MEMAKNAI KEMBALI KEARIFAN LOKAL DALAM
KONTEKS HUKUM NASIONAL
Prolog
Tulisan
ini muncul sebagai bahan bacaan mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Bhayangkara Surabaya, Khususnya menyangkut mata Kuliah
Hukum dan kearifan lokal. Banyak yang mengkritik mengapa harus hukum dan
kearifan lokal? Bukankah rezim hukum kita telah melapaui rezim global. Penting
dicatat, bahwa kehadiran kearifan lokal bukanlah wacana baru dalam konteks
hukum Indonesia. Kearifan lokal sebenarnya hadir bersamaan dengan terbentuknya
masyarakat kita, masyarakat Indonesia. Eksistensi kearifan lokal menjadi cermin
nyata dari apa yang kita sebut sebagai hukum yang hidup dan tumbuh dalam
masyarakat.
Laporan The
World Conservation Union (1997), dari sekitar 6.000 kebudayaan di dunia,
4.000-5.000 di antaranya adalah masyarakat adat. Ini berarti, masyarakat adat
merupakan 70-80 persen dari semua masyarakat di dunia. Dari jumlah tersebut,
sebagian besar berada di Indonesia yang tersebar di berbagai kepulauan.
Indonesia
benar-benar merupakan masyarakat majemuk nomor wahid di dunia. Secara
topografis berupa negara kepulauan yang terdiri dari sejumlah pulau-pulau besar
dan ribuan pulau kecil, tetapi lebih daripada itu berupa komunitas-komunitas
manusia dengan ratusan warna lokal dan etnis.[3] Di
sinyalir oleh beberapa sumber, jumlah etnis dengan bahasanya yang spesifik
lebih dari 300 ribu lebih kelompok.[4] Ini
merupakan jumlah yang cukup besar yang tidak boleh dipandang remeh, kendati
dalam rangka dominasi ekonomi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern mereka selalu dipinggirkan dan diabaikan.[5]
Penerapan
hukum dalam menghadapi realitas seperti
itu harus mencari, menemukan dan membangun cara-cara serta teknik tersendiri
untuk bisa menjadi satu-satunya institusi penentu dan penjaga ketertiban dalam
ruang kehidupan yang supra majemuk itu. Politik pengaturan oleh hukum di
Indonesia tidak bisa begitu saja memakai model pengaturan yang seragam, mutlak
dan sentralistik untuk suatu komunitas yang
penuh dengan heterogenitas baik secara fisik maupun sosial kultural. Realitas
keberagaman dan kemajemukan masyarakat tersebut acap kali menimbulkan konflik
hukum, khusunya dalam pengelolaan sumber daya alam, tanah, pertanian dan
lingkungan hidup.
Menghadapi kemajemukan itu, Indonesia memiliki
pengalaman sejarah hukum yang panjang dalam mensikapinya, mulai dari
pengembangan dan implementasi konsep pluralisme hukum --yang sampai saat ini masih dikukuhi dan
dikembangkan oleh kalangan akademisi, khususnya para antropologi hukum-- kemudian bergerak menuju konsep
multikulturalisme hukum yang mulai diintrodusir oleh kalangan aktivis LSM/NGOs.
Definisi, Konsep dan Peristilahan
Kearifan
Lokal
Istilah
“masyarakat adat” biasanya digunakan dalam merujuk individu-individu dan
kelompok-kelompok yang merupakan keturunan penduduk asli yang tinggal di sebuah
negara. Istilah bahasa Inggris “indegeneous”
berasal dari bahasa Latin “indegenae”
yang digunakan untuk membedakan antara orang-orang yang dilahirkan disebuah
tempat tertentudan mereka yang datang dari tempat lain (advenae). Sebab itu akar semantic dari istilah tersebut mempunyai
elemen konseptual lebih dahulu atau lebih awal dalam waktu.[6]
Sampai
sekarang, tidak ada definisi secara universal disetujui tentang istilah
“masyarakat adat”. Kesulitan yang membuat definisi yang secara umum diterima
boleh jadi merupakan hasil dari fakta bahwa masyarakat adat sangatlah beragam
dalam budaya maupun struktur sosialnya, sehingga tidak dapat diterapkan sebuah
definisi yang tepat dan inklusif dengan cara yang sama di seluruh dunia. Alasan
lain bersifat politis. Beberapa negara keberatan menggunakan istilah “adat” (indegeneus) yang ditujukan kepada sebagian dari
masyarakat meeka, sementra yang lain sangan keberatan dengan penggunaan istilah
“masyarakat” (peoples) karena dapat
berimplikasi pada munculnya hak menentukan nasib sendiri (right to self determination).[7]
Secara
terminologis, peristilahan atau sebutan yang dilabelkan pada masyarakat adat
masih berkonotasi negatif. Misalnya istilah-istilah yang banyak kita jumpai
dalam literatur-literatur dan kebijakan pemerintah menyebut dengan suku-suku bangsa terasing,[8] masyarakat yang diupayakan berkembang,[9]
kelompok penduduk rentan,[10] masyarakat terasing, masyarakat primitif,
masyarakat tradisional, masyarakat terbelakang, peladang berpindah, perambah
hutan, penduduk asli, suku asli (tribals),
orang asli (aborigines), kaum minoritas (minorities),
orang gunung (highlanders), orang hutan (forest people).
Terminologi istilah, julukan atau pelabelan ini dirasakan
oleh masyarakat adat sangat melecehkan, menyakitkan bahkan memarginalkan
eksistensi mereka. Masyarakat adat di
Indonesia memiliki akar kesejarahan yang
berbeda dengan masyarakat lain, khususnya dalam menghadapi hegemoni dan
represitas negara. Terminologi istilah “masyarakat
adat” ini telah disepakati penggunaannya dalam Konggres Masyarakat Adat
Nusantara.[11]
Secara normatif, UUPPLH
dalam Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 menyebut masyarakat adat dengan istilah
masyarakat hukum adat dengan memberikan batasan sebagai berikut : ”...kelompok
masyarakat yang secara turun–tenurun bermukim di wilayah geografis tertentu kareana
adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan
lingkungan hidup serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial dan hukum”.
Definisi masyarakat
adat, juga diberikan oleh organisasi international (seperti ILO, Bank Dunia),
begitu juga oleh pelapor khusus dan pakar hukum. Konvensi ILO 107 menggunakan
istilah “populasi” yang terdiri dari dua
katagori : “populasi adat kesukuan atau semi kesukuan” dan “populasi
kesukuan atau semi kesukuan yang dianggap adat” karena sejarah mereka dalam
penaklukan atau penjajahan. Semua populasi “adat” adalah populasi “kesukuan”,
tetapi tidak semua populasi “kesukuan” adalah adalah populasi “adat”. Mereka
yang termasuk dalam katagori adat adalah mereka yang telah mengalami masa
“penaklukan dan kolonisasi”. Dalam perkembangannya lahir Konvensi ILO 169 yang
mempertegas kembali isi Konvensi 107. Konvensi ILO 169 menggunakan istilah
“masyarakat “ (people) dan bukannya
“populasi” tetapi membedakan dengan masyarakat “kesukuan” (tribal
peoples) dari masyarakat “adat” (indegeneous
people). “Masyarakat adat” adalah mereka yang mengalami “penaklukan” dan
“kolonisasi”, sementara “masyarakat kesukuan” tidak. Namun pengkatagorian
“populasi” dan “masyarakat” menjadi dua bagian pada kedua Konvensi ini, tidak
memliki konsekwensi praktis karena kedua konvensi tersebut menjamin kedua
katagori populasi dan masyarakat tersebut mempunyai hak-hak yang persis sama.[12]
Bagi komunitas akademis
dan LSM yang memiliki keberpihakan kepada komunitas adat serta masyarakat adat
yang tergabung dalam AMAN (Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara) lebih condong
menggunakan istilah masyarakat adat sebagai
mana tertuang dalam Konvensi ILO 169 kemudian telah diputuskan penggunaan
istilah tersebut dalam Konggres Masyarakat Adat di Jakarta 22-25 Maret 1999.
