TANGGUNG JAWAB
ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM
Ismu Gunadi Widodo[1]
ABSTRAK
Sebagai sebuah profesi yang terhormat dan
menjadi bagian terpenting dari catur wangsa penegakan hukum, Advokat memiliki
tanggung jawab dalam mengemban amanat untuk turut serta dalam mewujudkan
supremasi hukum. Tanggung jawab tersebut tidak semata-mata sebuah keharusan
yang diwajibkan secara yuridis melainkan kewajiban yang muncul dari tuntutan
hati nurani. Setidaknya advokat bertanggungjawab kepada empat hal yaitu
tanggung jawab kepada Tuhan, tanggung jawab kepada kode etik, tanggung jawab
kepada undang-undang dan tanggung jawab kepada masyarakat.
Kata Kunci: Tanggung Jawab, Advokat,
Penegakan hukum
Abstract
As the Honorable profession and become the
most important part of chess dynasty rule of law, the lawyer responsible for
participating in the implementation of the rule of law. Responsibility is not
only necessary, but legally mandated obligations stemming from the demands of
conscience. At least four lawyers answer the question of responsibility to God,
responsible for the code of ethics, accountability to the law and
responsibility
Keyword: Responsibity, Advocate, law
Enforcement
Latar Belakang Masalah
Setiap profesi memiliki tangung jawab terhadap
profesinya, termasuk didalamnya profesi advokat. Tanggung jawab tersebut
melekat pada masing-masing profesi sebagai bagian yang tidak terpisahkan.
Pembicaraan dan kajian terhadap tanggung jawab profesi menjadi penting ketika banyak seorang professional tidak
bertanggungjawab terhadap profesinya.[2]
Begitu pula dengan profesi advokat. Advokat berprofesi memberi jasa hukum dan
bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik secara litigasi maupun
nonlitigasi, Menurut Frans Hendra Winata, tugas advokat adalah mengabdikan
dirinya pada masyarakat sehingga dia dituntut untuk selalu turut serta dalam
penegakan Hak Asasi Manusia, dan dalam menjalankan profesinya ia bebas untuk
membela siapapun, tidak terikat pada perintah (order) klien dan tidak pandang bulu siapa lawan kliennya, apakah
dia dari golongan kuat, penguasa, pejabat bahkan rakyat miskin sekalipun.[3]
Fungsi advokat bukan hanya berperkara di pengadilan,
namun sangat penting, mewakili kepentingan warga negara dalam hubungannya
dengan pemerintah. Justru karena profesi advokat mengerti akan bentuk, lembaga
dan aturan negara dan bertugas untuk mewakili warga negara kalau bertentangan
dengan negara atau warga negara yang lainnya.
Di dalam sistem hukum di negara kita terdapat jaminan
adanya kesamaan dihadapan hukum (equality
before the law) yang secara konseptual tertuang dalam Undang-undang Dasar
1945 pasal 27 ayat 1 yang berbunyi : “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya“. Oleh sebab itu bagi setiap orang yang memerlukan
bantuan hukum (legal aid) selain merupakan hak asasi juga merupakan gerakan
yang dijamin oleh konstitusi. Disamping itu juga merupakan azas yang sangat
penting bahwa seorang yang terkena perkara mempunyai hak untuk mendapatkan
bantuan hukum (asas legal assistance),
sehingga disinilah kedudukan profesi advokat dalam kekuasaan yudikatif dalam
rangka pemberian bantuan hukum kepada masyarakat mempunyai arti yang sangat
penting.
