilaian terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip good corporate governance, paling kurang harus diwujudkan dalam 11 (sebelas) faktor penilaian pelaksanaan good corporate governance yang terdiri dari:
a. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dewan komisaris
b.  Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab direksi
c.  Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite
d.  Penanganan benturan kepentingan
e.  Penerapan fungsi kepatuhan
f.  Penerapan fungsi audit intern
g.  Penerapan fungsi audit ekstern
i.   Penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan penyediaan dana besar (large exposures)
j.   Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan bank,laporan pelaksanaan good corporate governance dan pelaporan internal.
k.  Rencana strategis bank.
2.  Kertas kerja self assessment good corporate governance disusun per faktor penilaian pelaksanaan good corporate governance. Format kertas kerja self assessment tersebut terdiri dari kolom : Tujuan, Kriteria/Indikator, Analisis self assessment, Kriteria peringkat faktor penilaian pelaksanaan good corporate governance.
3.  Pengisian kertas kerja self assessment good corporate governance dilakukan dengan metode kualitatif,dengan tahapan sebagai berikut:
a. Tahap pertama,bank mempelajari dan memahami pokok-pokok uraian yang termuat pada kolom tujuan
b.  Tahap kedua bank mempelajari dan memahami uraian yang termuat pada kolom kriteria/indikator
c.  Tahap ketiga,menyusun analisis kecukupan palaksanaan good corporate governance dengan melakukan hal-hal berikut:
1) Mengumpulkan data dan informasi yang relevan untuk menilai kecukupan pelaksanaan good corporate governance oleh bank,seperti data kepengurusan,kepemilikan,struktur kelompok usaha,laporan tahunan,laporan berkala dan laporan khusus direktur kepatuhan,laporan yang berkaitan dengan tugas satuan kerja audit intern,laporan akuntan publik,khususnya komentar mengenai keandalan sistem pengendalian intern bank,laporan profil resiko,hasi self assessment CAMELS, dokumen rencana korporasi (corporate plan),rencana dan realisasi rencana bisnis,laporan-laporan dewan komisaris dan laporan lain yang terkait denagn faktor penilaian pelaksanaan good corporate governance.
2)  Membandingkan pemenuhan setiap kriteria/indikator per sub faktor/faktor penilaian dengan pelaksanaan good corporate governance sesuai kondisi,permasalahan dan kekuatan yang dimiliki bank.
3)  Berdasarkan butir 2) diatas,selanjutnya bank menyusun analisis pelaksanaan good corporate governance bank dimaksud dan dimuat pada kolom analisis self assessment.
d.  Tahap keempat,setelah melakukan analisis self assessment per sub faktor/faktor,bank dapat mengambil kesimpulan melalui penetapan peringkat per faktor beserta penjelasannya,sesuai kondisi bank yang sebenarnya dengan berpedoman pada kriteria masing-masing peringkat.
e.  Tahap kelima,menyusun hasi akhir self assessment good corporate governance per faktor dalam kolom kesimpulan.kesimpulan di maksud antara lain berisi peringkat per faktor,identifikasi permasalahan,rencana tindak(action plan) yang merupakan tindakan korektif(corrective action) secara komprehensif dan sistematis beserta target waktu pelaksanaannya.
4.  Setelah melakukan penilaian terhadap masing-masing faktor,bank membobot faktor-faktor tersebut,dengan menggunakan presentase pembobotan yang telah ditetapkan sebagai berikut:
No
Faktor
Bobot(%)
1
Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dewan komisaris

10.00
2
Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab direksi
20.00
3
Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite
10.00
4
Penanganan benturan kepentingan
10.00
5
Penerapan fungsi kepatuhan bank
5.00
6
Penerapan fungsi audit intern
5.00
7
Penerapan fungsi audit ekstern
5.00
8
Fungsi manajemen risiko termasuk sistem penegendalian intern
7.50
9
Penyediaan dana pihak terkait (related party) dan debitur besar (large exposures)
7.50
10.
Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan laporan pelaksanaan good corporate governance dan pelaporan internal
15.00
11
Rencana strategis bank
5.00