Masyarakat adat dimaksudkan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul
leluhur (secara turun-temurun) diwilayah geografis tertentu serta memiliki
sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, budaya, sosial, dan wilayah sendiri.
Pengertian ini sesuai dengan Konvensi International
Labour Organization (ILO) Nomor 169 Tahun 1969 Pasal 1 (1.b) yang isinya
sebagai berikut, “Tribal Peoples”
adalah mereka yang berdiam di negara-negara merdeka di mana kondisi-kondisi
sosial, budaya dan ekonominya membedakan mereka dari masyarakat lainnya di
negara tersebut.
Definisi yang paling
banyak dirujuk adalah definisi yang dirumuskan dalam Studi Cobo. Pada studi
tersebut, Pelapor Khusus Jose Martinez Cobo menawarkan sebuah definisi
masyarakat adat sebagai berikut :
Komunitas, masyarakat dan
bangsa-bangsa asli atau adat adalah mereka yang sembari memiliki kelanjutan sejarah dengan
masyarakat pra-invasi dan pra-kolonial yang berkembang di wilayah mereka,
menganggap diri mereka berbeda dari sektor (atau bagian-bagian) lain dari
masyarakat yang sekarang mendominasi wilayah tersebut, atau sebagian dari
wilayah tersebut. Di masa kini mereka merupakan sektor-sektor (atau
bagian-bagian) dan mereka berketetapan untuk melestarikan, mengembangkan, dan
mewariskan pada generasi yang akan datang, wilayah leluhur mereka, dan
identitas etnik mereka, sebagai basis kelanjutan eksistensi mereka sebagai
masyarakat, sesuai dengan pola budaya, institusi sosial dan sistem hukum mereka
sendiri. …
Dari ssisi individual, yang disebut
individu masyarakat adat adalah seseorang yang merupakan bagian dari populasi
adat ini melalui identifikasi diri sebagai seorang adat (kesadaran kelompok)
dan diakui dan diterima oleh kelompok populasi ini sebagai anggotanya
(penerimaan oleh kelompok).[13]
Eksistensi masyarakat
adat di Indonesia diakui secara konstitusional, sebagaimana tertuang dalam
pasal 18 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk
susunan pemerntahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dal am sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Penjelasan
pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa :
“Dalam teori
negara Indonesia terdapat +250 zelfbesturende landschappen dan
olksgemeenschappen seperti desa di Jawa
dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karena dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Indonesia bersifat menghormati
kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara mengenai
daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”.
Kemudian
ketentuan tersebut dipertegas dalam UUD RI 1945 hasil Amandemen II, Pasal 18 B
ayat (2) yang menyatakan ,“Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam UU”.
Selanjutnya, pengakuan terhadap eksistensi masyarakat
adat secara de jure juga diakui dan disahkan dalam UUD 1945
pasal 28 I ayat (3) yang menyebutkan, bahwa , “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan jaman dan peradaban”. Pengakuan terhadap eksistensi hak
masyarakat adat tidak hanya berhenti pada konstitusi, tetapi lebih dari itu
juga dioperasionalkan dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya
pasal 6 yang berbunyi :
(1)
Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan
kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat dan pemerintah.
(2)
Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hat atas
tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman.
Akses
masyarakat adat atas pengelolaan sumberdaya alam diakui dan dijamin
keabsahannya dalam beberapa undang-undang seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1994
tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati yang memuat
prinsip free and prior informed-consent,
(2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur prinsip
desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam, dan (3) UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang sangat mendorong kearah pencapaian tujuan
pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan, demokratis dann berkelanjutan,
serta (4) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang memberikan jaminan perlindungan hukum atas sistem kearifan lokal.[14]
Konsep sistem kearifan
lingkungan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan masyarakat
adat. Hal ini dikarenakan kedekatan hubungan mereka dengan lingkungan dan
sumberdaya alam. Melalui proses interaksi dan adaptasi dengan lingkungan dan
sumberdaya alam yang panjang, masyarakat adat mampu mengembangkan cara untuk
mempertahankan hidup dengan menciptakan sistem nilai, pola hidup, sistem
kelembagaan dan hukum yang selaras dengan kondisi dan ketersediaan sumberdaya
alam disekitar daerah yang ditinggalinya.
Pada
awalnya, masyarakat adat tidak selalu
hidup harmoni dengan alam, mereka juga menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada
saat yang sama, karena kehidupan mereka tergantung pada dipertahankannya
integritas ekosistem tempat mereka mendapatkan makanan dan rumah, kesalahan
besarnya biasanya tidak akan terulang. Pemahaman mereka tentang sistem alam
yang terakumulasi biasanya diwariskan secara lisan, serta tidak dapat
dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah.
Pengalaman berinteraksi dan beradaptasi secara erat dengan alam telah
memberikan pengetahuan yang mendalam bagi kelompok-kelompok masyarakat adat
dalam pengelolaan sumberdaya alam lokalnya. Mereka telah memiliki pengetahuan
lokal untuk mengelola tanah, tumbuhan dan binatang baik di hutan maupun di laut
untuk memenuhi segala kebutuhan hidup mereka seperti makanan, obat-obatan,
pakaian dan permukiman. Harus diakui bahwa masyarakat adat yang hidup puluhan
ribu tahun merupakan “ilmuwan-ilmuwan
yang paling tahu” tentang alam
lingkungan mereka. Sayangnya, sistem pengetahuan lokal mereka belum banyak
didokumentasikan, dipublikasi dan disosialisasikan, bahkan dalam percepatan
pembangunan keberadaan mereka cenderung tersingkir dan terpinggirkan.
Secara
normatif, UUPPLH mendifinisikan kearifal lokal adalah nilai-nilai luhur yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan
mengelola lingkungan hidup secara lestari. Definisi ini ternyata meneguhkan
pengertian kearifan lokal secara sosiologis sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya.[15]
Meskipun secara normatif
UUPPLH selalu menegaskan bahkan sistem kearifan lokal harus dijadikan asas
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan dan perhatian dalam setiap
menyusun rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.[16]
Namun demikian dalam kenyataannya keberadaan sistem kearifan lokal belum mendapat
perhatian dan tempat dalam sistem perencanaan pembangunan dan pemanfaatan
sumberdaya alam nasional. Percepatan pembangunan ternyata telah menyebabkan
banyak kelompok-kelompok masyarakat adat kehilangan akses atas sumberdaya alam
berupa hutan, pesisir dan lautan serta tanah yang pada gilirannya juga
menghancurkan kelembagaan dan hukum masyarakat adat setempat. Hal ini dapat
terjadi karena dalam proses perencanaan dan peruntukan tanah, hutan, pesisir
dan lautan oleh pemerintah, masyarakat adat tidak dilibatkan dalam pengambilan
keputusan. [17]
Paradigma
dan kebijakan dasar pembangunan yang
dominan saat ini adalah berorientasi pada industrialisasi untuk memacu
pertumbuhan ekonomi.[18]
Paradigma dan kebijakan pembangunan ini bersumber pada ideologi kapitalisme
yang bersandar pada paradigma ilmu pengetahuan modern yang menganggap bahwa “tradisi adalah suatu masalah”
dan menghambat pembangunan. Padahal
ilmu pengetahuan modern tidak sepenuhnya berhasil menjelaskan sistem
ekologi yang komplek. Sistem ekologi yang komplek ini sangat beragam, baik
secara spasial dan temporal, dan menyebabkan usaha generalisasi mempunyai arti
kecil terutama untuk memberi masukan pada usaha perspektif penggunaan
sumberdaya yang berkelanjutan. Masyarakat ilmiah selama ini cenderung
menyederhanakan sistem akologi yang komplek, dengan akibat timbulnya
serangkaian persoalan dalam penggunaan sumberdaya alam serta kerusakan
lingkungan.