Tetapi profesi mulia dan tanggung jawab advokat tersebut
terkadang hanya sebatas slogan yang tidak dapat diimplementasikan dalam praktik-prakktik
nyata, sehingga banyak advokat yang
melanggar. Misalnya saja kasus terlibatnya pengacara Haposan dalam kasus Gayus
Tambunan.[4] Menurut Denny
Indrayana peran terdakwa Haposan Hutagalung sebagai pengatur rekayasa uang
Gayus senilai Rp 25 miliar. Haposan yang membuat skenario pemilik fiktif dan
yang mengatur suap ke jaksa, hakim, pengacara, polisi dan Gayus. Masing-masing
memperoleh duit Rp 5 miliar. "Dari uang Rp 25 miliar yang dia punya,
dibagi 5 polisi, 5 jaksa, 5 hakim, 5 advokat, 5 untuk Gayus sendiri. Gayus
sendiri mengatakan, uangnya disampaikan lewat terdakwa(Haposan)," Kasus
Pengacara Haposan menambah daftar panjang pengacara yang terlibat dalam kasus
mafia hukum.[5]
Begitu pula dalam kasus Anggodo, peran pengacara
sangatlah besar, dalam rekaman pembicaraan
yang sudah diketahui masyarakat, ada pembicaraan mengenai pembayaran fee kepada
pengacara. Keterlibatan pengacara adalah hubungan profesi untuk membantu
clientnya yang sedang bermasalah dengan hukum. Pengacara Raja Bonaran Situmeang
disebut turut serta melakukan tindakan menghalangi penyidikan KPK. Bonaran yang
merupakan kuasa hukum dari terdakwa Anggodo Widjojo masuk dakwaan kliennya yang
didakwa secara berlapis. Hal
tersebut terungkap dalam berkas dakwaan Anggodo Widjojo yang dibacakan laksa
Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Jaksa Edy Hartoyo, Anggodo
Widjojo diduga melakukan serangkaian tindakan agar kasus dugaan
korupsipenyuapan dan pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) yang
menjerat Anggoro Widjojo, kakak kandung Anggodo, dapat berhenti. Perbuatan
Anggodo tersebut dibantu Bonaran Situmeang, Presiden Direktur PT Masaro
Radiokom Putranefo Alexander Prayugo. dan Ari Muladi.[6]
Dua contoh kasus tersebut
adalah bagian kecil dari kasus-kasus yang melibatkan pengacara. Sehingga
penulis menganggap penting kajian-kajian yang berhubungan dengan tanggung jawab
profesi pengacara dalam penegakan hukum.
Permasalahan
Dari
latar belakang permasalahan yang muncul diatas, maka penulis memfokuskan kajian
makalah ini pada rumusan bagaimanakah tanggungjawab advokat dalam penegakan
hukum di Indonesia?
Tanggung Jawab Advokat Dalam Penegakan Hukum
Tanggung jawab dalam aspek bahasa
memilik arti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa apa
boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb).[7]
Pengertian tanggung jawab memang seringkali terasa sulit untuk menerangkannya
dengan tepat. Adakalanya tanggung jawab dikaitkan dengan keharusan untuk
berbuat sesuatu, atau kadang-kadang dihubungkan dengan kesediaan untuk menerima
konsekuensi dari suatu perbuatan. Banyaknya bentuk tanggung jawab ini
menyebabkan terasa sulit merumuskannya dalam bentuk kata-kata yang sederhana
dan mudah dimengerti. Tetapi kalau kita amati lebih jauh, pengertian tanggung
jawab selalu berkisar pada kesadaran untuk melakukan, kesediaan untuk
melakukan, dan kemampuan untuk melakukan.
Pada kebudayaan masyarakat Indonesia,
umumnya "tanggung jawab" diartikan sebagai keharusan untuk
"menanggung" dan "menjawab" dalam pengertian lain yaitu
suatu keharusan untuk menanggung akibat yang ditimbulkan oleh perilaku
seseorang dalam rangka menjawab suatu persoalan.
Bertanggung jawab dimaksudkan sebagai
kata searti untuk penyebab. ‘Bertanggung
jawab atas’ menunjukkan suatu hubungan kausalitas. Subyek yang bertanggung
jawab dianggap sebagai penyebab salah satu akibat yang telah berlangsung atau
sebagai penyebab kemungkinan terjadinya suatu akibat.[8]
Lebih lanjut istilah “tanggung jawab”
adalah “siap menerima kewajiban atau tugas”. Arti tanggung jawab di atas
semestinya sangat mudah untuk dimengerti oleh setiap orang. Tetapi jika kita
diminta untuk melakukannya sesuai dengan definisi tanggung jawab tadi, maka
seringkali masih merasa sulit, merasa keberatan, bahkan ada orang yang merasa
tidak sanggup jika diberikan kepadanya suatu tanggung jawab. Kebanyakan orang
mengelak bertanggung jawab, karena jauh lebih mudah untuk “menghindari”
tanggung jawab, daripada “menerima” tanggung jawab.
Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, selain pelaku kekuasaan
kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, badan-ban lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung
terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya adalah profesi
advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab , sebagaimana selanjutnya
diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.
Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status
kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan
penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut
memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu”Organisasi
Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri
yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan
tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Oleh karena itu,
Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti
luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan
fungsi Negara.
Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam
upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha
negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya
setara dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi,
terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus
mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan
atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah
dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat. Dengan demikian, baik
secara yuridis maupun sosologis advokat memiliki tanggung jawab yang sangat
besar dalam penegakan hukum.
Berhubungan dengan tanggung jawab advokat dalam penegakan
hukum setidaknya menurut penulis advokat harus bertanggung jawab kepada empat
hal yaitu bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kepada Kode Etik
Advokat, Kepada Aturan perundang-undangan dan terkahir kepada masyarakat.
Berikut penulis uraikan satu persatu. Pertama, tanggung jawab advokat kepada Tuhan. Manusia adalah mahluk
religious yang memiliki kecerdasan spiritual. Menurut Tony Buzan kecerdasan
spiritual adalah yang berkaitan dengan menjadi bagian dari rancangan segala
sesuatu yang lebih besar, meliputi “melihat suatu gambaran secara menyeluruh”.
Sementara itu, kecerdasan spiritual menurut Stephen R. Covey adalah pusat
paling mendasar di antara kecerdasan yang lain, karena dia menjadi sumber
bimbingan bagi kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual mewakili kerinduan akan
makna dan hubungan dengan yang tak terbatas.[9]
Zohar dan Marshal mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih
luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dari pada yang lain. Kecerdasan spiritual menurut
Khalil A Khavari di definisikan sebagai fakultas dimensi non-material kita atau
jiwa manusia. Ia menyebutnya sebagai intan yang belum terasah dan dimiliki oleh
setiap insan. Kita harus mengenali seperti adanya, menggosoknya sehingga
mengkilap dengan tekat yang besar, menggunakannya menuju kearifan, dan
untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.[10]
Dengan pengakuan potensi kecerdasan spiritual tersebut,
manusia dengan sendirinya memiliki tanggung jawab akan kehidupannya kepada
Tuhan. Tanggung jawab tersebut melekat pada diri manusia bukan disebabkan
butuhnya Tuhan kepada manusia melainkan bentuk rasa dan sikap iman manusia
kepada Tuhan. Tuhan menciptakan manusia di bumi
ini bukanlah tanpa tanggung jawab, melainkan untuk mengisi kehidupannya manusia
mempunyai tanggung jawab langsung terhadap Tuhan. Sehingga dikatakan tindakan
manusia tidak lpas daei hukuman hukuman Tuhan. Yang diruangkan dalam berbagai
kitab suco melalui berbagai macam agama. Pelanggaran dari hukuman hukuman
tersebut akan segera diperingatkan oleh Tuhan dan jika perungatan yang keraspun
manusia masih juga tidak menghiraikan maka Tuhan akan melakukan kutukan. Sebab
dengan mengabaikan perintah perintah Tuhan. Berarti menginggalkan tanggung
jawab yang seharusnya dilakukan terhadap Tuhan sebagai penciptanya. Bahkan
untuk memenuhi tanggungjawabnya manusia harus berkorban.
Tanggung Jawab manusia kepada Tuhan juga ‘berlaku’ bagi
advokat. Sebagai manusia, secara individual Advokat mengikatkan dirinya untuk
selalu bertanggung jawab kepada Tuhan-Nya. Hal tersebut ditunjukkan dalam
pembacaan janji advokat sebagai berikut:
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :
o
bahwa
saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
o
bahwa
saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan
barang sesuatu kepada siapapun juga;
o
bahwa
saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak
jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
o
bahwa
saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak
akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau
pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang
sedang atau akan saya tangani;
o
bahwa
saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai
dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat
o
bahwa
saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di
dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung
jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.