5.  Nilai akhir masing-masing faktor diperoleh dengan mengalikan bobot prosentase dengan hasil peringkat dari masing-masing faktor.untuk mendapatkan nilai komposit,bank harus menjumlahkan nilai akhir dari(11) sebelas faktor di atas.
6.  Sebagai langkah terakhir,bank menetapkan nilai komposit hasil self assessment pelaksanaan good corporate governance bank ,dengan menetapkan klasifikasi peringkat komposit,sebagaimana table berikut:
Nilai Komposit
Predikat Komposit
Nilai Komposit < 1.5
Sangat Baik
1.5? Nilai komposit < 2.5
Baik
2.5? Nilai komposit < 3.5
Cukup Baik
3.5? Nilai komposit <4.5
Kurang Baik
4.5? Nilai komposit <5
Tidak Baik

7.  Apabila terdapat faktor yang nilai peringkat faktornya 5,maka predikat komposit tertinggi yang dapat di capai bank adalah “Cukup Baik”
8.  Apabila terdapat faktor yang nilai peringkat faktornya 4,maka predikat kompositnya tertinggi yang dapat di capai bank adalah  “Baik”
9.  Kertas kerja self assessment good corporate governance dan dokumen pendukung self assessment pelaksanaan good corporate governance di atas,harus di dokumentasikan dengan baik sehingga memudahkan penelusuran oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
10.Berdasarkan kertas kerja self assessment good corporate governance diatas,bank perlu membuat kesimpulan umum hasil self assessment pelaksanaan good corporate governance bank pada lembar tersendiri,yang menggambarkan pemenuhan kecukupan seluruh faktor penilaian,paling kurang meliputi:
a.  Nilai Komposit dan Predikatnya                                      
b.  Peringkat masing-masing faktor
c.  Kelemahan dan penyebabnya,action plan(rencana tindak) yang merupakan tindakan korektif(corrective action) beserta target waktu pelaksanaannya.
d.  Kekuatan pelaksanaan good corporate governance.
11.Kesimpulan umum hasi self assessment pelaksanaan good corporate governance bank dimaksud ,harus ditandatangani oleh komisaris utama dan direktur utama bank.
12.Untuk self assessment pelaksanaan good corporate governance periode berikutnya. Kesimpulan umum tersebut diatas perlu di lengkapi dengan realisasi pencapaian. Pelaksanaan rencana tindak (action plan) berikut waktu penyelesaiannya  dan kendala penyelesaiannya.
13.Kesimpulan umum self assessment pelaksanaan good corporate governance suatu periode penilaian di maksud,menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dari laporan pelakasanaan good corporate governance bank sebagaimana di maksud dalam pasal 65 ayat (2) peraturan bank Indonesia No.8/4/PBI/2006 tentang pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum.
14.Bank harus menyampaikan hasil self assessment pelaksanaan good corporate governance bank secara lengkap kepada bank Indonesia paling lambat 5(lima) bulan setelah tahun buku berakhir,meliputi:kertas kerja self assessment good corporate governance masing-masing faktor,ringkasan perhitungan nilai komposit dan predikat komposit beserta kesimpulan umum hasil self assessment pelaksanaan good corporate governance.
           
