KEARIFAN LOKAL HUKUM PIDANA ADAT
INDONESIA:
PENGKAJIAN ASAS, NORMA, TEORI, PRAKTIK
DAN PROSEDURNYA
Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.[1]
I. Dimensi Normatif Dan Filosofis Kearifan Lokal Hukum
Pidana Adat Indonesia
Pada
asasnya, terminologi hukum adat[2] berasal dari kata adatrecht dipergunakan Snouck
Hurgronye dan dipakai sebagai terminologi teknis yuridis oleh van
Vollenhoven. Kemudian, terminologi hukum adat dikenal
dalam zaman Hindia Belanda diatur ketentuan Pasal 11 Algemene
Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB) dengan terminologi godsdientige
wetten, volksinstelingen en gebruiken, ketentuan Pasal 75 ayat 3 Reglement
op het Beleid der Regeling van Nederlands Indie (RR) dengan
terminologi Instellingen en gebruiken des volks, berikutnya
menurut ketentuan Pasal 128 Wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch
Indie atau Indische Saatsregeling (IS) dipergunakan
terminologi godsdientige wetten en oude herkomsten dan
berdasarkan ketentuan Stb. 1929 Nomor 221 jo Nomor 487 terakhir dipergunakan
terminologi adatrecht.
Dikaji dari perspektif peraturan perundang-undangan
Indonesia saat ini (ius constitutum) terminologi hukum adat
dikaji dari perspektif asas, norma, teoretis dan praktek dikenal dengan
istilah, “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living law”,
“nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak
tertulis”, “hukum kebiasaan”, dan lain sebagainya.
Selain
itu, dari dimensi demikian terminologi hukum adat beserta masyarakat adatnya
mempunyai korelasi erat, integral dan bahkan tak terpisahkan yang lazim
diungkapkan dalam bentuk petatah petatih. Sebagai contoh, misalnya
dalam masyarakat Aceh[3] dikenal dengan ungkapan “matee
anek mepat jerat matee adat phat tamita” yang diartikan kalau anak
mati masih dapat dilihat pusaranya, akan tetapi kalau adat dihilangkan/mati,
maka akan sulit dicari. Ungkapan lainnya, berupa “murip i kanung edet,
mate i kanung bumi” yang berarti bahwa keharusan mengikuti aturan adat
sama dengan keharusan ketika mati harus masuk ke perut bumi.
Eksistensi
berlakunya hukum adat selain dikenal dalam instrumen hukum nasional juga diatur
instrumen Internasional. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) menyebutkan bahwa, “Nothing in this
article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or
omission which, at the time when it was committed, was criminal according to
the general principles of law recognized by the community of nations”.
Kemudian rekomendasi dari Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” dinyatakan
bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang
berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada umumnya
bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil)
serta “outmoded and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak
sesuai dengan kenyataan). Alasannya karena sistem hukum di beberapa negara
tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada “diskrepansi” dengan
aspirasi masyarakat, serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini.
Kondisi demikian oleh konggres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk
terjadinya kejahatan.
Terminologi hukum
pidana adat, delik adat, hukum pelanggaran adat atau hukum
adat pidana[4] cikal bakal sebenarnya berasal dari
hukum adat. Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat
juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber
tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti serta ditaati
secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Untuk
sumber tertulis misalnya dapat dilihat dalam Kitab Ciwasasana atau
Kitab Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa pada abad
ke-10, Kitab Gajahmada, Kitab Simbur Cahaya di
Palembang, Kitab Kuntara Raja Niti di
Lampung, Kitab Lontara “ade” di Sulawesi Selatan, Kitab
Adi Agama dan Awig-Awig di Bali, dan lain sebagainya.
Kemudian sumber tidak tertulis dari hukum pidana adat adalah semua peraturan
yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya.
I
Made Widnyana menyebutkan di Bali sumber tertulis dari hukum pidana
adat dapat ditemukan pada beberapa sumber seperti:
Pertama, Manawa
Dharmasastra (Manu Dharmacastra) atau Weda Smrti (Compendium Hukum Hindu).Kedua, Kitab
Catur Agama yaitu Kitab Agama, Kitab Adi Agama, Kitab Purwa Agama, Kitab Kutara
Agama.Ketiga, Awig-Awig (Desa Adat, Banjar) adalah aturan-aturann
atau keinginan-keinginan masyarakat hukum adat setempat yang dibuat dan
disahkan melalui suatu musyawarah dan dituliskan di atas daun lontar atau
kertas. Di dalam awig-awig ini dimuat/diatur larangan-larangan yang tidak boleh
dilakukan oleh warga masyarakat yang bersangkutan atau kewajiban-kewajiban yang
harus diikuti oleh masyarakat tersebut, yang apabila dilanggar mengakibatkan
dikenakannya sanksi oleh masyarakat melalui pimpinan adatnya.[5]
Eksistensi
hukum pidana adat di Indonesia telah lama dikenal baik dikaji dari perspektif
asas, teoretis, norma, praktek dan prosedurnya. Sebagai salah satu contoh
eksistensi pengaturan hukum pidana adat terdapat dalamOendang-Oendang
Simboer Tjahaja[6] pada abad ke-16 di wilayah
Kesultanan Palembang Durussalam Sumatera Selatan. Pada Oendang-Oendang
Simboer Tjahaja (UUSC) dikenal hukum pidana adat dimana sanksi
denda dikenakan pada delik kesusilaan diatur Pasal 18-23 Bab I tentang Adat
Bujang Gadis dan Kawin UUSC, maka pidana denda yang dikenakan sesuai dengan
tingkatan perbuatan seseorang, yaitu senggol tangan perempuan (naro gawe)
kena denda 2 ringgit. Pegang lengan perempuan (meranting gawe) didenda 4
Ringgit. Pegang di atas siku perempuan (meragang gawe) kena denda 6
ringgit. Peluk badan (meragang gawe) dan nangkap badan gadis (nangkap
rimau) serta pegang istri orang lain, masing-masing kena denda 12 ringgit.
Konteks
di atas mendeskripsikan bahwa hukum pidana adat tersebut eksistensinya telah
ada, lahir, tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia sejak lama. Kemudian dalam
bentuk kodefikasi hukum pidana adat setelah kemerdekaan diatur dalam ketentuan
Pasal 1 dan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951[7]tentang Tindakan-Tindakan Sementara
Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara
Pengadilan-Pengadilan Sipil.
Pada ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun
1951 disebutkan bahwa kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan yang
meliputi badan pengadilan gubernemen, badan pengadilan swapraja(zelbestuurrechtspraak) kecuali
pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu
bagian dari pengadilan swapraja, dan badan pengadilan adat (Inheemse
rechtspraak in rechtsreeks bestuur gebied)kecuali pengadilan agama jika
pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari
pengadilan adat telah dihapuskan. Hakikat dasar adanya ketentuan tersebut
berarti sebetulnya Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 telah meniadakan
badan-badan pengadilan lain kecuali badan pengadilan umum, agama dan pengadilan
desa.
Akan
tetapi seiring dengan berjalannya waktu, perubahan dan dinamika masyarakat yang
teramat kompleks di satu sisi sedangkan di sisi lainnya terhadap regulasi
pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi[8] yang bersifat parsial ternyata
eksistensi hukum pidana adat tersebut dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”.
Ada 2 (dua) argumentasi yang patut dikemukakan dalam konteks ini mengapa kajian
terhadap hukum pidana adat diasumsikan eksistensinya antara “ada” dan “tiada”.
Pertama, dikaji
dari dimensi asas legalitas formal (selanjutnya disebut sebagai asas legalitas)
dan asas legalitas materiil. Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut dengan
terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”,
“non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”.
Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat
dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang
mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran
voorafgegane wetteljke strafbepaling). Dikaji dari substansinya, asas
legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagainullum delictum nulla poena
sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine
lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang),
nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana),
nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena
legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan
pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak
ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas).
Apabila dipadankan asas legalitas formal dan materiil
hendaknya diatur dalam peraturan perundang-undangan dan diimplementasikan
secara integral. Pada asas legalitas dasar patut dipidana suatu perbuatan
adalah undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan.