Sumpah tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang
akan menjalani profesi sebagai advokat, kepada Tuhan, diri sendiri, dan
masyarakat. Seandainya setiap advokat tidak hanya mengucapkannya sebagai
formalitas, tetapi meresapi, meneguhi, dan menjalankannya, tentu kondisi
penegakan hukum akan senantiasa meningkat lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan
benar-benar dapat menegakkan hukum dan keadilan.
Kedua, Tanggung Jawab kepada
kode Etik advokat. Di dalam Bab II Pasal 2 Kode Etik Advokat Indonesia Tentang Kepribadian
Advokat, disebutkan:
“Advokat Indonesia adalah
warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap
satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang
tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi
hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah
jabatannya”.[11]
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur
dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur
dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum,
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah
jabatannya adalah “kepribadian yang harus
dimiliki oleh setiap Advokat”.
Kode etik yang mengatur mengenai kepribadian advokat sangat
berkaitan erat dengan Ethika. Ethika merupakan filsafat moral untuk mendapatkan
petunjuk tentang perilaku yang baik, berupa nilai-nilai luhur dan aturan-aturan
pergaulan yang baik dalam hidup bermasyarakat dan kehidupan pribadi seseorang.
Ethika moral ini menumbuhkan kaedah-kaedah atau norma-norma ethika yang
mencakup theori nilai tentang hakekat apa yang baik dan apa yang buruk, dan
theori tentang perilaku (“conduct”) tentang perbuatan mana yang baik dan mana
yang buruk.[12]
Moral ini berkaitan erat dengan pandangan hidup, agama atau
kepercayaan maupun adat-kebiasaan masyarakat yang bersangkutan. Bangsa
Indonesia mempunyai Pancasila sebagai dasar ideologi Negara dan pandangan hidup
dan jati diri bangsa Indonesia, sehingga nilai-nilai Pancasila harus menjadi
landasan ethika moral bangsa Indonesia[13],
termasuk sila Pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
menunjukkan bahwa, seluruh bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, termasuk di dalamnya adalah seorang Advokat.
Dari ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf a. Kode
Etik Advokat Indonesia dapat disimpulkan bahwa seorang advokat, dalam menjalankan
profesinya, harus selalu berpedoman kepada:
a. Kejujuran
profesional (professional honesty)
sebagaimana terungkap dalam Pasal 3 huruf a. Kode Etik Advokat Indonesia dalam
kata-kata “Oleh karena tidak sesuai dengan keahilannya”, dan
b. Suara
hati nurani (dictate of conscience).
Keharusan bagi setiap advokat untuk selalu berpihak kepada
yang benar dan adil dengan berpedoman kepada suara hati nuraninya berarti bahwa
bagi advokat Indonesia tidak ada pilihan kecuali menolak setiap perilaku yang
berdasarkan “he who pays the piper
calls the tune” karena pada
hakikatnya perilaku tersebut adalah pelacuran profesi advokat. [14]
Ketiga, Tanggung jawab kepada
Undang-Undang Advokat. Untuk mewujudkan profesi advokat yang berfungsi sebagai
penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran Organisasi Advokat. UU
Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap
pelanggaran, dan pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh
Organisasi Advokat. Ketentuan Pasal 6 UU Advokat misalnya menentukan bahwa
advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan:
a)
mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b)
berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan
atau rekan seprofesinya;
c)
bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan
pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan
perundang-undangan, atau pengadilan;
d)
berbuat hal-hal yang
bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
e)
melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan
dan atau perbuatan tercela;
f)
melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi
Advokat.
Untuk menunjang berfungsinya sistem hukum diperlukan suatu
sistem etika yang ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik.
Di setiap sektor kenegaraan dan pemerintahan selalu terda¬pat peraturan tata
tertib serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di lingkungan
organisasi-organi¬sasi masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau Pedoman
Dasar dan Anggaran atau Pedoman Rumah Tangga organi¬sasi. Namun, baru sedikit
sekali di antara organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah memiliki
perang¬kat Kode Etika yang disertai oleh infra struktur kelembagaan Dewan
Kehormatan ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud.