Kesimpulan                           
Adanya kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ bank mengindikasikan terlaksananya prinsip akuntabilitas dengan baik. Good Corporate Governance berjalan dengan baik karena segenap jajaran bank telah memahami perannya dengan baik dalam pelaksanaan GCG. Prinsip akuntabilitas ini merupakan ekspresi dari prinsip pertanggungjawaban. Apabila suatu fungsi dan tugas dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip perbankan yang sehat, hasil kerja tersebut dengan mudah dipertanggungjawabkan hasilnya. Prinsip pertanggungjawaban ini tercermin dalam pengelolaan bank yang senantiasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip perbankan yang sehat.  Prinsip ini diwujudkan melalui tanggung jawab sosial, menghindai penyalahgunaan kekuasaan dan memelihara lingkungan bisnis yang sehat.
Pengelolaan bank secara profesional tanpa benturan kepentingan (conflik of interest) dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun mengindikasikan terlaksananya prinsip independensi dengan baik. Prinsip ini diwujudkan dalam menjalankan tugas dimana jajaran bank dituntut untuk mendahulukan kepentingan dan usaha bank di atas kepentingan pribadi. Selain itu, bank senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran (equal treatment). Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan membuat pedoman etika usaha/etika kerja, yang merupakan norma-norma untuk mengatur hubungan antara bank dengan stakeholders. Dengan adanya pedoman ini diharapkan akan membantu mereduksi potensi konflik antara bank dengan stakeholders dan antar karyawan.
Implementasi GCG tersebut telah mencerminkan pengelolaan bank yang baik sesuai dengan prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). Dengan demikian, GCG mampu menjadikan segenap jajaran organisasi bank sebagai warga korporasi negara yang baik (good corporate citizen) dengan menjadikannya sebagai bank yang kuat, mampu bersaing dan mampu menerapkan kebiasaan bisnis yang sehat dengan tujuan meningkatkan kinerja (performance) dan nilai perusahaan (corporate value) dalam jangka panjang.
Aktivitas perbankan diharapkan dapat meningkatkan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Perbankan bukanlah komunitas yang terisolasi, namun merupakan komunitas terbuka yang berinteraksi dengan lingkungannya. Bank berinteraksi dengan masyarakat dan badan bisnis lain sebagai nasabah penyimpan dan peminjam, dan dengan pemerintah sebagai pemutus kebijakan dan peraturan yang harus diikutinya. Untuk itu, perbankan yang sehat dan kuat merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi.
Perbankan yang sehat dan kuat merupakan cita-cita kita semua dan untuk mewujudkannya diperlukan implementasi GCG. Implementasi GCG yang konsisten dan terpadu akan menyelaraskan hubungan antar-stakeholders dalam menentukan dan mengendalikan arah strategi dan kinerja perbankan. Good Corporate Governance menegaskan pentingnya prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness) dipegang teguh dalam setiap tindakan dan perilaku organ perbankan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Bank Indonesia. 2006. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum. (online), (www.bi.go.id, diakses pada 20 Desember 2010).

Bank Indonesia. 2006. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 Perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum. (online), (www.bi.go.id, diakses pada 20 Desember 2010).
Christian Herdinata. 2008. Good Corporate Governance Vs Bad Corporate Governance: Pemenuhan Kepentingan antara Para Pemegang Saham Mayoritas dan Pemegang Saham Minoritas.  (Online), (http://lpks1.wima.ac.id/pphks/accurate/makalah/MOSS7.pdf, diakses pada tanggal 23 Desember 2010).
Deni Darmawati. 2006. Pengaruh Karakteristik Perusahaan dan Faktor Regulasi terhadap Kualitas Implementasi Corporate Governance. Makalah disajikan pada Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang 23-26 Agustus 2006.
G. Suprayitno, et all. 2004. Komitmen Menegakkan Good Corporate Governance: Praktik Terbaik Penerapan GCG Perusahaan di Indonesia. Jakarta: The Institute for Corporate Governance (IICG).
Herwidayatmo. 2000. Implementasi Good Corporate Governance Untuk Perusahaan Publik Indonesia. (Online), (http://www.imfeui.com/uploads/ file110-XXIX-Oktober-2000.PDF, diakses pada tanggal 15 Juli 2010).
Komite Nasional Kebijakan Governance. 2004. Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia. (Online), (http://www.governance-indonesia.com/component/option.com, diakses pada tanggal 13 Desember 2010).
Krisna Wijaya. 2002. Reformasi Perbankan Nasional. Jakarta: Harian Kompas.

Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata. 2007. Good Corporate Governance pada Bank: Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris dalam Melaksanakannya. Jakarta: PT Hikayat Dunia.
Muchammad Ghufron. 2008. 69,3% Bank Tak Patuhi GCG. (Online), (http://www.jurnalnasional.com/?med=koran%20Harian&sec=Sembilan&rbrk=&id=37886&posdate=2008-02-28&detail=Sembilan, diakses pada tanggal 10 Desember 2010).
Muh. Arief Effendi. 2005. Peranan Etika Bisnis dan Moralitas Agama dalam Implementasi GCG. (Online),(http://www.muhariefeffendi.wordpress.com, diakses pada tanggal 12 Desember 2010).
Riduwan. 2005. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Riduwan. 2007. Metode Penelitian untuk Tesis. Bandung: Alfabeta.
Rofikoh Rokhim. 2006. Mengapa GCG bagi Bank Begitu Penting? (Online), (http://klipingonline.blogdrive.com/archive/56.html, diakses pada tanggal 07 November 2010).
Sri Sulistyanto dan Haris Wibisono. 2003. Good Corporate Governance: Berhasilkah Diterapkan di Indonesia? (Online) (http://re-searchengines.com/hsulistyanto3.html, diakses pada tanggal 14 Desember 2010).
Sutan Remy Sjahdeini. 1999. Pengembangan Fungsi Pengawasan Menuju Good Corporate Governance pada Milenium baru. Makalah disajikan pada Seminar yang diselenggarakan Yayasan Pendidikan Internal Auditor (YPAI), Graha Sucofindo, Jakarta pada Tanggal 29 September 1999, tidak diterbitkan.

