- Jelaskan perbedaan mendasar konflik bersenjata international dan konflik bersenjata non international. Lengkapi pula dengan contoh serta karakteristik dari masing-masing jenis tersebut.
- Deskripsikan menurut pemahaman saudara tentang mekanisme penegakan hukum humaniter beserta dasar hukumnya?
- Uraikan Implementasi hukum humaniter di Indonesia dan jelaskan peraturan perundang-undangan hasil ratifikasi dari konvensi international dibidang hukum humaniter.
Senin, 04 Januari 2016
Soal UAS MK. Hukum Humaniter International (Kelas A & B FH Ubhara Surabaya)
Soal:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : Dhewangga Bayu Permana
BalasHapusKelas / NIM : VB / 13010160
1. a.) Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional. Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict). Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional. Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir. Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977. Contoh konflik bersenjata bersifat internasional seperti pada peperangan Timur Tengah.
b.) Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional. Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977. Contoh Konflik Bersenjata bersifat Non Internasional seperti Gerakan Aceh Merdeka dan Gerakan Papua Merdeka.
2. Suatu perangkat hukum akan dapat efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakan apabila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur bagaimana norma-norma itu ditegakkan. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi - konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
3. a.) Implementasi Hukum Humaniter di Indonesia. Pemerintah telah melakukan berbagi program agar hukum humaniter ini dapat di terapkan di Indonesia misalnya : ada Komnas HAM sebagai sarana untuk memproseskan apabila ada pelanggaran dalam peperangan, ada juga aturan yang materil yang tertuang dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tidak hanya itu. Pemerintah juga membuat aturan formilnya agar aturan yang materil dapat di implementasikan hal ini dengan adanya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun terlepas dari itu, Indonesia tergolong Negara yang banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusai atau hukum humaniter pada saat mempertahankan Negara kesatuan dari para pemerontak khususnya di provinsi Aceh. Menurut, Tim Ad Hoc Pemantau Perdamaian di Aceh (PPA) yang dibentuk oleh Komnas HAM mengatakan bahwa : Tim menemukan indikasi adanya pelanggaran HAM, yaitu pembunuhan di luar kewajaran dan pelecehan seksual. Kasus pembunuhan di luar kewajaran adalah kasus penembakan terhadap sekelompok pekerja tambak dan di antara korbannya ada anak-anak. Sedangkan kasus pelecehan seksual, pelakunya di indikasikan sebagai anggota Brimob yang terjadi pada 23-25 Mei 2003. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak diberlakukannya darurat militer di Aceh, telah menimbulkan korban jiwa, tidak terkecuali TNI dan masyarakat sipil. Namun demikian, TNI sudah berusaha semaksimal mungkin menghindari jatuhnya korban jiwa masyarakat sipil antara lain dengan cara melokalisir dan memisahkannya dengan GAM, tetapi jatuhnya korban tetap tidak bisa dihindari. Disamping itu, tidak sedikit pula jatuhnya korban masyarakat sipil. Dari kasus di atas bahwa terjadinya pelanggaran tersebut disebabkan kurangnya implementasi hukum humaniter atau kode etik dalam berperang dan menghadapi musuh dalam berperang atau pada saat akan berperang dan setelah perang terjadi.
BalasHapusb.) PerPu Hasil Ratifikasi Dari Konvensi International Dibidang Hukum Humaniter. Dalam sistem Hukum Nasional kita, ratifikasi Perjanjian Internasional diatur dalam Undang – Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Ratifikasi perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Ratifikasi perjanjian internasional dilakukan dengan undang- undang apabila berkenaan dengan : 1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; 2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; 3. kedaulatan atau hak berdaulat negara; 4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 5. pembentukan kaidah hukum baru; 6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi dilakukan dengan keputusan presiden. Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.
surya ismail aditya (13010050/5B)
BalasHapus1.Konflik bersenjata internasional, sengketa bersenjata antar negara, atau konflik antar negara merupakan suatu sengketa bersenjata yang terjadi antar dua atau lebih Negara yang lebih populer disebut dengan “perang”.
Contohnya: konflik di suriah yang melibatkan banyak negara besar seperti inggris,AS,rusia
Konflik bersenjata non-internasional atau konflik internal atau perang pemberontakan yang tidak percaya dan tidak mengakui kepemimpinan negara yg berkonflik tersebut.
Contohnya : konflik antara Indonesia dengan gerakan aceh merdeka (GAM)
2.Suatu mekanisme penegakan hukum humaniter akan dapat efektif apabila ia dapat di implementasikan dengan baik dan benar. Lalu untuk dapat ditegakkan dengan baik maka dibentuklah mahkamah bersifat ad-hoc dan mahkamah bersifat tetap. Dalam sejarah dikenal ada dua Mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia II yang bersifat ad-hoc, yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo (Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977). Sementara Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan yang bersifat permanen (Pasal 3(1) Statuta Roma). Mahkamah ini hanya berlaku bagi kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma berlaku (Pasal 24 Statuta Roma) dan pembentukannya terjadi sesudah perang dunia ke II usai
3.Dalam implementasi hukum humaniter di Indonesia yakni Indonesia focus terhadap pengaturan mengenai hak asasi manusia. Pada tahun 2004, Presiden Megawati Sukarnoputeri mengesahkan Rencana Aksi Nasional tentang Hak-Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004 -2009. Rancangan tersebut menyatakan bahwa Indonesia bermaksud meratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008 dan Pada Agustus 2006, perwakilan parlemen Indonesia berpartisipasi dalam konferensi regional dengan seluruh parlemen Asia tentang Mahkamah Pidana Internasional dan berjanji akan bekerja untuk mengupayakan ratifikasi/aksesi pada tahun 2008 atau lebih cepat.
Nama : Reza Ardiyanto
BalasHapusKelas : VA
NIM : 13010030
1. Perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
Mengapa status hukum tersebut demikian penting ? Karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai “pelaku”. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, sehingga ia merupakan “pelaku” dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan “pelaku lain” yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada. Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter).
Oleh karena itu dalam ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara.
Nama : Reza Ardiyanto
BalasHapusNIM : 13010030
Kelas : A
2. Penegakan hukum terhadap penduduk sipil yang ditinjau dari hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia mengaku pada konvensi-konvensi Internasional untuk menjamin penduduk-penduduk sipil. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang hak penduduk sipil, keterkaitan konvensi-konvensi Internasional dengan Hak Asasi Manusia. Kepastian hukum tentang pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap perlindungan penduduk sipil dan masalah-masalah kemanusiaan yang sering muncul di dunia Internasional mengakibatkan adanya hubungan-hubungan Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia. Penelitian ini merupakan penelitian deskripsi ; yaitu menggambarkan secara tepat tentang ketentuan Hak Asasi Manusia dalam konflik-konflik kemanusiaan yang sering terjadi, pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap penduduk sipil berdasarkan hukum humaniter. Pengumpulan data secara studi kepustakaan atau data-data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang terkait hukum humaniter internasional. Hasil penelitian menunjukan pengaturan Hak Asasi Manusia sesuai dengan konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan korban perang dan azas prikemanusiaan ini menyebabkan mengapa konvensi-konvensi ini disebut juga konvensi-konvensi humaniter. Eksistensi konvensi Jenewa 1949, serta perlindungan yang ada terhadap penduduk sipil dalam perang mencuatnya kepermukaan hak-Hak Asasi Manusia selama beberapa dekade belakangan ini merupakan salah satu isu global yang dihadapi banyak negara merupakan bahasan dalam kerangka Internasional. Dalam dunia Internasional yang menyangkut perlindungan penduduk sipil dan kaitannya dengan Hak Asasi Manusia, pada mulanya dicantumkan dalam Pasal 1 konvensi mengenai penyelesaian sengketa-sengketa secara damai yang ditandai di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907. Perlindungan Hak Asasi Manusia telah diatur dalam berbagai Instrumen Hukum Internasional pada prinsip-prinsip kemanusiaan, kedua system hukum tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia secara maksimal untuk melindungi individu-individu dari kesewenang-wenangan negara. Disarankan agar pelaksanaan Hak Asasi Manusia dapat efektif, perlu adanya peninjauan kembali terhadap komponen subtansi kultur dengan mengadakan sinkromisasi dan interprestasi substansi kultur dengan mengadakan sinkronisasi dan interprestasi terhadap dokumen universal dan nasional sehingga ditemukan harmonisasi dari keduanya.
3.Hukum humaniter internasional merupakan dasar dari hak asasi manusia, dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Hukum humaniter lebih dahulu daripada hak asasi manusia dan dikembangkan setelah hukum humaniter internasional. Hukum humaniter internasional mengatur sengketa bersenjata antara negara dengan kesatuan lainnya, sedangkan hak asasi manusia mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara di dalam negara tersebut. Hukum humaniter internasional beralku pada saat perang atau pada masa sengketa bersenjata, sedangkan hak asasi manusia berlaku pada saat damai. Hukum humaniter mulai berlaku pada saat hak asasi manusia sudah tidak berlaku lagi. Hukum humaniter internasional melindungi mereka yang tidak mampu terus berperang atau yang sama sekali tidak turut bertempur, yaitu penduduk sipil.
Perlunya penegakan huku nasional dalam arti menjamin penghormatan hukum dan akibat-akibat dari pelanggaran terhadap hukum. Tanggung jawab organisasi penegak hukum adalah memelihara ketertiban umum, memberikan pertolongan dan bantuan dalam semua jenis keadaan darurat dan pencegahan, juga menyelidiki kejahatan. Para petugas pengak hukum diberikan berbagai kekuasaan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan penegakan hukum yang sah. Kewenangan hukum untuk mengunakan kekerasan adalah unuk bagi organisasi penegak hukum.
Hukum humaniter terbagi atas dua macam hukum, yaitu Hukum Jenewa yang berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata dan Hukum Den Haag yang berkaitan dengan tindakan permusuhan.
Nama : Ahmad Arsih septiawan
BalasHapusNIM : 13010035
Kelas : B
1. Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir.
Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.