Kemudian asas legalitas materiel menentukan bahwa dasar patut dipidana suatu
perbuatan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum tidak tertulis
atau hukum adat.Barda Nawawi Arief menyebutkan dengan adanya
perumusan asas legalitas yang formal di dalam Pasal 1 KUHP, hukum tidak
tertulis atau hukum yang hidup di dalam masyarakat sama sekali tidak mempunyai
tempat sebagai sumber hukum yang positif. Dengan perkata lain, adanya Pasal 1
KUHP itu seolah-olah hukum pidana tidak tertulis yang hidup atau pernah ada di
masyarakat, sering “ditidurkan atau dimatikan”. Semasa zaman penjajahan,
ditidurkannya hukum pidana tidak tertulis itu masih dapat dimaklumi karena
memang sesuai dengan politik hukum Belanda pada saat itu. Namun, akan dirasakan
lain apabila kebijakan itu juga diteruskan seusai kemerdekaan. Dengan adanya
Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis/hukum yang hidup itu tidak pernah tergali
dan terungkap secara utuh kepermukaan, khususnya dalam praktek peradilan pidana
maupun dalam kajian akademik di perguruan tinggi. Selanjutnya, berarti tidak
pernah berkembang dengan baik “tradisi yurisprudensi” maupun “tradisi
akademik/keilmuan” mengenai hukum pidana tidak tertulis itu. Kalau toh ada,
hanya dalam ruang yang sangat terbatas dan (sekali lagi) “tidak utuh” atau
“tidak lengkap”.[9]
Konklusi
dasar dari apa yang diterangkan di atas menyebutkan asas legalitas sebagaimana
ketentuan Pasal 1 KUHP memang merupakan salah satu asas fundamental yang harus
tetap dipertahankan, namun penggunaan harus dengan bijaksana dan hati-hati,
karena kalau kurang bijaksana dan kurang hati-hati, justru dapat menjadi
“bumerang”. Sungguh sangat tragis dan menyayat hati apabila dengan dalih Pasal
1 KUHP, nilai-nilai hukum yang ada dan hidup dalam masyarakat tidak dapat
tersalur dengan baik atau bahkan ditolak sama sekali. Dikatakan tragis dan
menyayat hati karena berarti nilai-nilai hukum adat/hukum yang hidup di dalam
masyarakat telah dibunuh/dimatikan oleh bangsanya sendiri lewat
senjata/peluru/pisau yang diperoleh dari bekas penjajah (yaitu lewat Pasal 1
KUHP/WvS).[10]
Kedua, dikaji dari perspektif UU Nomor 1 dart Tahun 1951
dimana dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b masih dikenal eksistensinya
Pengadilan Adat. Akan tetapi, setelah dikodefikasikan Undang-Undang tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun
1970), yang kemudian dirubah dengan UU Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 35 Tahun
1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) tidak dikenal lagi
eksitensi Pengadilan Adat dalam tataran kebijakan legislasi walaupun untuk
daerah Aceh Nangroe Darussalam sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh eksistensi Pengadilan Adat masih diterapkan dan dikenal
dengan istilah Peradilan Gampong atau Peradilan Damai.[11]
Akan
tetapi walaupun kebijakan formulatif sejak UU 14 Tahun 1970 (berikut
UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) yang
tidak mengakui eksistensi peradilan adat fakta aktual dalam kebijakan aplikatif
melalui yurisprudensi Mahkamah Agung RI eksistensi peradilan adat tetap
mengakuinya. Misalnya, sebagai salah satu contohnya pada Putusan Mahkamah Agung
RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana dalam ratio
decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum
adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat)
maka yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai
terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan
dakwaan yang sama melanggar hukum ada dan dijatuhkan pidana penjara menurut
ketentuan KUH Pidana (Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951)
sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan
Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk Verklaard).
Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung
tersebut menentukan bahwa Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi
di Indonesia tetap menghormati putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang
memberikan “sanksi adat” terhadap para pelanggar norma hukum adat. Badan
Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar
hukum adat tersebut dengan cara memberikan pidana penjara (ex Pasal 5 ayat (3)
sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana). Oleh karena itu,
konsekuensi logisnya dapat dikatakan bahwa bila Kepala Adat tidak pernah
memberikan “sanksi adat” terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim badan
peradilan negara berwenang penuh mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5
ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana.
II. Eksistensi Kearifan Lokal Hukum Pidana Adat Indonesia
Dalam Konteks Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
1. Eksistensi Hukum Pidana Adat Indonesia
Dikaji
dari perspektif normatif, teoretis, asas dan praktik dimensi dasar hukum dan
eksistensi keberlakukan hukum pidana adat bertitik tolak berdasarkan ketentuan
Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 (LN 1951 Nomor
9). Pada ketentuan sebagaimana tersebut di atas disebutkan, bahwa:
“Hukum
materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang
sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang
dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan
orang itu dengan pengertian bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup
harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum
Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga
bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti
bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum
dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim dengan besar
kesalahan terhukum, bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran
hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di
atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi
10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim
tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas,
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan
pidana yang ada bandingnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka
dianggap diancam dengan hukuman sama dengan hukuman bandingnya yang paling
mirip kepada perbuatan pidana tersebut”.
Ada 3 (tiga) konklusi dasar dari ketentuan Pasal 5
ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.Pertama, bahwa
tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam KUHP dimana sifatnya
tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman pidananya
adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda
sebanyak lima ratus rupiah (setara dengan kejahatan riangan), minimumnya sebagaimana
termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1 (satu) hari untuk pidana
penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30 KUHP.
Akan tetapi, untuk tindak pidana adat yang berat ancaman pidana paling lama 10
(spuluh) tahun, sebagai pengganti dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh
terdakwa. Kedua, tindak pidana adat yang ada bandingnya
dalam KUHP maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam
KUHP seperti misalnya tindak pidana adat Drati Kerama di
Bali atau Mapangaddi (Bugis) Zina (Makasar)
yang sebanding dengan tindak pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284
KUHP. Ketiga, sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks
di atas dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam
memeriksa, mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living
law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP
sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi
sesuai dengan ketentuan KUHP.
Selain
ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 maka
dasar hukum berlakunya hukum pidana adat juga mengacu ketentuan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara eksplisit maupun
implisit ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 meletakan dasar eksistensi hukum pidana adat.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan
bahwa, “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”, kemudian ketentuan Pasal 10 ayat (1) menyebutkan
bahwa, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”,berikutnya
ketentuan Pasal 50 ayat (1) menentukan, “”Putusan pengadilan selain
harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
Pada
dasarnya, kalimat, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”,“hukum tidak ada atau kurang jelas”, “sumber hukum tidak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili” mencerminkan
baik tersurat maupun tersirat bahwa keberlakukan hukum pidana adat juga diatur
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
Selain
dalam kebijakan legislasi keberlakukan hukum pidana diatur dan dibicarakan
dalam pelbagai forum seminar hukum pidana adat untuk juga diarahkan dalam
rangka pembaharuan hukum pidana nasional. Misalnya, dalam Laporan Simposium
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980, antara lain disebutkan, “...usaha
pembaharuan hukum pidana agar didasarkan pada Politik Hukum Pidana dan Politik
Kriminal yang mencerminkan aspirasi nasional...Dalam hubungan ini maka proses
pembaharuan tersebut haruslah melalui penelitian dan pengkajian yang mendalam
(antara lain) tentang: ...hukum pidana adat dan agama yang hidup dalam
masyarakat Indonesia”. Kemudian dalam Laporan Seminar Hukum Nasional VI
Tahun 1994 pada butir a ditentukan bahwa, “hukum tertulis dan hukum
tidak tertulis hendaknya bersifat komplementer”, dan butir b
menegaskan, “pembentukan hukum tidak tertulis lebih “luwes” dari pada
pembentukan hukum tertulis, karena bisa mengatasi kesenjangan antara keabsahan
hukum dan efektivitasnya”.
Selain
itu, eksistensi hukum pidana adat ditataran yurispudensi Mahkamah Agung RI juga
diakui melalui penafsiran sifat melawan hukum materiil baik
dalam fungsi positif dan fungsi negatif.
Pada yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang menerapkan sifat melawan hukum
materiil dengan fungsi negatif termaktub dalam Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama
terdakwa Machroes Effendi dimana Mahkamah Agung membenarkan
hapusnya sifat melawan hukum dikarenakan adanya tiga faktor yaitu negara tidak
dirugikan, kepentingan umum terlayani dan terdakwa tidak mendapat untung serta suatu
tindakan pada umumnya dapat hilang sifat melawan hukum bukan hanya berdasarkan
suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas
keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis . Adapun dasar
pertimbangan diakui eksistensi hukum (pidana) adat disebutkan dengan
redaksional sebagai berikut:
“bahwa Mahkamah Agung pada azasnya dapat membenarkan
pendapat dari Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat
hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan
dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas keadilan
atau azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana
Pengadilan Tinggi dianggap ada dalam perkara penggelapan yang formil terbukti
dilakukan oleh terdakwa.”