Guna
mendukung paradigma dan kebijakan pembangunan semacam ini diciptakan banyak
sekali perangkat hukum dan politik yang sangat sentralistik bercorak
teknokratis dan represif. Hukum nasional diberlakukan secara seragam dengan
mengabaikan disparitas regional dan lokal, yang pada gilirannya mematikan
otonomi, hukum dan kelembagaan masyarakat adat. Proses peminggiran
(marginalisasi) masyarakat adat dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya
alam ini pada gilirannya membangkitkan cultural
counter movement, gerakan perlawanan budaya masyarakat adat terhadap
persistensi dan penyingkiran kelembagaan dan hukum lokal yang selama ini
dihargai dan dikukuhi dalam pengelolaan sumberdaya alamnya.[19]
Kondisi
dan permasalahan yang dihadapi masyarakat adat disuatu daerah dengan daerah
lainnya di Indonesia berbeda-beda. Namun demikian, ada kesamaan yang mendasar
di antara mereka sebagai kelompok penduduk minoritas, yaitu pengalaman hidup
ditindas, dieksploitasi dan disingkirkan dalam waktu yang sedemikian panjang,
oleh kelompok-kelompok penduduk lainnya yang mayoritas dan dominan. Masyarakat
adat ini menjadi minoritas bukan semata-mata karena populasi mereka yang kecil
tetapi lebih banyak bersumber dari kondisi mereka kondisi mereka sebagai kelompok
penduduk yang memiliki ideologi, system sosial budaya dan system sosial politik
yang khas dan bersifat lokal spesifik, baik yang dibangun atas kesamaan wilayah
hidup bersama secara turun-temurun (basis territorial) maupun atas kesamaan
nenek moyang (hubungan darah) atau perpaduan antara keduanya.
Kearifan Lokal dalm Konteks Hukum
Nasional
Membangun
tata hukum nasional dan daerah yang berbasis pada kearifan lokal dan hukum adat
merupakan langkah strategis bagi terwujudnya otonomi daerah yang mendasarkan
pada prinsip pemerataan keadilan, kemudahan, kepastian, kesederhanaan,
desentralisasi dan local accountability
di masa mendatang perlu mendapat perhatian lebih besar dan serius. Bila tidak
berarti terjadi ironisme dan inkonsistensi dalam pelaksanaan otonomi daerah
yang secara prinsip telah menggariskan adanya desentralisasi dan kewenangan
daerah untuk melakukan pengaturan dan pengkondisian sendiri yang bersifat
khusus bagi daerahnya. Pengaturan dan pengkondisian yang bersifat khusus daerah
itu misalnya, pembentukan dan pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) dan
menghidupkan kembali hukum adat, termasuk hak ulayat yang selama ini tenggelam
dan tidak mendapat pengakuan secara proporsional dalam sistem hukum nasional.
Padahal dari sisi keadilan, kemanusiaan, dan harga diri masyarakat, posisi
hukum adat setempat jauh lebih menjamin keadilan dan dirasakan punya kekuatan
nilai berlaku dibandingkan hukum nasional yang cenderung kurang berpihak pada
hak-hak masyarakat adat.[20]
Dengan otonomisasi daerah, berarti
yang menyangkut aturan-aturan nilai, persoalan-persoalan hukum masyarakat dan
tata pemerintahan daerah sekaligus pihak yang terlibat membantu dan menangani
persoalan lokal kedaerahan didasarkan pada mekanisme yang ada di daerah otonom
itu, kecuali yang menyangkut kepentingan regional antar daerah atau bersifat
nasional, atau yang termasuk dalam bidang hukum publik.
Berlakunya hukum adat atau aturan
hukum daerah dalam bentuk perda-perda, memaknai kemerdekaan dan kebebasan
tersendiri bagi individu dan masyarakat di daerah dalam melaksanakan
desentralisasi dan demokrasi yang telah lama diinginkan. Pengakuan dan
pemberlakuan hukum adat dan aturan-aturan daerah sebagai bagian dalam sistem
hukum nasional akan dapat mencairkan persoalan hukum dan penegakan hukum yang
krusial dan paling tidak memberi suatu kecerahan baru bagi tegaknya negara
hukum dan supremasi hukum.[21]
Tuntutan perubahan tersebut
kemudian diakomodasi dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD RI 1945 hasilk Amandemen
II, yang berbunyi : “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang”.
Rumusan Pasal
18 B ayat (2) UUD RI 1945 tersebut di atas tidak memberikan jaminan
perlindungan hukum secara murni (genuine) dan responsif atas keberadaan hukum adat
dalam sistem hukum nasional. Bahkan terkesan memberikan pembatasan dan karakteristik
yang ketat terhadap eksistensi hukum adat dalam sistem perundang-undangan
nasional. Artinya, keberadaan hukum adat diletakkan pada posisi yang
subordinatif dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.
Rumusan UUD RI 1945, Pasal 18 B ayat (2)
sangat limitatif dan terlalu sulit dioperasional. Terdapat 5 syarat mutlak yang
bersifat kumulatif agar masyarakat adat memperoleh jaminan perlindungan hukum
atas ha-hak tradisionalnya, yaitu (i) termasuk dalam pengertian kesatuan
masyarakat hukum adat; (ii) kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri memang
masih hidup; (iii)perkembangan kesatuan masyarakat hukum adat dimaksud sesuai
dengan perkembangan masyarakat; (iv) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan (v) diatur dalam undang-undang.[22]
Rumusan ini, menurut
Satjipto,[23] masih
ditulis dalam tradisi kemutlakan dan hegemonial serta menunjukkan betapa negara
merasa memiliki sekalian kekuasaan (authority)
dan kekuasaan (power) untuk
menentukan apa yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI ini, termasuk apakah hukum adat masih berlaku
atau tidak.[24]
Soetandyo Wignjosoebroto
secara kritis menyatakan bahwa semangat nasionalisme dan sentralisme seakan
terus mencurigai segala gerakan yang mendesakkan pengakuan kembali
komunitas-komunita lokal sebagai satuan-satuan otonom. Lebih lanjut
dikatakannya “perkembangan politik dan hukum dalam pergaulan antar bangsa
justru mendorong diakuinnya kembali eksistensi komunitas-komunitas subnasional
itu sebagai satuan-satuan otonom yang dalam kehidupan ekonomi, sosial dan
budaya akan terakui pada hak-haknya untuk menentukan nasib sendiri. Pengakuan
Internasional terhadap eksistensi hak masyarakat adat tertuang dalam berbagai
Konvensi ILO No. 107 dan 169 dan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun
2006 yang disebut “UN Declaration On The
Right Of Indegeneous People”. Deklarasi ini merupakan produk PBB yang
disusun lewat berbagai pertimbangan dan polemik yang memakan waktu tidak kurang
dari 20 tahun untuk akhirnya menerima putusan; untuk mengakui hak satuan koleksi
penduduk (the peoples); untuk
menentukan nasib sendiri dalam rangka penyelenggaraan urusan internal mereka
dan untuk berpartisipasi secara penuh dalam pengambilan keputusan yang mungkin akan mempengaruhi nasib dan
kelestarian eksistensi mereka, khususnya yang menyangkut identitas budaya dan
kehidupan spiritual mereka. Itulah deklarasi yang menyatakan pengakuan pada the peoples right of internal
self-determination.[25]
Apabila fakta adanya ruang selisih
hukum undang-undang negara dan hukum rakyat yang informal dan tidak tertulis
itu dipandang sebagai suatu masalah kompetisi yang berpotensi konflik atara
sentral dan lokal maka perkembangan dalam pergaulan politik dan hukum antar
bangsa itu dapat dicatat sebagai terolahnya kebijakan yang mengarah kepada
solusi kompromistis.[26]
Menghindari legal
gaps dan konflik hukum yang tajam antara subtansi hukum perundang-undangan
negara dan hukum rakyat yang informal di bidang pengelolaan sumber daya alam
dan ketahanan pangan diperlukan jaminan perlindungan hukum terhadap eksistensi
hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Untuk itu diperlukan adanya perubahan
politik hukum nasional yang secara subtansial, menurut Rahardjo,[27]
meliputi :
Pertama, agar pemerintah
negara lebih dulu melakukan reposisi mengenai kedudukan mereka berhadapan
dengan hukum adat.