Nama : Putri Arini Nurwidya Kumala
BalasHapusNim : 13.010144
Sem/kls : V/B
1. Perbedaan mendasar antara konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional antara lain dibedakan antara sengketa bersenjata internasional dan sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Pembedaan tersebut berdampak pada penentuan norma-norma HHI yang mana yang berlaku pada masing-masing jenis perang tersebut. Perbedaan antara norma HHI pada waktu perang internasional dan perang noninternasional tidak terlalu berarti pada nilai perlindungan korban perang, tetapi cukup berarti berkenaan dengan hak dan kewajiban para pihak yang berperang, khususnya berkenaan adanya status kombatan dan status tawanan perang pada perang internasional bagi pihak angkatan bersenjata negara yang resmi. Secara terperinci, HHI juga menyebutkan beberapa jenis perang yang termasuk dalam dua macam jenis sengketa bersenjata serta sekaligus menjelaskan perbedaan antara situasi sengketa bersenjata dengan situasi yang tidak termasuk sengketa bersenjata. Adapun situasi yang termasuk dalam dua jenis sengketa bersenjata, yaitu sebagai berikut :
a) Yang termasuk dalam jenis perang atau sengketa bersenjata internasional adalah :
- Peristiwa perang antara dua negara atau lebih termasuk:Peristiwa perang antara dua negara atau lebih yang diumumkan dan Peristiwa perang antara dua negara atau lebih yang keadaan perangnya tidak diakui oleh salah satu antara mereka
- Peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari wilayah suatu negara, sekalipun pendudukan tersbut tidak menemui perlawanan senjata
- Sengketa bersenjata yang situasinya disamakan dengan situasi sengketa bersenjata internasional dan sering disebut dengan istilah perang pembebasan nasional, yaitu sengketa-sengketa bersenjata yang didalamnya suku bangsa sedang berperang melawan dominasi colonial dan pendudukan asing dan melawan system pemerintahan rasialis dalam rangka menentukan sendiri nasib mereka sebagaimana disebut dalam Piagam PBB dan Deklarasi Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan Baik dan Kerja Sama antarnegara sesuai dengan Piagam PBB
CONTOH KASUS BERSENJATA INTERNASIONAL : Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan (“war of national liberation“). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut. Adapun contoh dari perang pemberontakan, dapat mengacu pada beberapa gerakan pemberontakan yang pernah lahir di negeri ini, termasuk pada intensitas tertentu, gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja. Inilah yang disebut dengan istilah ‘non-international armed conflict’ atau konflik internal, atau juga disebut sebagai “perang pemberontakan.
b) Yang termasuk dalam jenis perang yang tidak bersifat internasional :
BalasHapus- Sengketa bersenjata yang bukan antara dua negara
- Sengketa bersenjata noninternasional, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi dalam wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata negara tersebut dengan pasukan bersenjata pemberontak atau dengan kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang berada di bawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan kelompok tersebut melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan serta menerapkan aturan-aturan HHI
CONTOH KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL : konflik bersenjata di mana terdapat kelompok atau faksi-faksi bersenjata yang saling bertempur satu sama lain tanpa melibatkan intervensi dari angkatan bersenjata resmi dari Negara yang bersangkutan sebagaimana yang terjadi di Somalia. Konflik demikian termasuk ke dalam kategori jenis konflik internal.
2. Menurut pendapat saya Mekanisme penegakan hukum humaniter yang berdasar hukum pada kovensi jenewa 1949 dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya
Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional.
3. Implementasi hukum di Indonesia adalah Hukum Humaniter internasional merupakan salah satu pelaksanaan penyelenggaraan Pertahanan Negara harus senantiasa berpedoman pada Hukum Humaniter, Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia Nasional serta Hukum Internasional Universal sesuai dengan KEPUTUSAN MENTERI PERTAHANAN NOMOR : KEP/02/M/II/2002 tentang PENERAPAN HUKUM HUMANITER DAN HUKUM HAK AZASI MANUSIA DALAM PENYELENGGARAAN PERTAHANAN NEGARA. Berbeda dengan hak asasi manusia yang penekanan penerapannya lebih kepada situasi damai atau bukan situasi perang, hukum humaniter berlaku dan diterapkan hanya dalam situasi perang. Dalam konteks ini perang diartikan sama dengan sengketa bersenjata di mana ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam suatu situasi saling bertentangan atau konfrontatif, dan masing-masing pihak telah menggunakan kekuatan angkatan bersenjatanya. Sekalipun berbeda dalam hal waktu penerapannya, hukum humaniter dan hak asasi manusia pada hakekatnya memiliki tujuan yang sam, yaitu memberikan perlindungan kemanusian kepada mereka yang berada dalam situasi lemah. Dalam konteks hak asasi manusia, misalnya yang berada dalam situasi lemah adalah warga negara yang dihadapkan dengan pihak penguasa, sedangkan dalam konteks hukum humaniter yang berada dalam situasi lemah adalah penduduk sipil serta “combatant” yang menjadi korban perang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum humaniter merupakan kelanjutan hukum hak asasi manusia yang diterapkan pada waktu perang. Dan sesuai dengan Undang-undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang ikut serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949.
Nama : Mega Dewi Ambarwati
BalasHapusKelas : V A
NIM : 13010027
1. Perbedaan utama antara Konfilk bersenjata non internasional‘non-international armed conflict’ dan Konfilk bersenjata internasional ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa.
Dalam Konfilk bersenjata internasional ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977. Karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai “pelaku”. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, sehingga ia merupakan “pelaku” dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan “pelaku lain” yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada. Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter).
Oleh karena itu dalam
Konfilk bersenjata non internasional ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara.
Ada beberapa perbedaan mendasar mengenai hal ini :
Pertama, ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” (“insurgent“). Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama “perang pemberontakan“. Bandingkan dengan “pihak bukan negara” yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol, di mana “pihak bukan negara” yang dimaksud adalah suatu “bangsa” (peoples) yang belum merdeka dan berjuang melawan penjajahan.
Kedua, dalam ‘non-international armed conflict’, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan “pihak bukan negara” atau “peoples” yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu “bangsa” yang masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.
Ketiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka “non-international armed conflict” merupakjan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.
contoh ke dua jenis konflik bersenjata tersebut pada negeri kita sendiri, Indonesia.
BalasHapusKonfilk bersenjata internasional
[1] Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan (“war of national liberation“). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut.
Konfilk bersenjata non internasional
[2] Adapun contoh dari perang pemberontakan, dapat mengacu pada beberapa gerakan pemberontakan yang pernah lahir di negeri ini, termasuk pada intensitas tertentu, gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja. Inilah yang disebut dengan istilah ‘non-international armed conflict’ atau konflik internal, atau juga disebut sebagai “perang pemberontakan”.
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter beserta dasar hukum nya ada 2
Mekanisme Nasional
Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, Di berasangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional (baik melalui pengadilanyang bersifat ad hoc atau yang permanen).
Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam Protokol 1977 antara lain mengenai mekanisme. Yang dimaksud disini adalah mekanisme yang dilakukan melalui Komisi Internasional Pencari Fakta (International Fact Finding Commission). Komisi Pencari Fakta merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 52 Konvensi I; Pasal 53 Konvensi II; Pasal 132 Konvensi II dan Pasal 149 Konvensi IV yang mengatur mengenai prosedur penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter atau terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa
BalasHapus Mekanisme Internasional
Di samping mekanisme nasional, penegakan hukum humaniter juga dapat dilaksanakan
melalui mekanisme internasional. Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal
sampai saat ini yaitu :
Mahkamah atau tribunal yang bersifat ad hoc dan mahkamah yang bersifat permanen.
(a) Mahkamah Internasional Ad Hoc Tentang Kejahatan Perang
Dalam sejarah dikenal ada dua mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia II,yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi Jerman, sedangkan Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Jepang. Kedua mahkamah ini bersifat ad hoc atau sementara yang berarti bahwa mahkamah ini dibentuk untuk jangka waktu dan kasus tertentu saja.
(b) Mahkamah Nuremberg
Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter) atau biasa juga disebut Piagam London (London Charter). Sejak terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada 24 orang tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Nuremberg, yaitu; kejahatan terhadap perdamaian, (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).
(c) Mahkamah Tokyo
Mahkamah Tokyo (International Military Tribunal for the Far East) dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Berbeda dengan Mahkamah Nuremberg yang dibentuk melalui Treaty yang disusun oleh beberapa negara, Mahkamah Tokyo dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi dari Jenderal Douglas MacArthur sebagai Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh. Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk Mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg. Sama halnya dengan Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo juga mempunyai yurisdiksi terhadap tiga kejahatan, yaitu crimes against peace; war crimes; dan crimes against humanity
(d) International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal
Tribunal for Rwanda (ICTR)
Setelah mahkamah yang dibentuk mengadili para pelaku kejahatan perang pada Perang Dunia II, terdapat dua mahkamah ad hoc lainnya yaitu mahkamah yang mengadili penjahat perang di negara bekas Yugoslavia serta di Rwanda. Untuk di negara bekas Yugoslavia dibentuk ICTY (International Criminal Tribunal for former Yugoslavia), sedangkan untuk Rwanda dibentuk ICTR (International Criminal Trbunal for Rwanda).
3. Implementasi hukum humaniter di Indonesia dan jelaskan peraturan perundang-undangan hasil ratifikasi dari konvensi international dibidang hukum humaniter.
Perundang-undangan :
Penerapan Hukum Humaniter mengenai Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, Kebiasaan Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia berlaku dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara.
Hukum mengenai Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 meliputi :
a. Konvensi I tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka dan sakit dalam Angkatan Perang di darat.
b. Konvensi II tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka sakit dan korban-korban karam dari Angkatan Perang di laut.
c. Konvensi III tentang perlakuan tawanan.
d. Konvensi IV tentang perlindungan rakyat sipil dalam masa perang perang
Hukum Kebiasaan Internasional yaitu konvensi-konvensi internasional tentang Hukum Humaniter yang telah diterima dan diterapkan oleh masyarakat internasional
Hukum Hak Asasi Manusia diatur dalam berbagai perundang-undangan nasional termasuk konvensi atau covenan tentang Hak Asasi Manusia dan yang bersifat universal maupun internasional yang telah diratifikasi.
Implementasi Hukum Humaniter di Indonesia :
BalasHapus Penerapan Hukum Humaniter harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip:
a. kemanusiaan (Humanity);
b. kepentingan Militer (Military Necessity);
c. penderitaan yang tidak perlu (Unnecessary Suffering);
d. keseimbangan (Proporsionality); dan
e. pembedaan (Distinction).