Dengan
tolok ukur sebagaimana dimensi di atas, maka berdasarkan kasus Machroes
Effendi inilah timbul suatu yurisprudensi Mahkamah Agung dengan Nomor
42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut azas “perbuatan melawan
hukum materiil” (Materiile Wederrechtelijkheid) dalam
artian Negatif. Sedangkan yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendirian
perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi Positif terdapat
dalam perkara Putusan Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 atas nama
terdakwa Drs. R.S. Natalegawa. Pada asasnya, yurisprudensi
Mahkamah Agung ini pertimbangan putusannya bersifat futuristis dengan titik
tolak penafsiran yang keliru pengertian “melawan hukum” dari yudex facti
diidentikan sebagai “melawan peraturan yang ada sanksi pidananya”, sebagaimana
dikatakan dengan redaksional sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran
terhadap sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan
dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak
melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai
pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur
berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang
bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.”
Konkretisasi
dan konklusi detail eksistensi pengakuan hukum pidana adat terdapat baik dalam
peraturan perundangan-undangan, forum ilmiah, pendapat doktrin maupun
yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
2. Asas Legalitas Materiil Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional
Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan
terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”,
“non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Asas
legalitas merupakan asas yang paling penting dalam hukum pidana sebagaimana
diucapkan oleh Dupont.[12] Dikaji dari perspektif hukum
positif (ius constitutum) asas legalitas diatur dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merupakan asas legalitas formal. Pada RUU
KUHP, dikaji dari perspektif ius constituendum asas legalitas
baik legalitas formal dan legalitas materiil diatur dalam ketentuan Pasal 1 RUU
KUHP Tahun 2008 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan
tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak
pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang
menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa.
Kemudian penjelasan pasal demi pasal terhadap
ketentuan Pasal 1 RUU KUHP tersebut diperinci sebagai berikut:
Ayat (1)
Ayat
ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya
merupakan tindak pidana apabila ditentukan oleh atau didasarkan pada
undang-undang. Dipergunakannya asas tersebut, oleh karena asas legalitas
merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan
perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada
sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak
berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut
dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.
Ayat (2)
Larangan
penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan
konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa
terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak
pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk
tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua
perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan
ditegaskannnya larangan penggunaan analogi maka perbedaan pendapat yang timbul
dalam praktik selama ini dapat dihilangkan.
Ayat (3)
Adalah suatu
kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat
ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku
sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga
dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana
adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana
adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian
dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang
hidup di dalam masyarakat tertentu.
Ayat (4)
Ayat
ini mengandung pedoman atau kretaria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber
hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai
sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman pada ayat ini berorientasi
pada nilai nasional dan internasional.
Ada beberapa catatan substansial terhadap eksistensi
asas legalitas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP
tersebut. Pertama, asas legalitas dalam ketentuan Pasal
1 RUU KUHP merupakan asas legalitas yang diperluas yaitu dikenal eksistensi
asas legalitas formal dan asas legalitas materiil. Pada RUU KUHP asas legalitas
formal diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) sedangkan asas legalitas
materiil diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3). Pada asas
legalitas formal, dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah undang-undang
yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Kemudian asas legalitas
materiil menentukan bahwa dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah hukum
yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum tidak tertulis atau hukum adat. Kedua, dalam
menetapkan adanya tindak pidana dilarang mempergunakan analogi (Pasal 1 ayat
(2) RUU KUHP). Penjelasan Pasal demi Pasal ketentuan Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP
menyebutkan bahwa, “larangan penggunaan penafsiran analogi dalam
menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas
legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada
waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan
ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat
atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu
dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan penggunaan analogi maka
perbedaan pendapat yang timbul dalam praktik selama ini dapat dihilangkan”.
Dalam kepustakan hukum hakikat penafsiran analogi dimaksudkan apabila suatu
perbuatan pada saat perbuatan bukan merupakan tindak pidana, kemudian
diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang
mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua
perbuatan itu dipandang analog satu dengan lainnya. Andi Hamzah menyebut
bentuk analogi menjadi dua yaitu gesetz analogi yaitu analogi
terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan pidana,
dan recht analogi yaitu analogi terhadap perbuatan yang
mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum
pidana. Herman Mannheimmengemukakan adanya dua macam analogi. Pertama, analogi
undag-undang atau gesetzes analogie. Kedua, analogi hukum
atau rechtsanalogie. Dalam penerapan hukum pidana analogi yang
diperbolehkan adalah analogi undang-undang dan bukan analogi hukum. Kendatipun
demikian, sulit dibedakan antara analogi undang-undang dan analogi hukum.[13] M. Cherif
Bassiouni, membagi ada tiga katagori analogi. Pertama, analogi
untuk menciptakan perbuatan pidana baru yang sudah diduga tetapi tidak
dirumuskan oleh pembentuk undang-undang. Kedua, analogi
yang diterapkan apabila bunyi undang-undang tidak cukup jelas atau gagal
merumuskan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Ketiga, analogi
yang diterapkan terhadap pemidanaan yang tidak didifinisikan oleh pembentuk
undang-undang. Pada sistem dengan pendekatan positivisme yang ketat, asas
legalitas membolehkan analogi terhadap pemidanaan, asalkan masih dalam
batasan-batasan yang telah ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Akan
tetapi, pada sistem hukum yang menerapkan asas legalitas yang sangat ketat,
penggunaan analogi sepenuhnya dilarang, dengan mengingat klausula aturan favor
reo. Artinya, hakim harus menjatuhkan putusan yang meringankan terdakwa.[14]
Pada
hakikatnya, penerapan penafsiran analogi dalam hukum pidana menimbulkan
perdebatan panjang. Ada kelompok yang menerima analogi, kelompok yang menentang
penafsiran analogi dan ada kelompok yang tidak secara tegas menolak dan
menerima analogi. Kelompok yang menyetujui penerapan analogi argumentasinya
karena perkembangan masyarakat relatif cepat sehingga hukum pidana harus
berkembang sesuai perkembangan masyarakat. Sebagian besar negara Eropa melarang
penggunaan analogi, terkecuali Negara Denmark dan Inggris yang memperbolehkan
penerapan analogi. Kemudian kelompok yang menentang penerapan penafsiran
analogi dikarenakan penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat
menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Taverne, Roling,
Pompe dan Jonkers menerima penerapan analogi
dan Scholten, van Hattum, van Bemmelen, Moeljatno danJan
Remmelink menentang penerapan analogi dalam hukum pidana serta Hazewinkel
Suringa dan Vos yang tidak secara tegas menolak dan
menerima analogi. Dalam praktik peradilan pada tahun 1921 penerapan penafsiran
analogi diterapkan dalam kasus pencurian listrik dengan memperluas pengertian
“barang” (goed) termasuk aliran listrik. Praktik peradilan
Indonesia lewat Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 144/Pid/1983/PT. Mdn
telah menafsirkan Pasal 378 KUHP yang memperluas pengertian benda termasuk juga
“kegadisan seorang wanita”.
Lebih
lanjut Eddy O.S. Hiariej mengatakan bahwa ketentuan mengenai
larangan menerapkan analogi merupakan suatu contradictio
interminis bila dihubungkan dengan ayat (3) dimana seseorang dapat
dipidana meskipun perbuatannya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sebab, untuk memidana suatu perbuatan yang tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, mau tidak mau, hakim harus menggunakan analogi atau
setidak-tidaknya interpretasi ekstensif. Padahal, pada hakikatnya tidak
terdapat perbedaan prinsip antara interprestasi ekstensif dengan analogi.[15] Ketiga, asas
legalitas formal dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak dapat
diberlakukan secara mutlak/absolut atau imperatif karena adanya pengecualian
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP.
Konklusi
dasar dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP dengan diakuinya hukum yang
hidup dalam masyarakat merupakan hukum tidak tertulis membawa konsekuensi logis
bahwa pembentuk RUU KUHP menarik hukum tidak tertulis menjadi hukum formal.
Implikasi adanya aspek ini membuat penegakan hukum yang hidup dalam masyarakat
akan dilakukan oleh negara melalui sub sistem peradilan pidana. Hal ini dapat
dimengerti oleh karena polarisasi pemikiran pembentuk RUU KUHP Tahun 2008
bertitik tolak dari keseimbangan monodualistik yaitu asas keseimbangan antara kepentingan/perlindungan
individu (asas personal/asas culpabilitas) dengan
kepentingan/perlindungan masyarakat (asas kemasyarakatan),
keseimbangan antara kretaria formal dan materiil, dan keseimbangan antara
kepastian hukum dengan keadilan. Nilai/ide keseimbangan dalam RUU KUHP
dilanjutkan dalam menentukan suatu tindak pidana adalah selalu melawan hukum
dengan dianutnya sifat melawan hukum materiil. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) RUU
KUHP menentukan, “untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain
perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan
kesadaran hukum masyarakat” dan ayat (3) berbunyi bahwa, “setiap
tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan
pembenar”. Polarisasi pemikiran pembentuk undang-undang dalam menentukan
dapat dipidana harus memperhatikan keselarasan dengan perasaan hukum yang hidup
dalam masyarakat. Konklusinya, perbuatan tersebut nantinya tidak hanya
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi juga akan selalu
bertentangan dengan hukum. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum adalah
perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut
dilakukan. Ditentukannya syarat bertentangan dengan hukum, didasarkan pada
pertimbangan bahwa menjatuhkan pidana pada seseorang yang melakukan suatu
perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum dinilai tidak adil. Oleh karena itu
untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim selain harus menentukan apakah perbuatan
yang diakukan itu secara formil dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan
apakah perbuatan tersebut secara materiil juga bertentangan dengan hukum, dalam
arti kesadaran hukum masyarakat. Hal ini wajib dipertimbangkan dalam putusan.
Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP mengimbangi ketentuan
Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP. Tegasnya, asas legalitas formal diimbangi dengan
ketentuan asas legalitas materiil.
Kemudian
berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) RUU KUHP dijelaskan berlakunya hukum
yang hidup dalam masyarakat tersebut sepanjang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa. Kemudian penjelasan Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “ayat
ini mengandung pedoman atau kretaria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber
hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai
sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman pada ayat ini berorientasi
pada nilai nasional dan internasional.” Pada hakikatnya, pedoman dalam
ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional. Apabila
dijabarkan, aspek ini sesuai dengan nilai nasional (Pancasila) artinya sesuai
dengan nilai/paradigma moral religius, nilai/paradigma kemanusiaan/humanis,
nilai/paradigma kebangsaan, nilai/paradigma demokrasi (kerakyatan) dan
nilai/paradigma keadilan sosial. Kemudian rambu-rambu yang berbunyi, “sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa
bersumber pada “The general principle of law recognized by community of
nations” yang terdapat dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) ICCPR(International
Covenant on Civil and Political Right). Adanya rambu-rambu tersebut,
hukum yang hidup (hukum pidana adat) mendapat landasan untuk dapat diadili
maupun sanksi adat setempat yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan adalah sesuai
nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
masyarakat internasional.Keempat, adanya pembatasan bahwa
asas legalitas formal tidak diterapkan secara absolut dan adanya keseimbangan
monodualistik maka polarisasi pemikiran pembentuk RUU KUHP menganut pula secara
implisit ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi positif. Dalam
kepustakaan ilmu hukum dan praktik peradilan ajaran sifat melawan hukum
materiil dalam fungsi positif diartikan bahwa meskipun suatu perbuatan tidak
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, hakim dapat menjatuhkan pidana
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, bertentangan dengan keadilan dan
norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat.
III. Yurisprudensi dan Praktik Serta Ius
Constituendum Terhadap Peradilan Tindak Pidana Adat Indonesia
A. Hukum Pidana Adat Dalam Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI
1. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal
23 Februari 1985
Pada
dasarnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23
Februari 1985 merupakan perkara yang berasal dari Putusan
Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 jo Putusan Pengadilan Tinggi Palu
Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984. Pada Putusan Pengadilan
Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 mengadili perkara hubungan kelamin di
luar perkawinan. Pada tingkat pengadilan negeri hakim memutuskan bahwa terdakwa
telah melanggar hukum yang hidup di wilayah Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah
berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951 yang
unsur-unsurnya:
Unsur pertama suatu perbuatan yang melanggar hukum yang hidup.
Unsur Kedua perbuatan pelanggaran tersebut tidak ada bandingannya
dalam KUH Pidana.
Unsur Ketiga perbuatan pelanggaran tersebut masih tetap berlaku
untuk kaula-kaula dan orang-orang yang bersangkutan.
Adapun ratio
decidendi Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 menyatakan
bahwa perbuatan hubungan kelawin di luar perkawinan oleh seorang laki-laki
(penduduk Banggai) dengan seorang perempuan dewasa yang mengakibatkan hamilnya
siperempuan dapat dianggap melanggar hukum yang hidup dan melanggar
kaidah-kaidah kepatutan serta suatu perbuatan yang melanggar
moral karena perbuatan tersebut tidak dikualifikasikan sebagai delik
oleh KUH Pidana (tidak ada bandingannya). Oleh karena itu, hakim memutuskan
bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan melakukan suatu perbuatan yang
menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, tetapi tiada
bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil.
Kemudian Putusan
Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 dikuatkan oleh Putusan
Pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984 dengan
dilakukan perbaikan dan penambahan berupa pertimbangan dimanauntuk memenuhi
rasa keadilan masyarakat yang mengganggap perbuatan tersebut adalah
tindak pidana maka hakim memutuskan terdakwa telah melakukan kejahatan bersetubuh
dengan seorang wanita di luar nikah. Akan tetapi oleh Mahkamah Agung
melalui Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23
Februari 1985 maka putusan Pengadilan Tinggi tersebut diperbaiki
sekedar kualifikasi dimana perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan
suatu perbuatan yang dikategorisasikan sebagai perbuatan zinah menurut hukum
adat.
Pada
dasarnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23
Februari 1985 tidak menetapkan sanksi adat atas pelanggaran yang
dilakukan oleh terdakwa. Hakim yudex facti (Pengadilan
Negeri/Pengadilan Tinggi) dan hakim yudex yuris (Mahkamah
Agung RI) langsung menetapkan hukuman bagi terdakwa melalui sanksi pidana.
Tegasnya, dengan kata lain sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim bukan
merupakan hukuman pengganti.
Terhadap
putusan konteks di atas maka H.R. Otje Salman Soemadiningrat[16] menyebutkan sampai sekarang pun
masih banyak hakim yang mendasarkan putusannya pada hukum pidana adat atau
menganggap hukum pidana adat masih berlaku. Pertama bahwa hukum adat tidak
mengenal pemisahan secara tegas antara hukum pidana dengan hukum perdata (privat). Dan
diantara keduanya saling berkaitan satu sama lain. Sehubungan dengan hal
tersebut, tidak ada perbedaan prinsip prosedur penyelesaian perkara-perkara
pelanggaran adat. Jika terjadi pelanggaran para fungsionaris hukum
(penguasa/kepala adat) berwenang mengambil tindakan konkret, baik atas
inisiatif sendiri atau berdasarkan pengaduan pihak yang dirugikan.
Hal
ini semata-mata dilakukan untuk menetapkan hukum (verklaring van
recht) berupa sanksi adat (adatreactie)yang dianggap dapat
membetulkan hukum adat yang dilanggar tersebut. Sanksi adat ini dapat dilakukan
oleh si pelanggar dengan cara membayar ganti rugi, kepada pihak yang terkena
akibat pelanggaran tersebut (rechtsherstel), atau membayar uang
adat kepada pihak yang terkena dan/atau masyarakat.
Terakhir,
bahwa setiap hukum adat selalu berkaitan atau mengandung unsur budaya dan
keyakinan (magis religius) yang hidup dalam masyakarat. Begitu
pula dalam hal berhubungan kelamin, sesuatu yang karena sifatnya dianggap
sakral dan tabu (Pemali: Jawa) dilakukan oleh orang kecuali
bagi mereka yang sudah resmi menjadi suami istri atau dalam sebuah ikatan rumah
tangga. Dalam perspektif yang demikian, berarti setiap hukum yang hidup dengan
tidak mengandung unsur magis religius atau tidak berhubungan dengan unsur
budaya dan keyakinan yang tumbuh dalam masyarakat, bukanlah hukum adat.
2. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988
tanggal 15 Mei 1991
Pada
dasarnya, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15
Mei 1991 merupakan perkara yang berasal dari Putusan
Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 jo
Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra
tanggal 11 Nopember 1987.
Kasus
posisi Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl
tanggal 15 Juni 1987 bahwa seorang terdakwa telah melakukan perbuatan
susila di desa Parauna, Kecamatan Unaaha, Kodya Kendari. Akibat perbuatan
tersebut maka Kepala Adat Tolake menangani peristiwa secara adat. Kemudian
kepala adat menyatakan pelaku telah melanggar norma adat kesusilaan sehingga
Kepala Adat Tolake menetapkan suatu reaksi adat berupa sanksi adat “Prohala” yaitu
pelaku harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci. Perbuatan
tersebut telah dilaksanakan oleh pelaku.
Akan
tetapi masalah tersebut diusut lagi oleh Kepolisian dan selajutnya diserahkan
kepada pihak Kejaksaan. Kemudian oleh pihak kejaksaan perkara tersebut
dilimpahkan ke pengadilan negeri Kendari dimana terdakwa didakwa dengan dakwaan
telah melanggar tindak pidana berupa dakwaan primair melanggar
Pasal 53 jo Pasal 285 KUH Pidana, dakwaan subsidair melanggar
Pasal 281 ayat (1) ke-1e KUH Pidana dan dakwaan lebih subsidair lagimelanggar
Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951.