Kedua, menyadari
bahwa masyarakat local dan hukum adat adalah bagian dari tubuh negara, adalah
darah daging dari negara itu sendiri.
Ketiga, hak
istimewa untuk mengatur dan mencampuri urusan masyarakat yang dimiliki
pemerintah negara sebaiknya ditundukkan kepada semangat turut merasakan (empathy), memedulikan (concern) serta menjaga (care) terhadap bagaimana masyarakat
setempat menerima hukum adat mereka dan hukum lokal mereka.
Keempat, sebaiknya
pengetahuan kita tentang hukum adat diperkaya dengan hokum lokal, sebagai suatu
tipe tersendiri (distinct).
Kelima, para
penjaga dan perawat hukum Indonesia hendaknya bias memperbaiki kesalahan yang
dilakukan di masa lalu, yaitu telah “membiarkan hukum adat dimakan oleh hukum
negara” (baca: hukum modern).
Lynch dan Talbott, sebagaimana dikutip oleh Fauzi dan
Nurjaya[28]
telah mempromosikan sejumlah prinsip-prinsip dasar pengelolaan sumberdaya alam
berbasis pada masyarakat (Community Based
Resources Management) yang harus dilakukan bagi birokrasi dan pemegang
konsesi pengeloaan sumberdaya alam, yaitu :
1. Membangun
posisi runding yang sejajar antara birokrasi, pemegang konsesi pengelolaan
sumberdaya alam;
2. Pengakuan hak
komunitas lokal atau masyarakat adat atas kepemilikan dan penguasaan sumberdaya
alam mereka;
3. Deseminasi
informasi kepada komunitas lokal atau masyarakat adat tentang hak-hak,
kewajiban-kewajiban, dan pilihan-pilihan yang tersedia bagi mereka atas adanya
konsesi yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan yang mengenai (baik
berbatasan atau mengenai) kawasan sumber daya alam mereka). Informasi yang
didesiminasikan haruslah dalam bahasa yang mereka kuasai (lingua franca) atas rencana pemegang konsesi, yang mencakup
diskripsi ringkas proyek, peta kawasan yang terkena proyek, hak-hak komunitas
atas areal yang terkena proyek, dan perubahan-perubahan yang kan terjadi karena
implementasi proyek, dan rencana pertemuan perundingan;
4. Perundingan
yang fair dan formal dimulai setelah tercapainya persetujuan awal terhadap
kehadiran pihak lain dalam penguasaan dan pemanfaatan kawasansumberdaya alam
mereka. Setelah persetujuan yang fair harus dibuat persetujuan atas rencana
tindakan (informed consent) yang
mengenai kawasan sumber daya alam mereka. Setidak tidaknya persetujuan itu
mencakup rencana management sumbebr daya lam, batas-batas ruang lingkup
proyek, rute jalan dan konstruksi yang
akan dibangun dan dipergunakan, jaminan pekerjaan bagi masyarakat adapt atau
komunitas lokal, dan pengaturan lainnya yang menjadi keuntungan bersama;
5. Keterlibatan
pihak ketiga di luar komunitas dan di luar pemerintah dan pemegang konsesi,
seperti akademisi dan organisasi non-pemerintah termasuk organisasi bantuan
hukum akan lebih efektif bila diabsahkan dan diterima oleh keduanya atas dasar
keahlian dan perannya.
Atas desakan yang kuat dari berbagai pihak, LSM,
akademisi, masyarakat hukum adat, serta pers, yang difasilitasi oleh Komisis
Nasional dan Hak Asasi Manusia maka pada hari Senin, 7 Agustus 2006, pemerintah
negara memberikan pernyataan khusus guna memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan hukum keberadaan masyarakat adat
beserta hak-hak tradisionalnya melalui “Pokok-Pokok Pikiran Jumpa Pers
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”.[29] Secara
subtansial, pokok-pokok pikiran jumpa pers tersebut berisi :
a. Salah satu
prinsip dasar bernegara kita adalah prinsip persatuan dalam keragaman.
b. Prinsip
Persatuan dalam Keberagaman setelah cenderung diabaikan dalam masa lalu,
kembali diakui dan ditegaskan dalam Perubahan UUD 1945 yang merupakan
keberhasilan bangsa Indonesia dalam melakukan reformasi konstitusi.
c. Perubahan UUD
1945 telah mengubah paradigma hukum dan kenegaraan. Salah satu perubahan
paradigma tersebut adalah diakuinya
keragaman masyarakat Indonesia berdasarkan prinsip persatuan dan keragaman
sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang memberikan jaminan
pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat.
d. Jika terdapat
undang-undang yang tidak mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hkum adat
beserta hak-hak tradisionalnya, undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD
1945, khususnya Pasal 18 B ayat (2). Keasatuan Masyarakat Hukum Adat dapat
mengajukan permohonana pengujian undang-undang tersebut terhadap Undang-Undang
Dasar kepada Mahkamah Konstitusi. Kesatuan masyarakat hkum adat memiliki
kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon berdasarkan Pasal 51 ayat 1
butir b UU No, 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
e. Karena
masyarakat hukum adat telah dijamin hak konstitusionalnya dalam UUD 1945, maka
Mahkamah Konstitusi yang memilki fungsi sebagai the guardian of the
constitution harus melindungi agar Negara benar-benar dapat mengakui dan
menghormati keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat di seluruh Indonesia.
f. Keberadaan
masyarakat hukum adat ini dapat dinilai sangat strategis, dan karena itu untuk
kepentingan peningkatan keberdayaannya perlu kiranya diadakan inventarisasi
secara nasional.
Apabila seluruh isi pokok-pokok pikiran siaran pers
dari Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai “titik balik” paradigma dan politik
hukum Indonesia dari paradigma dan politik hukum yang sentralistik (legal centralism) uniform, otoriter dan
represif menuju sistem hukum yang menghargai multiculturalisme, egaliterian,
responsive dan progresive, maka pemerintah negara harus melakukan perombakan
besar-besaran terhadap keberadaan perundang-undangan nasional yang telah ada
sebelumnya (sebelum tahun 2006) yang tidak memberikan jaminan pengakuan dan
penghormatan terhadap keberadaan hukum adat. Perubahan politik hukum ini
memerlukan revolusi hukum atau perombakan yang mendasar terhadap sistem hukum.
Artinya, perubahan tidak sekedar terjadi pada tataran subtansi, tetapi yang
lebih penting dari itu adalah perubahan stuktural dan cultural untuk mereposisi
serta memberikan jaminan pengakuan dan pengormatan terhadap eksistensi hukum
adat dan hak-hak dasarnya.
Secara konseptual terdapat sejumlah atribut yang dapat
dijadikan panduan untuk memulai memahami, mengidentifikasi dan memetakan
keberadaan sistem pengelolaan sumber daya “asli” atau sistem kearifan lokal
dalam pengelolaan sumber daya alam menurut Acquaye.[30] Atribut-atribut tersebut adalah :
1. Hak-hak yang
terkandung dalam pengelolaan sumber daya alam sama sekali bukan terbit dari
penggunaan kekuatan politik pemerintah. Hak-hak ini merupakan fakta-fakta yang
disadari dan diyakini serta dilegitimasi oleh masyarakat itu sendiri dan proses
pengukuhan serta transformasi dari hak-hak biasanya berlangsung secara terbuka
dan tidak dicatat secara tertulis.
2. Atribut-atribu
sosial, mistis, dan religius biasanya melekat erat pada tanah yang ada dibawah
sistem tenurial adat (indigenous tenure
system).