Penerapan Hukum Humaniter dan HAM di lingkungan Kementerian Pertahanan dilaksanakan melalui:
a. produk strategis Kementerian Pertahanan;
b. pendidikan; dan
c. pelatihan.
(1) Penerapan Hukum Humaniter dan HAM di lingkungan TNI dilaksanakan dalam pembinaan dan penggunaan kekuatan TNI.
(2) Penerapan Hukum Humaniter dan HAM dalam pembinaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. doktrin;
b. pendidikan; dan
c. pelatihan.
Indonesia juga telah lama memulai focus dan perhatian terahadap hukum humaniter karena di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga muncul pemberontakan dari kelompokelompok tertentu, misalnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan kelompok pemberontakan yang ada di provinsi Papua. Pemerintah telah melakukan berbagi program agar hukum humaniter ini dapat di terapkan di Indonesia misalnya : ada Komanas HAM sebagai sarana untuk memproseskan apabila ada pelanggaran dalam peperangan, ada juga aturan yang materil yang tertuang dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tidak hanya itu. Pemerintah juga membuat aturan formilnya agar aturan yang materil dapat di implementasikan hal ini dengan adanya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pemerintah juga membentuk tim pemantau terhadap proses perdaiman di Aceh pasca perdamaian antara pemerinatah republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka.
Nama : Ahmad Arsih Septiawan
BalasHapusNIM : 13010035
Kelas : B
2. Sebagai pelengkap materi hak asasi manusia
yang merupakan komponen utama buku ini, pada bagian ini akan disampaikan secara
singkat aspek-aspek yang berkaitan dengan hukum humaniter. Karena hanya bersifat
sebagai pelengkap, bagian ini tidak dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang
lengkap dan rinci untuk setiap aspek hukum humaniter.
Berbeda dengan hak asasi manusia yang penekanan penerapannya lebih pada
situasi damai atau bukan situasi perang, hukum humaniter berlaku dan diterapkan hanya
dalam situasi perang. Dalam konteks ini perang diartikan sama dengan sengketa
bersenjata di mana ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam suatu situasi saling
bertentangan atau konfrontatif, dan masing-masing pihak telah menggunakan kekuatan
angkatan bersenjatanya. Sekalipun berbeda dalam hal waktu penerapannya, hukum
humaniter dan hak asasi manusia pada hakekatnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu
memberikan perlindungan kemanusiaan kepada mereka yang berada dalam situasi yang
lemah. Dalam konteks hak asasi manusia, misalnya, yang berada dalam situasi lemah
adalah warga negara yang dihadapkan dengan pihak penguasa, sedangkan dalam
konteks hukum humaniter yang berada dalam situasi lemah adalah penduduk sipil serta
“combatant” yang menjadi korban perang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
hukum humaniter merupakan kelanjutan hukum hak asasi manusia yang diterapkan
pada waktu perang.
Aspek pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum humaniter serta
prosedur dan mekanisme penegakannya erat terkait dengan hukum pidana internasional.
Tentu saja tidak semua pelanggaran hak asasi manusia dapat dimasukkan dalam lingkup
hukum pidana internasional. Sebaliknya semua pelanggaran hukum humaniter (atau
yang biasa disebut dengan kejahatan perang) termasuk dalam lingkup hukum pidana
internasional. Hanya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia tertentu saja yang
termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional, yaitu genosida dan kejahatan
374
terhadap kemanusiaan, yang keduanya dikategorikan sebagai “gross violation of human
rights” atau pelanggaran berat hak asasi manusia.
3. Hukum Humaniter Internasional (juga disebut Hukum Perang atau Hukum Konflik Bersenjata) adalah seperangkat aturan yang, di masa perang, melindungi orang yang tidak, atau tidak lagi, ikut serta dalam pertikaian dan membatasi pemilihan sarana dan cara berperang. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk melindungi martabat manusia dan membatasi penderitaan di masa perang.
Instrumen Hukum Humaniter Internasional utama dalah Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 bagi perlindungan korban perang. Instrumen ini telah diterima secara universal. Konvensi-konvensi ini mengandung kelemahan dalam beberapa aspek seperti perilaku pertempuran dan perlindungan orang sipil akibat pertempuran. Kelematah-kelemahan ini dikoreksi dengan diadopsinya dua protokol pada 1977 yaitu Protokol Tambahan I untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional.
Hingga saat ini 194 negara telah meratifikasi Konvensi Jenewa. Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi Jenewa I-IV 1949 pada 30 September 1958. Sementara untuk Protokol Tambahan I dan II Indonesia belum meratifikasi.
Hukum Den Haag pada intinya menyangkut cara, metode dan persenjataan perang. Hukum Den Haag terdiri atas Konvensi Den Haag II 1899 dan Konvensi Den Haag IV 1907. Berkaitan dengan hukuman pidana, tujuan utama Konvensi Den Haag adalah mewajibkan negara pihak pada konvensi agar menghukum para tersangka pelaku pelanggaran.
Hukum jus in bello seringkali dipisahkan antara hukum humaniter (hukum Jenewa) dan hukum Den Haag. Pemisahan ini bermanfaat untuk tujuan studi. Namun demikian, pada kenyataannya, dua hukum tersebut saling terkait.
Nama : Ahmad Arsih Septiawan
BalasHapusNIM : 13010035
Kelas : B
2. Sebagai pelengkap materi hak asasi manusia
yang merupakan komponen utama buku ini, pada bagian ini akan disampaikan secara
singkat aspek-aspek yang berkaitan dengan hukum humaniter. Karena hanya bersifat
sebagai pelengkap, bagian ini tidak dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang
lengkap dan rinci untuk setiap aspek hukum humaniter.
Berbeda dengan hak asasi manusia yang penekanan penerapannya lebih pada
situasi damai atau bukan situasi perang, hukum humaniter berlaku dan diterapkan hanya
dalam situasi perang. Dalam konteks ini perang diartikan sama dengan sengketa
bersenjata di mana ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam suatu situasi saling
bertentangan atau konfrontatif, dan masing-masing pihak telah menggunakan kekuatan
angkatan bersenjatanya. Sekalipun berbeda dalam hal waktu penerapannya, hukum
humaniter dan hak asasi manusia pada hakekatnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu
memberikan perlindungan kemanusiaan kepada mereka yang berada dalam situasi yang
lemah. Dalam konteks hak asasi manusia, misalnya, yang berada dalam situasi lemah
adalah warga negara yang dihadapkan dengan pihak penguasa, sedangkan dalam
konteks hukum humaniter yang berada dalam situasi lemah adalah penduduk sipil serta
“combatant” yang menjadi korban perang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
hukum humaniter merupakan kelanjutan hukum hak asasi manusia yang diterapkan
pada waktu perang.
Aspek pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum humaniter serta
prosedur dan mekanisme penegakannya erat terkait dengan hukum pidana internasional.
Tentu saja tidak semua pelanggaran hak asasi manusia dapat dimasukkan dalam lingkup
hukum pidana internasional. Sebaliknya semua pelanggaran hukum humaniter (atau
yang biasa disebut dengan kejahatan perang) termasuk dalam lingkup hukum pidana
internasional. Hanya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia tertentu saja yang
termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional, yaitu genosida dan kejahatan
374
terhadap kemanusiaan, yang keduanya dikategorikan sebagai “gross violation of human
rights” atau pelanggaran berat hak asasi manusia.
3. Hukum Humaniter Internasional (juga disebut Hukum Perang atau Hukum Konflik Bersenjata) adalah seperangkat aturan yang, di masa perang, melindungi orang yang tidak, atau tidak lagi, ikut serta dalam pertikaian dan membatasi pemilihan sarana dan cara berperang. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk melindungi martabat manusia dan membatasi penderitaan di masa perang.
Instrumen Hukum Humaniter Internasional utama dalah Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 bagi perlindungan korban perang. Instrumen ini telah diterima secara universal. Konvensi-konvensi ini mengandung kelemahan dalam beberapa aspek seperti perilaku pertempuran dan perlindungan orang sipil akibat pertempuran. Kelematah-kelemahan ini dikoreksi dengan diadopsinya dua protokol pada 1977 yaitu Protokol Tambahan I untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional.
Hingga saat ini 194 negara telah meratifikasi Konvensi Jenewa. Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi Jenewa I-IV 1949 pada 30 September 1958. Sementara untuk Protokol Tambahan I dan II Indonesia belum meratifikasi.
Hukum Den Haag pada intinya menyangkut cara, metode dan persenjataan perang. Hukum Den Haag terdiri atas Konvensi Den Haag II 1899 dan Konvensi Den Haag IV 1907. Berkaitan dengan hukuman pidana, tujuan utama Konvensi Den Haag adalah mewajibkan negara pihak pada konvensi agar menghukum para tersangka pelaku pelanggaran.
Hukum jus in bello seringkali dipisahkan antara hukum humaniter (hukum Jenewa) dan hukum Den Haag. Pemisahan ini bermanfaat untuk tujuan studi. Namun demikian, pada kenyataannya, dua hukum tersebut saling terkait.
Nama : Ahmad Arsih septiawan
BalasHapusNIM : 13010035
Kelas : B
1. Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir.
Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.
Nama : Mediana Putri Larasati
BalasHapusNim: 13010132
Kelas : V-B
1. - Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional yaitu
- murni
- semu
Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir. Mengenai apa yang dimaksudkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
Contohnya
- Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara, juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Syarat dan kriteria-kriteria untuk suatu sengketa bersenjata non-internasional adalah:
1. Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung.
2. Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident).
3. Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab.
4. Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut.
5. Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol.
