Suatu ketika saya diminta untuk memberikan pandangan-pandangan tentang konsep NII di sebuah stasion radio dibilangan delta Surabaya. Kebetulan secara rutin mereka mendiskusikan topik-topik aktual khususnya yang berhubungan dengan hukum. Nah kali ini sampai pula pada pembahasan tentang Negara Islam Indonesia (NII) yang memang sedang menjadi pembicaraan publik. Masyarakat terhenyak, melihat dan mendengarkan berita-berita tentang NII sebab yang menjadi korban mereka adalah rata-rata mahasiswa di beberapa perguruan tinggi ‘ternama’.
Pertanyaan pendengar yang paling banyak adalah mengapa NII muncul kembali setelah lama ‘tiarap’? jawaban sederhana adalah karena telah terjadi penindasan yang terstruktural dari Negara. Negara dengan peran dan kewenangan terhadap rakyatnya berandil besar menciptakan kemiskinan, pengangguran, dan masalah social lainnya yang sangat problematic. Coba saja anda lihat entah pengemis lalu lalang dijalanan yang berdebu atau ratusan anak miskin berderat menyanyikan lagu-lagu kesedihan nan menyayat hati. Inikah potret Negara hukum yang menurut konstitusi menjamin rakyatnya untuk tidak kelaparan?
Anehnya kita semua diam atas penindasan-penindasan itu. Kita tidak punya nyali untuk sekedar mengatakan TIDAK pada penindasan. Bahkan kita tengah asyik masuk mengikuti ritme-ritme kebiadaban dengan cara menonton televisi dengan siaran criminal atau paling sederhanya membaca Koran-koran tentang recidivis yang tertembak kakinya. Sementara dilain pihak, Negara bersama kroni-korninya menikmati dan mengekplorasi kekayaan kekeyaan bangsa dengan bersama-sama berbuat korup.
Fakta-fakta ini membuat kita muak dan ‘meludah’ dan pada akhirnya muncul ‘NII’ dengan konsep perlawanannya. Saya bukannya membela NII tetapi setidaknya ini merupakan autokritik kita terhadap eksistensi dan tanggung jawab Negara. Meskipun secara teoritik NII tidak memiliki konsep yang detail tentang kenegaraan dan kebangsaa.tetapi mereka lebih berani daripada kita yang suka menjadi penonton.
Apakah sesederhana itu factor kemunculan NII? Saya tidak memiliki pretensi untuk menjawabnya. Wong ini hanyalah opini, ya suka-suka saya menulisnya. Satu lagi hendak saya utarakan yakni tentang kebiadaban hukum. Antara tanggung jawab Negara dan hukum sangatlah berkaitan. Keduanya seperti dua keeping mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Beberapa bulan diakhir tahun 2009 yang lalu, kita banyak dihadapkan pada persoalan hukum yang cukup menyita perhatian publik. Kasus Bibit dan Chandra, Prita Mulyasari dan Mbah Mina adalah potret persoalan hukum yang menjadi konsumsi public, bahkan bisa mungkin kasus-kasus tersebut merupakan bagian dari ‘peradilan sesat’. Hal ini tentu merupakan suatu ‘berkah’ tersendiri bagi hukum karena dengan demikian keterbukaan dalam proses hukum semakin meningkat, tetapi ini juga menjadi ‘dilema’ bagi hukum karena dengan terbukanya informasi public kebobrokan hukum sangat kelihatan. Demikian halnya dengan Peradilan, pengadilan sebagai benteng terakhir mencari keadilan juga dituntut melakukan perbaikan-perbaikan baik dari system administrasi maupun sistem peradilan itu sendiri. Karena pada realitasnya Pengadilan menjadi lembaga yang justru ditakuti oleh masyarakat. Apabila kita Tanya pada masyarakat awam, mereka sangat takut terhadap institusi peradilan, dengan demikian pengadilan bukan media mencari keadilan tetapi dalam persepsi masyarakat, peradilan adalah media untuk menghakimi seseorang. Parahnya lagi, peradilan menjadi ‘sarang’ para mafia hukum yang rela menggadaikan hukum untuk kepuasan dan kepentingan pribadi.
Sehingga potret suram hukum kita menuju titik nadir. Aparat penegak hukum sebagai tonggak supremasi hukum justru menjadi ‘pemain utama’ dalam lakon ‘mafia hukum’. Misalnya saja oknum oknum pada institusi kepolisian. Keluhan masyarakat tehadap kinerja kepolisian terus meningkat. Polisi diberi kewenangan untuk mencurigai, memeriksa/menginterogasi, menangkap dan menahan. Polisi juga masih diberi kewenangan diskresi, yaitu pada saat-saat tertentu bertindak atas dasar pertimbangan pribadi. Demikian besarnya kekuasaan dan kewenangan Polri, sehingga masyarakat merasa bahwa Polri makin sulit dikontrol dan sering melakukan justifikasi (pembenaran) jika dikritik. Menurut mantan Gubernur PTIK Farouk Muhammad, profesi polisi merupakan profesi yang paling sulit dikontrol, karena kekuasaannya sangat besar. Oleh karena itu tidak kalah pentingnya adalah peran masyarakat untuk ikut melakukan control social terhadap polisi.
Uraian sederhana ini sampai pasa satu kesimpulan bahwa ketidakmampuan Negara menjamin kesejahteraan rakyatnya adalah motivator terbesar bagi kelompok-kelompok ekstrim untuk melakukan perlawanan. Tak terkecuali dengan kebiadaban hukum. Bila keadilan bisa dibeli dan diukur dengan uang dan kekuasaan bukan tidak mungkin satu dasawarsa yang akan dating akan banyak ‘NII-NII’ bermunculan untuk bersatu mengatakan ‘LAWAN’.Salam.
.