- Jelaskan perbedaan mendasar konflik bersenjata international dan konflik bersenjata non international. Lengkapi pula dengan contoh serta karakteristik dari masing-masing jenis tersebut.
- Deskripsikan menurut pemahaman saudara tentang mekanisme penegakan hukum humaniter beserta dasar hukumnya?
- Uraikan Implementasi hukum humaniter di Indonesia dan jelaskan peraturan perundang-undangan hasil ratifikasi dari konvensi international dibidang hukum humaniter.
Senin, 04 Januari 2016
Soal UAS Hukum Humaniter Humaniter (Kelas C dan D FH.Ubhara)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : RIA HARDINI
BalasHapusNim & kelas : 13010075 - 5C
1.Perbedaan mendasar antara konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasionaldapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa.Dalam konflik bersenjata internasionalkedua belah pihak memiliki status hukum yang sama ,karena keduanya merupakan negara(sebagaimana dapat dilihat padaketentuan pasal 2 konvensi jenewa 1949).Sedangkan konflik bersenjata non internasional dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan dimana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjataresmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir yang berada dalam wilayah negara hyang bersangkutan.
CONTOH KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL:konflik bersenjata antara indonesia dengan gerakan aceh merdeka (GAM),Konflik bersenjata antara srilanka dengankelompok macan tamil.
2.Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri .Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang ,baik yang bersifat perang ,baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen.Mahkamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana .Namun demikian , dalam konvensi-konvensi jenewa 1949 menegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi sepertidikenal dalam sistem hukum internasional umumnya . hal tersebut diatur dalam pasal 51 konvensi 1 ,pasal 52 konvensi II,pasal 131 konvensi III dan pasal 148 konvensi IV jenewa 19.
3.Implementasi hukum humaniter internasional merupakan komitmen dari departemen pertahan RI dalam rangka mendukung usaha -usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta hukum humaniter internasional yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan dibidang pertahan negara yang berbasis kepada hukum .
Nama : Feny Rahmah Wati
BalasHapusNIM : 13010074
Kelas : V C
1. Perbedaan mendasar konflik internasional dengan konflik non-internasional:
- konflik internasional
Merupakan konflik eksternal dimana telah terjadi sengketa antara 2 negara atau lebih dan bisa terjadi antara negara dengan bukan negara. Contoh: perang Suriah yang melibatkan banyak negara besar seperti Rusia dan AS.
- konflik non-internasional
Merupakan konflik internal atau biasa disebut dengan perang pemberontakan yang dicirikan dengan adanya pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan sekelompok pasukan pemberontak yang melakukan perlawanan. Konflik tsb terjadi di wilayah suatu negara. Contoh: konflik suriah antara rakyat suriah melakukan perlawanan terhadap rezim Bhasar Asaad, GAM.
2. Mekanisme penegakan H.humaniter dapat dilakukan dengan cara pembentukan mahkamah kejahatan perang seperti Ad-Hoc. Namun dalam konvensi Jenewa 1949 pada dasarnya yg didahulukan adalah mekanisme penegakan nasional, negara yg telah meratifikasi konvensi jenewa dapat memberi sanksi/hukuman kepada pelaku pelanggaran H.humaniter melalui pengadilan nasional. Apabila mekanisme penegakan nasional tidak dapat menyelesaikan, maka dapat menggunakan mekanisme penegakan internasional Ad-Hoc ataupun mahkamah pidana internasional Statuta Roma. Dasar hukumnya yaitu Konvensi Jenewa 1949.
3. Di indonesia menerapkan kebiasaan dan hukum perang diantaranya aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan terhadap wanita & anak-anak. Selain itu, bentuk implementasi H.humaniter di indonesia yaitu dengan didirikannya PMI. Indonesia mendukung dalam penegakan H.humaniter internasional dengan meratifikasi konvensi jenewa 1949 yg dituangkan dalam UU No 59 th 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh konvensi jenewa 1949. Dan keikutsertaan indonesia dibuktikan dengan keputusan Menteri pertahanan Nomor: KEP/02/M/11/2002 tentang penerapan H.humaniter & hukum HAM dalam penyelenggaraan pertahanan negara.
Nama : Nila Fatmala
BalasHapusNim :13010067
Kelas : Vc
1. perbedaan dari segi bahwa hukum humaniter mempunyai dua bentuk perang bersenjata yakni konflik bersenjata internasional memasukkan suatu perlawanan terhadap dominadi perjuangan melawan penduduk asing dan perlawanan terhadap rezzim rasialis sebagai bentuk lain seperti sengketa bersenjata internasional. contohnya konlik antara Thailand dan Kamboja dua negara tersembut sama-sama berpendapat bahwa Kuil Preah Vihear telah ditetapkan oleh UNESCO yang memasukkan sebagai warisan sejarah dunia. perbedaan non internasional dari segi hukum humaniter yang kedua yakni sengketa yang terjadi didalam suatu wilayah dalam situasi tertentu. Contohnya yakni konvensi jenewa perang yang timbul diantara dua pihak atau lebih . jadi secara garis besar kedua bentuk konflik bersenjata ini perbedaan paling utamanya yakni dilihat dari segi status hukum bagi para pihak yang bersengketa perang.
2.Mekanisme hukum humaniter internasional yang mengatur masalah suatu perjanjian multiteral atau melalui hukum kebiasaan internasional. hukum humaniter juga mengatur tentang perlindungan bagi orang-orang yang terlibat dalam satu peperangan. yakni sengketa bersenjata internasional dan non internasional . Adapun tujuan mekanisme penegakan hukum humaniter itu sendiri menjamin Hak Asasi Manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ketangan musuh,mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas.oleh karena itu dasar hukum tersebut bersumber pada pasal 38 ayat 1 statuta ICJ.
3.impelementasi hukum humaniter di Indonesia yakni pengaturan mengenai hak asasi manusia yaitu terdapat dalam pasal 3 konvensi jenewa 1949 pasal ini membebankan kewajiban kepada pihak yang bertikai untuk tetap menjamin perlindungan kepada orang perorangan. PBB pada tahun 1968 telah resmi menjalin hubungan Hak Asasi Manusia dengan hukum humaniter maka dari itu hak asasi manusia menjadi dasar implementasi di Indonesia bagi hukum humaniter internasional. Hasil retifikasi hukum implemtasi hukum hukum humaniter di Indonesia tersebut yakni hukum Jenewa yang berkaitan dengan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata dan hukum Den Haag yang berkaitan dengan tindakan permusuhan.
Nama: Indah Dwi Miftachul Jannah
BalasHapusNIM : 13010163
Kls : VC
1. Perbedaan mendasar konflik bersenjata innternasional dan konflik bersenjata non internasional yaitu:
a. Konflik bersenjata internasional
konflik bersenjata innternasional merupakan konflik bersenjata yang terjadi antara 2 atau lebih negara selain itu juga konflik bersenjata antara negara dengan entitas bukan negara (konflik internasionnal semu).
contoh konflik bersenjata internasional yaitu konflik sengketa kuil preah vihear antara Thailand dengan Kamboja.
b. Konflik bersenjata non intternasional
konflik bersenjatta non internasional merupakan konflik yang terjadi karena pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata dalam sebuah negara, pemberontak ini tidak mengakui rezim yang berkuasa dan bermaksud untuk memisahkan diri dari negara atau merebut kekuasaan negara tersebut.
contoh konflik bersenjata non internasional adalah konflik bersenjata di Filiphina tepatnya dikawasan MindanaoSulu, Filipina selatan. konflik dipicu karena adanya perbedaan segi budaya dan agama. perbedaan ini membuat bangsa muro ingin memisahkan diri dari Filiphina.
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter yaitu berdasarkan ketentuan pasal-pasal jenewa 1949 dan protokol tambahan 1977 negara yang telah meratifikasi konvensi jenewa diwajibkan untuk menerbitkan undang-undang nasional. jadi negara tersebut dapat mengadili sendiri kejahatan perang yang terjadi dalam negaranya. apabila mahkamah nasional tidak mau dan tidak mampu untuk mengadili kejahatan perang maka mahkamah pidana internasional (ICC) dapat mengadili perkara kejahatan perang tersebut. sedangkan Mahkamah Adhoc hanya mengadili kejahatan perang dalam kasus tertentu saja.
3. Imlementasi hukum hhumaniter di Indonesia yaitu pemerintah indonesia teelah melakukan program antara lain adanya komnas ham sebagai sarana untuk memproses apabila ada pelanggarann dalam peperangan dan dibentuknya organisasi perhimpunan nasional yang bergerak dibidang sosial kemanusiaan yaitu Palang Merah Indonesia.
indonesia menyatakan dukunganya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalahh dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituagkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konnvensi Jenewa 1949. selain itu, indonesia jjuga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Mentteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humanniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, hal ini dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
NAMA : M NUR DHIKRULLOH ABIDIN
BalasHapusKELAS : SEMESTER V(F)
NIM : 13010101
1. Perbedaan mendasar konflik bersenjata internasional dan non internasional adalah :
• konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C.
Karakteristik :
• Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional
• konflik bersenjata non internasional : .Syarat dan kriteria-kriteria untuk suatu sengketa bersenjata non-internasional adalah: 1. Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung. 2. Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident). 3. Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab. 4. Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut. 5. Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan .
2. 2. Menurut saya Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri.Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang.Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana.Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter.Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional,yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional
BalasHapus3. 3. pelaksanaan dari hukum humaniter yang dilaksanakan di Indonesia dengan terbentuknya sebuah komisi nasional, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terbentuknya Komnas HAM adalah bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB.
Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi jenewa 1949, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di mata dunia yang masih sangat rendah
kala itu dapat diamankan dengan ratifikasi yang dilakukan Indonesia dalam hal ini agar Negara-negara kolonial dapat lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negerinya yang dapat memicu konflik dengan Indonesia.
Dalam meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam UU No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949. Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/02/M/II/2002 tentang penerapan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia dalam pennyelenggaraan pertahanan negara, dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
RIZKI AMALIA
BalasHapus13010178
VC
1.perbedaan mendasar terletak pada status hukum pihak-pihak yang bersengketa karena kedua pihak memiliki status hukum yang sama dalam konflik bersenjata internasional karena keduanya adalah Negara atau paling tidak Salah satu pihak dalam konflik tersebut suatu entitas yang diangap setara dengan persyaratan yang tercantum di dalam pasal 1 ayat (4) junto pasal 96 ayat (3) protocol tambahan 1. dan konflik bersenjata non internasional sering disebut juga sebagai perang pembrontakan adapun dalam konflik bersenjata non internasional status kedua pihak tidak sama karena merupakan antara Negara yang merupakan subjek hukum dengan pihak lain yang bukan Negara
contoh konflik bersenjata internasional
konflik antara Israel dan palestina, irak dan as
konflik bersenjata non internasional : konflik bersenjata antara Indonesia dan gerakan aceh merdeka (GAM), konflik suriah dengan pembrotak(kelompok bersenjata)
2. perkembangan mekanisme hukum humaniter menurut saya berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan tata cara pelaksanaan perang hukum perang sendiri dipengaruhi oleh hukum jenewa dan membentuk beberapa pengadilan ad hoc untuk mengadili masalah perang sesuai dengan tempat kedudukannya dan membentuk ICC yang bertujuan membantu menyediakan petunjuk pelaksaan kepada setiap Negara yang ingin melakukan penuntutan tentang kejahtan perang dasar hukum
Konvensi jenewa 1949
3. hukum humaniter Indonesia tidak luput dari aturan hukum jenawa dan den haag karena itu merupakan dasar hukum humaniter yang dimana didalamnya mengatur tentang tata cara berperang dan perlindungan korban perang sehingga apabila terjadi peperangan diindonesia bisa diterapkan sesuai aturannya di Indonesia sendiri telah menerapkan nilai-nilai hukum humaniter dan HAM dan dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara indonesia juga telah mendirikan organisasi palang merah Indonesia yang bertujuan menjalankan prinsip kemanusiaan karena bagaimanapun indonesia harus melindungi semua warga negara termasuk warga sipil demi melindungi semua warga negara.
Nama : Dewi Zahra Wanda
BalasHapuskelas : VC
NIM : 13010119
1. Pada konflik internasional terjadi antara negara dengan negara yang disebabkan antara salah satu pihak yang menhendaki ataupun dari antara negara tersebut (negara yang mendapat intervensi dari negara lain) karena mmpunyai status hukum yang sama dengan dasr hukum konvensi jenewa 1949 Sengketa internasional yang melibatkan subjek Hukum internasional Sengketa ini diawali karena bukan merupakan sengketa internasional, tetapi sifat dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional
Contoh : Irak dan Kuwait
Konflik bersenjata non internasional adalah sebuah konflik antar pemerintah kelompok bersenjata yang menentang rezim pemerintah atau tidak mau mengakui pemerintahannya dan melakukan pembrontakkan dengan tujuan melepaskan diri dari negara asal Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara,sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut.
Contoh : Filipina dan kelompok Sukartimuno, Indonesia dan GAM
2. Menurut pendapat saya Mekanisme hukum humaniter internasional diawali dengan pembentukan pengadilan terhadap kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan oleh berbagai negara dimana diatur dalam konvensi jenewa 1949. Apabila terjadi konflik pada suatu negara maka diadili pada negara tersebut, dan jika konflik tersebut tidak bisa diselesaikan secara peradilan nasional maka konflik tersebut akan dibawa kepada Mahkamah Internasional dan didalam perkembangannya kejahatan internasional memiliki 4 pengadilan Ad-Hoc antara lain :
1) Mahkamah Militer Internasional bertempat di Nuremberg
2) Mahkamah Militer Internasional untuk Timur terletak di Tokyo
3) Mahkamah Militer Internasional bekas jajahan Yugoslavia bertempat di Hague
4) Mahkamah Militer Internasional untuk Rwanda terletak di Arusha.
3. Pada implementasi hukum humaniter di indonesia menerapkan sistem keadilan yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) yang bersifat universal maupun internasional yang telah diratifikasi.Untuk dijadikan suatu pandangan atau acuan mengenai hukum humaniter di Indonesia yang sudah diatur oleh menteri pertahanan Republik Indonesia dimana setiap akibat yang di timbulkan dari suatu perang harus mendapatkan perlindungan baik berupa keamanan, kesehatan, dan menjamin setiap warganya baik kombantan maupun warga sipil dan kemudian Indonesia mendirikan suatu organisasi kemanusiaan berupa Palang Merah Indonesia (PMI) yang tersebar di seluruh Indonesia
nama : ANGGI WAHYU DEWANTI
BalasHapuskelas : V D
nim : 13010097
1. Perbedaan mendasar yang didapat dari konflik internasional dan konflik non-internasional dapat dilihat dari status hokum para pihak yang bersengketa.
Di dalam konflik internasional ini ke dua belah pihak memiliki status hokum yang sama, karena kedua belah pihak ini berbentuk negara atau bisa jadi salah satu pihak yang terdapat dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang telah dianggap setara dengan negara dan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam pasal 1 ayat 4 juncto pasal 96 ayat 3 protokol tambahan 1977 sedangkan karakteristik dari konflik internasional adalah :
a) Sengketa internasional yang melibatkan subjek Hukum internasional.
b) Sengketa yang pada awalnya bukan merupakan sengketa internasiona, tetapi sifat dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional.
Contoh kasus dari konflik internasional adalah konflik antara negara Thailand dan kamboja salah satu perkara yang memperumit permasalah tersebut adalah tentang perebutan hak milik dari sebuah kuil yang berusia900 tahun tahun dan memiliki wilayah seluas 4,6 m2.
Status hokum dalam konflik non-internasional yaitu kedua pihak tidak memiliki kesamaan status dimana pihak pertama berstatus sebagai negara sedangkan pihak lainnya memiliki status bukan negara.
Karakteristik dari konflik non-internasional ini adalah :
a) Pertikaian terjadi di wilayah pihak peserta agung
b) Pertikaian tersebut di wilayah angkatan bersenjata pihak peserta agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak
c) Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab
d) Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara,sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut.
e) Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan protocol.
Contoh kasus dari konflik non-internasional ini seperti yang telah terjadi di dalam negara Indonesia yaitu tentang pemberontakan Partai Komunis Indonesia atau sering disebut PKI yang terjadi di madiun pada tahun 1948.
2. Menurut pendapat saya mengenai mekanisme penegakan hokum humaniter dapat berdasar pada ketentuan Pasal-Pasal Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 di mana negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional. Saat mekanisme penegakan nasional ini tidaklah dapat menyelesaikan permasalahan tersebut barulah bisa menggunakan mekanisme internasional ad-Hoc ataupun melalui mahkamah pidana internasional atau International Criminal Court (ICC) dalam hal ini International Criminal Court (ICC) akan menjadi semacam benteng terakhir keadilan bagi korban kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebagaimana yang telah di tulis oleh A Irmanputra Sidin yang menggatakan “berdasarkan artikel 17, ICC bukanlah pengadilan the first resort, tetapi the last of the last resort karena itu tidak akan merusak kedaulatan domestic negara peserta.
BalasHapus3. Bentuk tindakan Negara Republik Indonesia tentang adanya hokum humaniter ini telah dibuktikan dengan adanya konvensi atau konvenan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang bersifat universal maupun internasional yang telah diratifikasi.
Untuk bentuk dari ratifikasi mengenai hukum humaniter di Indonesia ini sudah diatur oleh menteri pertahanan Republik Indonesia pada Peraturan Mentri nomor 9 tahun 2013 tentang penerapan hokum humaniter dan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan pertahanan negara, dimana di peraturan tersebut dijelaskan bahwa Indonesia menganut aturan dari konvensi-konvensi Den Haag yang dihasilkan dalam dua konferensi yang pertama yaitu mengenai perdamaian internasional tahun 1899 dan tahun 1907 yang kedua adalah tentang konvensi jenewa tahun 1949 yang telah diratifikasi dengan undang-undang nomor 59 tahun 1958 tentang keikut sertaan negara Republik Indonesia dalam seluruh konvensi jenewa tanggal 12 agustus 1949.
nama : LUIGI HERAWATI
BalasHapuskelas : V C
nim : 13010174
1. Perbedaan mendasar konflik bersenjata international dan konflik bersenjata non international adalah
*sengketa bersenjata internasional adalah persengketaan antara negara yang satu dengan beberapa negara lain, walaupun pada akhirnya yang berhadapan adalah manusia dengan manusia, dalam persengketaan ini negara menjadi subjek.
Contohnya : konflik bersenjata antara Israel dan Libanon
*sedangkan sengketa bersenjata non internasional, pihak yang bersengketa satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity).