Nama : Mediana Putri Larasati
BalasHapusNim : 13010132
Kelas : V-B
2. Menurut saya Suatu perangkat hukum akan dapat efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakan terhadap yg melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu ditegakkan. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
Nama : Mediana Putri Larasati
BalasHapusNim : 13010132
Kelas : V-B
3. Implementasi hukum humiter di indonesia merupakan proses yang dinamis, dimana pelaksanaan kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhinya akan mwndapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Program yang telah dilakukan pemerintah indonesia antara lain adanya Komnas HAM. Sebagai sarana untuk memproses apabila ada pelanggaran dalam peperangan dan dibentuknya organisasi perhimpunan nasional yang bergerak dibidang sosial kemanusiaan (PMI). Indonesia menyatakan dukungannya dalam penegakan hukum humaniter internadional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Janewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang ke ikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Janewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaanya dalam melaksanakaan aturan yang tertuang dalam Konvensi Janewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No : Kep/03/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam penyelenggaraan pertahanan negara dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia
Nama : Raul Zaikus Sandy W
BalasHapusNIM : 13010041
SMT/KELAS : V/B
1. Perbedaan mendasar Konflik bersenjata Internasional dengan konflik bersenjata non internasional adalah..
jika Konflik bersenjata internasional adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara, sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara ( misalnya negara A berperang melawan negara B ). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977. contoh konflik bersenjata internasional adalah peperangan antara israel dan palestina,perang austria dengan serbia, dan perang antara vietnam dan amerika.
sedangkan konflik bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara ( Civil War ) ( misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977. contoh konflik bersenjata non internasional adalah perang antara Korea selatan dengan Korea utara,GAM, Gerakan Papua Merdeka.
2.mekanisme penegakan hukum humaniter akan dapat efektif apabila ia dapat di implementasikan dengan baik dan benar, serta sanksinya dapat ditegakan apabila ada yang melanggarnya. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi - konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
Nama:Nurul Fitriani
BalasHapusNIM:13010024
Kelas:V/B
1. Hukum humaniter internasional mengatur konflik bersenjata non-internasional di dalam dua macam perjanjian, yaitu dalam Konvensi Jenewa 1949 dan dalam Protokol Tambahan II 1977. Perbedaan pokok antara sengketa bersenjata internasional dan sengketa bersenjata non-internasional dapat dilihat dari para pihak yang bersengketa. Sengketa bersenjata internasional, kedua belah pihak yang bersengketa memiliki status hukum yang sama, karena keduanya adalah negara. Contoh: Sengketa Amerika Serikat dan Irak mengenai Kuwait tahun 1991. Hal tsb diawali tembakan meriam Irak ke Kuwait City pada tanggal 2 Agustus 1990.
Sedangkan sengketa bersenjata non-internasional status kedua pihak tidaklah sama. Pihak yang satu berbentuk negara dan pihak yang lain adalah satuan bukan negara (non-state entity). Sengketa bersenjata non-internasional dalam batas-batas ini dapat dilihat sebagai suatu situasi di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata dan kelompok bersenjata yang terorganisir (organize armed group) di dalam wilayah suatu negara. Seluruh perangkat hukum humaniter internasional berlaku dalam konflik yang bersifat internasional, sedangkan dalam konflik yang bersifat non-internasional yang berlaku hanya Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 , dan Protokol Tambahan II 1977.
Untuk lebih jelasnya atas uraian diatas konflik senjata non internasional harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
1) Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung.
2) Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident).
3) Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab.
4) Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut.
5) Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol.
Contoh: gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM).
2. Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, Di lingkungan militer, apabila ada seorang prajurit yang melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter maka Komandan atau Atasan yang berwenang untuk menghukum (Ankum) berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan Pasal 87 di atas. Apabila Komandan atau atasan langsung dari prajurit yang bersalah tidak mengambil tindakan, maka Komandan yang diatasnya berkewajiban untuk mengambil tindakan yang dimaksud. Begitu seterusnya sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, di samping menggunakan sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer dan/atau sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap ketentuan - ketentuan hukum humaniter. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak berfungsi atau tidak difungsikan dengan baik, maka pada tahapan berikutnya kasus yang berasangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional (baik melalui pengadilan yang bersifat ad hoc atau yang permanen). Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam Protokol 1977 antara lain mengenai mekanisme. Yang dimaksud disini adalah mekanisme yang dilakukan melalui Komisi Internasional Pencari Fakta (International Fact Finding Commission). Komisi Pencari Fakta merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 52 Konvensi I; Pasal 53 Konvensi II; Pasal 132 Konvensi II dan Pasal 149 Konvensi IV yang mengatur mengenai prosedur penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter atau terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa Mekanisme Internasional. Di samping mekanisme nasional, penegakan hukum humaniter juga dapat dilaksanakan melalui mekanisme internasional. Ada dua bentuk mekanisme sampai saat ini yaitu : Mahkamah atau tribunal yang bersifat ad hoc dan mahkamah yang bersifat permanen.
BalasHapus3. Indonesia menyatakan ikut serta dalam Konvensi Jenewa sejak tahun 1949 sejak terbitnya Undang-undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang ikut serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. Berdasarkan pertimbangan bahwa atas nama Negara Republik Indonesia Menteri Luar Negeri dengan suratnya tertanggal 5 Pebruari 1951 No. 10341 telah menyatakan kesediaan Negara Republik Indonesia untuk ikut-serta dalam seluruh Konpensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, yaitu:
BalasHapusa. Konpensasi tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka dan sakit dalam Angkatan Perang di darat;
b. Konpensi tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka, sakit dan korban-korban karam dari Angkatan Perang di laut;
c. Konpensi tentang perlakuan tawanan perang;
d. Konpensi tentang perlidungan rakyat sipil dalam masa perang dan memang sudah sewajarnya Republik Indonesia menjadi peserta dalam Konpensi-konpensi tersebut;
Dengan peraturan perundang-undangan hasil ratifikasi dari konvensi international dibidang hukum humaniter maka Indonesia mendapatkan hak dan kewajibannya dibidang militer di ranah internasional. Namun dalam penerapannya, baru diatur melalui keputusan menteri pertahanan nomor : kep/02/m/ii/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak azasi manusia dalam penyelenggaraan pertahanan negara
3. Implementasi hukum humaniter di indonesia sudah cukup tertata, salah satu program pemerintah yaitu adanya Komnas HAM. Indonesia menyatakan dukungannya dalam penegakan hukum humaniter internadional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Janewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang ke ikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Janewa 1949. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
BalasHapusUndang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Undang-undang Nomor 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 1983 tentang Pokok-pokok dan Susunan Organisasi Departemen Pertahanan Keamanan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1983 tentang Pokok-pokok dan Susunan Organisasi Departemen Pertahanan Keamanan.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1983 tentang Pokok-pokok dan Susunan Organisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia.
Keputusan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor Kep/19/M/XII/2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertahanan.
NAMA : ANDI ANDRIYANA PRATIWI
BalasHapusNO NIM : 13010015
KELAS : V/A
1 . Ada beberapa perbedaan mendasar mengenai Konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata Non internasional :
-Pertama, ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” . Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama “perang pemberontakan“. Bandingkan dengan “pihak bukan negara” yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol, di mana “pihak bukan negara” yang dimaksud adalah suatu “bangsa” (peoples) yang belum merdeka dan berjuang melawan penjajahan.
-Kedua, dalam ‘non-international armed conflict’, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, Memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan “pihak bukan negara” atau “peoples” yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu “bangsa” yang masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.
-Ketiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka “non-international armed conflict” merupakjan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.
CONTOHNYA :
contoh ke dua jenis konflik bersenjata tersebut pada negeri kita sendiri, Indonesia. [1] Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan (“war of national liberation“). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut.
DASAR HUKUM : Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3)
2 . Menurut saya Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi hal tersebut diatur dalam pasal 51 konvensi I , pasal 52 konvensi II , pasal 131 konvensi III dan pasal 148 konvensi IV jenewa 19
BalasHapus3 . Implementasi hukum humaniter di indonesia yaitu peraturan mengenai Hak Asasi Manusia yaitu terdapat dalam pasal 3 konvensi jenewa 1949 pasal ini membebankan kewajiban kepada pihak yang bertikai untuk tetap menjamin perlindungan kepada pihak yang bertikai untuk tetap menjamin perlindungan kepada orang perorangan. PBB pada tahun 1968 telah resmi menjalin hubungan Hak Asasi Manusia dengan hukum humanter maka dari itu Hak Asasi Manusa menjadi dasar implementasi d Indonesa bag hukum humanter internasional. Hasil ratifikasi hukum mplementasi hukum-hukum humaniter d ndonesia tersebut yakn hukum jenewa yang berkaitan dengan perlndungan korban sengketa bersenjata dan hukum den haag yang berkatan dengan tindakan permusuhan
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusnama : Nur Faizah
BalasHapusNIM : 13010056
kelas : V-B
1. -Konflik bersenjata internasional
Istilah sengketa bersenjata internasional, sengketa bersenjata antar Negara, atau konflik antar negara merupakan suatu sengketa bersenjata yang terjadi antar dua atau lebih Negara yang lebih populer disebut dengan “perang” (war).contoh perang suriah yang melibatkan banyak negara besar seperti Rusia dan AS.
-Konflik bersenjata non-internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977. Seperti yang ada di Filipina. Negara kepulauan yang berada di kawasan Asia Tenggara ini, sedang mengalami konflik bersenjata dengan salah satu wilayah yang berada di kawasannya. Lebih tepat nya lagi di kawasan Mindanao-Sulu, Filipina Selatan. Konflik ini dipicu oleh adanya perbedaan dari segi budaya dan agama, serta faktor sejarah bangsa Moro dengan pemerintah pusat Filipina. Perbedaan ini menimbulkan keinginan bangsa Moro yang berada di wilayah Mindanao-Sulu untuk melepaskan diri dari Filipina dan membentuk sebuah republik yang baru. Untuk mewakili bangsa Moro dalam memperjuangkan keinginan mereka, dibentuklah Moro National Liberation Front (MNLF) yang pada saat itu dipelopori oleh Nur Misuari. Konflik tersebut telah ada sejak tahun 1968. Namun MNLF baru dibentuk sejak tahun 1971.
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuan
hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah
kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apablia mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
3. implementasi hukum humaniter di indonesia yaitu pemerintah indonesia telah melakukan program antara lain adanya komnas ham sebagai sarana untuk memproses apabila ada pelanggaran dalam peperangan dan dibentuknya organisasi perhimpunan nasional yang bergerak di bidang sosial kemanusiaan yaitu Palang Merah Indonesia. Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi konvensi jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam penyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, hal ini dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia
Nama: Atriyana Yulianti
BalasHapusKelas: V/B
NIM: 13010051
1.Perbedaan Konflik Bersenjata Internasional dan non-Internasional:
-Dalam Konfik bersenjata internasional ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara
-Salah satu pihak dalam konflik bersenjata internasional tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
-Dalam Konflik bersenjata non internasional status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity).