3. Di bawah
sistem pengelolaan sumberdaya alam secara adat, biasanya hak-hak atas tanah
dikuasai secara bersama oleh satu kelompok sosial.
4. Hak-hak atas
tanah yang dikuasai didalam sistem pengelolaan sumberdaya alam secara adat
meliputi konsep-konsep yang terlingkup di dalam hukum adat.
5. Dalam sistem
pengelolaan sumberdaya alam secara adat, hak-hak individu dapat dsiperoleh dari
dua sumber, yaitu : (1) sipemilik merupakan anggota dari kelompok yang memiliki
tanah, dan hak yang terjadi adalah hak menggunakan tanah tersebut, (2) hasil pengaliahan
hak dari suatu kelompok (atau person) lain.
6. Hak-hak
individual untuk menggunakan lahan/tanah dapat kembali kepada kelompok jika
lahan atau tanah tersebut ditinggalkan atau diterlantarkan, punahnya
sub-kelompok yang memiliki tanah, habisnya masa (hak) penguasaan sementara,
atau turunnya kesetiaan terhadap kelompok.
7. Pengungkapan
hak-hak atas tanah di bawah sistem adat tidak dapat ditransfer tanpa adanya
sejumlah klarifikasi karena banyak hal tidak muncul dengan begitu saja dengan
pembuktian historis atau dengan kasus tertentu maupun lewat kodifikasi
hukum.
Dalam perspektif global, transformasi paradigma hukum
pengelolaan sumber daya alam dari legal
centralism ke legal pluralism
merupakan kebutuhan. Meminjam istilah Kuhn[31] perlu
adanya revolusi sains. Menurut Kuhn, revolusi sain muncul jika paradigma yang
lama mengalami krisis dan akhirnya orang mencampakkannya serta merangkul
paradigma yang baru.
Dalam kajian ilmu hukum, perubahan ini merupakan tuntutan
kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat adat. Sebagaimana dinyatakan oleh
Rahardjo[32]
bahwa masyarakatlah merupakan rujukan yang utama (the primacy), bukan konsep, doktrin, sistem rasional dari ilmu
hukum. Dengan perkataan lain, ilmu hukum mengikuti masyarakat. Oleh karena itu
produk konstruksi apapun yang dihasilkan, setiap saat selalu mengalami semacam
referendum oleh masyarakat sebagai penggunanya. Ilmu hukum yang baru tidak
berhenti pada membincangkan hukum, melainkan dikaitkan dengan habitat sosial di
mana hukum itu berada. Dalil atau landasan yang digunakan oleh ilmu hukum
generasi baru tersebut adalah, bahwa sistem hukum itu merupakan bentuk khas
kehidupan sosial di situ (a peculiar form
social life). [33]
Ilmu hukum baru ini, oleh Werner Menski, disebut sebagai
“plurality conscious jurisprudence”.
Menurut Menski, orang telah mengeksploiter globalisasi terlalu jauh, sehingga
mengabaikan dimensi lokal hukum. Globalisasi telah meminggirkan glokalisasi (glocaliozation) atau kemajemukan global.
Menski mengecam, bahwa suatu tatanan hukum universal telah terbentuk, sebagai
suatu angan,angan kosong belaka (wishful
thinking).[34]
Dalam tulisan yang lain, Raharjo menjelaskan, bahwa kita
berhadapan dengan kemajemukan (plurality)
dalam hukum di dunia. Kesadaran akan pluralisme ini menurutnya makin menjadi
tren dunia. Dalam persoalan ini, dikatakan lebih lanjut oleh Rahardjo, Jepang
menjadi contoh yang sangat bagus tentang bagaimana suatu bangsa bergulat dengan
hukumnya yang didatangkan dari luar (imposed
from outside) dan keinginannya untuk menjaga tatanan sosialnya yang asli.[35]
Dalam keadaan yang demikian itu, maka Jepang menjadi negara yang unik dan sulit
untuk dipahami dengan menggunakan standar Barat.[36] Kendatipun disebut sebagai
negara industri modern yang menggunakan sekalian atribut modern, seperti
demokrasi, birokrasi dan negara hukum, tetapi Jepang tetap menjadi Jepang dan
tidak hanyut (transformed) dan
menjadi Barat secara total. “There has been
no transformation, --nothing more than the turning of old abilities into new
and large channels … Nothing remarkable has been done, however, in directions
foreign to the national genius.”[37]
Dalam cara berhukum, masih menurut Raharjo[38]
Jepang banyak melakukan pembelokan (Japanese
twist) sedemikian rupa, sehingga penggunaan hukum modern tidak mengganggu
usaha untuk menjaga kelestarian nilai-nilai Jepang.[39] Mengutip
pendapat L. Craig Parker Junior, Rahardjo[40]
menjelaskan bahwa Jepang telah menciptakan lapisan-lapisan dalam cara berhukum,
demi menjaga nilai-nilai Jepang.[41]
Lapisan pertama adalah lapisan formal, yang disebut tatemae. Sekalipun Jepang menggunakan hukum modern, seperti kontrak
yang mengikuti pembuatan kontrak modern, tetapi hanya sebatas formal saja atau
tatemae. Praksis sesungguhnya dari hukum kontrak mendahulukan cara-cara Jepang,
yaitu lapisan hone.
Dunia sekarang lebih toleran dengan mengakui cara
berhukum berbeda-beda antara bangsa atau komunitas satu dengan yang lain,
sebagaimana dikatakan oleh Menski “We fail to admit that globalization does
not primarily lead to universal homogenisasion, but increased legal pluralism.”[42]
Gejala keanekaragaman sistem hukum yang dianut oleh
masyarakat di berbagai belahan dunia ditanggapi sebagai gejala evolusi hukum,
maka pada abad ke-20 keanekaragaman tersebut ditanggapi sebagai gejala
pluralisme hukum. Kebutuhan untuk menjelaskan
gejala ini muncul terutama ketika banyak negara memerdekakan diri dari
penjajahan, dan meninggalkan sistem hukum Eropah di negara-negara tersebut.
Sampai saat ini sudah banyak konsep dan atribut
mengenai pluralism hukum yang diajukan oleh para ahli. Para legal pluralist pada masa permulaan
(1970-an) mengajukan konsep pluralisme hukum yang meskipun agak bervariasi,
namun pada dasarnya mengacu pada adanya lebih dari satu sistem hukum yang
secara bersama-sama berada dalam lapangan sosial yang sama, seperti yang
dikemukakan oleh Sally Engel Marry, pluralism hukum adalah “generally defined as a situation in which
two more legal system coexist in the same social field”.[43]
Pada perkembangan berikutnya muncul konsep klasik dari Griffits, yang mengacu
pada adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial. “By ‘legal’ I mean the presence in a social
field of more than one legal order”.[44]
Dalam arena pluralisme hukum itu terdapat hukum negara di satu sisi, dan di
sisi lain adalah hukum rakyat yang pada prinsipnya tidak berasal dari Negara,
yang terdiri dari hukum adat, agama, kebiasaan-kebiasaan atau konvensi-konvensi
sosial lain yang dipandang sebagai hukum.[45]
Memasuki era globalisasi, abad-21, seperti sekarang
perlu dikaji hadirnya hukum dan organisasi internasional dalam arena pluralism
hukum. Dalam kenyataan empirik, khususnya dalam bidang perekonomian, lingkungan
hidup dan hak asasi manusia, kehadiran hukum dan organisasi internasional
terlihat sekali pengaruhnya. Dalam kondisi seperti in, konsep pluralisme hukum
terus berubah dan dipertajam melalui berbagai perdebatan ilmiah dari para ahli
dan pemerhati dalam ranah hukum dan kemasyarakatan (socio legal studies).
Berbagai perdebatan dan diskusi telah melahirkan
pemikiran-pemikiran baru tentang pluralism hukum yang lebih tajam dan berarti
dalam menganalisis fenomena hukum dalam masyarakat di berbagai belahan dunia.[46]
Pendekatan pluralism hukum yang baru memandang pendekatan lama itu tidak dapat
digunakan lagi. Paradigma baru dalam pluralism hukum dikaitkan dengan “hukum
yang bergerak” dalam ranah globalisasi.