Contoh : gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja. Inilah yang disebut dengan istilah sengketa bersenjata non-international
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter internasional dalam sejarahnya dapat ditempuh melalui pembentukan pengadilan pidana nasional maupun mahkamah pidana internasional yang bersifat ad hoc. Karena perkembangan tindak pidana internasional yang telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat internasional, diperlukan adanya suatu mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen. Maka dari itu pada bulan juli di Roma tahun 1998, lahir sebuah statuta yang membentuk mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen, atau dikenal juga dengan Statuta Roma 1998. International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap bagi pengadilan pidana nasional dalam menuntut dan mengadili kejahatan internasional paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Selain itu, mekanisme penegakan hukum humaniter yaitu berdasarkan ketentuan pasal-pasal jenewa 1949 dan protokol tambahan 1977 negara yang telah meratifikasi konvensi jenewa diwajibkan untuk menerbitkan undang-undang nasional. jadi negara tersebut dapat mengadili sendiri kejahatan perang yang terjadi dalam negaranya. apabila mahkamah nasional tidak mau dan tidak mampu untuk mengadili kejahatan perang maka mahkamah pidana internasional (ICC) dapat mengadili perkara kejahatan perang tersebut. sedangkan Mahkamah Adhoc hanya mengadili kejahatan perang dalam kasus tertentu saja. Selain itu diperlukan adanya kerjasama internasional antara ICC dengan negara-negara untuk menangani dan mengadili kasus pelanggaran serius yang terjadi di suatu negara. Kendala yang dihadapi dalam penegakan Hukum humaniter Internasional melalui mekanisme International Criminal Court menurut Statuta Roma 1998 adalah intervensi dari Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Cina dalam memanfaatkan ICC sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan menunjukkan hegemoni dalam menyelesaikan konflik di suatu Negara yang terlibat, sehingga penyelesaian masalah demi tercapainya penegakan hukum humaniter internasional seringkali menemui jalan buntu. Dalam upaya penegakan hukum humaniter internasional melalui mekanisme ICC haruslah mendapat dukungan dari semua pihak negara-negara di dunia dengan mengenyampingkan kepentingan masing-masing Negara demi terciptanya perdamaian dan keadilan dalam masyarakat internasional.
BalasHapusSumber hukumnya konvensi jenewa 1949 dan protokol tambahan 1977
3. Implementasi Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan komitmen dari Departemen Pertahanan RI dalam rangka mendukung usaha-usaha perlindungan dan untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) serta Hukum Humaniter Internasiomal yang difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan regulasi dibidang pertahanan negara yang berbasis kepada hukum. Indonesia bersama dengan International Committee of the Red Cross (ICRC) didalam memberikan pemahaman tentang HHI yang lebih mendalam baik kepada aparat hukum di lingkungan Dephan maupun kepada seluruh personel TNI.
BalasHapusDalam hubungannnya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi Deen Haag pada tahun 1907 itu maka F.Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet ) tanggal 1 Juli 1909 dan keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda. Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada tnaggal 27 Desember 1949, maka hak dan kewajiban Hindia Belanda beralih kepada Republik Indonesia Serikat melalui Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran Induk Perjanjian KMB di Den Haag. Ketika susunan Negara mengalami perubahan dari Republik Indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia Kesatuan, maka ketentuan peralihan UUDS 1950 telah menjadi jembatan penghubung tetap sahnya ratifikasi itu, demikian juga ketika UUD 1945 berlaku kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1969, Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-hal yang belum diatur oeh UUD 1945 termasuk Ratifikasi terhadap konvensi Den Haag tersebut.
Sedangkan Empat perjanjian dalam konvensi Jenewa 1949 tersebut telah diratifikasi, secara utuh ataupun dengan reservasi, oleh 194 negara.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusnama : RATNA ANGGRAENI
BalasHapuskelas : V C
nim : 13010042
1.Konflik bersenjata non internasional merupakan konflik antar negara dengan anggota sipil yang dipersenjatai bisa digambarkan sebagai pemberontak, kelompok yang ingin memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah-istilah sejenis lainnya berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan diri dan mendirikan negara mereka sendiri.
Contoh : srilanka dan kelompok macan tamil (perang saudara )
Konflik bersenjata internasional , adalah konflik yang terjadi antar negara dengan tujuan antara lain memperluas wilayah yang ingin dikuasai beserta sumber daya alam yang ingin dimiliki.
Contoh : rusia dan amerika
2.Suatu perangkat hukum akan dapat dikatakan efektif apabila ia dapat
diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan apabila ada yang melanggarnya.
Untuk dapat ditegakkan maka didalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme
yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu dapat ditegakkan.
Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-
ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan
sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang
permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses
pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949
ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau
kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.537 Hal tersebut
diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan
Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949.
tentang ratifikasi sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1 Konvensi Jenewa memberikan kewajiban
bagi Pihak Peserta Agung untuk menghormati dan menjamin penghormatan
terhadap Konvensi. Ketentuan ini kemudian
diperkuat dengan Pasal yang mengatur tentang penghukuman bagi mereka yang
melakukan pelanggaran berat hukum humaniter, yaitu Pasal-pasal yang terdapat pada
Pasal 49 ayat (1) Konvensi I, Pasal 50 (1) Konvensi II, Pasal 129 (1) Konvensi III dan
Pasal 146 (1) Konvensi IV, yang merupakan ketentuan yang bersamaan,
Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut di atas maka negara yang telah
meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang
nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan
atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana
penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan
nasional. Artinya, apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku
akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan
menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan.
3. Implementasi yang diterapkan bangsa Indonesia yaitu dengan didirikan nya HAM (Hak Asasi Manusia) agar tidak terjadi kekerasan dalam peperangan . di tegakkannya HAM demi penegak hukum atau petugas keamanan melakukan kekerasan/anarkis terhadap rakyat Indonesia . hal tersebut diatur oleh peraturan Menteri no 9 tahun 2013 tentang penerapan Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia.
Nama : Dian Sekar Sari
BalasHapuskelas: V D
NIM : 13010184
1. Konflik bersenjata ada beberapa macam konflik bersenjata internasional yaitu murni dan semu, konflik bersenjata murni adalah konflik bersenjata yang terjadi anatara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional semu adalah konflik bersenjata antara Negara disatu pihak dengan bukan Negara di pihak lain.
ContoH : konflik bersenjata adalah Uganda dengan Israel
Konflik non Internasional adalah suatu konflik non Internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu Negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak, bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah Negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti intesias konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut.
Contoh : Konflik non Internasional adalah GAM dengan Indonesia
2. Menurut pendapat saya Mekanisme penegakan hukum humaniter internasional memanglah perlu diadakan agar kejahatan perang semaksimal mungkin tidak terjadi dan dapat diatasi. Untuk dapat menegakkan hukum tersebut maka didalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan norma-norma. Jika pengadilan Ad-Hoc tidaklah berhasil mengatasi masalah tersebut maka bias diadili didalam mahkamah pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC). International Criminal Court (ICC) juga dapat membantu menyediakan insetif dan petunjuk pelaksanaan kepada setiap Negara yang ingin melakukan penuntutan terhadap individu-individu yang bertanggungjawab terhadap kejahatan atas kemanusiaan di pengadilan Negara masing-masing. International Criminal Court (ICC) juga akan menjadi lembaga terakhir yang akan melakukan tuntutan terhadap individu yang melakukan kejahatan terhadap manusia yang tidak dituntut dinegaranya diakibatkan oleh tidak adanya kemampuan ataupun kemauan dari Negara tersebut untuk melakukan penuntutan.
3. Implementasi yang diterapkan oleh bangsa Indonesia mengenai Palang Merah Indonesia (PMI) melalui UU. No. 59 Tahun 1958 tentang keikutsertakan Negara RI dalam konvensi-konvensi jenewa pada 12 Agustus 1949 UU. Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007. Dan pada Penetapan Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai satu-satunya Organisasi kepala merahan sebagaimana tertuang dalam Keppres No. 25 Tahun 2950 dan pemberian tugas-tugas kemanusian kepada Palang Merah Indonesia (PMI) pada waktu terjadi bencana dan peperangan melalui Keppres No. 264 Tahun 1963.
NAMA : M CHAIDIR MS
BalasHapusNIM : 13010107
KELAS : V D
1.Konflik bersenjata internasional, sengketa bersenjata antar Negara, atau konflik antar negara merupakan suatu sengketa bersenjata yang terjadi antar dua atau lebih Negara yang lebih populer disebut dengan “perang”.
Contoh : Perang suriyah yang melibatkan banyak negara besar seperti AS dan rusia.
Konflik bersenjata non internasional : suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak buah nya yang melakukan perlawanan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara.
Contoh : perang gerakan aceh merdeka (GAM)
2.Menurut pedapat saya mekanisme penegakan hukum humaniter adalah suatu perangkat hukum yang dapat dikatakan efektif apabila ia dapat di implementasikan dan sanksinya dapat ditegakan terhadap yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu ditegakkan. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi ataukompensasi dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter.
Pasal 49 ayat 1 Konvensi Jenewa 1949 maka Negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa harus menerbitkan undang-undang nasional yang dapat memberi sanksi pidana yang efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
3. Implementasi hukum humaniter di Indonesia yaitu telah dimulai sejak zaman kuno, Indonesia sama juga dengan negara-negara lain. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak . Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. pada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara.
Nama : Cahaya Bintang
BalasHapusNIM : 13010033
Kelas : V D
1.a. Konflik Bersenjata Internasional
Konflik bersenjata Internasional adalah konflik yang melibatkan Angkatan Bersenjata Resmi Negara dengan Angkatan bersenjata Resmi Negara lain
Contoh: Perang Antara German dan Rusia Sewaktu Perang Dunia 2.