-Dalam Konflik bersenjata non internasional yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir.
Karakteristik:
a.Konflik bersenjata Internasional:
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara.
b.Konflik bersenjata non internasional:
Sedangkan sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara. sengketa bersenjata yang terjadi dalam wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata negara tersebut dengan pasukan bersenjata pemberontak atau dengan kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang berada di bawah komando yang bertanggung jawab.
Perbedaan antara sengketa bersenjata internasional dan sengketa bersenjata non internasional menurut HHI adalah terletak pada sifat dan jumlah negara yang menjadi pihak dalam sengketa bersenjata tersebut.
Contoh:
a.Konflik bersenjata internasional:
Irak VS Afganistan
b.Konflik bersenjata non Internasional:
Tni vs GAM
2.Mekanisme penegakan hukum humaniter dpt ditemukan dalam ketentuan-ketentuan huku itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tdk dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjdi opsi berikutnya.
3. implementasi terkait dengan pelaksanaan dari hukum humaniter yang dilaksanakan di Indonesia adalah dengan terbentuknya sebuah komisi nasional, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terbentuknya Komnas HAM adalah bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB.Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi jenewa 1949, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di mata dunia yang masih sangat rendahkala itu dapat diamankan dengan ratifikasi yang dilakukan Indonesia dalam hal ini agar Negara-negara kolonial dapat lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negerinya yang dapat memicu konflik dengan Indonesia.Dalam meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalammelaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
BalasHapusNama : Hayu Priswara
BalasHapusSemester/ Kelas/ NIM : V/ B / 13010150
1. Perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977. dalam ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara.
Contoh konflik bersenjata non internasional : Gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja.
Contoh konflik bersenjata internasional : Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan (“war of national liberation“) oleh bangsa Belanda. Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut.
2. Dalam mekanisme penegakan hukum humaniter akan dapat efektif apabila ia dapat di implementasikan dengan baik dan benar.Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur bagaimana norma-norma itu ditegakkan. Lalu untuk dapat ditegakkan dengan baik maka dibentuklah mahkamah bersifat ad-hoc dan mahkamah bersifat tetap. Dalam sejarah dikenal ada dua Mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia II yang bersifat ad-hoc, yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo (Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977). Dalam hal ini diperlukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) belum mengatur tentang kejahatan perang.
3. Implementasi hukum humaniter di indonesia. Indonesia juga telah lama memulai focus dan perhatian terahadap hukum humaniter karena di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga muncul pemberontakan dari kelompokelompok tertentu, misalnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan kelompok pemberontakan yang ada di provinsi Papua. Pemerintah telah melakukan berbagi program agar hukum humaniter ini dapat di terapkan di Indonesia misalnya : ada Komanas HAM sebagai sarana untuk memproseskan apabila ada pelanggaran dalam peperangan, ada juga aturan yang materil yang tertuang dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tidak hanya itu. Pemerintah juga membuat aturan formilnya agar aturan yang materil dapat di implementasikan hal ini dengan adanya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pemerintah juga membentuk tim pemantau terhadap proses perdaiman di Aceh pasca perdamaian antara pemerinatah republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Dalam hubungannnya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi Deen Haag pada tahun 1907 itu maka menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda. Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada tnaggal 27 Desember 1949, maka hak dan kewajiban Hindia Belanda beralih kepada Republik Indonesia Serikat melalui Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran Induk Perjanjian KMB di Den Haag. Ketika susunan Negara mengalami perubahan dari Republik Indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia Kesatuan, maka ketentuan peralihan UUDS 1950 telah menjadi jembatan penghubung tetap sahnya ratifikasi itu, demikian juga ketika UUD 1945 berlaku kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1969, Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-hal yang belum diatur oeh UUD 1945 termasuk Ratifikasi terhadap konvensi Den Haag tersebut.
BalasHapusNama : Frederikus Ranggu
BalasHapusNim : 13010098
Kelas : A
1. Konflik bersenjata internasional atau sengketa bersenjata antara negara yakni sengketa bersenjata yang melibatkan satu atau beberapa negara. Contohnya : konflik di Suriah melibatkan beberapa negara seperti Inggris, AS, Rusia. Sedangkan konflik bersenjata non internasional atau konflik internal suatu negara dimana negara berperang melawan pemberontak atau saling kontak senjata di negaranya. Seperti kasus perang antara OPM dan TNI di Indonesia.
2. Suatu mekanisme penegakan hukum humaniter akan dapat efektif apabila ia dapat di implementasikan dengan baik dan benar. Lalu untuk dapat ditegakan dengan baik maka dibentuklah mahkamah bersifat ad-hoc dan mahkamah yang bersifat tetap. Dalam sejarah dikenal ada dua mahkamah yang mengadili penjahat perang dunia II yang bersifat ad-hoc, yaitu mahkamah Nurenberg dan mahkamah Tokyo ( Konvensi Jenewa 1949, Protokol tambahan 1977). Sementara Mahkamah Pidana Internasional merupakan pendalilan yang bersifat permanen (Pasal 3(1) Statuta Roma). Mahkamah ini hanya berlaku pada kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma berlaku ( Pasal 24 Statuta Roma) dan pembentukannya terjadi sesudah perang duna II usai.
3. Dalam implementasi hukum humanter di Indonesia yakni Indonesia fokus terhadap pengaturan mengenai hak asasi manusia. Pada tahun 2004, Presiden Megawati Sukarno Puteri mengesahkan Rencana Aksi Nasional tentang Hak-hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004-2009. Rancangan tersebut menyatakan bahwa Indonesia bermaksud meratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008 dan pada Agustus 2006, perwakilan parlemen Indonesia berpartisipasi dalam konferensi regional dengan seluruh parlemen Asia tentang Mahkamah Pidana Internasional dan berjanji akan bekerja untuk mengupayakan ratifikasi/aksesi pada tahun 2008 atau lebih cepat
Nama :Haris Kurniawan
BalasHapusNim :13010154
Kelas :5 B
1.Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara. Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu. Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Contoh konflik bersenjata inrenasional : konflik sengketa kuil preah vihear antara Thailand dengan Kamboja.
Contoh konflik bersenjata non-internasional : konflik bersenjata antara indonesia dengan GAM
Nama :Haris Kurniawan
BalasHapusNim :13010154
Kelas :5 B
1.Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara. Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu. Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Contoh konflik bersenjata inrenasional : konflik sengketa kuil preah vihear antara Thailand dengan Kamboja.
Contoh konflik bersenjata non-internasional : konflik bersenjata antara indonesia dengan GAM
2.Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan – ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajibanmembayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949.Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional.
BalasHapus3.Di indonesia Implementasi Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukumratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi Deen Haag pada tahun 1907 itu maka F.Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet ) tanggal 1 Juli 1909 dan keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda. Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada tnaggal 27 Desember 1949, maka hak dan kewajiban Hindia Belanda beralih kepada Republik Indonesia Serikat melalui Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran Induk Perjanjian KMB di Den Haag.
BalasHapusNama: ANDINTA WULANDINI
BalasHapusNIM: 13010014
KELAS: V-B
1.-Pengertian sengketa bersenjata internasional dapat ditemukan antara lain pada Commentary Konvensi Jenewa 1949, sebagai berikut: Any difference arising between two States and leading to the intervention of members of the armed forces is an armed conflict within the meaning of Article 2, even if one of the Parties denies the existence of state of war, It makes no difference how long the conflict lasts, or how much slaughter takes place. Perang atau pertikaian bersenjata internasional adalah perang yang terjadi antara dua atau lebih pihak Peserta Agung atau pihak Peserta Agung dengan yang bukan Peserta Agung asalkan yang terakhir ini juga berbentuk negara. Dengan kata lain, sengketa bersenjata internasional adalah persengketaan antara negara yang satu dengan beberapa negara lain, walaupun pada akhirnya yang berhadapan adalah manusia dengan manusia, dalam persengketaan ini negara menjadi subjek.
Contohnya: Konflik Israel-Hezbollah 2006.
- Sengketa bersenjata yang tak bersifat internasional atau sengketa bersenjata internal terjadi antara angkatan bersenjata pemerintah dengan angkatan bersenjata yang membangkang atau oleh kelompok-kelompok bersenjata terorganisir lainnya yang memberontak terhadap pemerintah. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap mereka yang melakukan pemberontakan itu diatur dalam pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977 (selanjutnya disebut Protokol II).
Contohnya: konflik Sampit, antara suku Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura.
2.Menurut saya, diperlukan adanya suatu mekanisme penegakan hukum humaniter internasional agar kejahatan perang semaksimal mungkin tidak terjadi dan dapat diatasi. Suatu perangkat hukum baru dapat dikatakan efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan apabila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka didalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu dapat ditegakkan. Upaya hukum yang dilakukan diantaranya adalah melalui mekanisme penegakan hukum humaniter internasional berdasarkan proses peradilan nasional. Sebagaimana terdapat dalam ketentuan konvensi jenewa 1949 tentang perlindungan korban perang, yang menegaskan bahwa setiap pihak peserta agung diwajibkan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum humaniter internasional dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional dan menggunakan instrument hukum nasional pihak-pihak yang bersangkutan. Apabila upaya melalui mekanisme pengadilan nasional tidak dilaksanakan, maka upaya selanjutnya ditempuh melalui mekanisme peradilan internasional.
Nama: ANDINTA WULANDINI
BalasHapusNIM: 13010014
KELAS: V-B
3.Kepedulian negara mengenai nilai-nilai kemanusiaan bahkan telah dimulai ketika masa perang dulu. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan akibat perang dan penderitaan warga sipil yang tidak terlibat sangat memprihatinkan sehingga tentu negara menyadari pentingnya pembuatan peraturan mengenai perang itu sendiri. Hukum humaniter memang bermula dari hukum perang, namun kemudian berkembang secara maju hingga saat ini bersamaan dengan meningkatnya kepedulian masyarakat internasional dalam memajukan hak asasi manusia yang juga memuat unsur-unsur kemanusiaan sehingga merupakan bagian dari hukum humaniter internasional. Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. Pada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama: Dimas Rizky Septia Pratama
BalasHapusNIM: 13010005
Semester/Kelas: 5/B
1.a. Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict). Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Contohnya: perangantara Arab Saudi dengan Iran.
b. Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war).