Dalam pendifinisian ulang ini, diperlihatkan bahwa
hukum dari berbagai level dan penjuru dunia bergerak memasuki wilayah-wilayah
yang tanpa batas, dan terjadi persentuhan, interaksi konstestasi, dan saling
adopsi yang kuat diantara hukum internasional, nasional dan lokal (ruang dan
konteks socio-politik tertentu). Terciptalah hukum transnasional dan transnationalized law sebagai akibat
terjadinya persentuhan dan penyesuaian diri, dan pemenuhan kepentingan akan
kerjasama antar bangsa. Dalam keadaan itu tidak mungkin lagi dapat dibuat suatu
pemetaan seolah-olah hukum tertentu (internasional, nasional dan lokal)
merupakan entitas yang jelas dengan garis-garis batas yang tegas dan terpisah
satu sama lain.[47]
Pemikiran pluralisme hukum “mutakhir”, menurut
Sulistyowati Irianto[48]
secara konseptual terdapat beberapa pokok bahasan penting :
Pertama,
hukum dipandang sangat memainkan peranan penting dalam globalisasi,
karena hukum bersentuhan dengan domain social, politik ekonomi. Dapat
dipelajari bagaimana hubungan antar relasi kekuasaan dan hukum, dan bagaimana
hukum menjadi kekuatan yang sangat besar dalam mendefinisikan kepentingan
politik dan ekonomi dalam pergaulan antar kelompok dan bahkan antar bangsa.
Kedua,
Ada aktor-aktor yang menyebabkan hukum bergerak. Mereka adalah individu
maupun organisasi yang sangat “mobile”. Para aktor ini penting dalam proses
globalisasi dan glokalisasi, dan menjadi agen bagi terjadinya perubahan hukum.
Ketiga,
pemahaman globalisasi dalam konteks sejarah sangatlah penting.
Globalisasi hukum sudah terjadi sejak dulu, seiring dengan terjadinya
penjajahan, penyiaran agama dan perdagangan pada masa silam. Sepanjang sejarah
dapat dilihat bagaimana hukum internasional dan traktat juga menyebabkan hukum
“bergerak”. Namun pada saat ini globalisasi memiliki karakter yang berbeda.
Keempat,
perkembangan dari pemikiran di atas tidak hanya menyebabkan perlunya
redifinisi terhadap pemikiran mengenai pluralism hukum, tetapi juga memiliki
signifikansi terhadap munculnya metodologi antropologi.
Pendekatan pluralisme hukum dalam
perspektif global telah mengalami reformulasi dan transformasi penafsiran.
Pluralisme hukum tidak lagi dapat dibuat mapping
of legal universe, menarik batas yang tegas untuk membedakan entitas hukum
tertentu dari yang lain, antara hukum internasional, transnasional, nasional,
dan lokal. Karena sistem hukum dari tataran yang berbeda beda itu saling
bersentuhan, berkontestasi, saling mereproduksi dan mengadopsi satu sama lain
secara luas. Pendekatan pluralisme hukum berperspektif global juga sangat
dipengaruhi oleh aktor dan organisasi yang menyebabkan hukum bergerak dan
kontekstualisasi sejarah globalisasi hukum.
Ketika para teoritisi dan aktivis
gerakan sosial dari berbagai negara mencoba untuk mereformulasikan konsep legal pluralisme dalam perpektif global,
bersamaan dengan ini muncul gerakan sosial baru yang mendesakkan perubahan dan
menawarkan teori dan konsep baru untuk melindungi dan memberikan jaminan hak
atas kelompok minoritas dalam Negara bangsa. Gerakan sosial baru tersebut
menamakan dirinya sebagai gerakan legal
multiculturalism. Gerakan sosial baru ini berseiring dengan lahirnya
berseiring dengan gerakan multikulturalisme di Eropa pada abad keduapuluhsatu,
yang kemudian bergerak ke Negara-negara di Asia, Malaysia, dan termasuk
Indonesia.[49]
Multikultiralisme, menurut Karim
Raslan[50]
yang pararel dengan pendapat Caleb Rosado dalam bukunya Toward a Definition of Multiculturalisme, mendefinisikan :
“Multiculturalisme is a system a beliefs and
behaviors that recognizes and respects the presence of all diverse groups in an
organization or society, acknowledges and values their socio-cultural differences,
and encourages and anable their continued contribution within an inclusive
cultural contect which empowers all within the organization or Society”[51]
Intinya,
dalam semangat multikulturalisme muncul kesadaran menghargai dan menghormati
keberadaan semua keragaman kelompok dalam suatu organisasi atau masyarakat, dan
disertai sikap saling memberdayakan satu
dengan yang lain. Gerakan sosial berbasis multikulturalisme saat ini berkembang
secara progresif di Indonesia. Bahkan berhasil menggeser basis pemikiran
gerakan sosial yang lama, yaitu pluralisme.
Menurut pandangan aliran legal multiculturalism, konsep legal pluralism memuat beberapa kelemahan yang mendasar. Konsep legal
pluralisme dipandang terlalu sulit, kompleks, atau samar, bahkan istilah ini
memberikan pengertian yang terlalu remeh, jadi terlalu mudah atau kosong makna.
Menurut Ridwan Al Makassary,[52]
terdapat beberapa kelemahan konsep legal
pluralism yang mendasar, yaitu : Pertama,
konsep legal pluralism sering digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem
hukum dalam komunitas “majemuk”, meskipun konsep ini kurang jelas menyatakan
karakter “majemuk” tersebut. Oleh karena itu konsep pluralisme hukum tidak
dapat menjawab bagaimana multisiplitas hukum tersebut distrukturisasikan dan
hubungan antar komunitas majemuk tersebut. Akibatnya, kata majemuk selain
mengindikasikan berbagai tipe representasi dari “satu”, istilah ini akhirnya
dapat diereduksi menjadi satu. Kedua,
dalam bingkai pluralisme hukum, kehadiran dalam berbagai kelompok kepentingan
dalam suatu masyarakat sangat dimungkinkan, meskipun kelompok yang beragam ini
tidak dapat memberikan jawaban atas konflik hukum yang terjadi atas kelompok
yang relative tidak berdaya. Ketiga,
pendekatan pluralisme hukum tidak memberi ruang dan hak atas komunitas agama
dan komunitas etnik untuk berdampingan satu sama lain secara sederajat karena
terdapat struktur hirarkis dominatif.
Secara teoritis, sosiologi tentang
multikulturalisme adalah sebuah tema yang kontraversial. Sosiologi Amerika
telah memperkenalkan isu multikulturalisme melalui beberapa jurnal dan debat
publik, yang di dalamnya membahas isu etnisitas, ras dan budaya. Gagasan
multkulturalisme, pada awalnya berasal dari Amerika Utara, Kanada, terus
bergerak ke Amerika pada tahun 1970-an, kemudian menuju Negara-negara Barat,
dan sampai ke Eropa Timur, kemudian masuk ke Australia dan India, kemudian pada
gilirannya gagasan tersebut juga masuk ke Indonesia.[53]
Konsep multikulturalisme secara signifikan berbeda
dengan konsep pluralitas. Menurut Gurpreet Mahajan,[54] gelombang
pertama mengenai tulisan-tulisan multikultural telah mendekontruksi negara –
bangsa dan menantang potret dari sebuah komunitas politik yang hegemony. Dengan memaparkan perbedaan
kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, tulisan-tulisan tersebut telah
menunjukkan bahwa berbagai kebijakan secara sistematik tidak menguntungkan
posisi kelompok minoritas dalam arena public. Gelombang kedua, tulisan-tulisan
multicultural telah memperluas analisisnya dengan mendekontruksi komunitas
kultural di dalam Negara bangsa. Sebagai sebuah gerakan kebudayaan,
multikulturalisme adalah manifestasi dari kondisi dunia multikultural global
kontemporer yang tidak memuaskan. Ia adalah resultansi dari matra ketidak
adilan sosial, ekonomi dan politik dunia yang kapitalistik.[55]
Dalam pentas global,
multikulturalisme sebagaimana dikatakan oleh Edward A. Tiryakian[56]
adalah “a normative critique of the
institutional arrangements of the public sphere thet are seen as injuring or
depriving a cultural minority of its rights”. Kritik yang dimaksudkan
Tiryakian mencakup berbagai klaim untuk menghilangkan deprivasi yang dialami
kelompok minoritas yang terjadi di dalam
ruang publik, dan juga untuk meningkatkan berbagai kesempatan bagi peningkatan
kapasitas dan realitas diri seperti yang dinikmati oleh mayoritas secara bebas.