Karakteristik nya konflik bersenjata internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu Negara.Tetapi dapat terjadi diwilayah Internasional
b. Konflik Bersenjata Non Internasional
Konflik bersenjata Non Internasional Adalah dimana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir yang berada didalam wilayah negara yang bersangkutan
Contoh : GAM yang memberontak Di Aceh yang hal ini tidak dianggap subyek dalam hukum internasional maka konflik ini cukup diatur dalam rezim hukum nasional saja
Karakteristik Konflik Bersenjata Non Internasional Merupahkan konflik yang hanya Terjadi didalam
wilayah Suatu Negara Saja
2. Menurut Saya Didalam Hukum Humaniter tidak melarang adanya perang dan juga tidak membenarkan adanya perang. Hukum Humaniter Ini Hanya memanusiawikan perang agar korban perang diminimalkan sedikit mungkin maka dari itu perlu adanya mekanisme penegakan hukum humaniter agar kejahatan dalam perang semaksimalmungkin tidak terjadi. Suatu perangkat hukum akan dapat dikatakan Ampuh apabila dapat diterapkan dan sanksinya dapat di tegakan apabila ada yang melanggar. Untuk menjalankan fungsi perangkat hukum tersebut perlu adanya Suatu mekanisme yang mengatur bagaimana norma-norma itu dapat ditegakkan mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkama kejahatan perang baik yang bersifat adhoc maupun permanen . Mahkama kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan Hukum Pidana , Namun Negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.
Dasar Hukum Nya , Pasal 51, konvensi I, Pasal 52 Konvensi II, Pasal 13 Konvensi III dan Pasal148 Konvensi IV Jenawa 1949
3. Implementasi Hukum Humaniter Di Indonesia Dipakai dalam penyelenggaraan Pertahanan Negara
Yang berisi :
1. Penerapan Hukum Humaniter mengenai Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, Kebiasaan Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia berlaku dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara.
2. Hukum mengenai Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 meliputi :
a. Konvensi I tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka dan sakit dalam Angkatan Perang di darat.
b. Konvensi II tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka sakit dan korban-korban karam dari Angkatan Perang di laut.
c. Konvensi III tentang perlakuan tawanan.
d. Konvensi IV tentang perlindungan rakyat sipil dalam masa perang perang
3. Hukum Kebiasaan Internasional yaitu konvensi-konvensi internasional tentang Hukum Humaniter yang telah diterima dan diterapkan oleh masyarakat internasional
4. Hukum Hak Asasi Manusia diatur dalam berbagai perundang-undangan nasional termasuk konvensi atau covenan tentang Hak Asasi Manusia dan yang bersifat universal maupun internasional yang telah diratifikasi.
5. Keputusan ini dimaksudkan sebagai penegasan, agar dalam penyelenggaraan Pertahanan Negara mempedomani kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 tersebut di atas.
Hasil Dari Retivikasi Dari Konvensi Jenewa 1949 Terdiri Dari :
A.Protokol I (1977) mengenai perlindungan korban konflik bersenjata Internasional
B.Protokol II (1977) Mengenai Perlindungan Konflik Bersenjata
NAMA : FAIZAL HAMZAH YUWONO PUTRA
BalasHapusNIM : 13010165
KELAS : Vc
1.Konflik bersenjata international (War Of National Liberation)
> konflik yang terjadi antara dua atau lebih asalkan yang terakhir ini juga berbentuk negara. Dengan kata lain, sengketa bersenjata internasional adalah persengketaan antara negara yang satu dengan beberapa negara lain, walaupun pada akhirnya yang berhadapan adalah manusia dengan manusia, dalam persengketaan ini negara menjadi subjek dan untuk kepentingan pribadi negaranya.
Karakteristik dari konflik bersenjata internasional yaitu ada 2:
a. Murni : konflik bersenjata yang terjadi antara dua Negara atau lebih
b. Semu : konflik bersenjata antara Negara disatu pihak dengan bukan Negara dipahak lain.
Jenis –jenis konflik bersenjata ada tiga menurut konvensi jenewa 1949 yaitu:
1. Perang yang dilakukan dengan cara-cara yang sah, dalam hal ini perang yang didahului dengan pernyataan perang maupun peperangan yang tidak dilakukan dengan cara-cara tersebut.
2. Peperangan yang diikuti dengan adanya invasi atau pendudukan dari pihak musuh (occupation); baik yang di dalamnya menemui perlawanan maupun yang tidak; serta
3. Situasi yang menegaskan bahwa dalam situasi peperangan di mana para pihak yang bersengketa adalah para pihak atau bukan pihak pada Konvensi Jenewa 1949, maka hal tersebut tidak menyebabkan tidak berlakunya Konvensi Jenewa 1949 itu sendiri.
Contohnya : konflik senjata yang terjadi di suriah yang di kendalikan rusia dengan amerika .dengan tujuan mengambil SDA nya
>Konflik non international (Internationalized Internal Armed Conflict).
>yaitu adanya suatu konfrontasi antara angkatan bersenjata atau kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir yang dipimpin oleh komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, yang mana kelompok tersebut harus memiliki dengan derajat minimum sebagai suatu organisasi.
Contohnya :perang islam vs budha di Myanmar
2.Penegakan hukum terhadap sengketa hukum humaniter dalam Konvensi-
konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan
sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter mekanisme
nasional jika tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka
mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan
dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum
humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum
nasional apabila penggunaan hukum nasional dianggap kurangnya rasa keadilan maka diajukan
ke mahkamah internasional yang bersifat permanen atau ad hoc
3.Pelaksanaan hasil ratifikasi KONVENSI JENEWA 1949 dalam hukum humaniter di Indonesia sudah terlaksakandengan baik dengan adannya Komisi Nasional dan Hak asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan adanya Palang Merah Indonesia (PMI)
Nama : YUSUF MAHARDHIKA
BalasHapusNIM : 13010109
KELAS : 5 D
1. Perbedaan mendasar konflik bersenjata international dan konflik bersenjata non international dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
Contoh dari konflik bersenjata international : Konflik Bersenjata Thailand dan Kamboja, Permasalahannya terletak pada satu tempat : Kuil Preah Vihear.Sebuah kuil berusia kurang-lebih 900 tahun tersebut kini sedang ramai-ramainyadiperbincangkan. Penyebabnya adalah karena wilayah seluas 4,6 km di sekitar kuil tersebutkini sedang diperebutkan dua negara ASEAN, Thailand dan Kamboja. Kedua negara itusama-sama mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayahnya, dan kedua negara tersebutsama-sama berpendapat penempatan tentara dari negara lainnya di wilayah tersebutmerupakan bukti pelanggaran kedaulatan nasional mereka.
2. Mekanisme penegakan hukum humaniteri, mempunyai tiga dasar : Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, Mahkamah Ad Hoc dan Mahkamah Pidana International ( International Criminal Court atau disingkat ICC ),Yang Pertama menjadi Dasar penegakan adalah Konvensi Jenewa,Konvensi Jenewa Sendiri terdiri dari berbagai Tahapan antara lain :
a. Konvensi Jenewa tahun 1864 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang Yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat
b. Konvensi Jenewa tahun 1906 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang Di Laut Yang Luka, Sakit dan Korban Karam
c. Konvensi Jenewa tahun 1929 tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang
d .Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang
• Protokol Tambahan Pada Konvensi Jenewa tahun 1949 yang mengatur tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Internasional (Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to the Protections of Victims of International Armed Conflict), selanjutnya disebut Protokol I
ni menjelaskan bahwa adanya suatu larangan penggunaan senjata yang efek utamanya adalah melukai dengan pecahan yang tak dapat diketahui tempatnya di tubuh manusia dengan X-rays.
• Protokol Tambahan Pada Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 yang Mengatur tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Non- Internasional (Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August1949, And Relating to the Protections of Victims of Non-International Armed Conflict) selanjutnya disebut Protokol II.
ini melarang penggunaan ranjau, booby traps dan bahan-bahan lain terhadap penduduk sipil atau dengan cara serampangan dengan maksud untuk menimbulkan luka insidental terhadap penduduk sipil yang bersifat berlebihan dalam kaitannya dengan upaya mencapai keutangan militer langsung dan nyata.
• Protokol Tambahan Pada Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur mengenai lambang.
Sebagaimana diatur di dalam Protokol ini, negara-negara telah setuju tentang adanya lambang pelindung yang baru selain lambang palang merah dan bulan sabit merah. Lambang yang ketiga adalah berlian merah (“red diamond”) selanjutnya disebut Protokol III.
Isi dari Protokol III ini adalah jika membuat suatu langkah besar ke depan dengan membatasi penggunaan senjata senjata pembakar.
BalasHapusBerdasarkan ketentuan Pasal-Pasal Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 di atas maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional,Dalam hal ini suatu lembaga yang berperan dalam Proses Peradilan yang bersifat melacak kasus yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia secara mikro namun mengembangkan secara Makro adalah Mahkamah Ad Hoc,tetapi dalam Mahkamah Ad Hoc sendiri mempunyai kekurangan dalam hal kurangnya kapabilitas dalam menangani permasalahan secara tepat waktu serta keterbatasan pada kasus yang akan ditangani, maka Pada bulan Juli 1998 di Roma Italia konferensi diplomatis mengesahkan Statuta Roma tentang ICC atau International Criminal Court (Mahkamah Pidana International) dalam hal ini ICC mengambil alih proses peradilan. Dimana unsur yudisial ini berfungsi dalam penyelesaian sengketa dan fungsi struktural mengenai peradilan kejahatan berat yang terjadi di dunia internasional baik yang subyeknya individu maupun antarnegara. Efektivitas organisasi ini dapat dilihat dari banyaknya kasus yang telah ditangani dan diselesaikan melalui jalan damai, dengan mekanisme struktural yang teratur dan jelas legitimasi serta independensinya.