Wilson Arafat. 2008. How to Implement GCG Effectively. Jakarta: Skyrocketing Publisher.


[1] Krisna Wijaya. 2002. Reformasi Perbankan Nasional. Jakarta: Harian Kompas.
[2] Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata. 2007. Good Corporate Governance pada Bank: Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris dalam Melaksanakannya. Jakarta: PT Hikayat Dunia.

Senin, 07 Juli 2014

Soal MK. Hukum Investasi ( F. Hukum Kelas Hukum Perdata A, B, C)

   |   
ID Logo
Daya Saing Investasi di Daerah
Oleh Arif Minardi | Jumat, 14 Maret 2014 | 7:13
Ketua Umum Perhimpunan Persahabatan Indonesia Jepang (PPIJ) Rachmat Gobel berjabat tangan dengan Gubernur Prefectur Osaka Ichiro Matsui (tengah) dan Chief Representative Panasonic di Indonesia Ichiro Suganuma (kanan) usai melakukan jamuan makan malam misi dagang dan investasi Osaka ke Jakarta yang dipimpin langsung oleh Gubernur Osaka, di Jakarta, kemarin malam. Sebanyak lebih dari 20 pengusaha Osaka berada di Indonesia untuk mempererat kerja sama bisnis dan teknologi di bidang seving energy dan energy terbarukan. Foto: Investor Daily/ant

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menargetkan akan menggaet investasi sebesar Rp 450 triliun - Rp 470 triliun. Ini adalah sebuah peluang bagi daerah. Namun, langkah BKPM ini perlu diimbangi dengan totalitas pemerintah daerah untuk memperbaiki daya saing penanaman modal di wilayahnya.

Pemerintah daerah (pemda) punya peran penting untuk membujuk perusahaan yang sudah berinvestasi di Indonesia agar mau menambah kapasitas produksi atau pun mendirikan pabrik baru (reinvestasi) di daerahnya. Untuk itu pemerintah daerah dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menarik para investor agar mereka memalingkan wajahnya ke daerah-daerah.

Hanya daerah-daerah yang secara cerdas mampu merumuskan kebijakan investasi klasik dan mengambil langkah terobosan terkini yang akan memenangkan persaingan. Daerah-daerah tersebut harus bisa merumuskan secara baik dan benar muatan-muatan klasik sebuah kebijakan investasi, yang meliputi: arah pengembangan investasi daerah; aspek legal dan kepastian investasi; pengembangan tata ruang dan kawasan investasi; hak dan kewajiban investor; pelayanan investasi; insentif perpajakan, dan lain-lain.

Guna mendorong investasi, pemda dituntut proaktif menggali potensi daerahnya dan menginformasikannya kepada publik melalui berbagai media. Keberadaan informasi yang cepat akses, akurat, dan mutakhir, akan membantu pihak investor dalam menganalisis potensi daerah dan melakukan keputusan investasi.

Saat ini, salah satu bentuk informasi potensi daerah yang diharapkan dapat membantu pihak investor dalam mengambil keputusan investasi adalah adanya inovasi berbasis geographic information system (GIS). Format informasi ini sedikitnya memuat: data geofisik, data sosio-ekonomi, seperti demografi, struktur ekonomi, statistik pertanian, konsumsi dan pengeluaran, kemiskinan, dan indikator pembangunan daerah; dan peta infrastuktur, termasuk jalan, pelabuhan, bandara, infrastruktur kemisinan dan lain-lain.

Transformasi dan Inovasi
Tapi, pada dasarnya pemerintah daerah memang harus memiliki kebijakan investasi dan harus secara total dan konsisten menjalankan kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut harus ditetapkan dengan standarisasi yang baku, dan selanjutnya dipublikasikan secara menarik melalui media terkini, yakni media mainstream dan media sosial agar investor dapat mempelajarinya.