Jadi inti dari multikulturalisme terletak pada apakah entitas yang beragam
tersebut, terutama kelompok minoritas , memperoleh status yang setara dalam
sebuah negara-bangsa atau justru mengalami minoritisasi melalui berbagai
kebijakan Negara yang resmi.
Milena Doytcheva,[57]
sebagaimana dikutip oleh Okke KS Zaimar dan Joesana Tjahyani[58]
mengemukakan tiga hal yang tercakup dalam pengertian multikulturalisme : (1)
multikultural merupakan suatu ideal atau suatu program politik, dan bukan suatu
karakteristik suatu masyarakat. Masyarakat manusia sejak dulu selalu jamak,
secara cultural beragam, namun jawaban politis atas keragaman itu berbeda-beda,
bergantung dari jamannya; (2) multikulturalisme betul-betul merupakan penemuan
masa kini, paling tidak pada awalnya, pada masyarakat demokratis yang telah
menyaksikan transformasi pertanyaan tentang perbedaan kultural dalam suatu
pertaruhan keadilan masyarakat; (3)
sebagai program politik, multikulturalisme membawa suatu perubahan institusional
dan secara umum, membawa peran aktif kekuasaan publik. Dalam sudut pandang ini
multikulturalisme perlu dibedakan dari jawaban lain untuk masalah keragaman,
seperti masalah metis, kosmopolitisme atau interkultural, yang membawq solusi
bersifat individual , baik yang bersifat biologis, estetik, maupun kultural.
Dalam pandangan multikulturalisme,
kualitas dari berbagai komunitas secara umum bisa diwujudkan melalui berbagai
kebijakan yang bertujuan untuk mepromosikan diversitas budaya. Kehadiran
berbagai budaya yang beragam dalam arena publik adalah sinyal dan penanda
bagi hilangnya homogenitas kultural.
Multikulturalisme paling tidak akan mencegah sebuah negara-bangsa melaksanakan
program asimilasi budaya yang akan memarjinalkan kelompok minoritas. Dengan
demikian memproteksi eksistensi berbagai diversitas budaya dan menjamin
minoritas budaya dapat bertahan dan berkembang. Hal ini merupakan esensi
masalah mendasar yang dijadikan bahan kajian dan gagasan multikulturalisme.[59]
Dalam telaah multikulturalisme, pengakuan terhadap
identitas lokal dalam kaitannya dengan redistribusi asset atas sumber-sumber
ekonomi dan sumber daya alam di Indonesia menjadi masalah yang mendasar.
Berkaitan dengan peneguhan atas identitas lokal, salah seorang cendekiawan, Muslim Abdurrahman[60]
menegaskan :
“…dalam era postmodern, penghormatan dan
pengakuan terhadap identitas lokal itu sangat penting. Bahkan, tatkala banyak
orang telah merasa kehilangan dan tidak ada lagi yang bisa dipegang (sekalipun
namanya paradigma) setelah jatuhnya grand
narrative, di mana-mana orang bicara pentingnya kembali local wisdom atau kearifan lokal.”
Multikulturalisme pada hakekatnya
merupakan cara bagaimana memandang dan mensikapi perbedaan. Keberagaman atau
pluralitas budaya merupakan kenyataan umum di temui diberbagai negara bangsa di
dunia. Pada umunya keberagaman ini disikapi dan dikonseptualisasikan berbeda
dari satu negara ke negara lainnya dari suatu zaman ke zaman yang lain.
Bagi Indonesia, tuntutan untuk meneguhkan multikultarisme merupakan
keharusan sebagai hak yang sangat beragam etnis, masyarakat adat dan agama.
Dalam konteks Indonesia multikulturalisme hendaknya diletakkan dalam perspektif
the new social movement yang bertumpu
sebagai abstraksi subyek yang secara kolektif demi memperjuangkan emansipasi.
Sebab, pengalaman Indonesia selama ini, terhadap hal ini telah terjadi
pelanggaran politik budaya yang paling serius. Sepertinya, selama ini,
--sebagaimana telah diuraikan dalam sub bab sebelumnya-- banyak kebijakan dan
politik hukum atas sumber daya alam tidak memberi ruang representasi sama
sekali terhadap masyarakat adat. Jika multikulturalisme diletakkan dalam kaitan
ini, barang kali sangat relevan sebagai bagian dari the new social movement yang tidak saja berarti pentingnya
memperjuangkan redistribusi sosial ekonomi dan sumber daya alam, tetapi juga
memberi ruang munculnya gerakan untuk memperjuangkan cultural struggle terhadap diskriminasi terhadap masyarakat adat.[61]
REFERENSI
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta,
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Catatan Hasil Konggres Masyarakat Adat
Nusantara, 15-22 Maret 1999, Hotel Indonesia – Jakarta. (ii)
Koentjaraningrat
dkk.,. Masyarakat Terasing Di Indonesia. Gramedia, Jakarta, 1993, (iii)
Kusumaatmadja, Sarwono. 1993. “The Human Dimension of Sustainable Developmen”, Makalah pada Seminar, Dimensi Manusia
Dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan, WALHI, Jakarta.
Departemen
Sosial Informasi Bina Masyarkat Terasing. Direktorat Bina Masyarakat
Terasing Depsos-RI, 1989.
Ebenezer Acquaye,”Principles and
Issues”, dalam Land, Tanure and Rural
Productivityin the Pacific Islands, Ebenezer Acquaye dan Ronald G. Crocombe
(Eds), hlm 11-15, Rome: FAO.
Fathullah, “Otonomi Daerah dan
Penguatan Hukum Masyarakat”, Kompas, Senin,
3 Juli 2000 dan Rachmad Safa’at, dan Aaan Eko Widiyanto, Rekonstruksi
Politik Hukum Pemerintahan Desa : Dari Desa Terkoptasi dan Marginal Menuju Desa
Otonom dan Demokratil,
Diterbitkan Atas Kerja Sama SPOD FE Unibraw-Partnership For Government Reform,
UNDP dan Uni Eropah, Jakarta. 2006.
Hern, Lafcadio, Kokoro, Hints and Echoes of Japannese Inner Life, Tokyo :Charles E. Tuttle, eleven printing, 1998.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Yarsif
Watampone, Jakarta. 2005.
John Griffits,
“What is Legal Pluralism”, dalam Journal
of Legal Pluralism and Unofficial Law, No. 24/2986, 1986.
Jose Martinez Cobo “Study of the Problem of Discrimination
against Indegeneous Population “, Volume 5. Conclusions,
proposal and recommendation, U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/1986/7&Adds.1-4,
1986.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Masyarakat Hukum Adat : Inventarisasi dan
Perlindungan Hak, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi,
dan Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 2005.
M. Nurkhoiron, “Minoritas dan Agenda
Multikulturaisme di Indonesia : Sebuah Catatan awal”, dalam Mashudi Nursalim, M. Nurkhioiron dan Ridwan
Al-Makkasary. 2007. Hak Minoritas : Multikultural dan Dilema Negara Bangsa,
Interseksi Foundation dan Tifa, Jakarta.