3. 1. Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949. Telah diratifikasi dengan UU No. 59 Tahun 1958
2. Konvensi Tentang Hak Politik Kaum Perempuan – Convention of Political Rights of Women. Telah diratifikasi dengan UUD No. 68 tahun 1958
3. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan – Convention on the Elmination of Discrimination againts Women. Telah diratifikasi dengan UU No. 7 tahun 1984.
4. Konvensi Hak Anak – Convention on the Rights of the Child. Telah diratifikasi dengan Kepres 36 tahun 1990.
Ø Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak mengenai Perdagangan Anak dan, prostitusi Anak, dan Pornografi Anak – Optional Protocol to the Convention on the rights of The child on the sale of children, child prostitution dan child pornography. Telah ditandatangani pada tanggal 24 sepetember 2001.
Ø Protokol tambahan Konvensi Hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata – Optional Protocol to the Convention on the Rights of the child on the Involvement of the Children ini Armend Conflict. Telah ditandatangani pada 24 September 2001.
5. Konvensi Pelarangan, Pengembangan, Produksi dan Penyimpanan Senjata Biologis dan Penyimpanannya serta pemusnahannya – Convention on the Prohobition of the Development, Production and Stockpilling of Bacteriological (Biological) and Toxic Weaponsand on their Destruction. Telah diratifikasi denga Kepres No. 58 tahun 1991.
BalasHapus6. Konvensi Internasional terhadap Anti Apartheid dalam Olahraga – International Convention Againts Apartheid in Sports. Telah diratifikasi dengan UU No. 48 tahun 1993.
7. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan, atau merendahkan martabat Manusia – Toture Convention. Telah diratifikasi dengan UU No. 5 tahun 1998.
8. Konvensi orgnisasi Buruh Internasional No. 87, 1998 tth Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi – ILO (International Labour Organisation) Convention No. 87, 1998 Concerning Freedom Association and Protection on the Rights to Organise. Telah diratifikasi dengan UU No. 83 tahun 1998.
9. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial – Convention on the Elemination of Racial Discrimination. Telah diratifikasi dengan UU No. 29 Tahun 1999
10. Optional protokol Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan – Convention on the Elmination of Discrimination Againt Women. Telah ditandatangi pada Maret 2000 tetapi belum bisa diratifikasi.
11. Konvensi Internasional untuk penghentian Pembiayaan terorisme – International Convention for the Supression of the Financing Terrorism. Telah ditandatangani pada 24 September 2001.
NAMA : Rachmad Fernaldi Putra
BalasHapusNIM : 13010071
KELAS : Vc
1.perbedaan antara konflik bersenjata international dan konflik bersenjata non international. Adalah konflik bersenjata yang terdapat di dalam keempat Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I tahun 1977. Seperti yang telah ditetapkan dalam pasal 2 common article[12] konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 , yaitu bahwa konvensi ini akan berlaku dalam hal perang yang dinyatakan atau konflik bersenjata lainnya yang timbul di antara dua pihak peserta atu lebih sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu pihak. Konvensi berlaku pada peristiwa pendudukan sekalipun tidak mengalami perlawanan. Konvensi juga akan tetap berlaku sekalipun salah satu negara yang terlibat dalam konflik bukan negara peserta konvensi. Lalu pada pasal (1) ayat (4) jo. Pasal (96) ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977. Konflik bersenjata yang Besrifat Non-Internasional Adalah suatu konflik yang dikenal juga swbagai perang pemberontakan yang terjadi didalam suatu negara, juga dapat berbentuk perang saudara. Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal yakni pasal 3 common article konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II tahun 1977.[13].contoh konflik bersenjata internasional : isis yang banyak ditentang nengara seperti AS,prancis , perang di Irak dan Afganistan .konflik bersenjata non internasional : Kasus Agresi AS Atas Irak
2.mekanisme penegakan Hukum Humaniter Internasional membedakan dua jenis pertikaian bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional. Jika pertikaian bersenjata itu melibatkan dua negara atau lebih maka disebut pertikaian bersenjata yang bersifat internasional. Pertikaian bersenjata yang terjadi di wilayah sebuah negara disebut pertikaian bersenjata yang bersifat internal atau yang bukan bersifat internasional. salah satu aspek penting dalam hukum humaniter adalah mengenai mekanisme penegakan hukum jika terjadi pelanggaran. Mekanisme ini diatur dalam Konvensi Jenewa yaitu dengan menggunakan mekanisme hukum nasional. Tanpa adanya mekanisme tersebut dalam penegakan hukum maka hukum humaniter akan bersifat lemah dan akan terjadi suatu pelanggaran dan kesalahan.dasar hukumnya : Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
3. Implementasi hukum internasional di Indonesia Dalam penerapan hukum internasional, Implementasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai upaya penerapan suatu perjanjian internasional melalui suatu peraturan hukum nasional dengan ketentuan yang bersifat lebih lanjut. Terkadang perjanjian internasional yang telah diratifikasi kemudian menjadi hukum nasional belumlah cukup memadai untuk dilaksanakan. Karena itu dibutuhkan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya sesuai dengan pasal-pasal perjanjian internasional tersebut.
Nama : MURINDAH JAZILAH
BalasHapusKelas : V C
NIM : 13010066
1. Konflik bersenjata internasional adalah konflik yang terjadi antar negara dengan negara ataupun konflik yang terjadi antara negara dengan entitas bukan negara. Dimana negara sebagai subyek dalam persengkataannya. Contoh konflik pada negara dengan negara yang terjadi pada konflik libya dan Mesir. Perang terjadi karena Mesir ingin merebut kembali semenanjung sinai dengan berpolitik pada AS dan Israel sehingga manuver politik yg dilakukan pemimpin Mesir mendapat kecaman dari pemimpin libya ( yang sangat anti AS ). Contoh konflik bersenjata yang terjadi akibat entitas bukan negara yaitu negara syuriah yang berawal dari pemberontakan masyarakat yang kemudian dipengaruhi oleh Uni soviet dan AS dalam membantu syuria.
Konflik bersennjata non-internasional merupakan konflik yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat sipil yang kemudian disebut sebagai pemberontak dimana pemberontakan itu sudah terorganisir dan dipimpin dengan dipersenjatai. Konflik terjadi didalam negaranya sendiri dengan melibatkan angkatan bersenjata milik negara. Mereka melakukan pemberontakan dikarenakan ingin merebut atau menggulingkan kekuasaan didalam negaranya. Contoh nya pada negara Nigeria adanya nama kelompok pemberontakannya adalah Boko Haram. Kelompok ini menentang atau mengharamkan budaya dan sistem barat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran islam sehingga negara tersbut harus diganti dengan negara yang bersistem hukum islam.
2. Menurut pemahaman yang saya ketahui, mekanisme penegakan hukum humaniter dimana apabila suatu negara telah ikut serta melaksanakan konvensi jenewa dan telah meratifikasi konvensi jenewa 1949 maka harus mengikuti aturan hukum nasional nya yaitu pada pengadilan nasional di negara tersebut. Dan jika pengadilan nasional sendiri tidak bisa melakukan dan tidak ada rasa keadilannya dapat dilanjutkan pada mekanisme penegakan hukum internasional. Hal ini didasarkan pada pasal yang diatur didalam konvensi jenewa 1949.
3. Salah satu bentuk kepedulian negara indonesia tentang nilai-nilai kemanusiaan akibat ditimbulkannya korban perang dan penderitaan warga sipil yang memprihatinkan yaitu dengan di bentuknya Palang Merah Indonesia dan juga adanya aturan mmengenai Hak Asasi Manusia. Adapun aturan-aturan perundang-undangan hasil ratifikasi dari konvensi jenewa 1949 yaitu Undang-Undang No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, serta KUHP dan KUHPM mengenai ketentuan korban perang.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : Silvia Rizka Andriana
BalasHapusNIM : 13010106
Kelas: VD
1. Perbedaan mendasar Konflik Bersenjata Internasional
- Konflik Bersenjata Internasional
konflik bersenjata yang terjadi antara 2 atau lebih negara, merupakan juga konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara dipihak lain. Sengketa bersenjata ini disebut juga sebagai sengketa bersengketa antar negara. Contoh : perang antara Vietnam dengan Amerika.
- Konflik Bersenjata Non-Internasional
dikenal juga sebagai perang pemberontakan yang terjadi di dalam suatu negara, juga dapat berbentuk perang saudara. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk. Contoh : OPM (Organisasi Papua Merdeka) dengan Pemerintah RI
2. Mekanisme penegakan hukum dan dasar hukumnya
sering disebut juga sebagai hukum konflik bersenjata yang merupakan batang tubuh hukum yang mencakup Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Den Haag beserta perjanjian - perjanjian, yurisprudensi, dan hukum kebiasaan internasional yang mengikutinya. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditentukan dalam ketentuan hukum tersebut. mekanisme tersebut di tempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen,dalam konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara dapat di wajibkan membayar gantirugi atau kompensasi seperti yang dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya. Hal - hal tersebut diatur dalam pasal 51 Konvensi I, pasal 52 konvensi II, pasal 131 konvensi III, dan pasal 148 konvensi IV Jenewa 1949. dikatakn bahwa pihak peserta untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Konvensi Jenewa merupakan mekanisme nasional, maka penegakan hukum humaniter dilakukan oleh pengadilan nasional dengan menggunakan hukum nasional apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
3. Implementasi hukum humniter di Indonesia dan jelaskasn peraturan perundang-undangan hasil ratifikasi dari konvensi internasional di bidang hukum humaniter
hukum di Indonesia menerapkan hukum perang berupa aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan terhadap anak-anak dan wanita. bentuk implementasinya dibentuknya PMI mendukung dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang dituangkan UU No.59 tahun 1958 tentang keikutsertaan RI dalam seluruh konvensi jenewa 1949 dibuktikan dengan keputusan Menteri Pertahanan nomor : KEP/02/M/11/2002 atau mengenai Hak Asasi Manusia terhadap pasal 3 konvensi jenewa 1949, pasal ini berkewajiban kepada pihak yang bertikai untuk menjamin perlindungan kepada orang perorangan dan juga membuat aturan formilnya agar aturan materiil dapat diimplementasikan, dengan diterbitkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusCitra Ayu Eunike
BalasHapus13010207
V-D
1. Perbedaan konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional
A). Konflik bersenjata internasioanal adalah sengketa bersenjata yang terjadi antara 2 negara atau lebih selain itu juga konflik sengketa negara dengan entitas bukan negara
Contoh konflik bersenjata internasional yaitu konflik yang terjadi antara israel dengan palestina
B). Konflik bersenjata non-internasional adalah konflik yang terjadi karena adanya pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata dalam negeri, untuk melawan rezim yang berkuasa dengan maksud ingin memisahkan diri dari negara dan membuat negara dengan kekuasaannya sendiri.