Di samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut
sudah ada, dokumen-dokumen itu hanya ada di atas kertas dalam arti tidak
sungguh-sungguh di¬jadikan pedoman peri¬laku berorganisasi. Pada umumnya,
dokumen-dokumen per¬aturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga
terse¬but hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kong¬res, muktamar atau musyawarah
nasional organisasi yang ber¬sangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut
hanya biasa dilupakan.
Demikian pula halnya UU Advokat teleh menentukan adanya
kewajiban menyusun kode etik profesi advokat oleh Organisasi Advokat untuk
menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat. Setiap advokat wajib tunduk
dan mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan
Organisasi Advokat. Berlaku tidaknya kode etik tersebut bergantung sepenuhnya
kepada advokat dan Organisasi Advokat.
Untuk itu perlu dibangun infrastruktur agar kode etik yang
dibuat dapat ditegakkan. Infrastruktur tersebut membutuhkan budaya taat aturan
di lingkungan advokat itu sendiri, baik aturan hukum negara maupun aturan
berorganisasi termasuk anggaran dasar dan rumah tangga serta kode etik profesi.
Tradisi taat aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara luas. Selain
itu, sistem dan mekanisme penegakan kode etik juga harus dilembagakan melalui
pembentukan Dewan Kehormatan yang credible diikuti dengan mekanisme pengawasan
yang tegas dan efektif.Sebagai organisasi profesi yang memberikan jasa kepada
masyarakat, mekanisme pengawasan yang dibuat tentu harus pula membuka ruang
bagi partisipasi publik dan menjalankan prinsip transparansi. Tanpa adanya
transparansi dan partisipasi publik, Organisasi Advokat tidak akan dapat
menjalankan fungsinya meningkatkan
Keempat, Tanggung jawab kepada masyarakat. Pada hakekatnya manusai
tidak bisa hidup tanoa bantuan omanusia lain, sesua dengan kedudukannya sebagai mahluk social.
Karena membutuhkan manusia lain maka ia harus berkomunikasi dengan manusia lain
tersebut. Sehingga mdengan demikian manusia disisni merupakan anggota
masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti anggota masyarakat
lain agat dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut. Wajarlah
apabila segala tingkat lkau dan perbuatannya harus dipertaggung jawabkan kepada
masyarakat.
Seorang advokat tidak saja harus berprilaku jujur
dan bermoral tinggi, tetapi harus juga mendapat kepercayaan public, bahwa advokat tersebut akan selalu berprilakuan demikian. Dengan diangkatnya seorang
advokat , maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan perkerjaan
terhormat (mobile Officium), dengan
hak eksklusif antara lain; 1) Menyatakan dirinya pada publik bahwa ia seorang advokat; 2)
Dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya; dan 3)
Menghadap dimuka siding pengadilan dalam proses perkara kliennya.
Akan tetapi, jangan dilupakan bahwa hak dan
kewenangan istimewa juga menimbulkan kewajiban
advokat kepada masyarakat,yaitu:
1)
Menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi advokat yang
selalu mempunyai kompetensi pengetahuan profesi untuk itu, dan mempunyai
integritas melaksanakan profesi terhormat;
2)
Bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak
menjalankan profesi terhormat ini.
Kewajiban advokat kepada masyarakat tersebut di atas,
Bagian dari kewajiban advokat kepada masyarakat, adalah telah memberi bantuan jasa hukum kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu (miskin). Dalam KEAI Pasal 3 dinyatakan bahwa seorang advokat tidak dapat menolak dengan alasan kedudukan sosial orang yang memerlukan jasa hukum dan didalam Pasal 4 kalimat: mengurus perkara cuma-cuma telah tersirat kewajiban ini. Dan asas ini dipertegas lagi dalam Pasal 7 KEAI alinea 8: ... kewajiban untuk memberikan bantuan hukum id cuma-cuma (pro deo) bagi ornag yang tidak mampu. Meskipun di Indonesia telah ada lembaga-lembaga yang membantu kelompok ekonomi lemah ini, khususnya dengan nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH atau yang serupa) dan Biro Bantuan Hukum (BBH atau yang serupa), namun kewajiban advokat atau kantor advokat memberi jasa hukum kepada klien miskin, tetap harus diutamakan.