Rumusan kebijakan investasi daerah itu penting agar daya tarik investasi daerah yang bersangkutan bisa dipelajari oleh para calon investor. Rumusan kebijakan tersebut harus mencakup banyak segi, detail kebijakan investasi, penyempurnaan peraturan dan regulasi, penyusunan master-plan investasi, pengembangan sistem informasi investasi, pelayanan terpadu satu pintu, dan pengembangan partnership dan portofolio ketenagakerjaan.

Sebagaimana diamanatkan UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, kini pelayanan dan pemrosesan investasi serta pengurusan lembaga bisnis dilakukan dengan penerapan sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Bahkan sudah ada yang mampu mereduksi biaya dan waktu secara signifikan dengan prinsip otomatisasi dan rekayasa ulang proses (process re-engineering).

Pada 2014 ini, semua PTSP (provinsi maupun kabupaten/kota) harus sudah “berbintang” yakni telah tuntas dengan masalah standar kualifikasi dan memiliki kinerja layanan yang terukur. Selama ini standar kualifikasi yang ditetapkan pemerintah akan menjadikan PTSP nasional memiliki dua penggolongan. PTSP yang belum mencapai standar persyaratan dasar dikualifikasikan sebagai “non-bintang”, sementara yang sudah mencapai persyaratan standar dikualifikasikan “berbintang”.

Terkait TIK, ada beberapa faktor yang dapat mewujudkan standar emas pelayanan oleh pemda dalam meningkatkan investasi, antara lain penerapan sistem atau layanan yang bersifat product lifecycle management (PLM). Sistem ini sangat mendukung serta mendorong kegiatan inovasi dan kreativitas operasional investasi daerah. Sistem ini, antara lain, geoghapical information system (GIS) untuk penyusunan tata ruang dan data spasial. Ada pula sistem business intelligence yang bermanfaat untuk analisis atas data-data yang terkait dengan investasi.

Tanah dan Tenaga Kerja
Pada prinsipnya iklim investasi di Indonesia masih dihadapkan tidak saja pada tantangan untuk menarik investasi baru, tapi juga tantangan untuk mempertahankan investasi yang sudah ada. Ke depan, diperkirakan tantangan tersebut akan kian berat, bukan hanya karena lingkungan eksternal yang semakin ketat, akan tetapi juga karena daya tarik domestik yang masih relatif rendah.

Harus kita akui, hingga sejauh ini, arus masuk penanaman modal asing (PMA) masih terganggu akibat sejumlah faktor, antara lain persoalan tanah, kualifikasi tenaga kerja, dan kondisi keamanan. Terkait proses pengadaan tanah, hal ini masih tetap menjadi menjadi momok bagi para investor. Melonjaknya kasus sengketa pertanahan dan kendala proses pengadaan tanah selain membutuhkan kewibawaan hukum juga membutuhkan sistem informasi pertanahan yang canggih dan mudah diakses oleh publik.

Beberapa kali pemerintah merevisi peraturan tentang pengadaan tanah untuk pembangunan. Namun, revisi yang dilakukan selalu terbentur pada masalah di lapangan, sehingga proses investasi tidak bisa efektif. Salah satu masalah penting adalah validitas dan rendahnya kredibilitas sistem informasi pertanahan atau land information system (LIS) di daerah.

Sistem informasi pertanahan daerah kini sudah ketinggalan jaman, masih menggunakan sistem yang konvensional. Akibat masalah di atas adalah tidak optimalnya program land capping untuk pembangunan infrastruktur jalan tol dan lain-lain. Land capping merupakan pengaturan berbagi risiko atau risk sharing yang proporsional antara pemerintah dan pihak investor, dengan tujuan memberikan kepastian dan kenyamanan dalam berinvestasi.

Belum adanya sinergi positif dengan organisasi buruh atau pekerja terkait dengan persoalan upah, outsourcing, dan kebebasan berorganisasi, juga memengaruhi persepsi investor terhadap iklim investasi di negeri ini. Hal itu telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor yang hendak menanamkan modalnya di sini. Mereka akan menunda realisasi investasi atau malah berpindah investasi ke nagara atau daerah lain kalau sengketa upah masih menjadi bom waktu.