Contoh konflik bersenjata non-internasional adalah pemberontakan GAM, kelompok bersenjata GAM melakukan gerakan separatisme dengan melawan pasukan militer indonesia bertujuan untuk mendirikan negara sendiri.
2. Mekanisme hukum humaniter
Berdasarkan pasal-pasal dalam konvensi jenewa tahun 1949 dan protokol tambahan tahun 1977. Setiap negara yang telah meratifikasi konvensi jenewa wajib membuat undang-undang perang. Dengan adanya undang-undang perang bisa melindungi para korban perang. Jika terjadi suatu pelanggaran berat terhadap kemanusiaan maka mekanisme penegakan hukum humaniter di proses melalui pengadilan nasional. Apabila tidak menemukan penyelesaian melalui pengadilan nasional maka mekanisme penegakan hukum dapat di teruskan melalui pengadilan internasional ad-hoc ataupun melalui mahkamah pidana internasional atau international criminal court (icc)
3. Implementasi hukum humaniter
Di Indonesia sudah di terapkan dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang HAM untuk memperjuangkan hak-hak para korban perang adanya organisasi Palang Merah Indonesia yang membantu para korban perang yang mengalami luka akibat peperangan. peraturan perundang-undang di atur oleh menteri pertahanan Republik Indonesia pada peraturan menteri nomor 9 tahun 2013 tentang penerapan hukum humaniter dan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Menganut aturan dari konvensi Den Haag pertama mengenai perdamaian internasional tahun 1899 dan 1907.Kedua Konvensi jenewa tahun 1949 yang telah di ratifikasi dengan UU.no 59 tahun 1958
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNAMA : Aryo H Susilo
BalasHapusNIM : 13010155
Semester/Kelas : 5C
1. - KOnflik bersenjata internasional adalah sengketa bersenjata yang terjadi antar dua atau lebih negara.(Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949)
Contoh : Perang Dunia II, Perang Dunia I, Perang Teluk, Konflik Israel-Palestina, Konflik Inggris-Argentina dalam perang Falkland
- Konflik bersenjata yang terjadi di dalam negeri yang biasanya melibatkan pemerintah dan kelompok bersenjata yang teroganisir serta adanya pemimpin dari kelompok bersenjata tersebut. Bukan merupakan konflik bersenjata internasional seperti huru hara, tindak kekerasan yang bersifat terisolir dan sporadis, serta tindakan kekerasan serupa lainnnya, yang bukan merupakan konflik bersenjata
Contoh : Konflik Indonesia-PRRI, KOnflik ISIS-Suriah, Konflik Pemerintah Afghanistan-Taliban, Konflik Pemerintah Thailand-Junta Militer
2. Mekanisme penegakan hukum humaniter yang saya ketahui seperti mekanisme penegakan hukum hukum humaniter dengan mekanisme nasional, mekanisme yang berdasarkan ketentuan Pasal-pasal Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1997 ketika negara sudah meratifikasi ketentuan konvensi Jenewa maka negera itu diwajibkan menerbitkan suatu Undang-undang nasional dari konvensi Jenewa tersebut.
3. Di Indonesia sudah ada Implementasi dari Hukum Humaniter yang ditunjukkan dengan ratifikasi dari KOnvensi Jenewa 12 Agustus 1949 yaitu Convention on the Rights of The Child - Konvensi Hak Anak yang telah ditanda tangani tanggal 24 September 2001, lalu, diterbitkan menjadi Keppres 36 tahun 1990, juga dari Konvensi 12 Agustus 1949 itu berisi Protokol Tambahan tentang Konvensi Hak ANak mengenai Keterlibatan anak dalam konflik bersenjata.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusnama:Demmy Octaviasari K. P
BalasHapusnim: 13010117
semester/kelas:5D
1. perbedaan antara konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional
konflik bersenjata internasional merupakan konflik bersenjata yang terjadi antar dua negara/lebih atau negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional. contoh konfik bersenjata internasional, israel dan palestina
sedangkan konflik bersenjata non-internasional merupakan konflik dalam negri yang biasanya terjadi pada pemerintahan dengan kelompok bersenjata yang bertujuan untuk memisahkan diri dari negara, contohnya, pemberontakan GAM
2.penegakan hukum humaniter berdasarkan pasal-pasal konfensi jenewa 1949 dan protokol 1977 dengan adanya undang undang perang maka dapat melindungi anggota angkatan perang, perlakuan terhadap tawanan perang, dan orang orang sipil waktu perang.
3.di indonesia implementasi dengan adanya Hak Asasi manusia dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Hukum humaniter lebih dahulu daripada hak asasi manusia dan dikembangkan setelah hukum humaniter internasional.Menganut aturan dari konvensi Den Haag pertama mengenai perdamaian internasional tahun 1899 dan 1907.Kedua Konvensi jenewa tahun 1949 yang telah di ratifikasi dengan UU.no 59 tahun 1958
TOLONG SAYA DIAJARI UNT BUAT SPT INI NGGIH
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKedua, dalam non-international armed conflict, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan “pihak bukan negara” atau “peoples” yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu bangsa yang masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.
BalasHapusKetiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka non-international armed conflict merupakan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.
Kalau masih bingung, kita dapat melihat contoh ke dua jenis konflik bersenjata tersebut pada negeri kita sendiri, Indonesia. Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan (“war of national liberation“). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut. Adapun contoh dari perang pemberontakan, dapat mengacu pada beberapa gerakan pemberontakan yang pernah lahir di negeri ini, termasuk pada intensitas tertentu, gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja. Inilah yang disebut dengan istilah non-international armed conflict atau konflik internal, atau juga disebut sebagai “perang pemberontakan”.
Apakah konflik bersenjata non-internasional atau konflik internal itu hanyalah perang pemberontakan saja ? Ternyata terdapat konflik lain yang dapat juga termasuk konflik internal, yakni konflik bersenjata di mana terdapat kelompok atau faksi-faksi bersenjata yang saling bertempur satu sama lain tanpa melibatkan intervensi dari angkatan bersenjata resmi dari Negara yang bersangkutan sebagaimana yang terjadi di Somalia. Konflik demikian termasuk ke dalam kategori jenis konflik internal
2. Mekanisme penegakan Hukum Humaniter
Belakang Di dalam dunia dewasa ini perang menjadi salah satu cara penyelesaian dalam menyelesaikan sengketa, namun dalam perang tersebut bukan hanya kedua pihak yang bersengketa saja yang menjadi korban tetapi non-combatan yang dilindungi pun dapat menjadi korban. Karena hukum humaniter tidak melarang perang dan juga tidak membenarkan adanya perang, hukum humaniter ini hanya memanusiawikan perang agar korban akibat perang ini seminimal mungkin. Namun dalam peperangan sering terjadi pelanggaran dan kejahatan humaniter, sehingga perlu diaturnya suatu mekanisme penegakan hukum agar kejahatan – kejahatan ini semaksimal mungkin tidak terjadi. Suatu perangkat hukum akan dapat dikatakan efektif apabila ia dapat di implementasikan dan sanksinya dapat
NAMA : M. AUFAR RIFQI
BalasHapusNIM : 13010068
KELAS : 5C
1. - konflik bersenjata internasional ada dua jenis, yaitu murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir. Konflik bersenjata internasional murni adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional semu adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalamhal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
- Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dlm suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan slalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
2.Mekanisme penegakan hukum humaniter dpt ditemukan dalam ketentuan-ketentuan huku itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tdk dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjdi opsi berikutnya.
ditegakkan apabila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka didalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu dapat ditegakkan. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan - ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.537 Hal tersebut diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apablia mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
BalasHapus3. Ketika saat hukum internasional telah maju tulisan-tulisan mengenai hukum perang juga telah banyak di tulis oleh ahli hukum. Sebagai salah satu contoh adalah adanya “azas dasar dari pada hukum perang” atau “azas perikemanusiaan” yang di nyatakan dalam “ contract social”. Azas ini dirumuskan oleh J.J. Rousean. Kemudian contoh lainnya dapat juga di lihat dengan adanya peraturan-peraturan mengenai hukum perang di India yang di kenal dengan “Ceritera Mahabharata dan Manu”.
Mochtar Kusumaatmadja, juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apa bila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri di mulai dengan tulisan-tulisan mengenai hukum perang.