Bagian dari kewajiban advokat kepada masyarakat, adalah telah memberi bantuan jasa hukum kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu (miskin). Dalam KEAI Pasal 3 dinyatakan bahwa seorang advokat tidak dapat menolak dengan alasan kedudukan sosial orang yang memerlukan jasa hukum dan didalam Pasal 4 kalimat: mengurus perkara cuma-cuma telah tersirat kewajiban ini. Dan asas ini dipertegas lagi dalam Pasal 7 KEAI alinea 8: ... kewajiban untuk memberikan bantuan hukum id cuma-cuma (pro deo) bagi ornag yang tidak mampu. Meskipun di Indonesia telah ada lembaga-lembaga yang membantu kelompok ekonomi lemah ini, khususnya dengan nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH atau yang serupa) dan Biro Bantuan Hukum (BBH atau yang serupa), namun kewajiban advokat atau kantor advokat memberi jasa hukum kepada klien miskin, tetap harus diutamakan.
Kesimpulan
Sebagai sebuah profesi yang terhormat dan menjadi bagian
terpenting dari catur wangsa penegakan hukum, Advokat memiliki tanggung jawab
dalam mengemban amanat untuk turut serta dalam mewujudkan supremasi hukum.
Tanggung jawab tersebut tidak semata-mata sebuah keharusan yang diwajibkan secara
yuridis melainkan kewajiban yang muncul dari tuntutan hati nurani.
Kewajiban-kewajiban seorang advokat tercermin dalam kemampuan
bertanggung jawab advokat terhadap Tuhan, Kode etik Profesi, aturan
perundang-undangan dan masyarakat. Tanggung jawab kepada Tuhan merupakan
tanggung jawab mutlak advokat sebagai makhluk yang memiliki nuansa
religiusitas. Sedangkan tanggung jawab terhadap kode etik profesi adalah
sebagai manifestasi tanggung jawab advokat sebagai bagian dari seorang
profesionalisme yang diikat oleh etika. Selain itu pula, tanggung jawab
terhadap aturan perundang-undangan menjadi konsekwensi logis seorang advokat
dalam setiap sikap dan tindakannya. Pada akhirnya seorang advokat dituntut pula
untuk mampu mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya kepada masyarakat
sebagai implementasi rasa tanggung jawabnya kepada Tuhan, kode etik dan
peraturan perundang-undangan.
Daftar
Bacaan
Adnan
Buyung Nasution. Bantuan Hukum Di Indonesia. LP3ES Indonesia. Jakarta. 2007.
____________
Arus Pemikiran Konstitusionalisme : Advokat. Kata Hasta Pustaka. Jakarta. 2007.
Albert Camus,
1988, Krisis Kebebasan (Terjemahan Edhi Martono), Jakarta: Yayasan
Obor.
Anthon
F. Susanto, Wajah Peradilan Kita;
Kontruksi Sosial tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas
Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2004.
Arbijoto,
2000, Kebebasan Hakim (refleksi Terhadap Manusia Sebagai Homo
Relegiosus), Jakarta: Mahkamah Agung RI.
Asfinawati.
“Bantuan Hukum Cuma-Cuma Versus Komersialisasi” dalam Bantuan Hukum : Akses
Masyarakat Marjinal Terhadap Keadilan : Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan,
Penerapan dan Perbandingan Di Berbagai Negara ed. Gatot dan Virza Roy Hizal.
LBH Jakarta. Jakarta. 2007
B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang
Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 200
Bagir
manan, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Asosiasi
Advokat Indonesia, Jakarta, 2009.
Bambang
Sunggono dan Aries Hartanto. Bantuan Hukum Dan Hak asasi Manusia. Mandar Maju.
Bandung. 2001.
Bambang
Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek. Sinar Grafika. Jakarta. 1996.
Buku Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Advokat Indonesia Mencari Legitimasi: Studi
tentang Tanggung Jawab Hukum di Indonesia, (Jakarta: 2001)
C.F.G.
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20 .
Alumni. Bandung. 1994.
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok
Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 1995.