Kemudian Putusan
Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 pada
dasarnya menyatakan bahwa terdakwa terbukti sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana adat “memperkosa” sebagaimana dalam dakwaan subsidair
lagi dengan ratio decidendi putusan sebagai berikut:
§ Bahwa hakim Pengadilan Negeri Kendari
menolak pledooi terdakwa yang mengemukakan bahwa terdakwa telah dijatuhi sanksi
adat “Prohala” oleh kepala adat dan pemuka adat sehingga dengan diadilinya lagi
terdakwa berdasarkan KUH Pidana di Pengadilan Negeri berarti terdakwa telah
diadili dua kali dalam masalah yang sama (ne bis in idem).
§ Bahwa penolakan tersebut didasarkan
bahwa menurut ketentuan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ditetapkan badan
peradilan negara sebagai satu-satunya badan yustisi yang berwenang mengadili
perkara tindak pidana adalah Pengadilan Negeri.
§ Bahwa hakim menilai unsur dakwaan dakwaan
primair melanggar Pasal 53 jo Pasal 285 KUH Pidana, dakwaan
subsidair melanggar Pasal 281 ayat (1) ke-1e KUH Pidana tidak terbukti
dan yang terbukti adalah dakwaan lebih subsidair lagi melanggar
Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951 yang pada pokoknya
menyatakan bahwa perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
sebagai perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam KUH Pidana maka
perbuatan itu dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman
bandingannya yang paling mirip perbuatan pidana itu.
Kemudian
atas Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl
tanggal 15 Juni 1987 itu terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara. Atas permohonan banding tersebut
maka Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT
Sultra tanggal 11 Nopember 1987 pada dasarnya menguatkan putusan
Pengadilan Negeri dengan sekedar memperbaiki kualifikasi dimana terdakwa
dijatuhkan hukuman karena bersalah melakukan “perbuatan pidana adat Siri”
dengan ratio decidendi putusan sebagai berikut:
§ Perbuatan terdakwa menurut hukum adat
yang masih hidup di dalam masyarakat Tolaki adalah merupakan perbuatan yang
sangat tercela yang menimbulkan “Siri” dan harus dikenakan sanksi adat yakni keluarga
yang dipermalukan (Tomasiri) dapat mengakibatkan korban jiwa (Siri
Ripoamateng/Siri dipomate).
§ Delik adat yang dilanggar oleh terdakwa
adalah delik adat Siri Ripoamateng/Siri dipomate adalah suatu perbuatan yang
melanggar kesusilaan dan merendahkan martabat keluarga perempuan.
§ Bahwa perbuatan pidana adat yang
dilakukan oleh terdakwa tersebut tidak ada bandingannya di dalam KUH Pidana dan
oleh karena itu menurut hakim banding terdakwa harus dipersalahkan melanggar
hukum adat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 Tahun
1951.
Atas Putusan
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11
Nopember 1987tersebut maka terdakwa menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung RI.
Kemudian Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei
1991 pada pokoknya menyebutkan bahwa Mahkamah Agung setelah memeriksa
perkara ini berpendirian yudex factie dinilai telah salah
menerapkan hukum sehingga putusannya harus dibatalkan dan selanjutnya Mahkamah
Agung RI mengadili sendiri perkara tersebut. Pada hakikatnya pendirian Mahkamah
Agung berdasarkan pertimbangan hukum sebagai berikut:
§ Bahwa terdakwa yang oleh Kepala Adat
harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci karena telah melakukan
pelanggaran adat itu adalah merupakan suatu hukuman adat (sanksi adat). Hukuman
mana telah dijalani terdakwa.
§ Bahwa hukuman adat tersebut adalah
sepadan dengan kesalahan terhukum sehingga menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3)
sub b UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman
pidana lagi oleh pengadilan.
§ Berdasarkan pertimbangan tersebut di
atas maka Mahkamah Agung kemudian membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
Sulawesi Tenggara dan mengadili sendiri perkara tersebut dengan menyatakan
tuntutan penuntut umum pada kejaksaan negeri Kendari tidak dapat diterima dan
membebankan biaya perkara kepada negara.
Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung
tersebut menentukan bahwa Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi
di Indonesia tetap menghormati putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang
memberikan “sanksi adat” terhadap para pelanggar norma hukum adat. Badan
Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar
hukum adat tersebut dengan cara memberikan pidana penjara (ex Pasal 5 ayat (3)
sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana). Oleh karena itu,
konsekuensi logisnya dapat dikatakan bahwa bila Kepala Adat tidak pernah
memberikan “sanksi adat” terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim badan
peradilan negara berwenang penuh mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5
ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana.
B. Praktik Kasus Delik Adat Lokika Sanggraha dan
Pembentukan Hukum Pidana Nasional
Delik Adat “Lokika Sanggraha” merupakan
delik adat bersifat spesifik dan hanya terdapat di Bali, dan juga dikenakan
bagi mereka yang tunduk pada hukum Adat Bali, sehingga dengan demikian, jikalau
salah satu fihak saja tunduk kepada hukum adat Bali, maka di sini eksistensi
Delik Adat Lokika Sanggraha tidak nampak di dalamnya.
Dikaji dari perspektif teknis yuridis
sebagaimana tersebut pada Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor
104/PN.Dps/Pid/1980, Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor
2/Pid.B/1985/PN.Dps, Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor
66/Pid.B/1985/PN.Dps dan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor
25/Pid.B/1986/PN.Dps, dipergunakan terminologi “Logika Sanggraha”.[17] Akan tetapi sebenarnya terminologi
ini relatif kurang begitu tepat. Berdasarkan pasal 359 Kitab Adigama, maka
“Lokika Sanggraha” berasal dari bahasa sansekerta, yakni Lokika berasal
dari kata “laukika” berarti orang umum, orang banyak. Sedangkan Sanggraha berasal
dari kata “Samgraha” yang berarti pegang (dalam arti luas), sentuh, hubungan.
Kemudian dalam Kamus Jawa-Indonesia, dijelaskan bahwa pengertian Lokika (I)
adalah masyarakat, penduduk, dunia, adat (tata) cara, tuduhan dan dakwaan. Maka
kalau dipergunakan istilah“Logika Sanggraha” dimana Logika berasal
dari Logic, Logis (bahasa latin) sedangkan Sanggraha dari bahasa Samskerta,
maka menurut persepsi saya dapat dikategorisasikan ke dalam gejala bahasa
“salah kaprah”.
Dimensi
“Lokika Sanggraha” merupakan Delik Adat. Banyak sarjana mengemukakan asumsinya
tentang Delik Adat. Berdasarkan pendapat dari Ter Haar, Soepomo dan Soerojo
Wignjodipuro maka delik adat merupakan suatu perbuatan yang melanggar
perasaan keadilan dan keputusan yang hidup dalam masyarakat, yang menyebabkan
ketentraman dan keseimbangan menjadi terganggu sehingga pemulihan terhadap hal
itu diperlukan reaksi-reaksi adat. Mengenai reaksi adat ini Lesquiller menyebut
tindakan-tindakan pengembalian ketentraman magis yang diganggu dan meniadakan
atau menetralisir suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh pelanggaran adat.
Oleh karena itu dengan demikian jelaslah Delik Adat pada prinsipnya mempunyai
elemen-elemen :
(1) Pelanggaran terhadap norma-norma adat atau perasaan
keadilan masyarakat ;
(2) Pelanggaran bersangkutan akan menimbulkan kegoncangan
keseimbangan hukum masyarakat ; dan
(3) Terhadap pelanggaran itu maka hukum adat memberikan
reaksi pemulihan sehingga keseimbangan terwujud.
Deskripsi di
atas telah menimbulkan pengertian tentang Delik Adat beserta eksistensinya.
Sehinga secara “ipso facto” maka berdasarkan Pasal 359 Kitab Adigama, perumusan
Delik Adat Lokika Sanggraha adalah :
Malih lokika sanggraha, loewir ipoen, djadma
mededemenan, sane mowani neherang deen ipoen, djening djirih patjang
kesisipang, awanan ipoen ngererehang daja, saoebajan iloeh kesanggoepin ;
wastoeraoeh ring papadoewantoengkas paksana, sane loeh ngakoe kasanggama, sane
mowani nglisang mapaksa ngoetjapang dewek ipoen kaparikosa antoek iloeh, jan
aspoenika patoet tetes terangang pisan, jan djati imowani menemenin wenang
ipoen sisipang danda oetama sahasa 24.000, poenika mawasta Lokia Sanggraha,
oetjaping sastra.
Sedangkan terjemahan bebasnya :
Lagi Lokika Sanggraha yaitu : orang bersanggama, yang
peria tidak berlanjut sukanya, karena takut akan dipersalahkan, makanya mencari
daya upaya, janji si wanita disanggupi, akhirnya sampai di pengadilan, berbeda
pengakuannya si wanita mengaku disenggama, si peria seketika menyatakan malah
dirinya yang diperkosa oleh si wanita. Kalau demikian harus diusut agar jelas,
kalau benar si peria yang berbuat, patut ia dihukum denda ; 24.000,- itu yang
disebut Lokika Sanggraha sesuai bunyi sastra.