Menurut sejarah hukum humaniter internasional juga dapat di temukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan hukum humaniter baru di mulai pada abad ke-19. Sejak itulah Negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis yang berdasarkan pengalaman-pengalaman atas peperangan modern. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional. Sejumlah Negara di dunia juga telah memberikan berbagai sumbangan dan juga telah menyetujuinya antara lain, Indonesia, Malaysia dan Singapore.
NAMA : M. AUFAR RIFQI
BalasHapusNIM : 13010068
KELAS : 5C
1. - konflik bersenjata internasional ada dua jenis, yaitu murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir. Konflik bersenjata internasional murni adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional semu adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalamhal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
- Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dlm suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan slalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
2.Mekanisme penegakan hukum humaniter dpt ditemukan dalam ketentuan-ketentuan huku itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara jg dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yg didahulukan dlm Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tdk dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjdi opsi berikutnya.
Indonesia juga telah lama memulai focus dan perhatian terahadap hukum humaniter karena di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga muncul pemberontakan dari kelompok kelompok tertentu, misalnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan kelompok pemberontakan yang ada di provinsi Papua. Pemerintah telah melakukan berbagi program agar hukum humaniter ini dapat di terapkan di Indonesia misalnya : ada Komanas HAM sebagai sarana untuk memproseskan apabila ada pelanggaran dalam peperangan, ada juga aturan yang materil yang tertuang dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tidak hanya itu. Pemerintah juga membuat aturan formilnya agar aturan yang materil dapat di implementasikan hal ini dengan adanya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pemerintah juga membentuk tim pemantau terhadap proses perdaiman di Aceh pasca perdamaian antara pemerinatah republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka.
BalasHapusNamun terlepas dari itu, Indonesia tergolong Negara yang banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusai atau hukum humaniter pada saat mempertahankan Negara kesatuan dari para pemerontak khususnya di provinsi Aceh. Menurut, Tim Ad Hoc Pemantau Perdamaian di Aceh (PPA) yang dibentuk oleh Komnas HAM mengatakan bahwa : Tim menemukan indikasi adanya pelanggaran HAM, yaitu pembunuhan di luar kewajaran dan pelecehan seksual. Kasus pembunuhan di luar kewajaran adalah kasus penembakan terhadap sekelompok pekerja tambak dan di antara korbannya ada anak-anak. Sedangkan kasus pelecehan seksual, pelakunya di indikasikan sebagai anggota Brimob yang terjadi pada 23-25 Mei 2003. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak diberlakukannya darurat militer di Aceh, telah menimbulkan korban jiwa, tidak terkecuali TNI dan masyarakat sipil. Namun demikian adalah fakta bahwa TNI sudah berusaha semaksimal mungkin menghindari jatuhnya korban jiwa masyarakat sipil antara lain dengan cara melokalisir dan memisahkannya dengan GAM, tetapi jatuhnya korban tetap tidak bisa dihindari. Disamping itu, tidak sedikit pula jatuhnya korban masyarakat sipil, fakta sebenarnya hal tersebut dilakukan oleh GAM adan aparat keamanan TNI/Polri.
Pelanggaran juga terjadi di desa Beutong Ateuh Kecamatan Beutong kabupaten Aceh Barat yang sekarang sudah masuk dalam wilayah hukum kabupaten Nagan Raya setelah terjdi pemekaran dengan kabupaten Aceh Barat. Tragedi terjadi pada hari minggu tanggal 22 juli tahun 1999 yang di kenal dengan tragedi “Teungku Bantakiyah”. Jumlah korban yang di temukan di kuburan sebanyak 30 orang, di Krueng Beutong 8 orang, dan di 7 kilometer jalan arah Takengon sebanyak 20 orang. Total korban yang tewas sebanyak 59 orang.
Dari beberapa kasus di atas bahwa terjadinya pelanggaran tersebut disebabkan kurangnya implementasi hukum humaniter atau kode etik dalam berperang dan menghadapi musuh dalam berperang atau pada saat akan berperang dan setelah perang terjadi.
NAMA : M. AUFAR RIFQI
BalasHapusNIM : 13010068
KELAS : 5C
3. Indonesia telah lama memulai fokus dan perhatian terahadap hukum humaniter karena di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga muncul pemberontakan dari kelompo-kelompok tertentu, misalnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Pemerintah telah melakukan berbagi program agar hukum humaniter ini dapat di terapkan di Indonesia misalnya : ada Komanas HAM sebagai sarana untuk memproseskan apabila ada pelanggaran dalam peperangan, ada juga aturan yang materil yang tertuang dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan pemerintah jg membuat aturan formilnya agar aturan yang materil dapat di implementasikan hal ini dengan adanya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun, Indonesia tergolong Negara yang masih sering melakukan pelanggaran hak asasi manusia atau hukum humaniter pada saat mempertahankan Negara kesatuan dari para pemerontak khususnya di provinsi Aceh. Dari kejadian ini ditemukan indikasi adanya pelanggaran HAM, yaitu pembunuhan di luar kewajaran dan pelecehan seksual. Kasus pembunuhan di luar kewajaran adalah kasus penembakan terhadap sekelompok pekerja tambak dan di antara korbannya adalah anak-anak. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak diberlakukannya darurat militer di Aceh, telah menimbulkan korban jiwa, tidak terkecuali TNI dan masyarakat sipil. Namun demikian adalah fakta bahwa TNI sudah berusaha semaksimal mungkin menghindari jatuhnya korban jiwa masyarakat sipil antara lain dengan cara melokalisir dan memisahkannya dengan GAM, tetapi jatuhnya korban tetap tidak bisa dihindari. Disamping itu, tidak sedikit pula jatuhnya korban masyarakat sipil, fakta sebenarnya hal tersebut dilakukan oleh GAM adan aparat keamanan TNI/Polri. Jadi terjadinya pelanggaran tersebut disebabkan kurangnya implementasi hukum humaniter atau kode etik dalam berperang dan menghadapi musuh dalam berperang atau pada saat akan berperang dan setelah perang terjadi.
1. Karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai “pelaku”. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, sehingga ia merupakan “pelaku” dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan “pelaku lain” yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada. Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter).
BalasHapusAda beberapa perbedaan mendasar mengenai non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” (“insurgent“).
Contoh : Non Internasional : Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Internasional : Irak Syiriah Islamic State (ISIS)
2. Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal sampai saat ini yaitu :
Mahkamah atau tribunal yang bersifat ad hoc dan mahkamah yang bersifat permanen.
Mahkamah Internasional Ad Hoc Tentang Kejahatan Perang (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against humanity).
Penegakan hukum terhadap sengketa hukum humaniter dalam common articlesdari konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter mekanisme nasional jika tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional apabila penggunaan hukum nasional dianggap kurangnya rasa keadilan maka diajukan ke mahkamah internasional yang bersifat permanen atau ad hoc
3. Hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter secara langsung berkaitan dengan penegakan hukum. Praktik penegakan hukum harus dilihat sebagai bagian dari praktek negara dan harus sesuai sepenuhnya dengan kewajiban negara menurut hukum internasional. Penggalakan dan perlindungan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab bersama dan perorangan dalam hal menyangkut penegakan hukum para petugas penegak hukum harus memahami kapasitas pribadi mereka untuk mempengaruhi imej organisasi penegak hukum secara keseluruhan.
Nama :Hanif Zahron
Kelas : V D
NIM : 13010092
Nama : Johanes rizky p.
BalasHapusNim :13010112
Klz : 5D
1.Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
Dalam ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara. Ada beberapa perbedaan mendasar mengenai hal ini :
Pertama, ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan.
Kedua, dalam ‘non-international armed conflict’, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru.
Ketiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka “non-international armed conflict” merupakjan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.
Contoh dari kedua konflik tersebut di ambil dari negara kita sendiri yaitu indonesia.
Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan (“war of national liberation“). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut. Adapun contoh dari perang pemberontakan, dapat mengacu pada beberapa gerakan pemberontakan yang pernah lahir di negeri ini, termasuk pada intensitas tertentu, gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM).
2.Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan d alam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri .Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang ,baik yang bersifat perang ,baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen.Mahkamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana .Namun demikian , dalam konvensi-konvensi jenewa 1949 menegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi sepertidikenal dalam sistem hukum internasional umumnya . hal tersebut diatur dalam pasal 51 konvensi 1 ,pasal 52 konvensi II,pasal 131 konvensi III dan pasal 148 konvensi IV jenewa 19.
3.impelementasi hukum humaniter di Indonesia yakni pengaturan mengenai hak asasi manusia yaitu terdapat dalam pasal 3 konvensi jenewa 1949 pasal ini membebankan kewajiban kepada pihak yang bertikai untuk tetap menjamin perlindungan kepada orang perorangan. Hasil retifikasi hukum implemtasi hukum hukum humaniter di Indonesia tersebut yakni hukum Jenewa yang berkaitan dengan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata dan hukum Den Haag yang berkaitan dengan tindakan permusuhan.
NAMA :Alief firmansyah
BalasHapusNIM :13010087
KELAS :5D
1. Perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977
Pertama, ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” (“insurgent“). Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama “perang pemberontakan“. Bandingkan dengan “pihak bukan negara” yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol, di mana “pihak bukan negara” yang dimaksud adalah suatu “bangsa” (peoples) yang belum merdeka dan berjuang melawan penjajahan.
Kedua, dalam ‘non-international armed conflict’, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan “pihak bukan negara” atau “peoples” yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu “bangsa” yang masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.
Ketiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka “non-international armed conflict” merupakjan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.
Contoh konflik bersenjata Non Internasional : Gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM).
Contoh konflik bersenjata Internasional : Pertempuran sengit terjadi antara Hizbullah dan pasukan Israel di perbatasan Israel-Libanon.