Fred
B.G, Tumbuan, Kode EtikAdalah Pedoman
Penghayatan Profesi Advokat Sebagai Penegak Hukum: Rekaman Proses Workshop Kode
Etik Advokat Indonesia Langkah Menuju Penegakan, Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia (PSHK).
Hamid S. Attamimi, Pancasila Cita Hukum Dalam
Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam
Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara disunting
oleh: Oetojo Oesman & Alfian, BP-7 Pusat, Jakarta, 1992
Henry
Campbel Black. Black’s Law Dictionary. West Publishing Co. St. Paul Minn. 1990.
Huda Lukoni, Filsafat Hukum Dan Peranannya Dalam
Perkembangan Hukum Di Indonesia,www.badilag.net, Diakses Tanggal 23
September 2009.
J.J. Bruggink,Refleksi Ilmu Hukum, dialihbahasakan Arief Sidharta, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1996.
Jan
Gijssels & Mark van Hoecke, Wat is Rechtsteorie?, Kluwer
Rechtswetenschappen, Antwerpen, 1982.
Jay A. Sigler and Benyamin R.
Beede, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books, D.C. Health and Company,
Lexington-Massachusetts-Toronto, 1977, h. 23-28., Peter Halpin, Literature
Resources dalam Arthur C. Stern, Air Pollution, Vol.
II, The Effects of Air Pollution, Academic Press, New York, 1977
Jeremias
Lemek. Mencari Keadilan Pandangan Kritis
Terhadap Penegakan Hukum Di Indonesia. Galang Press. Yogyakarta. 2007.
Jonaedi
Efendi, Mafia Hukum; Mengungkap Praktik
Tersembunyi Jual Beli Hukum dan
Alternatif Pemberantasannya dalam Perspektif Hukum Progresif, Prestasi
Pustaka, Jakarta, 2010,
Jujun S.
Suriasumantri, 2003, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta Cet.XVI.
Luhut
M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt Of
Court, Djambatan, Jakarta, 2002.
M. Yahya
Harahap, 1994, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan Agama,
Jakarta: Al-Hikmah.
M. Yahya
Harahap, SH., 2005, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Jakarta: Sinar Grafika.
Moh.
Mahfud M.D., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES,
Jakarta, 2006
Muchsin, Ikhtisar
Filsafat Hukum, Cet ke2, Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006,
Otto Hasibuan, Kode Etik Advokat
Indonesia Problematik Substansi Dan Pelaksanaannya: Rekaman Proses Workshop
Kode Etik Advokat Indonesia Langkah Menuju Penegakan, Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia (PSHK), 2004
Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia
(IKAHI) Cabang Mahkamah Agung RI, 1998,
R.
Soesilo. RIB/HIR Dengan Penjelasan. Politeia. Bogor. 1995.
R.G.
Logan, Information Sources in Law, ButterwortGuide to
International Sources, Butterworth & Co. Publisher Ltd, 1986, h.
21. dan Morris L. Cohen and Kent C. Olson, Legal Research in a Nutshell,
St. Paul, Minn, West Publishing Co, 1992.
Rifyal
Ka’bah, 2004, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta:
Khairul Bayan.
Roeslan
Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional dalam
“Majalah Hukum Nasional (Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasional)” No. 1,
Pusat Dokumentasi Hukum BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995
Ronald
Eberhard, 2008, Resume Sekitar Filsafat Hukum, http://en.wordpress.com/tag/filsafat-hukum/,Diakses
Tanggal 2 Januari 2010 4.52PM.
Soejono
Koesoemo Sisworo, Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai Aliran
Filsafat Hukum Dalam Relasi dan Relevansinya Dengan Pembangunan/Pembinaan Hukum
Indonesia dalam “Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro Semarang” dihimpun oleh: Soekotjo Hardiwinoto, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995.
Soerjono
dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat.
Cet-Kelima. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2001.
Soerjono
Soekanto. Bantuan Hukum : Suatu Tinjauan Sosio Yuridis. Ghalia Indonesia.
Jakarta. 1983.
Solusihukum.com,
2006, Penegakan Hukum, http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php, Diakses
tanggal 4 Januari 2010 11:48 AM.
Sr.