Dari ketentuan Pasal 359 Kitab Adigama
dan hasil Rumusan Seminar “Delik Adat Lokika Sanggraha” yang diadakan FH Unud
tanggal 19 oktober 1985, maka pengertian secara umum delik Adat Lokika
Sanggraha adalahhubungan percintaan antara pria dan wanita yang kedua-duanya
sama-sama tidak berstatus kawin yang telah melakukan persetubuhan dengan janji
kawin, akan tetapi janji tersebut tidak ditepati oleh satu fihak.
Inti/hakikat yang tercermin melalui
perumusan tersebut, ternyata delik adat Lokika Sanggraha merupakan delik formal
karena unsur kehamilan bukanlah merupakan unsur esensial untuk adanya Delik
Adat ini dimana yang penting adalah unsur “janji” tidak ditepati oleh si pria.
Sedangkan munculnya pelaku Delik Adat Lokika Sanggraha di pengadilan
dikarenakan adanya pengaduan dari pihak wanita dimana si pria mengingkari
janjinya. Dengan demikian Delik Adat ini merupakan delik aduan (Kracht-Delicten).
Pada dasarnya, delik adat Lokika
Sanggraha banyak terjadi dalam praktik peradilan di Bali. Dari kalangan
akademisi khususnya Fakultas Hukum Universitas Udayana pernah mengadakan
inventarisasi putusan Pengadilan Negeri Denpasar dan Pengadilan Negeri Gianyar
tentang eksistensi pemidanaan Delik Adat Lokika Sanggraha. Menurut hasil
penelitian tersebut putusan hakim adalah bervariasi yakni :
1. Pidana penjara
……………………………………… = 42, 86 %
2. Pidana penjara dengan masa percobaan
………………. = 35, 72 %
3. Putusan bebas (vrijspraak) …………………………….. =
21, 42 %
Sedangkan variasi putusan yang
dijatuhkan terlihat pada pidana minimun 1 (satu) bulan penjara dan maksimal 9
(sembilan) bulan penjara dan pidana penjara dengan percobaan minimum 5 (lima)
bulan dan maksimal 2 (dua) tahun.
Pada hakikatnya penjatuhan pidana di
Indonesia berdasarkan pada Asas legalitas (Nullum Delictum Nulla Poena
Siene Pravaelege Poenali) yakni konsepsi Paul Johan Anseln Von
Feurbach (1775–1883) sebagaimana termaktub dalam pasal 1 ayat (1)
KUHP. Asas ini kalau dikaji sebenarnya lebih menekankan aspek “Recht-Zekerheids”,sehingga
mempunyai sifat :
(1) bahwa hukum pidana yang berlaku di Indonesia merupakan
ketentuan tertulis ;
(2) Bahwa hukum pidana tidak bersifat retro-aktif ; dan
(3) Bahwa penafsiran analogi dilarang ;
Melihat aspek konteks di atas,
maka eksistensi pemidanaan Delik Adat Lokika Sanggraha di Pengadilan Negeri
Denpasar berorientasi pada ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Dart
Nomor 1 Tahun 1951 jo Pasal 359 Kitab Adigama. Pasal inilah yang yang merupakan
titik tolak Putusan Pengadilan Negeri Denpasar yakni Putusan Nomor
104/Pid/1980/PN.Dps dengan hakim tunggal Sof. Larosa, SH, kemudian Putusan
Nomor 2/Pid.B/1985/PN.Dps. dengan Ketua Ny. LP Sulatri, SH, lalu Putusan Nomor
66/Pid/B/1985/PN.Dps dengan Ketua majelis Jotje S. Lepar dan putusan Nomor
25/Pid/B/1986/PN.Dps dengan Ketua Majelis R.M. S.A. Djajaningrat, SH.
Dari
seluruh putusan tersebut unsur Delik Adat Lokika Sangraha disebutkan :
§ Persetubuhan benar dilakukan di luar kawin antara 2
orang yang sudah akil balik dasar suka sama suka dimana pihak laki-laki ada
janji mau mengawini wanita yang diajaknya persetubuhan di luar kawin itu;
§ Namun ternyata si laki-laki mengingkari janjinya
tersebut ;
Kalau
dilihat unsur Delik Adat ini, ternyata masalah “hamil” bukanlah merupakan unsur
esensial untuk dapat dipidana seseorang melakukan Delik Adat Lokika Sanggraha.
Tetapi lebih urgen dari semua itu adalah masalah pengingkaran “janji” mau
mengawini seorang wanita yang telah diajaknya bersetubuh akan tetapi tidak
dilakukannya. Hal ini nampak pada dasar pertimbangan Putusan
Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 2/PID/B/1985/PN.Dps dimana unsur janji
merupakan unsur penting sedangkan masalah hamil bukanlah unsur pokok, apabila
unsur pengingkaran janji telah terbukti dengan didukung saksi (tanpa menyalahi
ajaran Unus Tertis Nullus Tertis) serta hakim yakin, maka pelakunya dijatuhi
pidana berdasarkan Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 Tahun 1951 jo. Pasal
359 Kitab Adigama.
Hikmah
lain dari seluruh putusan yang diteliti ternyata Delik Adat Lokika Sanggraha
unsur-unsurnya tidaklah dapat ditemukan dalam KUHP, akan tetapi hakim tetap
menjatuhkan pidana kepada pelakunya. Hal ini sebenarnya berorientasi kepada
Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 yang menentukan, “Putusan
pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal
tertentu dari peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Selain itu
masih juga ada tugas hakim sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 5 ayat
(1) UU Nomor 49 Tahun 2009. Konsekuensi logis hal ini pula maka bergeserlah
ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tentang asas “Legalitas” dari ketentuan pengertian
melawan hukum formal ke melawan hukum yang bersifat material. Secara implisit
eksistensi pemidanaan Delik Adat Lokika Sanggraha dalam Praktik peradilan di PN
Denpasar berorientasi kepada pasal 5 ayat 3 sub UU Dart. 1/1951 jo. Pasal 359
Kitab Adigama dengan tanpa adanya pidana tambahan berupa kewajiban Adat bagi
pelakunya untuk mengembalikan keseimbangan kosmos yang telah terganggu itu.
Kalau dikaji lebih detail, bagi
masyarakat Bali Delik Adat Lokika Sanggraha merupakan perbuatan pidana yang
mengganggu perasaan hukum dan perasaan keadilan dalam masyarakat adat yakni
mengganggu keseimbangan kosmos baik alam lahir dan alam gaib. Apabila kalau
dikorelatifkan ke dalam KUHP ternyata perbuatan tersebut tidak diatur di
dalamnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis berlakunya asas konkordasi. Dalam
KUHP berdasarkan pasal 10 maka jenis pemidanaan berupa “pemulihan kewajiban
adat” tidak dikenal di dalamnya. Kalau seorang pelaku Delik Adat lokika
Sanggraha telah dijatuhi pidana penjara, ternyata bagi masyarakat adat
kuranglah sempurna tanpa diikuti pemulihan kewajiban adat guna mengembalikan
keadaan kosmos yang terganggu. Sehingga bagi masyarakat adat Bali menghendaki
penyelesaian bersifat materiil juga hendaknya diikuti pula penyelesaian
bersifat immateriil serta berorientasi bersifat keagamaan. Penjatuhan pidana
dalam hukum adat Bali bertujuan mengembalikan keseimbangan alam kosmos yakni
alam lahir (“sekala”) dengan alam gaib (“niskala”) yang
telah terganggu, oleh karena itu aspek agama Hindu berupa tata upacara keagamaan
merupakan hal fundamental di dalamnya. Sebagai misal dapat disebut bahwa suatu
Delik Adat Lokika Sanggraha yang dilakukan di sebuah tempat suci (Pura),
kemudian oleh hakim pelakunya dijatuhi putusan sesuai Pasal 5 ayat 3 sub b UU
Dart. Nomor 1 Tahun 1951 jo Pasal 359 Kitab Adigama yakni selama 3 (tiga) bulan
penjara. Akan tetapi hal ini tidaklah cukup. Menurut Agama Hindu Pura merupakan
tempat suci dan keramat, sehingga untuk itu pelakunya selain dijatuhkan putusan
penjara tersebut haruslah pula dibebankan kewajiban untuk mengadakan upacara
keagamaan di tempat tersebut sehingga alam kosmos yang terganggu (“sebel”), jadi
pulih kembali.