Kurang kondusifnya pasar tenaga kerja harus segera diatasi. Dengan produktivitas yang masih rendah, masalah kompetensi dan upah yang sulit diperkirakan secara pasti, serta ketidakpastian hubungan industrial antara perusahaan dan tenaga kerja, daya tarik investasi di Indonesia dari sisi ketenagakerjaan akan terus menurun.

Isu aktual terkait dengan daya saing investasi adalah masalah kompetensi ketenagakerjaan yang masih terbilang rendah untuk mendukung kegiatan investasi. Di sini, pihak pemda perlu menata portofolio kompetensi SDM di daerahnya. Hal ini penting karena akhir-akhir ini terjadi disparitas kesenjangan yang akut terkait kebutuhan tenaga kerja yang berkompetensi.

Arif Minardi
Anggota Komisi VI DPR RI

Pertanyaan:
 Baca, pahami dan analisislah artikel diatas dengan perspektif Hukum investasi.



Soal UAS MK. Penalaran Hukum ( F. Hukum Kelas E & F 2014)



Menjadi penting untuk dikaji bahwa hukum bukanlah benda mati yang bisa berjalan sendiri. Hukum akan hidup jika manusia memaknainya. Seringkali orang berpresepsi jika hukum tajam keatas tapi tumpul kebawah. Seperti halnya putusan Rasminah dan putusan Angelina S. Lebih mendalam, problematika hukum cenderung pada persoalan personal atau sabyek hukum semata, bukan persoalan kesadaran dan kepatuhan masyarakat hukum sendiri. Sehingga akses untuk keadilan (acces to justice) sulit diperoleh masyarakat secara massif. Eksplorasi sekelumit ini memperlihatkan pembacaan akan wajah hukum kita.

Pertanyaan:
1.  Jika dibaca secara seksama ada beberapa ‘ kalimat’ yang mengandung sesat pikir. Cari dan berikan argumentasinya. Kemudian perbaiki  kalimat yang mengandung sesat pikir tersebut dalam perspektif pemikiran saudara.
2.  Kalimat pada Paragraf diatas  termasuk dalam metode penalaran hukum apa? Amatilah?
3.  Buatlah satu paragraf kalimat sebagaimana contoh diatas dengan substansi sama namun dengan redaksi dan metode berbeda.

Rabu, 02 Juli 2014

Soal UAS MK. PIH FISIP Komunikasi 2014 ( Kelas Pagi & Sore)



  1. Apa yang saudara pahami tentang Hukum? Bagaimana pula fungsi dan eksistensinya? Jelaskanlah sesuai dengan argumentasi saudara dengan disertai beberapa contoh pendukung.
  2. Apabila saudara menghadapi persoalan hukum apa yang saudara akan lakukan? Persoalan tersebut menyangkut: 1) Persoalan hukum yang sifatnya privat. Jelaskan! 2). Persoalan hukum yang sifatnya publik. Jelaskan!
  3. Berilah contoh kasus seorang individu yang tidak termasuk dalam subjek hukum! (Sumber bisa dari media cetak, televisi atau internet)

Senin, 12 Mei 2014

Judul Makalah Hukum dan Kearifan Lokal (Kelas B MH. Ubhara 2014)


  1. Judul: Problematika Penerimaan Kearifan Lokal dalam Konteks Hukum Nasional
  2. Judul :RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat 
  3. Judul : Konsep Peradilan Adat:  Komparasi Eritrea dan Papua Nugini
  4. Judul: Signifikansi Peradilan Terapung Sebagai Upaya membuka Acces To Justice

Senin, 05 Mei 2014

Soal UTS MK. Penalaran Hukum (Kelas E & F FH. Ubhara)