2.Suatu perangkat hukum akan dapat efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakan apabila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu ditegakkan. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
BalasHapus3.Di Indonesia, sebagai sebuah entitas yang juga menghargai perlindungan mengenai kemanusiaan, juga tentu saja menerapkan hukum humaniter itu sendiri. Bahkan sejak zaman kuno, Indonesia, sama juga dengan negara-negara lain, menerapkan kebiasaan dan hukum perang. Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita anak-anak (Wagiman, 2005: 2). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga menerapkan hukum humaniter kepada hukum-hukum kebiasaan dalam level nasional. Pada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam konvensi jenewa 1949 yang dibuktikan dalam keputusan mentri pertahanan nomor : KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dalam Keputusan Menteri tersebut Indonesia menyatakan mengenai bahwa Indonesia turut menjaga nilai-nilai humaniter dan HAM dalam usaha-usaha mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) juga menjadi sebuah implementasi dari Indonesia sendiri dalam kepedulian tentang kemanusiaan.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : imanuel sanjaya
BalasHapusKelas : VC
Nim : 13010173
1. *Konlik bersenjata internasional adalah konflik yang terjadi diantara setidaknya terdapat dua negara atau lebih. konflik bersenjata yang terdapat di dalam keempat Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I tahun 1977. Seperti yang telah ditetapkan dalam pasal 2 common article[12] konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 , yaitu bahwa konvensi ini akan berlaku dalam hal perang yang dinyatakan atau konflik bersenjata lainnya yang timbul di antara dua pihak peserta atu lebih sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu pihak. Konvensi berlaku pada peristiwa pendudukan sekalipun tidak mengalami perlawanan. Konvensi juga akan tetap berlaku sekalipun salah satu negara yang terlibat dalam konflik bukan negara peserta konvensi. Lalu pada pasal (1) ayat (4) jo. Pasal (96) ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
Contoh: perang antara dua negara yaitu komboja dengan thailand
*konflik bersenjata non internasional Adalah suatu konflik yang dikenal juga sebagai perang pemberontakan yang terjadi didalam suatu negara, juga dapat berbentuk perang saudara. Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal yakni pasal 3 common article konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II tahun 1977.[13]
Contoh konflik bersenjata non internasional: yaitu perlawanan atau pemberontakan GAM Geraka aceh merdeka terhadap Indonesia
Perbedaan dari dua konflik diatas adalah yaitu perlindungan hokum.
2. Pemahaman saya tentang mekanisme hukum humaniter
Hukum humaniter yaitu digunakan untuk lebih menekankan sisi kemanusiaan dalam hukum perang,melindungi bagi korban perang dan tata cara melaksanakan perang.
Unuk menegakkan pernagkat peraturan hukum tersebut,konvensi jenewa 1949 mempunyai mekanisme dan menetapkan norma norma dalam menjalankan sebuah perang.dan jika didalam pernag tersebut memiliki unsur kejahatan perang dan melanggar ketentuan ketentuan yang telah diaturdalam konvensi jenewa maka negara yang berkonflik dapat diadili di pengadilan ad hoc dan apabila konflik tersebut tidak bisa di selesaikan secara peradilan nasional,maka konflik tersebut akan dibawa kepada mahkamah pidana internasional (ICC)
3. IMPLEMETASI hukum humaniter di Indonesia. pada masa modern, Indonesia menyatakan dukungannya dalam menegakkan hukum humaniter internasional salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang buktinya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Indonesia juga mengimplementasikan keikutsertaannya dalam melaksanakan aturan-aturan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dibuktikan dalam Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara.
Dalam hasil rativikasi konvensi internasional mengaturpenerapan hukum humaniter mengenai konvensijenewa tanggal 12 agustus 1949,Kebiasaan Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia berlaku dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Dianataranya:
a. Konvensi I tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka dan sakit dalam Angkatan Perang di darat.
b. Konvensi II tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka sakit dan korban-korban karam dari Angkatan Perang di laut.
c. Konvensi III tentang perlakuan tawanan.
d. Konvensi IV tentang perlindungan rakyat sipil dalam masa perang perang
Nama: Yul Vaida
BalasHapusKelas: Vc
Nim: 13010065
1. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
Karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai “pelaku”. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, sehingga ia merupakan “pelaku” dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan “pelaku lain” yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada. Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter).
Oleh karena itu dalam ‘non-international, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). oleh karena hal-hal tersebutlah maka “non-international merupakjan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.
contoh ke dua jenis konflik bersenjata tersebut pada negeri kita sendiri, Indonesia. Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu “bangsa” yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda.., dapat mengacu pada beberapa gerakan pemberontakan yang pernah lahir di negeri ini, termasuk pada intensitas tertentu, gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja. Inilah yang disebut dengan istilah ‘non-international armed conflict’ atau konflik internal, atau juga disebut sebagai “perang pemberontakan”.
konflik bersenjata di mana terdapat kelompok atau faksi-faksi bersenjata yang saling bertempur satu sama lain tanpa melibatkan intervensi dari angkatan bersenjata resmi dari Negara yang bersangkutan sebagaimana yang terjadi di Somalia. Konflik demikian termasuk ke dalam kategori jenis konflik internal.
Nama: Yul Vaida
BalasHapusKelas: Vc
Nim: 13010065
2.hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjamg. Dalam rentang waktu yang sangat panjang telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan semena-mena dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang.
Upaya-upaya tersebut,yang acap kali mengalami pasang surut, mengalami hambatan dan kesulitan sebagaimana akan tergambar dalam uraian-uraian berikutnya. Upaya-upaya tersebut dapat kita bagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter berikut ini:
1. Zaman Kuno
Pada masa ini para pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan maka pihak-pihak yang berperang biasanya bersepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.
2. Abad pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip kesatriaan. Adapun prinsip kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini, misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan larangan penggunaan senjata-senjata tertentu.
3. Zaman modern
Kemajuan yang menetukan terjadi mulai abad ke-18, dan setelah berakhirnya perang Napoleon, terutama pada tahun 1850 sampai pecahnya Perang Dunia I. llo). Sealah satu tonggak penting dalam perkembangan hukum humaniter adalah didirikannya organisasi Palang Merah dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa tahun 1864. Kovensi 1864, yaitu Konvensi bagi Perbaikan Keadaan Tentara yang Luka di Medan Perang Darat, 1864 dipandang sebgai Konvensi yang megawali Konvensi-konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan Perlindungan Korban Perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat.
Nama: Yul Vaida
BalasHapusKelas: Vc
Nim: 13010065
3. Dalam hubungannnya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi Deen Haag pada tahun 1907 itu maka F.Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda.
Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada tnaggal 27 Desember 1949, maka hak dan kewajiban Hindia Belanda beralih kepada Republik Indonesia Serikat melalui Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran Induk Perjanjian KMB di Den Haag.
Ketika susunan Negara mengalami perubahan dari Republik Indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia Kesatuan, maka ketentuan peralihan UUDS 1950 telah menjadi jembatan penghubung tetap sahnya ratifikasi itu, demikian juga ketika UUD 1945 berlaku kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1969, Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-hal yang belum diatur oeh UUD 1945 termasuk Ratifikasi terhadap konvensi Den Haag tersebut.
Konvensi-konvensi Jenewa meliputi empat perjanjian (treaties) dan tiga protokol tambahan yang menetapkan standar dalam hukum internasional (international law) mengenai perlakuan kemanusiaan bagi korban perang. Istilah Konvensi Jenewa, dalam bentuk tunggal, mengacu pada persetujuan-persetujuan 1949, yang merupakan hasil perundingan yang dilakukan seusai Perang Dunia II. Persetujuan-persetujuan tersebut berupa diperbaharuinya ketentuan-ketentuan pada tiga perjanjian yang sudah ada dan diadopsinya perjanjian keempat. Rumusan keempat perjanjian 1949 tersebut ekstensif, yaitu berisi pasal-pasal yang menetapkan hak-hak dasar bagi orang yang tertangkap dalam konflik militer, pasal-pasal yang menetapkan perlindungan bagi korban luka, dan pasal-pasal yang menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di sekitar kawasan perang. Keempat perjanjian 1949 tersebut telah diratifikasi, secara utuh ataupun dengan reservasi, oleh 194 negara.
Konvensi-konvensi Jenewa tidak berkenaan dengan penggunaan senjata perang, karena permasalahan tersebut dicakup oleh Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 dan Protokol Jenewa.
"Orang yang dilindungi berhak, dalam segala keadaan, untuk memperoleh penghormatan atas dirinya, martabatnya, hak-hak keluarganya, keyakinan dan ibadah keagamaannya, dan kebiasaan serta adat-istiadatnya. Mereka setiap saat diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi, terutama terhadap segala bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan dan keingintahuan publik. Perempuan dilindungi secara istimewa terhadap setiap penyerangan atas martabatnya, terutama terhadap pemerkosaan, pelacuran paksa, atau setiap bentuk penyerangan tidak senonoh (indecent assault). Tanpa merugikan ketentuan-ketentuan mengenai keadaan kesehatan, usia, dan jenis kelamin, semua orang yang dilindungi diperlakukan dengan penghormatan yang sama oleh Peserta konflik yang menguasai mereka, tanpa pembeda-bedaan merugikan yang didasarkan pada, terutama, ras, agama, atau opini politik. Namun, Peserta konflik boleh mengambil langkah-langkah kontrol dan keamanan menyangkut orang-orang yang dilindungi sebagaimana yang mungkin diperlukan sebagai akibat dari perang yang bersangkutan." (Pasal 27, Konvensi Jenewa Keempat)Bahwa Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa merupakan dua aturan pokok dalam Humaniter