Penyelesaian demikian itu menurut
pandangan masyarakat Adat Bali erat sekali hubungan dengan konsepsi Agama Hindu
itu sendiri yakni berupa Tri Hita Karana atau Tiga Hal yang
menyebabkan kebahagiaan. Tri Hita Karana itu mempunyai dimensi
berupa Parhyangan (keselarasan hubungan Pencipta dengan
manusia sebagai mahluk ciptaannya), Pawongan (keselarasan
hubungan manusia yang satu dengan yang lain) dan Pelemahan (keselarasan
hubungan antara manusia dengan alam sekelilingnya). Hal-hal inilah yang
melandasi mengapa penyelesaian Delik Adat Lokika Sanggraha bagi masyarakat Adat
bali di samping diinginkan berupa pidana penjara juga ditambah kewajiban adat
di dalamnya.
Bagaimana
mengenai dimensi delik adat Lokika Sanggraha dalam konteks pembentukan hukum
pidana nasional? Mengenai masalah Delik Adat Lokika Sanggraha dalam konteks ini
khususnya dapat dilihat dari pelbagai sudut. Pertama, apakah
unsur-unsur delik yang terdapat dalam Lokika Sanggraha juga ada dan dikenal
pada masyarakat adat di seluruh Indonesia. Hal ini penting sekali sifatnya oleh
karena dengan dikenal dan diakuinya delik tersebut proses kriminalisasi dapat mencapai
tujuan secara lebih sempurna sehingga untuk itu nantinya tidak diharapkan
adanya keadaan “eenmalig”. Kedua, dengan
penerapan delik adat ini ke dalam Hukum Pidana Nasional mendatang maka harus
juga dipikirkan mengenai masalah Pasal 1 yat (1) KUHP tentang Asas Legalitas
dimana akan bergeser dari ketentuan melawan hukum formal ke melawan hukum
materiil. Ketiga, variasi penjatuhan pidana
apakah telah dipikirkan mengenai pidana tambahan berupa kewajiban adat yang
memang belum diatur di dalamnya.
Ketiga
sudut pandang tersebut merupakan kendala bagi penerapan pembentukan Hukum
Pidana nasional terhadap eksistensi dan pengangkatan Delik Adat. Pasal 1 ayat
(3), (4) RUU KUHP memberi landasan diterapkan Delik Adat khususnya dalam
pembicaraan ini Delik Adat Lokika Sanggraha. Jikalau pasal 1 ayat (3), (4) ini
dihubungkan dengan ketentuan Asas Legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP maka
menimbulkan permasalahan yakni ia berlaku dalam artian formal ataukah materiil.
Mengenai hal ini banyak pendapat sarjana dilontarkan dimana satu fihak tetap
mempertahankan sebagai hukum tertulis dimana pelanggarnya dijatuhkan pidana
berdasarkan pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart. 1/1951 sedangkan pendapat Zainal
Abidin memberi jalan keluar untuk sementara yaitu hendaknya Delik Pidana Adat
dianggap sebagai Delik Aduan (Kracht-Delicten).
Sehingga
melalui aspek tersebut di atas, usaha kriminalisasi terhadap Delik Adat Lokika
Sanggraha dalam hukum pidana nasional mendatang perlulah diteliti mengenai
eksistensi perbuatan tersebut. Hal ini penting sifatnya oleh karena pernah
dalam praktik peradilan bahwa hakim tidak menjatuhkan pidana adat daerah
terhadap unsur-unsur yang identik dengan Delik Adat Lokika Sanggraha akan
tetapi hakim menterapkan ketentuan pasal 378 KUHP yakni melalui Putusan
Pengadilan Tinggi Medan Nomor 144/Pid/1983/PT-Mdn dengan memperluas pengertian
“barang” sebagaimana ketentuan Pasal 378 KUHP termaktub juga “jasa” atau
“kepuasan sex”.
Dengan
demikian prospek Delik Adat Lokika Sanggraha dalam hal pembentukan hukum pidana
nasional mendatang haruslah melalui proses penelitian apakah unsur-unsur delik
ini dikenal dalam masyarakat adat seluruh Indonesia apakah tidak. Akan tetapi
RUU KUHP Tahun 2008 khususnya ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) memberikan
landasan penterapan pidana adat untuk berlakunya pada masyarakat Indonesia.
C. Pidana Pemenuhan Kewajiban Adat Dalam RUU KUHP Tahun
2008
Pada
asasnya, secara substansial sistem hukum pidana adat berlandaskan pada
nilai-nilai yang terkandung dalam suatu masyarakat dengan bercirikan asas
kekeluargaan, religius magis, komunal dengan bertitik tolak bukan atas dasar
keadilan individu akan tetapi keadilan secara bersama. Konsekuensi logis
dimensi demikian maka penyelesaian dalam suatu masyarakat adat berlandaskan
pada dimensi penyelesaian yang membawa keselarasan, kerukunan dan kebersamaan.
Tegasnya, hukum pidana adat lebih mengkedepankan eksistensi pemulihan kembali
keadaan terguncang akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku. Soepomo menyebutkan
dalam sistem hukum pidana adat tujuan dijatuhkannya sanksi adat sebagaimana
berlaku dan dipertahankan pada suatu masyarakat adat bukanlah sebagai suatu
pembalasan agar pelanggar menjadi jera akan tetapi adalah untuk memulihkan
perimbangan hukum yang terganggu dengan terjadinya suatu pelanggaran adat.
Perimbangan hukum itu meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dengan dunia
gaib.[18]
Penjatuhan pidana yang dijatuhkan hakim adalah sebuah
proses mengadili dengan bertitik tolak alat bukti, proses pembuktian, hukum
pembuktian dan ketentuan hukum acara pidana. Pada proses ini hakim memegang
peranan penting untuk mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan penjatuhan pidana terhadap pelaku melalui
putusan. Penjatuhan pidana oleh hakim mempertimbangkan segala aspek baik
perbuatannya, pelakunya (daad-dader strafrecht), tujuan
pemidanaan serta mempertimbangkan keseimbangan kepentingan antara pelaku,
bangsa dan negara, korban, ilmu hukum dan demi keadilan berdasarkan ketuhanan
yang maha esa.
Pada
asasnya, konsep RUU KUHP Tahun 2008 merumuskan tujuan pemidanaan. Aspek dan
dimensi ini merupakan sebuah kemajuan yang cukup representatif dalam hukum
pidana Indonesia. Ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf c RUU KUHP menentukan, “pemidanaan
bertujuan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat”, sehingga agar
dapat terpenuhinya dimensi ini secara konkrit pada praktik penegakan hukum telah
ditentukan pula adanya eksistensi pidana tambahan sebagaimana ketentuan Pasal
67 ayat (1) huruf e berupa, “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”. Asasnya, hakim
menjatuhkan pidana “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” apabila pelaku
telah memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP yang disebut sebagai
tindak pidana adat. Kemudian, penjatuhan pidana tambahan ini dapat dijatuhkan
bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau
dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.
Konsepsi
pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban
menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak dapat dijatuhkan
walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Eksistensi adanya
penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan untuk menambah pidana pokok yang
dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Tegasnya hakim bebas dalam
menentukan pidana tambahan baik bersama dengan pidana pokok atau sebagai pidana
berdiri sendiri atau juga dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain,
meskipun tidak dicantumkan sebagai ancaman dalam rumusan tindak pidana.
Apabila
dikaji secara intens, detail dan terperinci sebagai dasar kewenangan hakim
untuk menjatuhkan sanksi adat berupa pemenuhan kewajiban adat setempat
dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”ditegaskan
oleh ketentuan Pasal 100 ayat (1) RUU yang menentukan, “dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan
kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat”, kemudian jika perbuatan pelaku merupakan tindak
pidana adat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) maka penjatuhan pidana oleh
hakim berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum
yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
pidana pokok atau yang diutamakan.
Konsekuensi
logis dimensi konteks di atas dapat disebutkan bahwa apabila hakim mengadili
tindak pidana adat maka agar pidana yang dijatuhkan bersifat proporsional dan
dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh masyarakat maupun pelaku, hakim
harus mempertimbangkan pedoman pemidanaan dan tujuan
pemidanaan.
Ketentuan
Pasal 55 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 tentang pedoman pemidanaan dimana
disebutkan dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan:
1. kesalahan pembuat tindak pidana;
2. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
3. sikap batin pembuat tindak pidana;
4. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
5. cara melakukan tindak pidana;
6. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak
pidana;
7. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak
pidana;
8. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga
korban;
9. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
10. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang
dilakukan.
Kemudian
ketentuan Pasal 54 ayat (1) menentukan tujuan pemidanaan bertujuan:
1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman mesyarakat;
2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
dan
4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pedoman
pemidanaan khususnya yang berupa pandangan masyarakat terhadap tindak pidana
yang dilakukan dan tujuan pemidanaan khususnya berupa menyelesaikan konflik
yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan
rasa damai dalam masyarakat adalah dimensi yang harus diperhatikan hakim dalam
menjatuhkan putusan. Apabila anasir ini diperhatikan maka putusan hakim juga
secara menyeluruh mempertimbangkan dimensi legal justice, moral
justice dan social justice.