Artikel

Ide Keseimbangan Putusan Hakim

OPINI | 18 April 2011 | 06:56 Dibaca: 364    Komentar: 0    Nihil
Putusan hakim tidak adil!! Putusan hakim tidak berhati nurani!! Putusan hakim berat sebelah!! Putusan hakim menguntungkan orang kaya tidak berpihak pada orang miskin!! Dan banyak lagi keluhan-keluhan terhadap putusan hakim yang sekarang ini terjadi dan sangat ramai diperbincangkan dalam masyarakat. Hal ini merupakan salah satu contoh buruknya hukum yang ada di Indonesia.
Apakah pentingnya putusan hakim? Putusan hakim sangat penting bagi beberapa orang terutama bagi seorang terdakwa yang sedang berada dalam suatu persidangan. Karena dengan adanya putusan hakim inilah nasib seorang terdakwa ditentukan. Apakah itu bebas, lepas, maupun putusan yang mengandung hukuman.
Dilihat dari putusan hakim dapat dilihat banyaknya putusan hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan, maupun putusan-putusan yang “kontroversial”. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya putusan hakim yang dibanding karena ketidakpuasan terhadap putusan hakim dan banyak juga hakim-hakim yang dilaporkan kepada Komisi Yudisial karena kelakuan hakim itu sendiri.
Hal ini sangat ironis melihat peran hakim sebagai orang terakhir dalam memutuskan suatu perkara. Banyaknya putusan hakim yang “kontroversial” menimbulkan kekecewaan dari berbagai pihak. Harusnya putusan-putusan hakim harus memenuhi “ide keseimbangan” putusan hakim. Apakah itu ide keseimbangan putusan hakim?
Putusan hakim yang memiliki ide keseimbangan adalah putusan hakim yang memiliki atau memenuhi unsure 3 nilai dasar seperti yang pernah dikemukakan oleh Gustav Radbuch yakni nilai dasar kepastian hukum, nilai dasar keadilan, dan nilai dasar kemanfaatan. Putusan yang memenuhi unsur 3 nilai dasar ini dikatakan memenuhi ide keseimbangan dikarenakan aspek-aspek tentang hukum telah ada dalam nilai dasar hukum itu sendiri.
Putusan hakim harus memenuhi dan mewujudkan kepastian hukum di dalam masyarakat karena putusan hakim selain untuk menegakkan hukum juga untuk memberi efek jera kepada si pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Nilai dasar keadilan juga harus ada dalam sebuah putusan hakim berbarengan dengan adanya kepastian hukum karena orang-orang yang berperkara di pengadilan datang untuk mencari sebuah keadilan tidak hanya kemenangan dalam siding semata. Hakim sebagai pembuat keputusan tidak dapat hanya langsung mengambil dari Undang-Undang (hakim menjadi corong Undang-Undang) tapi hakim harus menggunakan perasaan dan hati nuraninya di dalam memutuskan sebuah perkara karena dengan adanya keadilan berbarengan dengan kepastian hukum maka hukum di Indonesia dapat ditegakkan dengan seadil-adilnya.
Putusan hakim juga harus memenuhi unsur nilai dasar kemanfaatan dalam putusan hakim karena putusan hakim selain memenuhi unsur kepastian hukum dan keadilan juga harus bermanfaat bagi seluruh pihak dan tidak berpihak kepada siapapun sehingga dapat dijadikan referensi oleh hakim lain untuk memutuskan suatu perkara dalam materi yang sama (yurisprudensi).
Namun di dalam memenuhi putusan hakim yang memenuhi 3 unsur nilai dasar ini bukanlah suatu perkara yang mudah. Hal ini dikarenakan sering terjadi ketegangan antara 3 nilai dasar ini (Spannungverhaitnis). Yang paling sering terjadi adalah ketegangan antara nilai dasar kepastian hukum dan nilai dasar keadilan karena di satu sisi hakim harus menegakkan hukum dengan melihat undang-undang untuk menjamin kepastian hukum tanpa mengindahkan rasa keadilan yang ada.
Hal ini sangat susah sehingga banyak putusan hakim yang hanya menjamin kepastian hukum tanpa adanya rasa keadilan dalam putusannya. Sehingga hakim menjadi corong UU dan ini menimbulkan banyaknya putusan yang kontroversial dan tidak memenuhi rasa keadilan.
Jadi didalam putusan hakim haruslah memenuhi unsur 3 nilai dasar karena putusan hakim yang didalamnya mengandung kepastian hukum, rasa keadilan, dan bermanfaat bagi seluruh pihak sangat diperlukan oleh seluruh masyarakat yang menginginkan hukum ditegakkan seadil-adilnya. Tapi juga putusan hakim harus bermanfaat untuk seluruh pihak dan masyarakat dan juga dapat digunakan sebagai petunjuk dan pedoman oleh hakim-hakim selanjutnya dalam memutuskan sebuah perkara.
© Blog Mr. Joe
Maira Gall