Nathan Lerner, “The 1989 ILO
Convention and Indegeneous Population : New Standart?” dalam Israel Yearbook on Human Right, vol 20, 1991.
Noer Fauzi dan Nyoman I Nurjaya, Sumber Daya Alam Untuk Rakyat, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, Jakarta, 2000.
Okke KS Zaimar dan Joesana Tjahyani,
“Multikulturalisme di Eropah”, dalam Jurnal
Kajian Wilayah Eropah ( Journal Of European Studies), Program Studi Kajian
Wilayah Eropa – Program Pascasarjana Uniersitas Indonesia, Volume III – No. 3.
Hlm., 6.
Parker Jr. L.
Craig, The Japanese Police System Today,
An American Perspective, Tokyo : Kondansha International, 1984.
R. Gordon
Woodman, Why There Can Be No Map of Law,
dalam Rajendra Pradan (ed.) Legal Pluralism and Unofficial Law in Society,
Economic and Political Development, Papers
of the XIIIth International Congress, 7-10 April Chiang Mai, Thailan.
Khathmandu, Nepal : INEC, 2004.
Rafael Edy
Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam
Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam. ELSAM, Jakarta. 2006.
Rahardjo Satjipto, “Kemajemukan
Sebagai Konsep Hukum”, Makalah No.
24, Bahan Bacaan Program Doktor Universitas Diponegoro, Semarang. 2007
Raharjo
Satjipto, “Kemajemukan Sebagai Konsep Hukum”, Op., Cit
Ridwan al
Makassary, “Multikulturalisme : Revieuw Teoritisi dan Beberapa Catatan Kritis,
” dalam Mashudi Nursalim, et., al., (Ed.) Hak
Minoritas : Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa, Tifa dan Interseksi
Foundation, 2007, hlm., 34-58.
Robert S Ozaki, The
Japanese, A. Cultural Portrait, Tokyo
: Charles E. Tuttle. 1978.
Sally Angel
Merry, Legal Pluralisme”, dalam Law and
Society Review, Vol. 22/1988.
Satjipto
Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir : Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia
dan Hukum”, Kompas, Jakarta, 2007.
Satjipto Raharjo, “Hukum Adat Dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dalam Rosyida, Hilmy,. et. al. (Ed.). Masyarakat Hukum Adat : Inventarisasi dan
Perlindungan Hak, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi,
dan Departemen Dalam Negeri, Jakarta. 2005.
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat : Perkembangan dan Masalah
(Sebuah Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum). Bayumedia, Malang, 2008.
Soetandyo
Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke
Hukum Nasional : Dinamika Sosial Politik Perkembangan Hukum Selama Satu
Setengan Abad di Indonesia (1840-1990). PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
1994.
Sulistyowati
Irianto, Sejarah Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekwensi
Metodologisnya”, dalam Pluralisme Hukum :
Sebuah Pendekatan Interdisiplin. Penterjemah, Andri Akbar, et. al. HuMa,
Jakarta. 2005, hlm., 58.
Thomas S. Kuhn, ”The Struktur of
Scientific Revolution, The Univercity of Chicago Press”. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Tjun Suryaman, (Cetakan
ke lima) Peran Paradigma Dalam
Revolusi Sains, Remaja
Rosdakarya, Bandung. 2005.
W.W.
Rostow, The Stage of Economic
Growth. New York: Cambridge Univ. Press., 1960.
Werner Menski, Comparative Law in Global Context, The Legal Systems of Asia and Afrika, Cambridge University Press, 2006.
Wolferen, Karel van, The Enigma of Japanese Power, People and
Politics in a Stateless Nation, N. Y.: Alfred A. Knopf, 1990.
M. Nurkhoiron, “Minoritas dan Agenda Multikulturaisme di Indonesia : Sebuah
Catatan awal”, dalam Mashudi Nursalim,
M. Nurkhioiron dan Ridwan Al-Makkasary. 2007. Hak Minoritas : Multikultural dan
Dilema Negara Bangsa, Interseksi Foundation dan Tifa, Jakarta, hlm. 2.
Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat
Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam. ELSAM, Jakarta. 2006.
Nathan Lerner, “The 1989 ILO Convention and Indegeneous Population : New
Standart?” dalam Israel Yearbook on Human
Right, vol 20, 1991.
Departemen Sosial
Informasi Bina Masyarkat Terasing.
Direktorat Bina Masyarakat Terasing Depsos-RI, 1989.
Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara , Loc., Cit.
Rafael Bosko, Op., Cit, hlm. 53-54.
Jose Martinez Cobo “Study of the Problem
of Discrimination against Indegeneous Population “, Volume 5. Conclusions, proposal and recommendation, U.N.
Doc. E/CN.4/Sub.2/1986/7&Adds.1-4, 1986.
Pengabaian terhadap sistem
kearifan lokal ini dapat dibaca lebih ditail dalam beberapa tulisan : (i)
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Catatan
Hasil Konggres Masyarakat Adat Nusantara, 15-22 Maret 1999, Hotel Indonesia
– Jakarta. (ii) Koentjaraningrat
dkk.,. Masyarakat Terasing Di Indonesia. Gramedia, Jakarta, 1993, (iii)
Kusumaatmadja, Sarwono. 1993. “The Human Dimension of Sustainable Developmen”, Makalah pada Seminar, Dimensi Manusia
Dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan, WALHI, Jakarta.
W.W. Rostow, The Stage of Economic Growth. New York: Cambridge Univ. Press.,
1960.
Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional :
Dinamika Sosial Politik Perkembangan Hukum Selama Satu Setengan Abad di
Indonesia (1840-1990). PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1994.
Baca lebih lanjut tulisan Fathullah, “Otonomi Daerah dan Penguatan Hukum
Masyarakat”, Kompas, Senin, 3 Juli
2000 dan Rachmad Safa’at, dan Aaan Eko Widiyanto, Rekonstruksi
Politik Hukum Pemerintahan Desa : Dari Desa Terkoptasi dan Marginal Menuju Desa
Otonom dan Demokratil,
Diterbitkan Atas Kerja Sama SPOD FE Unibraw-Partnership For Government Reform,
UNDP dan Uni Eropah, Jakarta. 2006.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian
Undang-Undang, Yarsif Watampone, Jakarta. 2005.
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum
Dalam Masyarakat : Perkembangan dan Masalah (Sebuah Pengantar ke Arah Kajian
Sosiologi Hukum). Bayumedia,
Malang, 2008.
Noer Fauzi dan Nyoman I Nurjaya, Sumber
Daya Alam Untuk Rakyat, Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2000.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Masyarakat
Hukum Adat : Inventarisasi dan Perlindungan Hak, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Mahkamah Konstitusi, dan Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 2005.
Baca Thomas S. Kuhn, ”The Struktur of Scientific Revolution, The Univercity of
Chicago Press”. Diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia oleh Tjun Suryaman, (Cetakan ke lima) Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Remaja Rosdakarya, Bandung. 2005.
Rahardjo Satjipto, “Kemajemukan Sebagai Konsep Hukum”, Makalah No. 24, Bahan Bacaan Program Doktor Universitas Diponegoro,
Semarang. 2007.
Werner Menski, Comparative Law in Global
Context, The Legal Systems of Asia and Afrika, Cambridge University Press, 2006.
Wolferen, Karel van, The Enigma of
Japanese Power, People and Politics in a Stateless Nation, N. Y.: Alfred A.
Knopf, 1990.
Hern, Lafcadio, Kokoro, Hints and Echoes
of Japannese Inner Life, Tokyo
:Charles E. Tuttle, eleven printing,
1998.
Robert S Ozaki, The Japanese, A. Cultural
Portrait, Tokyo : Charles E.
Tuttle. 1978.
Parker Jr. L. Craig, The Japanese Police
System Today, An American Perspective, Tokyo : Kondansha International,
1984.
Menski, Werner, Comparative Law in Global
Context, The Legal …, Op. Cit.
John Griffits, “What is Legal Pluralism”, dalam Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, No. 24/2986, 1986.