Pidana berupa pemenuhan
kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat dianggap setara atau sebanding dengan pidana denda Kategori
I dengan besaran sejumlah Rp. 1. 500.000, 00 (satu juta lima ratus ribu rupiah)
dan jikalau pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat tidak dilaksanakan
terpidana maka dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda yang dapat
berupa pidana pengganti kerugian. Barda Nawawi Arief[19] menyebutkan bahwa pidana
tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban
menurut hukum yang hidup dalam masyarakat di dalam konsep RUU KUHP
merupakan salah satu aspek perlindungan terhadap korban dimana jenis pidana ini
pada dasarnya dapat juga dilihat sebagai bentuk pemberian ganti rugi kepada
korban. Hanya saja yang menjadi korban di sini adalah masyarakat adat.
Konsekuensi
logis diakui dan adanya dasar hukum yang tegas eksistensi hukum yang hidup
(hukum pidana adat) akan memberikan tugas, tanggung jawab dan beban
relatif lebih berat kepada hakim untuk lebih dapat memahami dan menggali
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus benar-benar memahami
perasaan masyarakat, keadaan masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang
majemuk dengan pelbagai macam adat istiadat, tradisi dan budaya yang
berbeda-beda yang tetap dipertahankan sebagai hukum yang hidup. Soedarto[20] menyebutkan bahwa mata, pikiran
dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi
dalam masyarakat, agar supaya keputusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim
dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran putusannya
baik secara formal maupun materiil.
IV. Konklusi dan Rekapitulasi
Pada
asasnya, hukum pidana adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan keadilan
dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan
ketentraman dan keseimbangan masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, untuk
memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-reaksi adat
sebagai bentuk wujud mengembalikan ketentraman magis yang terganggu dengan
maksud sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial akibat
suatu pelanggaran adat.
Apabila
dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber
tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan
kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan
turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Kemudian sumber tidak tertulis
dari hukum pidana adat adalah semua peraturan yang dituliskan seperti di atas
daun lontar, kulit atau bahan lainnya.
Dikaji
dari perspektif normatif, teoretis, asas dan praktik dimensi dasar hukum dan
eksistensi keberlakukan hukum pidana adat bertitik tolak berdasarkan ketentuan
Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, ketentuan
Pasal 5 ayat (1) Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009, Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP Tahun 2008, pendapat doktrina dan
yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Pada praktik peradilan, hukum pidana adat
terdapat dalam beberapa putusan seperti delik adat “lokika sanggraha” di Bali
berdasarkan Pasal 359 Kitab Adigama jo ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dengan adanya sanksi adat sekaligus
pemulihan keseimbangan kosmis di dalamnya. Terhadap prospek dan
dimensi delik adat Lokika Sanggraha dalam konteks pembentukan hukum pidana nasional
maka tergantung aspek apakah unsur-unsur delik yang terdapat dalam Lokika
Sanggraha juga ada dan dikenal pada masyarakat adat di seluruh Indonesia.
Pada
RUU KUHP Tahun 2008 sebagai ius constituendum diatur
eksistensi pidana tambahan berupa, “pemenuhan kewajiban adat setempat
dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”dimana hakim
dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan pedoman
pemidanaan dantujuan pemidanaan. Pedoman pemidanaan
khususnya yang berupa pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang
dilakukan dan tujuan pemidanaan khususnya berupa menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat sehingga putusan hakim secara menyeluruh mempertimbangkan
dimensi legal justice, moral justice dan social
justice*****
[1]Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang,
Jawa Timur, Penulis Buku Ilmu Hukum dan Dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu
Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Universitas Merdeka, Malang
[2]Berdasarkan kesimpulan Hasil Seminar Hukum Adat dan
Pembangunan Hukum Nasional pada tahun 1976 yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) maka Hukum Adat diartikan sebagai, “hukum
Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik
Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.”
[3]Mohd. Din, Aspek Hukum Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia, Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat
di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya di
Banda Aceh, tanggal 27-29 Juni 2010, hlm. 5
[4]Lilik Mulyadi, Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat di
Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya,
untuk wilayah Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Medan, Denpasar, Mataram dan
Banjarmasin, bulan Juni-Juli 2010, hlm. 2 dan hasil penelitian dari para
respondent pada 5 (lima) Pengadilan Tinggi dalam 4 (empat) lingkungan
peradilan menentukan istilah Hukum Pidana Adat untuk PT Banda
Aceh sebanyak 68%, PT Mataram (90%), PT Medan (72%), PT Denpasar (55%),
PT Banjarmasin (80%), Delik Adat untuk PT Banda
Aceh (24%), PT Mataram (0%), PT Medan (20%), PT Denpasar (10%), PT Banjarmasin
(16%), Hukum Adat Pidana untuk PT Banda Aceh (4%), PT Mataram dan
PT Medan (0%), PT Denpasar (3%), PT Banjarmasin (8%) dan Hukum
Pelanggaran Adat untuk PT Banda Aceh (20%), PT Mataram (10%), PT Medan
(4%), PT Denpasar (31%) dan PT Banjarmasin (16%).
[6]Oendang-Oendang Simboer Tjahaja merupakan karya dari Ratu Sinuhun
yang merupakan istri Pangeran Sending Kenayan. Pangeran Sending Kenayan disebut
juga Pangeran Sido Ing Kenayan merupakan salah satu sultan di Kesultanan
Palembang Darussalam yang memerintah dari tahun 1639-1650 Masehi. Oendang-Oendang
Simboer Tjahaja berlaku untuk sebagian di daerah uluan kota Palembang
(daerah pedalaman Sumatera Selatan) dan juga sebagian berlaku untuk masyarakat
Kota Palembang dan belum dikodifikasikan.
[7]Selain diatur dalam UU Nomor 1 Drt 1951 maka
eksistensi hukum pidana adat juga diatur dalam Pasal 18 B UUD 1945 hasil
Amandemen, UU Nomor 48 Tahun 2009, yurisprudensi Mahkamah Agung. Kemudian
secara parsial dalam daerah tertentu juga diatur seperti misalnya di Aceh
Nangroe Darussalam dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, berikutnya diimplementasikan dalam bentuk Qanun baik
tingkat Propinsi maupun Kabupaten sepertiQanun Aceh Nomor 10 Tahun
2008 tentang Lembaga Adat, Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor
10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo, dan lain sebagainya. Kemudian di Bali
diatur dan diimplementasikan dalam bentuk Awig-Awig Desa Adat (Pakraman)
seperti Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) Karangasem, Awig-Awig Desa
Adat Mengwi, Kabupaten Badung dan lain sebagainya.
[8]M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publisher, Springfield,
Illionis, USA, 1978, hlm. 78 dikutif dari: Barda Nawawi Arief, Kebijakan
Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996, hlm. 3 menyebutkan tiga tahap
kebijakan yaitu kebijakan pada tahap formulasi (proses legislasi), tahap
aplikasi (proses peradilan/judisial) dan tahap eksekusi (proses administrasi).
[9]Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidana Pengukuhan Guru Besar, Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hlm. 25
[11]Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 maka di Aceh
penjabarannya dibuat ketentuan perundangan-undangan dalam bentuk Qanun yang
berhubungan dengan hukum adat seperti Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008
tentang Lembaga Adat. Kemudian selain dibuat Qanun Aceh (Qanun tingkat
Propinsi) terdapat juga Qanu-Qanun tingkat Kabupaten/Kota antara lain di dalam
Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo. Di Aceh,
pengadilan adat yang dikenal dengan istilah Pengadilan Gampong atau Pengadilan
Damai juga diimplementasikan dalam Keputusan Bersama seperti di
Kabupaten Aceh Tengah adanya Keputusan Bersama antara Bupati, Ketua DPRK dan
Ketua MAA Kabupaten Aceh Tengah No. 373 Tahun 2008, No 320/DPRK/2008, No.Pol
B/810/2008 Res Aceh Tengah dan No. 110/MAA/V/2008.
[12]Lieven Dupont dan Raf Verstraeten, Handboek
Belgisch Strafrech, Acoo Leuven/Amersfoort, 1990, hlm. 101dalam:
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel
Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya
Dalam Yurisprudensi, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm. 6
[13]Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Dalam Era Globalisasi, Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi
Indonesia, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008, hlm. 33
[14]M. Cherif Bassiouni, Introduction to International Criminal Law, Transnational Publisher, Inc. Ardsley, New York, 2003,
hlm. 179-180
[15]Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum
Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm. 38-39
[16]H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm. 157-159
[17]Lilik Mulyadi, Delik Adat “Lokika Sanggraha“ Di Bali, Majalah Varia
Peradilan, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), Jakarta, Oktober, 1987,
hlm. 164
[19]Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, hlm. 59