Mauro Cappelleti, Earl Johson Jr. dan James Gord Ley. Towards Equal Justice, A
Comparative Studi of Legal Aid in Modern Societies. Dobbes Ferry. New York.
1975.
Suhartono, Kebebasan Hakim Dalam Memutus Perkara
(Pdf), Diakses Tanggal 2 Januari 2010 4:31 PM
Susilo Bambang Yudhoyono, Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara
Berdasarkan Pancasila, Pidato Peringatan 61 Tahun Lahirnya Pancasila,
Jakarta Convension Center, Tanggal 6 Januari 2006.
Timoer,
2008, Sejarah Filsafat Hukum, http://blogcatalog.com/group/blog-promotion-1/discuss/entri/sejatah-filsafat-hukum,
Diakses Tanggal 2 Januari 2010 4.52PM.
Todung
Mulya Lubis. “Gerakan Bantuan Hukum Di Indonesia (Sebuah Studi Awal)” dalam
Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum : Ke Arah Bantuan Hukum Struktural
ed. Abdul Hakim G. Nusantara dan Mulyana W. Kusuma. Alumni.
Bandung. 1981.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1984).
Winarno Surakhmad, Pengantar Peneltian
Ilmiah: dasar, Metode, Teknik, Tarsito, Bandung, 1994. Klaus Krippendorff, Analisis
Isi: Pengantar Teori dan Metodologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993
Wiradharma
Dannya, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran,
Bina Rupa Aksara, 1996,
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ;
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ;
Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ;
Makalah dan Artikel :
Adnan
Buyung Nasution. “Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Judicial Review
Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat : Beberapa Pointers,” Makalah
disampaikan pada Dialog Interaktif Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi Atas
Judicial Review Pasal 31 UU Advokat. Bandung. 24 Februari 2006.
B.
Arief Sidharta. “Sebuah Catatan Tentang Bantuan Hukum,” Makalah disampaikan
pada Dialog Interaktif Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Judicial
Review Pasal 31 UU Advokat. Bandung. 24 Februari 2006.
Frans
Hendra Winarta, “Revitalisasi Lembaga Konsultasi Dan Bantuan Hukum di
Indonesia,” KHN Newsletterr (Volume 8–Nomor 2, Maret-April 2008).
Luhut
M.P. Pangaribuan, “Advokat Sebagai Penegak Hukum : Suatu Catatan Secara Garis
Besar.” Makalah disampaikan pada Pendidikan Khusus Profesi Advokat, Jakarta, 19
April 2005.
Masyarakat
Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), “Bantuan Hukum,” diperoleh dari www.pemantauperadilan.com
20 Desember 2004
[1] Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya.
[2] Lihat Amir Syamsuddin, Tanggung Jawab Profesi Dan Etika Advokat, Anymous.
[3] Hendra Winata, Frans, Advokat Indonesia, Citra, Idealisme dan
Kepribadian. Sinar Harapan, Jakarta.1995, hal; 14
[4] Denny
Indrayana Pertegas Peran Haposan Sebagai Otak Rekayasa Uang Gayus, http://detiknews.com. Rabu, 08 Desember 2010.
[5] Tentang Mafia Hukum lihat: Jonaedi Efendi, Mafia Hukum; Mengungkap Praktik Tersembunyi Jual Beli Perkara serta
Alternatif Pemberantasannya dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta,
Prestasi Pustaka, 2010.
[7] Anton M. Moeliono (Peny), Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayan, 1989.hal. 899
[8] A.G.W. Van Melsen, Ilmu Pengetahuan
dan Tanggung Jawab kita, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, 1992. hal. 68
[9] Pengertian Kecerdasan
Spritual, dalam http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/02/18/pengertian-kecerdasan-spritual/.
Akses tanggal 23 Februari 2011.
[10] Ibid
[11] Lihat Kode Etik Advokat Indonesia.
[12] Purwoto S. Gandasubrata, Op.
Cit., hlm. 92
[13] Ibid.
[14] Fred B.G, Tumbuan, Kode
EtikAdalah Pedoman Penghayatan Profesi Advokat Sebagai Penegak Hukum: Rekaman
Proses Workshop Kode Etik Advokat Indonesia Langkah Menuju Penegakan, Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2004, hal. 39).
0 komentar:
Posting Komentar