Contohnya: gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM).
2. menurut pemahaman saya, Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuanhukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamahkejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perangtersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalamKonvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajibanmembayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasionalumumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949.Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwakewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yangmelakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalamKonvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniterdilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional apablia mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan,maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
Nama: Dimas Rizky Septia Pratama
BalasHapusNIM: 13010005
Semester/Kelas: 5/B
3. Indonesia, sebagai sebuah entitas yang juga menghargai perlindungan mengenai kemanusiaan, juga tentu saja menerapkan hukum humaniter itu sendiri. Bahkan sejak zaman kuno, Indonesia, sama juga dengan negara-negara lain, menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. Pada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan.
Nama : Dwita Putri Ramadhani
BalasHapusNIM : 13010129
Kelas : V A
1) Perbedaan utama antara konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional dapat dilihat dari status hukum dari para pihak yang bersengketa. Dalam konflik bersenjata internasional, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977. Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu. Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional. Contoh: konflik bersenjata yang terjadi antara Iran dengan Irak, konflik antara Israel dengan Palestina.
Sedangkan dalam konflik bersenjata non internasional status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara. Contoh: Gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM), gerakan Papua Merdeka.
Ada beberapa perbedaan mendasar mengenai hal ini :
Pertama, konflik bersenjata non internasional dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” (“insurgent“). Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama “perang pemberontakan“. Bandingkan dengan “pihak bukan negara” yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol, di mana “pihak bukan negara” yang dimaksud adalah suatu “bangsa” (peoples) yang belum merdeka dan berjuang melawan penjajahan.
Kedua, dalam konflik bersenjata non internasional, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan “pihak bukan negara” atau “peoples” yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu “bangsa” yang masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.
Ketiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka konflik bersenjata non internasional merupakan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.
2) Menurut saya, mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuanketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad hoc maupun yang permanen.
BalasHapusPada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
(1) Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977
Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan.
Di lingkungan TNI, apabila ada seorang prajurit yang melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter maka Komandan atau Atasan yang berwenang untuk menghukum (Ankum) berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan Pasal 87 di atas. Apabila Komandan atau atasan langsung dari prajurit yang bersalah tidak mengambil tindakan, maka Komandan yang diatasnya berkewajiban untuk mengambil tindakan yang dimaksud. Begitu seterusnya sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, di samping menggunakan sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer dan/atau sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap ketentuanketentuan hukum humaniter. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak berfungsi atau tidak difungsikan dengan baik, maka pada tahapan berikutnya kasus yang berasangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional (baik melalui pengadilan yang bersifat ad hoc atau yang permanen)
Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam Protokol 1977 antara lain mengenai mekanisme. Yang dimaksud disini adalah mekanisme yang dilakukan melalui Komisi Internasional Pencari Fakta (International Fact Finding Commission). Komisi Pencari Fakta merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 52 Konvensi I; Pasal 53 Konvensi II; Pasal 132 Konvensi II dan Pasal 149 Konvensi IV yang mengatur mengenai prosedur penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter atau terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa.
(2) Mekanisme Internasional
BalasHapusDi samping mekanisme nasional, penegakan hukum humaniter juga dapat dilaksanakan melalui mekanisme internasional. Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal sampai saat ini, yaitu mahkamah atau tribunal yang bersifat ad hoc, dan mahkamah yang bersifat permanen.
(a) Mahkamah Internasional Ad Hoc Tentang Kejahatan Perang
Dalam sejarah dikenal ada dua mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia II, yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi Jerman, sedangkan Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Jepang. Kedua mahkamah ini bersifat ad hoc atau sementara yang berarti bahwa mahkamah ini dibentuk untuk jangka waktu dan kasus tertentu saja.
Setelah mahkamah yang dibentuk mengadili para pelaku kejahatan perang pada Perang Dunia II, terdapat dua mahkamah ad hoc lainnya yaitu mahkamah yang mengadili penjahat perang di negara bekas Yugoslavia serta di Rwanda. Untuk di negara bekas Yugoslavia dibentuk ICTY (International Criminal Tribunal for former Yugoslavia), sedangkan untuk Rwanda dibentuk ICTR (International Criminal Trbunal for Rwanda).
Perbedaan kedua kategori mahkamah ad hoc tersebut yang dibentuk setelah Perang Dunia II (yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo) disatu sisi dengan ICTY dan ICTR di sisi lain yaitu bahwa Mahkamah Tokyo dan Nuremberg dibentuk oleh pihak yang menang perang (dalam hal ini adalah AS dan sekutunya), sedangkan Mahkamah Yugoslavia dan Rwanda dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB.
Pasal 1 sampai dengan Pasal 5 dari Statuta Mahkamah untuk bekas Yugoslavia mengatur mengenai kompetensi atau yurisdiksi Mahkamah, yaitu :
1. Pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional (serious violations of international humanitarian law)
2. Pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam Konvesi-konvensi Jenewa 1949
3. Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang
4. Genosida
5. Kejahatan terhadap kemanusiaan.
(b) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court /ICC). Pada bulan Juli 1998 masyarakat internasional mencatat suatu perkembangan penting, yakni ketika disepakatinya Statuta Roma tentang pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court, selanjutnya disebut ICC). Berbeda dengan mahkamah ad hoc yang telah dibentuk sebelumnya (misalnya Mahkamah Nuremberg, Tokyo, ICTY dan ICTR), maka ICC ini merupakan suatu mahkamah yang bersifat permanen. Mahkamah ini juga dibentuk sebagai pelengkap (complementarity) dari mahkamah pidana nasional. Dalam Statuta Roma dikatakan bahwa ICC akan bekerja apabila mahkamah nasional tidak mau (unwilling) dan tidak mampu (unable) untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud.
Adapun yurisdiksi dari ICC ini mencakup empat hal yaitu :
1. genosida
2. kejahatan terhadap kemanusiaan
3. kejahatan perang
4. kejahatan agresi
3) Indonesia, sebagai sebuah entitas yang juga menghargai perlindungan mengenai kemanusiaan, juga tentu saja menerapkan hukum humaniter itu sendiri. Bahkan sejak zaman kuno, Indonesia, sama juga dengan negara-negara lain, menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak (Wagiman, 2005: 2). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional.
BalasHapusPada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan.
nama :rizky ardyanto
BalasHapusnim : 13010012
kelas :VA
1. Bagaimana membedakan ke dua jenis konflik tersebut ? Perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
Mengapa status hukum tersebut demikian penting ? Karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai “pelaku”. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, sehingga ia merupakan “pelaku” dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan “pelaku lain” yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada. Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter).
Oleh karena itu dalam ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara. Ada beberapa perbedaan mendasar mengenai hal ini :
Pertama, ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” (“insurgent“). Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama “perang pemberontakan“. Bandingkan dengan “pihak bukan negara” yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol, di mana “pihak bukan negara” yang dimaksud adalah suatu “bangsa” (peoples) yang belum merdeka dan berjuang melawan penjajahan.
×Powered By CapricornusKedua, dalam ‘non-international armed conflict’, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak,memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan “pihak bukan negara” atau “peoples” yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu “bangsa” yang masih
nama :rizky ardyanto
BalasHapusNim :13010012
kelas :VA
terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.
Ketiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka “non-international armed conflict” merupakjan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.
Kalau masih bingung, kita dapat melihat contoh ke dua jenis konflik bersenjata tersebut pada negeri kita sendiri, Indonesia. [1] Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesiadari penjajahan (“war of national liberation“). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut. Adapun contoh dari perang pemberontakan, dapat mengacu pada beberapa gerakan pemberontakan yang pernah lahir di negeri ini, termasuk pada intensitas tertentu, gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja. Inilah yang disebut dengan istilah ‘non-international armed conflict’ atau konflik internal, atau juga disebut sebagai “perang pemberontakan”.
Prinsip-Prinsip Dasar Hukum
Humaniter
Peradilan militer harus didasarkan pada perkembanganperkembangan baru dalam perkembangan hukum humaniter termasuk dalam hal penggunaan kekuatan senjata,perubahan sifat dan bentuk perang, bentuk ancaman, perkembangan teknologi, dan sistem komando, kendali, komunikasi, dan intelijen (command, control, communication, and intelligent, C3I).
Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter adalah prinsip pembedaan (distinction principle). Prinsip pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan antara kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam pertempuran (kombatan) disatu pihak, dan kelompok yang tidak ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran ( penduduk sipil ).
dan sipil (non-combatants).
Prinsip proporsionalitas Prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang tidak berkaitan dengan tujuantujuan militer (the unnecessary suffering principles). Prinsip ini tercantum dalam Pasal 35 (2) Protokol Tambahan I: “It is prohibited to employ weapons, projectiles and material and methods of warfare of a nature to cause superfluous injury or unnecessary suffering”. Jadi yang menjadi inti masalah adalah apakah langkah atau serangan militer dengan menggunakan senjata tertentu proporsional terhadap tujuantujuan untuk memperoleh keunggulan militer.
c. Pasal 87 Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa 1977 tentang Duty of
Commanders:
(1). The High Contracting
nama rizky ardyanto
BalasHapusnim 13010012
kelas VA
Parties and the Parties to the conflict shall require military commanders, with respect to members of the armed forces under their command and other persons under their control, to prevent and where necessary to,to suppress and report to competent authorities breaches of the
Conventions and this
Protocol;
(2) In order to prevent and suppress the breaches, High Contracting Parties and Parties to the conflict shall require that, commensurate with their level of responsibility, commanders ensure that members of their armed forces under their
command are aware of their obligations under the Conventions and this Protocol;
(3). The High Contracting
Parties and Parties to the conflict shall require any commander who is aware that subordinates or other persons under his control are going to commit or have committed a breach of the Conventions or of this Protocol, to initiate such steps as are necessary to prevent such violations of the Conventions or of this Protocol, and where appropriate, to initiate disciplinary or penal action against violator thereof.
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Untuk menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19 negara-negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam suatu konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172).
Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandfangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia, baik dalam pada masa perang maupun damai.
Selama keadaan perang atau keadaan darurat berlangsung, pemenuhan hak asasi tertentu mungkin dibatasi berdasarkan kondisi-kondisi tertentu. Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik mengizinkan negara melakukan upaya-upaya yang bersifat sementara megabaikan beberapa kewajiban negara berdasarkan konvenan “ketika terjadi keadaan darurat yang mengancam keselamatan bangsa,” tapi hanya “sejauh yang sangat dibutuhkan oleh keadaan yang bersifat darurat( Komnas HAM, 1998, 72).
Dalam konteks lokal (Aceh), barangkali materi ini terasa semakin penting, sebab terdapat berbagai kasus yang bisa menjurus kepada konflik bersenjata, dan dengan latar belakang mana, menimbulkan pertanyaan : bagaimana penerapan Hukum Humaniter di dalam konflik-konflik di daerah ini? Bagaimana pula aspek Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam penerapan tersebut? dan perlukan Hukum Humaniter dan HAM disosialisasikan kepada berbagai kalangan seperti angkatan bersenjata, pejabat pemerintahan, para akademisi, praktisi dan bahkan kepada masyarakat
1. Pertama, ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” (“insurgent“). Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama “perang pemberontakan“. Bandingkan dengan “pihak bukan negara” yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol, di mana “pihak bukan negara” yang dimaksud adalah suatu “bangsa” (peoples) yang belum merdeka dan berjuang melawan penjajahan.
BalasHapusKedua, dalam ‘non-international armed conflict’, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan “pihak bukan negara” atau “peoples” yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu “bangsa” yang masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.
Ketiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka “non-international armed conflict” merupakjan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter internasional dalam sejarahnya dapat ditempuh melalui pembentukan pengadilan pidana nasional maupun mahkamah pidana internasional yang bersifat ad hoc. Karena perkembangan tindak pidana internasional yang telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat internasional, diperlukan adanya suatu mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen. Maka dari itu pada bulan juli di Roma tahun 1998, lahir sebuah statuta yang membentuk mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen, atau dikenal juga dengan Statuta Roma 1998. International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap bagi pengadilan pidana nasional dalam menuntut dan mengadili kejahatan internasional paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Dari beberapa uraian diatas, maka penulis tertarik mengambil judul “Tinjauan Yuridis Penegakan Hukum Humaniter Internasional Melalui Mekanisme International Criminal Court Menurut Statuta Roma 1998”. Oleh karena itu ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas yaitu Penegakan Hukum Humaniter Internasional Melalui Mekanisme International Criminal Court (ICC) Menurut Statuta Roma 1998 dan Kendala-Kendala Yang Dihadapi dalam penegakan Hukum Humaniter Internasional melalalui mekanisme International Criminal Court menurut Statuta Roma 1998. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang didasarkan pada data-data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier yang disusun secara sistematis. Untuk menganalisa data yang diperoleh, baik primer maupun data sekunder, penulis menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu uraian angka-angka tetapi berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, pandangan pakar, termasuk pengalaman peneliti.
3.a.Implementasi Hukum Humaniter di Indonesia. Pemerintah telah melakukan berbagi program agar hukum humaniter ini dapat di terapkan di Indonesia misalnya : ada Komnas HAM sebagai sarana untuk memproseskan apabila ada pelanggaran dalam peperangan, ada juga aturan yang materil yang tertuang dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tidak hanya itu. Pemerintah juga membuat aturan formilnya agar aturan yang materil dapat di implementasikan hal ini dengan adanya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun terlepas dari itu, Indonesia tergolong Negara yang banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusai atau hukum humaniter pada saat mempertahankan Negara kesatuan dari para pemerontak khususnya di provinsi Aceh. Menurut, Tim Ad Hoc Pemantau Perdamaian di Aceh (PPA) yang dibentuk oleh Komnas HAM mengatakan bahwa : Tim menemukan indikasi adanya pelanggaran HAM, yaitu pembunuhan di luar kewajaran dan pelecehan seksual. Kasus pembunuhan di luar kewajaran adalah kasus penembakan terhadap sekelompok pekerja tambak dan di antara korbannya ada anak-anak. Sedangkan kasus pelecehan seksual, pelakunya di indikasikan sebagai anggota Brimob yang terjadi pada 23-25 Mei 2003. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak diberlakukannya darurat militer di Aceh, telah menimbulkan korban jiwa, tidak terkecuali TNI dan masyarakat sipil. Namun demikian, TNI sudah berusaha semaksimal mungkin menghindari jatuhnya korban jiwa masyarakat sipil antara lain dengan cara melokalisir dan memisahkannya dengan GAM, tetapi jatuhnya korban tetap tidak bisa dihindari. Disamping itu, tidak sedikit pula jatuhnya korban masyarakat sipil. Dari kasus di atas bahwa terjadinya pelanggaran tersebut disebabkan kurangnya implementasi hukum humaniter atau kode etik dalam berperang dan menghadapi musuh dalam berperang atau pada saat akan berperang dan setelah perang terjadi.
BalasHapusb. PerPu Hasil Ratifikasi Dari Konvensi International Dibidang Hukum Humaniter. Dalam sistem Hukum Nasional kita, ratifikasi Perjanjian Internasional diatur dalam Undang – Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Ratifikasi perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Ratifikasi perjanjian internasional dilakukan dengan undang- undang apabila berkenaan dengan : 1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; 2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; 3. kedaulatan atau hak berdaulat negara; 4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 5. pembentukan kaidah hukum baru; 6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi dilakukan dengan keputusan presiden. Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.
Nama: YogaPrakoso
BalasHapusKelas: V/B
NIM: 13010048
(1)Bagaimana membedakan ke dua jenis konflik tersebut ? Perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
Mengapa status hukum tersebut demikian penting ? Karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai “pelaku”. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, sehingga ia merupakan “pelaku” dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan “pelaku lain” yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada. Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter).
Oleh karena itu dalam ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional),
sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara.
(2) Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuan
hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah
kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang
tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam
Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban
membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional
umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131
Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949.
(3) Indonesia, sebagai sebuah entitas yang juga menghargai perlindungan mengenai kemanusiaan, juga tentu saja menerapkan hukum humaniter itu sendiri. Bahkan sejak zaman kuno, Indonesia, sama juga dengan negara-negara lain, menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak (Wagiman, 2005: 2). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. Pada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan.
NAMA : DOMINIKUS WASONONO
BalasHapusSEMESTER/KELAS : V / A
NIM : 13010037
1.Perbedaan mendasar antara konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa
• konflik non-internasional
Merupakan konflik internal atau biasa disebut dengan perang pemberontakan yang dicirikan dengan adanya pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan kelompok terorganisir / pasukan pemberontak yang melakukan perlawanan. Konflik tersebut terjadi di wilayah suatu negara. Contoh: pemberontakan di Aceh yaitu Gerakan Aceh Merdeka
• konflik internasional
Merupakan konflik eksternal dimana telah terjadi dicirikan dengan sengketa antara 2 negara atau lebih dan bisa terjadi antara negara dengan bukan negara. Contoh: perang Israel dan Palestina
2. Dalam konvensi Jenewa 1949 pada dasarnya yg didahulukan adalah mekanisme penegakan nasional, negara yang telah meratifikasi konvensi jenewa dapat memberi sanksi kepada pelaku pelanggaran Hukum humaniter melalui pengadilan nasional. Apabila mekanisme penegakan nasional tidak dapat menyelesaikan juga, maka dapat menggunakan mekanisme penegakan internasional. Mekanisme Internasional dalam penegakan hukum humaniter mencakup melalui Mahkamah Internasional Ad Hoc tentang Kejahatan Perang, Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo, International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Statuta Roma : Mahkamah Pidana Internasional. Dasar hukumnya yaitu Konvensi Jenewa 1949.
3. Implementasi yang diterapkan oleh bangsa Indonesia mengenai Palang Merah Indonesia (PMI) melalui UU. No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertakan Negara RI dalam konvensi-konvensi jenewa pada 12 Agustus 1949 dibuktikan dengan keputusan Menteri Pertahanan nomor : KEP/02/M/11/2002 atau mengenai Hak Asasi Manusia terhadap pasal 3 konvensi jenewa 1949, pasal ini berkewajiban kepada pihak yang bertikai untuk menjamin perlindungan kepada orang perorangan dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
Nama : Nicholaus Aloysius Poa
BalasHapusKelas : VB
NIM 13010123
1.Perbedaan utama antara koflik bersenjata internasionalatau ‘international armed conflict’ dan konflik bersenjata non internasioanal atau ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977. Sedangkan dalam ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara.
Karakteristik konflik bersenjata internasional yaitu sengketa bersenjata yang terjadi antar dua atau lebih Negara yang lebih populer disebut dengan “perang” (war).Contoh : Perang bangsa Indonesia dengan Belanda dalam merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari Belanda.Perang antara Palestina dengan Israel.
Karakter non internasional :adanya peperangan antara Angkatan Bersenjata dari suatu Negara melawan pasukan pemberontak yang pada umumnya memiliki kemauan untuk memisahkan diri dari negara induknya.Contoh : GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang memberontak untuk melepaskan dan membentuk negara sendiri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.Menurut pemahaman saya ,berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaranberat terhadap Konvensi.Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, Di lingkungan militer, apabila ada seorang prajurit yang melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter maka Komandan atau Atasan yang berwenang untuk menghukum (Ankum) berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan Pasal 87 di atas. Apabila Komandan atau atasan langsung dari prajurit yang bersalah tidak mengambil tindakan, maka Komandan yang diatasnya berkewajiban untuk mengambil tindakan yang dimaksud. Begitu seterusnya sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, di samping menggunakan sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer dan/atau sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap ketentuan - ketentuan hukum humaniter. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak berfungsi atau tidak difungsikan dengan baik, maka pada tahapan berikutnya kasus yang berasangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional (baik melalui pengadilan yang bersifat ad hoc atau yang permanen).
3.Uraiannya yakni, Indonesia sebagai sebuah entitas yang juga menghargai perlindungan mengenai kemanusiaan, juga tentu saja menerapkan hukum humaniter itu sendiri. Bahkan sejak zaman kuno, Indonesia, sama juga dengan negara-negara lain, menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak (Wagiman, 2005: 2). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. Pada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan.
BalasHapusNAMA : Mega Tiana Arini
BalasHapusNIM : 13010055
KELAS : V B
1.Perbedaan utama antara koflik bersenjata internasionalatau ‘international armed conflict’ dan konflik bersenjata non internasioanal atau ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977. Sedangkan dalam ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara.
Karakteristik konflik bersenjata internasional yaitu sengketa bersenjata yang terjadi antar dua atau lebih Negara yang lebih populer disebut dengan “perang” (war).Contoh : Perang bangsa Indonesia dengan Belanda dalam merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari Belanda.Perang antara Palestina dengan Israel.
Karakter non internasional :adanya peperangan antara Angkatan Bersenjata dari suatu Negara melawan pasukan pemberontak yang pada umumnya memiliki kemauan untuk memisahkan diri dari negara induknya.Contoh : GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang memberontak untuk melepaskan dan membentuk negara sendiri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
NAMA :Mega Tiana Arini
BalasHapusNIM : 13010055
KELAS : V B
2.mekanisme penegakan hukum humaniter akan dapat efektif apabila ia dapat di implementasikan dengan baik dan benar, serta sanksinya dapat ditegakan apabila ada yang melanggarnya. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi - konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
NAMA : Mega Tiana Arini
BalasHapusNIM : 13010055
KELAS : V B
3. Implementasi hukum humaniter di indonesia. Indonesia juga telah lama memulai focus dan perhatian terahadap hukum humaniter karena di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga muncul pemberontakan dari kelompokelompok tertentu, misalnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan kelompok pemberontakan yang ada di provinsi Papua. Pemerintah telah melakukan berbagi program agar hukum humaniter ini dapat di terapkan di Indonesia misalnya : ada Komanas HAM sebagai sarana untuk memproseskan apabila ada pelanggaran dalam peperangan, ada juga aturan yang materil yang tertuang dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tidak hanya itu. Pemerintah juga membuat aturan formilnya agar aturan yang materil dapat di implementasikan hal ini dengan adanya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pemerintah juga membentuk tim pemantau terhadap proses perdaiman di Aceh pasca perdamaian antara pemerinatah republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Dalam hubungannnya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi Deen Haag pada tahun 1907 itu maka menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda. Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada tnaggal 27 Desember 1949, maka hak dan kewajiban Hindia Belanda beralih kepada Republik Indonesia Serikat melalui Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran Induk Perjanjian KMB di Den Haag. Ketika susunan Negara mengalami perubahan dari Republik Indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia Kesatuan, maka ketentuan peralihan UUDS 1950 telah menjadi jembatan penghubung tetap sahnya ratifikasi itu, demikian juga ketika UUD 1945 berlaku kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1969, Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-hal yang belum diatur oeh UUD 1945 termasuk Ratifikasi terhadap konvensi Den Haag tersebut.
Nama : Agustinus Marshaal Maasawet
BalasHapusNIM : 13010001
Kelas: V A
1. Perbedaan utama antara Non Internasinal Armed Conflict dan Internasional Armed Conflict dapat dilihat dari STATUS HUKUM PARA PIHAK YANG BERSENGKETA. Dalam international armed conflict, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena keduanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan pasal 2 konvensi jenewa 1949) , atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah entitas yang dianggap setara dengan negara sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam pasal 1 ayat (4) juncto pasal 96 ayat (3) protokol tambahan kesatu tahun 1977.Status hukum tersebut demikian penting, karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai “pelaku”. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional ( termasuk dalam hal ini hukum humaniter) sedangkan “pelaku lain” yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada.Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter). Oleh karena itu dalam non international armed conflict, STATUS KE DUA PIHAK TIDAK SAMA, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan pasal 1 ayat 4 juncto pasal 96 ayat (3) di atas,walaupun kedua-duanya sama-sama bukan negara.
Contoh dari karakteristik international armed conflict:
Perang pemberontakan ; dapat mengacu gerakan pemberontakan yang pernah lahir di negeri ini pada intensitas gerakan aceh merdeka, karena hal ini tidak dianggap subyek hukum internasioanal dan konflik ini diatur dalam rejim hukum nasional saja.
Contoh dari karakteristik Non-International armed conflict:
Konflik bersenjata di somalia termasuk jenis konflik internal , karena terdapat kelompok faksi-faksi bersenjata yang saling bertempur satu sama lain tanpa melibatkan intervensi dari angkatan bersenjata resmi dari negara bersangkutan.
Nama : Agustinus Marshaal Maasawet
BalasHapusNIM : 13010001
Kelas: V A
2.Mekanisme penegakan hukum humaniter ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen.
Dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Mekanisme Nasional
Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949.
Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
1977, diperkuat dengan Pasal yang mengatur tentang penghukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat hukum humaniter, yaitu Pasal-pasal yang terdapat pada Pasal 49 ayat (1) Konvensi I, Pasal 50 (1) Konvensi II, Pasal 129 (1) Konvensi III dan Pasal 146 (1) Konvensi IV, yang merupakan ketentuan yang bersamaan, Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut di atas maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
Mahkamah kejahatan perang tersebut merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. dalam Konvensi - Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.
b. Mekanisme Internasional
Di samping mekanisme nasional, penegakan hukum humaniter juga dapat
dilaksanakan melalui mekanisme internasional. Ada dua bentuk mekanisme
internasional yang dikenal sampai saat ini, yaitu mahkamah tribunal yang bersifat
ad hoc, dan mahkamah yang bersifat permanen.
(a) Mahkamah Internasional Ad Hoc Tentang Kejahatan Perang
Dalam sejarah dikenal ada dua mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia
II, yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nuremberg
dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi Jerman, sedangkan Mahkamah
Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Jepang. Kedua mahkamah ini
bersifat ad hoc atau sementara yang berarti bahwa mahkamah ini dibentuk untuk jangka waktu dan kasus tertentu saja.
(b) Mahkamah Nuremberg
Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg
Charter) atau biasa juga disebut Piagam London (London Charter). Sejak terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada 24 orang tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Nuremberg, yaitu; kejahatan terhadap perdamaian, (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).
(c) Mahkamah Tokyo
Mahkamah Tokyo (International Military Tribunal for the Far East)
(d) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court /ICC)
Nama : Agustinus Marshaal Maasawet
BalasHapusNIM : 13010001
Kelas: V A
3.Implementasi hukum humaniter di Indonesia sebagai berikut :
Instrumen Hukum internasional yang telah diratifikasi :
1) Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia,
2) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita,
3) Konvensi tentang Anti Penganiayaan,
4) Konvensi tentang Hak-hak Anak,
5) Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial.
Sementara instrumen hukum internasional yang belum diratifikasi dan Hukum Kebiasaan Internasional :
1) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik,
2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
3) Protokol Optional Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik,
4) Konvensi tentang Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar,
5) Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida,
6) Statuta Mahkamah Pidana Internasional 1998 (Statuta Roma).
Instrumen hukum humaniter, di antaranya :
1) Konvensi Jenewa 1949
2) Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949.
Sedangkan instrumen hukum nasional, meliputi :
1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
2) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan 4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
nama : stefanus bai gholo
BalasHapusnim : 13010046
kelas : a
1.Perbedaan utama antara koflik bersenjata internasionalatau ‘international armed conflict’ dan konflik bersenjata non internasioanal atau ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977. Sedangkan dalam ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara.
Karakteristik konflik bersenjata internasional yaitu sengketa bersenjata yang terjadi antar dua atau lebih Negara yang lebih populer disebut dengan “perang” (war).Contoh : Perang bangsa Indonesia dengan Belanda dalam merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari Belanda.Perang antara Palestina dengan Israel.
Karakter non internasional :adanya peperangan antara Angkatan Bersenjata dari suatu Negara melawan pasukan pemberontak yang pada umumnya memiliki kemauan untuk memisahkan diri dari negara induknya.Contoh : GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang memberontak untuk melepaskan dan membentuk negara sendiri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
nama : stefanus bai gholo
BalasHapusnim : 13010046
kelas: a
2.Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, Di lingkungan militer, apabila ada seorang prajurit yang melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter maka Komandan atau Atasan yang berwenang untuk menghukum (Ankum) berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan Pasal 87 di atas. Apabila Komandan atau atasan langsung dari prajurit yang bersalah tidak mengambil tindakan, maka Komandan yang diatasnya berkewajiban untuk mengambil tindakan yang dimaksud. Begitu seterusnya sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, di samping menggunakan sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer dan/atau sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap ketentuan - ketentuan hukum humaniter. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak berfungsi atau tidak difungsikan dengan baik, maka pada tahapan berikutnya kasus yang berasangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional (baik melalui pengadilan yang bersifat ad hoc atau yang permanen). Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam Protokol 1977 antara lain mengenai mekanisme. Yang dimaksud disini adalah mekanisme yang dilakukan melalui Komisi Internasional Pencari Fakta (International Fact Finding Commission). Komisi Pencari Fakta merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 52 Konvensi I; Pasal 53 Konvensi II; Pasal 132 Konvensi II dan Pasal 149 Konvensi IV yang mengatur mengenai prosedur penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter atau terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa Mekanisme Internasional. Di samping mekanisme nasional, penegakan hukum humaniter juga dapat dilaksanakan melalui mekanisme internasional. Ada dua bentuk mekanisme sampai saat ini yaitu : Mahkamah atau tribunal yang bersifat ad hoc dan mahkamah yang bersifat permanen.
nama : stefanus bai gholo
BalasHapusnim : 13010046
kelas : a
3..Implementasi hukum humaniter di Indonesia sebagai berikut :
Instrumen Hukum internasional yang telah diratifikasi :
1) Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia,
2) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita,
3) Konvensi tentang Anti Penganiayaan,
4) Konvensi tentang Hak-hak Anak,
5) Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial.
Sementara instrumen hukum internasional yang belum diratifikasi dan Hukum Kebiasaan Internasional :
1) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik,
2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
3) Protokol Optional Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik,
4) Konvensi tentang Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar,
5) Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida,
6) Statuta Mahkamah Pidana Internasional 1998 (Statuta Roma).
Instrumen hukum humaniter, di antaranya :
1) Konvensi Jenewa 1949
2) Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949.
Sedangkan instrumen hukum nasional, meliputi :
1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
2) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan 4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).